Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya.
"Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah.
"Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe."
"Kamu memang gadis yang bisa diandalkan."
***
Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus udara pagi ini.
Clara jadi berandai-andai. Seandainya negara ini memiliki penduduk seperti Jepang, mungkin polusi tak akan separah ini. Mereka akan mengayuh sepeda ketika akan melakukan beraktivitas. Seperti bekerja, refreshing, dan pergi ke sekolah.
Sepertinya Clara harus menghentikan kebiasaan buruknya. Ia terus saja mengandaikan segala sesuatu. Ia harus bisa menerima apapun yang telah terjadi, seburuk apapun itu. Seperti kehilangan kedua orang tuanya.
Clara menghela nafas pelan. Lagi-lagi ia mengingat ayah dan ibunya. Mengingat mereka membuat Clara menjadi tak bersemangat untuk menjalani hidup. Ia seperti hidup sendiri.
Clara menggeleng pelan. Ia harus bersyukur. Setidaknya masih ada orang yang mau menampungnya, hingga ia tak hidup di jalanan seperti beberapa waktu yang lalu. Ia harus sadar bahwa ia harus melihat ke bawah bukan ke atas.
Clara melirik jam tangannya. Sial. Sebentar lagi ia akan terlambat. Clara mengayuh sepedanya dengan cukup kencang sampai ia tak menyadari bahwa terdapat mobil yang melintas cukup kencang di depannya.
Ckitttt..... Brakk
Sepeda Clara ambruk. Ia terlalu kaget mengalami kejadian yang terlalu tiba-tiba. Ia bahkan tak sempat mengerem sepeda cantiknya. Ia menatap makanan yang akan diantarkannya. Ia yakin, makanannya sudah tak berbentuk lagi. Ia jadi merutuki dirinya sendiri yang kurang hati-hati.
Pengemudi itu keluar dari mobilnya. Ia menatap seseorang yang baru saja hampir ditabrak olehnya. Ia bersyukur, ia memiliki reflek yang sangat baik. Sehingga ia bisa mencegah kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Seperti menabrak gadis itu.
Nathan melihat, gadis itu terlihat mengemasi barang dagangannya. Ia terlihat begitu merasa bersalah pada gadis itu.
Nathan segera keluar dari mobilnya, kemudian menghampiri dang gadis yang masih sibuk dengan barang bawaannya. Ia tampak tak menyadari akan kedatangan Nathan.
Nathan terpaku sejenak ketika melihat wajah gadis itu dari dekat. Ia begitu mirip dengan mendiang istrinya. Apa gadis ini yang selalu diceritakan oleh Devan? Jantungnya berdegup begitu cepat. Apa ini karena kemiripan si gadis pada mendiang istrinya sampai bisa membuat jantungnya berdegup secepat ini?
"Maaf, saya tidak sengaja. Saya akan bertanggung jawab." Ucap Nathan sopan, ia berusaha mengalihkan pandangannya dari Clara.
"Tidak apa-apa,Pak. Saya yang bersalah. Saya yang tidak berhati-hati. Saya terburu-buru , sampai saya tidak mementingkan keselamatan saya sendiri dan orang lain. Maaf." Jawab Clara sopan.
"Kamu tidak salah, saya yang salah. Saya mengendarai mobil saya terlalu cepat, sampai hampir menabrak kamu. Sesuai perkataan saya, saya akan bertanggung jawab."
"Tidak usah,Pak.. Saya merasa tidak enak jika Bapak seperti ini."
"Tidak perlu begitu. Saya akan mengganti rugi semuanya. Kamu tinggal mengatakan berapa kerugianmu."
"Anu, bukan begitu. Bukan masalah kerugian atau bukan Pak. Tapi, saya harus mengantarkan pesanan untuk pelanggan kakak saya."
"Dimana kamu bekerja?"
"Restoran Valencia."
"Restoran Valencia? Saya sering mengunjungi restoran itu. Dan kebetulan saya memesan makanan pagi ini. Apa pesanan yang kamu bawa untuk Nathaniel Gio Alvaro?"
"Benar sekali,Pak. Bagaimana bapak bisa tahu?" Tanya Clara penasaran.
"Karena orang itu saya sendiri."
"Oh. Maaf Pak. Pesanan Bapak sudah hancur tak berbentuk. Saya akan kembali untuk mengantar makanan yang baru."
"Tidak perlu. Saya bisa membelinya lagi di kantin perusahaan. Kamu tidak perlu kembali mengambilnya lagi. Ini kartu nama saya. Jika kamu terluka atau sepeda kamu rusak, kamu bisa menghubungi saya."
"Baik,Pak."
"Kalau begitu, saya pergi dahulu."
Clara hanya mengangguk. Ia mengamati orang itu dengan seksama. Pria itu sangat tampan dan bertanggung jawab. Pasti pasangannya sangat beruntung memiliki sosok pria seperti Pak Nathan.
***
Nathan mulai menetralkan detak jantungnya yang berdetak tak karuan. Ia hanya melihat sosok yang mirip dengan mendiang istrinya, tapi mengapa ia seolah-olah bertemu dengan sang istri tercinta.
Gadis itu sangat baik dan sopan. Ia yakin bahwa gadis itu masih berusia sangat muda. Terlihat dari wajahnya yang masih lugu dan tingginya yang bahkan hanya sebatas dadanya. Lebih pendek dari mendiang istrinya yang selisih setinggi dagu Nathan saja. Mungkin, jika gadis itu terus tumbuh, bisa saja menyamai tinggi mendiang istrinya.
Nathan jadi mengingat Devan. Ia selalu menceritakan bahwa ia bertemu dengan mamanya. Pasti gadis itu yang dimaksud Devan. Nathan menghela nafas pelan, setidaknya dengan bertemu dengan gadis itu, ia bisa mengobati rasa rindunya terhadap sang istri.
***
Nathan memasuki kantornya dengan terburu-buru. Walaupun ia seorang bos, tetap saja ia memiliki rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Ia tak boleh telat sedikitpun, ia ingin menjadi sosok pemimpin yang bisa dijadikan panutan bukan hanya sebatas gelar.
Nathan mendesah pelan. Hampir saja ia terlambat. Kurang satu menit lagi. Ia mendudukan bokongnya pada kursi kebesaran miliknya. Tubuhnya cukup lelah karena mengejar waktu.
Baru saja ia melepaskan penatnya, tiba-tiba saja pintu terbuka. Nathan merolingkankan bola matanya malas ketika menyadari sosom yang baru saja masuk ke dalam ruangannya. Itu Jovian, sekretarisnya. Jovian masuk dengan senyuman lebar sekali. Firasat Nathan menjadi tidak enak.
"Ada apa?" Tanya Nathan judes.
"Saya sudah menemukan seseorang dibalik tikus kecil di perusahaan kita." Jawab Jovian bangga.
"Tumben, tidak biasanya kamu bekerja secepat ini."
"Anda meragukan saya? Bukankah saya adalah salah satu orang kepercayaan Anda? Jadi, tidak mungkin saya melakukan pekerjaan dengan tidak cepat."
"Baiklah. Saya percaya. Lantas, siapa seseorang dibalik tikus kecil itu?"
"Edgar."
"Edgar? Saya merasa tidak asing dengan nama itu."
Nathan berusaha mengingat-ingat. Siapakah sosok yang bernama Edgar itu? Mengapa ia sampai berbuat demikian terhadap perusahaannya? Atau ia pernah melakukan kesalahan terhadapnya pada masa lalu.
"Maksudmu, Edgar Emilio Grisham?"
"Betul sekali Pak."
Nathan mengepalkan tangannya erat. Benar dugaannya. Edgar adalah saingannya dalam dunia bisnis. Anak itu bisa melakukan apapun untuk menghancurkannya. Tapi, Nathan tak semudah itu untuk dihancurkan oleh sosok tengik seperti Edgar itu. Nathan akan membalas semuanya, seseorang yang telah membuat masalah dengannya. Tak akan ia biarkan, jika orang itu akan hidup tenang di atas pijakan kakinya.
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T
Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya. Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya."Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan."Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut. Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero."Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main
Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu. Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya. ***&n
Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. CEKLEK!  
Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin."Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey."Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey."Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir.""Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi.""Aku akan membawa
Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini. Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja. "Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas. "Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin. "Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengal
Devan bosan. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia begitu kebosanan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hari libur seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Bukan malah menjadikannya mati kebosanan. Ia melihat sang ayah yang sedang asik membaca buku tebal dengan kacamata tebalnya. Sang ayah terlihat begitu asik membaca buku tebal itu. Devan jadi penasaran, memangnya apa isi dalam buku itu? Sampai-sampao ayahnya suka sekali membaca bucu sejenisnya. Dengan segera ia bangkit dari sofa tempat ia tiduri. Ia segera menghampiri sang ayah yang masih memfokuskan pandangannya pada buku tebal miliknya. Kemudian, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang ayah. Mata besarnya melirik buku yang masih di pegang sang ayah. Devan mengernyit heran. Tidak ada yang menarik dari buku ini. Hanya tulisan-tulisan kecil yang begitu banyak sampai Devan tak begitu mengerti apa isi dari buku tersebut. Tidak s
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &