-Dua puluh lima menit sebelumnya-
Ketika Aline berusaha menghampiri John untuk menjelaskan perkara semalam. Saat itu pula orang suruhan Jibs mendekat ke arah Aline. Dengan cepat tangannya mengambil handphone yang ada di dalam tasnya. Beruntungnya tas tersebut dalam keadaan terbuka, itu memudahkan orang suruhan Jibs mengambilnya. Setelahnya dihapuslah foto tersebut bermaksud menghapus jejaknya dan dikembalikan pada tasnya bersamaan dengan riuhnya halaman kampus karena perdebatan antara John dan Aline.
Liciknya Jibs memang sudah di atas level tertinggi sederajat dengan iblis penghuni neraka jahanam. Dia sengaja melakukan itu karena mengetahui kalau Aline akan melapor pada pihak polisi. Maka, untuk menutup kasus bejatnya itu dia menyuruh orang agar menghapus foto tersebut. Sebab dia mengetahui John sudah menghapusnya dan bahkan dia pun telah mendapat informasi bahwa John tidak khawatir pada hilangnya Aline semalam.
"Line, sebaiknya kita harus m
Di dalam keterpakuan mereka berdua di dalam hotel, tiba-tiba dikejutkan oleh suara bel pintu yang berbunyi. Seketika pandangan mereka pun menyatu. "Kamu tidak bawa teman-teman yang lainnya juga 'kan?" tanya Catherine pada Paula. Paula hanya menggeleng disertai rasa penasaran dengan bergegas berjalan ke arah pintu. "Amie?" kejutnya begitu matanya mengintip pada lubang pintu. Paula pun perlahan membukanya. "Jangan khawatir, aku ke sini hanya untuk berbicara dengan ibumu satu hal." Amie menjelaskan, bermaksud supaya mereka tidak berpikiran yang tidak-tidak. Amie pun langsung masuk, sedangkan Catherine menghampirinya. "Bicaralah!" Catherine mempersilahkan bernada dingin. Catherine pada Amie sudah saling kenal satu sama lain semenjak kuliah di satu kampus yang sama. "Kita harus menikahkan anak-anak demi misi kita. Aku hanya ingin suamiku ke luar dari penjara terlebih lagi Jibs wajib membayar semua sakit hatiku!" jelas Amie sembari memandang wajah temannya ini dengan tajam. "Amie, dudu
Baru saja Paula hendak menjawab. Alex berbicara, "Bagaimana bisa hamil kalau Paula bersamaku? Kalau pun iya Paula hamil itu adalah anakku!" Alex dengan percaya diri mendekat ke arah Paula. Dia pun menepis genggaman tangan Steven hingga membuat lelaki bertubuh atletis dan berwajah tampan ini menggertak. "Tuan Jibs, pengawalmu ini telah menculik paksa anakmu. Dia bukan hanya menculik, tapi melecehkan harga dirinya. Alex ini tiada lain putra dari musuhmu!" "Apa?" Jibs terperangah. "Iya, Ayah. Dia sengaja menyamar menjadi orang kepercayaan Ayah, padahal tujuannya balas dendam." Paula membenarkan dengan menatap mata Alex sinis sekali. "Bohong, Tuan. Tuan telah mengetahui belasan tahun lamanya siapa saya ini." Alex membela diri. "Ha-ha. Pintarnya kamu bersandiwara, Alex." Tiba-tiba Dexe datang sembari tertawa menggema. Jibs menoleh ke arah suara. Semua ruangan menjadi ricuh. Sementara Rizwan dengan sigap menyuruh bawahannya untuk menutup semua akses ke luar dan masuk bermaksud agar se
"Rizwaaan!" teriakan terdengar dari ruangan Jibs itu membuatnya tergapah-gapah menghampiri begitu dirinya ke luar dari pintu lift. "Tadi siapa yang masuk ke dalam ruanganku?" bentak Jibs kalang kabut mencari benda-benda milik Alex yang diletakan di atas meja kerja. Rizwan bergegas ikut membantu mencarinya, akan tetapi barang-barang itu tidak ditemukan. Seketika pikiran Rizwan mengarah ke Steven yang berpapasan dengannya di depan lift. 'Kenapa dia ke luar tidak berbarengan dengan yang lain? Ke mana dulu dia?' pikirnya membuat dirinya mencurigai. "Tuan, Tuan harus telepon putri Tuan. Saya yakin kalau yang mencuri barang-barang Alex adalah kekasihnya." Ucap Rizwan seakan yakin bahwa yang mencurinya adalah Steven. "Kan, tadi dia sudah ke luar dari sini?" Jibs seolah tidak percaya. Rizwan pun menceritakan pertemuan tadi dengan Steven pada bosnya itu. Setelah mendengar cerita tersebut Jibs pun langsung mengambil handphone-nya dan dengan cepat menelpon Paula. Paula yang kebetulan masi
Perasaan sakit hati Aline pada Jibs mungkin diketahui terlambat. Ya, terlambat karena makhluk yang Aline anggap pahlawan itu tak ayal seperti seekor ular berbisa dan siap mengeluarkan bisanya kapan saja. Sementara Aline sendiri bukan hanya terkena bisa, tetapi telah ditelannya. "Bi Farida, aku bersumpah akan membalas semua ini." Amarah Aline terdengar di kuping Farida sangat membara. "Balaslah itu perlahan, agar setidaknya dia merasakan bagaimana kesakitan itu!" Farida menambahkan amarah itu dengan memercikan tetesan bensin. Dia pun mengobarkan dendam itu, "Ingat, rahasiakan anak asli dari Jibs sampai makhluk itu benar-benar telah merasakan penyesalan." Ulasan senyum tersimpul di bibir wanita cantik itu seketika, "Kamu akan benar-benar hancur, Jibs!" Hmm.***Ruang tamu mewah berfurniture ala Eropa ini sudah nampak hidup dengan bermacam-macam dekorasi cantik dan wangi parfume wood khas timur tengah yang merupakan kesukaan Jibs Choudry. Lelaki berwajah sangar berkumis tebal dan jam
Dua lelaki dewasa duduk berhadapan di dalam ruang kerja pribadi Jibs yang berada di lantai 3 ini. Pandangannya saling terpaut satu sama lain penuh enigma dari pikiran-pikirannya. 'Anak buahku sudah ada di dalam rumahmu! Jadi kalau kamu mau macam-macam mereka akan siap membombardir rumahmu!' batin Steven sembari tak berkedip menatap wajah Jibs yang jelas tak berkedip pula. 'Siapa kamu ini? Wajahmu tidak asing untukku!' lirih Jibs dalam senyap. Tok! Tok! Tiba-tiba suara ketukan pintu memudarkan pandangan mereka berdua. Knop pintu pun tak lama diputar dari luar, Marwa datang dengan senyuman beserta tangan membawa nampan yang di atasnya dua cangkir kopi tersaji. "Terima kasih, Marwa." Ucap Jibs sambil mengambil sodoran cangkir yang diberikan pelayannya itu. "Sama-sama, Tuan Jibs!" jawab Marwa sopan dan ramah sembari mengedipkan kedua matanya namun mengarah ke pada Steven. Sedangkan Steven langsung mengangguk pelan ke arah Marwa tanpa menimbulkan kecurigaan pada Jibs yang sedang
Setelahnya, Jibs pun berbicara perihal urusan pribadi dengan mesra pada Aline, ditanggapi olehnya masih sama seperti sebelum dia mengetahui kedok Jibs. Lalu, dari siapa Aline mengetahui kebejatan Jibs? -Flashback on- Wedding hall yang sangat luas dengan dekorasi formal nan mewah adalah tempat di mana acara pernikahan Aline & Jibs dilaksanakan. Gaun putih brukat sutra panjang menyapu lantai dikenakan Aline cocok sekali dengan lekukan tubuh seksinya. Langkahnya gemulai akan tetapi raut wajahnya tidak sebahagia pengantin wanita pada umumnya. Ya, Aline memang menyetujui proposal dari Jibs karena desakan orang tuanya. Juga, tak memungkiri dia sendiri resah akan perutnya yang sudah terisi janin hasil perkosaan itu. Tiada pilihan dan desakan membuat wanita cantik ini menurut tanpa debat. Paksaan telah membuatnya menjadi budak yang ikut majikannya. Terlebih lagi setengah hari sebelum pesta pernikahan teman kampusnya mendatanginya. Aline sedang termenung di depan kantin kampusnya sambil me
Siapa Amie? Siapa Aline? Teka- teki itu sudah meronta-ronta ingin cepat diketahui oleh Steven. Sangat aneh memang seorang anak tidak mengenal ibunya serta terlebih lagi ayahnya. Ironis sekali, apalagi perkawinan antara Aline dan Jibs disaksikan oleh orang tua Aline. Tapi, kenapa mereka seolah menutup mata? Jelasnya, siapa yang akan membuka mata pada lelaki licik seperti Jibs? Racun pun sepertinya akan seperti minuman segar dibuatnya. Amie menatap wajah Steven sangat dalam, dalam hingga Steven tak ada daya untuk menepisnya. Tatapan Amie bukan tanpa sebab, dia sangat mengingat bagaimana Aline datang pada dirinya tepat setelah melahirkan. Namun, tatapan itu terhenyak karena Steven menegurnya, "Ibu juga tidak peduli pada anak sendiri 'kan?" Amie bergeming mendengar itu walaupun ingin sekali bekata; aku pun tak sudi memiliki anak dari hasil perkosaan, terlebih lagi ayahnya berpura-pura seperti pahlawan. Spontan sekali bibir Amie pun menyimpulkan senyuman tipis. "Sangat peduli! Karena
Setelah acara, Farida pun pulang diantar oleh Steven memakai mobil pribadinya. Steven yang sudah mencium strategi ibunya dan Farida langsung saja mencecar pertanyaan pada wanita tua ini. "Tuan, nanti juga akan tahu semuanya. Ibu Tuan wanita luar biasa!" Farida hanya memberikan jawaban sesingkatnya. Kendati dirinya pun sudah tak sabar agar Steven mengetahui segalanya. "Bi Farida, Ibu kapan datang ke sini?" Ujar Steven meyakinkan akan penuturan yang telah didengarnya tadi. Akan tetapi telepon genggamnya berdering. Diliriknya layar smartphone di sebelahnya yang kebetulan ditaruh di pinggir jok mobilnya. "Ibu ini selalu saja tahu kalau aku sedang membicarakannya!" Ucap Steven serta tangannya menekan tanda terima kemudian dia pun berbicara menggunakan earphone. "Ibu sudah di apartemenmu. Jangan lupa ajak Bi Farida ke sini." Pemberitahuan Aline membuat Steven mengerlingkan matanya pada Bi Farida yang duduk di jok sebelahnya. "Ibuku pun memiliki kunci apartemenku? Dari mana dia dapatkan?"