"Ada apa, Ann. Kenapa wajahmu begitu? Apa Supnya tidak enak, Ann?" ucap Tante Sandra menyelidik dengan suara sedikit menyebalkan.
"Bu-bukan, Tante, hanya sedikit pedas," jawab Anne sambil menahan pedas. Wajah putihnya tampak memerah. Entah siapa yang menaburkan cabe bubuk diatas makanannya. Semua orang dirumah itu tahu, dia tidak bisa makan pedas.
"Apa makanannya terlalu pedas, Ann?" tanya Kakek sambil menatap Anne kasihan.
"Pap, ayolah ini baru hidangan pembuka. Kita ini baru makan Sup. Tidak ada pedas cabe sama sekali," ucap Om Erick sambil memutar bola mata malas.
Ya benar. Acara makan malam ini memang baru saja dimulai. Konon kabarnya malam ini mereka ingin mengenalkan Anne dengan calon suami dan mertuanya. Kata Tante Sandra mereka adalah rekan bisnis keluarga Atmaja. Tapi Anne sama sekali tidak mengenal mereka.
"Momy, Anne memang sangat memalukan. Tidak tahu sopan santun. Perilakunya sangat rendahan," cicit Miska kemudian.
"Coba minum juz alpukadnya, Ann. Supaya hilang pedasnya," Tante Sandra berkata sambil tersenyum miring menyuruh pelayan menuangkan juz Alpukad pada Anne.
Anne meraih gelas juz alpukad yang disodorkan padanya oleh pelayan segera. Tapi begitu dia meminumnya, dia spontan mengeluarkannya lagi karena tidak bisa dia telan.
Asin.
Semua mata menatapnya, Tante Sandra, Om Erick, Miska dan Raka menatap tajam Anne, tak terkecuali juga ketiga orang itu, siapa lagi kalau bukan calon suami dan calon mertuanya yang duduk diseberang meja. Mereka semua menatap Anne dengan jijik.
"Ann, kamu sungguh keterlaluan. Apa kami tidak pernah mengajarkanmu sopan santun. Kau merusak acara makan malam ini dengan kekonyolanmu itu. Tante malu, Ann," Tante Sandra merah padam. Dia tentunya sangat marah dengan Anne.
"Anne itu tuli, mom. Percuma momy mengajarkan sopan santun padanya," cecar Miska pedas.
"Seorang gadis tuli memang tidak layak tinggal dirumah ini, mom. Memalukan." Raka pria sombong itu berkata sesuka hatinya.
"Ma-maaf, Tante. Tapi Anne tidak salah, juz alpukadnya memang asin," Anne mencoba membela diri.
"Dasar anak tidak tahu diri kamu, Ann. Hanya bisa bikin malu keluarga saja. Kamu tidak layak menyandang nama Atmaja, Ann," Om Erick menahan amarahnya.
Anne mencoba menahan air matanya, jangan sampai mengalir. Di seberang sana keluarga calon suaminya menatapnya tajam mengintimidasi. Tidak ada tatapan yang memberi keadilan dari orang yang hadir disitu. Membuatnya semakin sesak.
Anne berjalan cepat meninggalkan ruang makan itu, sambil menahan airmata. Apa salahnya hingga dipermalukan didepan orang asing. Dan lebih menyedihkan lagi orang asing itu adalah keluarga dari orang yang dijodohkan dengannya. Bukankah selama ini dia selalu diam saja saat diperlakukan buruk oleh mereka, yang katanya adalah keluarganya.
Sejak kecelakaan beberapa tahun silam, kehidupannya berubah drastis. Kecelakaan itu tidak saja telah merenggut nyawa mama dan papanya, tapi juga telah membuatnya kehilangan pendengarannya. Dia masih bisa mendengar suara karena memakai alat bantu dengar dibelakang telinganya. Tapi cacian dan hinaan sebagai gadis tuli terus dia terima di rumah itu. Setiap hari dia selalu menjadi bulan-bulanan, entah sampai kapan akan berakhir.
"Ann, kau harus minta maaf pada Hanzel dan keluarganya," baru beberapa langkah dia berjalan, Om Erick mencekal lengannya kuat.
Diujung sana keluarga Hanzel berdiri bersiap pergi, setelah acara makan malam itu berantakan. Mungkin mereka kecewa.
"Ma-maaf telah merusak acara makan malam ini. Semua salah saya," ucap Anne berusaha tegar.
"Kenapa wanita seperti ini mau dijodohkan dengan Hanz, Sandra," Ayah Hanzel berujar menahan kecewa.
Anne menangkap senyum penuh kemenangan tersungging dari bibir Miska dan Raka. Seolah menertawakan nasib buruknya yang terlunta-lunta.
"Benar kata Om Federick, Mom. Hanzel lebih cocok dijodohkan dengan wanita yang berkelas, bukan dengan gadis tuli itu. Ya kan Om?" ujar Miska tersenyum manis pada Om Federick.
'Oh ... Jadi ini semua rencana Miska supaya aku tampak sangat buruk didepan keluarga Hanzel.' Anne menarik nafas panjang merasa tidak berdaya.
"Om, lain kali kita undang lagi dengan suasana yang berbeda," cicit Miska seraya mendekati Hanzel.
"Kau berhak mendapatkan wanita yang berkelas, Hanz. Bukan wanita tuli yang tidak berguna seperti dia," ucap Miska terdengar tidak tahu malu. Mencoba merayu Hanzel.
Sementara Anne semakin menunduk dalam. Menyadari dirinya begitu tidak berdaya seperti badut yang hanya jadi bahan lelucon saja. Tanpa dia sadari sepasang mata elang Hanzel terus mengawasinya dengan tatapan entah. Mungkin tatapan miris atau muak padanya. Duh ...
***Pagi telah menyapa, Anne terpaksa membuka matanya ketika jam wecker di samping ranjangnya sudah menjerit memekakkan telinga beberapa menit yang lalu. Setelah kejadian buruk di acara makan malam semalam, Dia sulit memejamkan matanya. Hingga hampir pagi menjelang dia baru bisa tidur. Tertidur sejenak, melupakan kejadian buruk dalam hidupnya, dan berharap setelah pagi datang. Semua itu hanya mimpi buruk yang segera berganti.Matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Embun pagipun masih menetes dari pucuk daun bunga mawar, ketika dia dengan cekatan memotong bunga mawar aneka warna di taman. Setiap pagi Anne selalu pergi ke taman, memetik bunga-bunga untuk di taruh di kamar Kakek.
Kaki jenjang Anne begitu lincah menaiki tangga menuju kamar Kakeknya.
"Selamat Pagi, Kakek. Semoga Pagi ini Kakek bahagia," sapa Anne sambil tersenyum semringah. Kakek Atmaja tersenyum memandang wajah cucu semata wayangnya itu. Tangan tuanya dengan lincah bicara dengan bahasa isyarat, membalas sapaan cucu cantiknya.
"Kakek sedang malas bicara ya?" tanya Anne sambil merapikan bunga-bunga yang dipetiknya tadi didalam Vas bunga di kamar Kakek.
"Tidak. Bicara denganmu pake bahasa isyarat sepertinya lebih nyaman. Tidak ada yang menguping," jawab kakek sambil terkekeh.
"Ann, semalem kakek mengkhawatirkanmu. Maaf kakek tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongmu disituasi itu," Kakek Atmaja berkata lirih.
"Anne baik-baik saja, Kek. Anne hanya kepedasan saja, tidak usah khawatir," senyumnya terbit, memamerkan sederet gigi dan lesung pipit dikedua pipinya. Senyum yang sangat indah. Anne tidak ingin pria tua didepannya itu mengkhawatirkannya, pria tua itu manggut-manggut. Kemudian dahinya mengernyit ketika netranya menangkap kegelisahan pada diri Anne.
"Kenapa? Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, Ann?" tanya kakeknya.
"Anne hanya berfikir, bagaimana jika Anne menerima tawaran teman-teman. Mereka butuh tenaga Anne, membantu mengelola yayasan tuna rungu, Kek," ucap Anne hati-hati. Dia berpikir, mungkin inilah kesempatan untuknya bisa keluar dari rumah ini.
"Apa kau bosan merawat kakek?" kakeknya menatap tajam.
"Tidak. Bukan begitu, Kek. Anne hanya berpikir untuk mencari pengalaman. Juga ingin bisa melakukan hal hebat diluar sana," ucapnya menerawang. Rasanya begitu sesak, ketika dia mengingat kejadian tadi malam. Kalimat-kalimat pedas menyayat hati harus dia dengar dan dia telan sendiri.
"Biarkan saja dia pergi, Grandpa. Hal hebat apa yang bisa dia lakukan bersama teman-temannya yang tuli itu. Itu hanya perkumpulan orang-orang yang menyedihkan. Hahaha ...." Tiba-tiba Miska sudah berada di belakang Anne, sejak dulu memang Miska tidak pernah menyukainya.
"Miska! Jaga bicaramu!" bentak kakeknya.
"Ayolah, Grandpa. Aku hanya bicara yang sebenarnya," Miska menatap kakeknya dengan berani.
"Jadi, tunggu apa lagi, Ann. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi. Ingat jangan mengambil barang berharga di rumah ini. Pergilah ... " usir Miska dengan memicingkan mata dan tersenyum miring.
"Miska! Jangan keterlaluan kamu!" Kakek Atmaja begitu geram melihat kelakuan Miska yang sok berkuasa di rumah itu.
Anne menatap kakeknya sekilas. Sebelum akhirnya dia melangkahkan kakinya keluar dari kamar Kakeknya dengan sedih.
Dia melangkah gontai, segera dia kemasi baju-baju yang ada di lemarinya. Dia masukkannya kedalam koper besar. Setelah semua selesai dia berjalan dengan menyeret kopernya menuruni tangga. Sementara dibawah, semua orang menatapnya acuh.
"Harusnya sejak dulu kita mengusirnya dari rumah ini, mommy. Supaya kejadian memalukan tadi malam tidak perlu terjadi. Ya kan, mom?" Miska begitu bahagia melihat Anne menyeret kopernya.
"Om Federick pasti segera memberi kabar tentang pembatalan perjodohan. Aku jamin itu. Hanzel tidak mungkin menerima perjodohan dengan si Gadis tuli. Hahaha ...." Raka berkata tajam.
Kata-kata tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan itulah yang mengantar Anne sampai dia keluar dari pintu utama Mansion. Dia menyeret kopernya keluar gerbang seorang diri. Security yang biasa berjaga di pos depan gerbang tidak nampak batang hidungnya, entah sedang dimana. Anne menyeret koper besar dan menunggu ojek online yang telah dia pesan untuk membawanya pergi dari situ.
Tapi belum juga lima menit dia menunggu, sebuah mobil Mercedez Benz GLS Class hitam berhenti di depannya.
"Ann, kau sedang apa?" tanya pria pemilik mobil itu. Anne terlonjak kaget menyadari siapa pria yang ada didepannya itu. Kenapa harus pria itu yang melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan seperti itu. Duh ...
Siapa pria itu ya?"Finn, benarkah itu kau?" Anne masih mematung ditempat, rasanya dia tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sementara Finn berlari kecil mendekati Anne. "hey ... apakah kau tidak merindukanku, Ann?" ucap Finn seraya merentangkan kedua tangannya lebar. Berharap Anne segera menghambur kedalam pelukannya seperti dulu. Dan tepat dugaan Finn, Anne segera menghambur kedalam pelukannya disertai isakan lirih terdengar dari bibirnya. "Kupikir kau sudah lupa padaku, Finn. Tak ingat jalan pulang." ucap Anne ditengah isaknya. Sudah lama sekali, tak terasa enam tahun sudah berlalu, sejak pertemuan terakhir mereka. Kala itu Anne mengantarnya di bandara karena Finn harus melanjutkan studi di Amerika. Finn hanya tersenyum mendengar celoteh Anne. Tentunya Finn juga merasakan kerinduan yang sama pada sepupu cantiknya itu.
"Ann, kamu harus tampil nanti malam," Bunda Nety ketua Yayasan tempat Anne bekerja mengabdikan diri, mencolek lengan Anne. Seminggu yang lalu Bunda Nety sudah mengabari bahwa nanti malam Yayasan akan bekerjasama dengan Perusahana Anugerah Karya mengadakan Konser Amal Galang Dana untuk tuna rungu. Konser Amal ini akan diadakan di Ballroom Hotel Santika Premiere Bintaro. "Semua acara sudah di handle panitia, Ann. Hanya saja panitia meminta salah satu dari kita untuk tampil di atas panggung," "Aduh, Anne mau menampilkan apa ya, Bun?" Anne tampak bingung. "Kamu pandai bermain piano, Ann. Bermainlah disana. Bermain musik adalah bakat yang sangat unik, tidak dimiliki orang tuna rungu." "Itu karena Anne kehilangan pendengaran sudah cukup dewasa, Bun. Sejak kecil Anne sudah pand
POV Hanzel Siapa pria itu, berani sekali mendekati Anne. Ingin rasanya kuumumkan di sini bahwa wanita itu adalah calon istri Hanzel Adi Wijaya. Tapi ... dia tadi pagi lari dari rumah karena menolak perjodohan ini. Diakah pria yang telah melarikan Anne tadi pagi? Huh, aku harus bagaimana? Kesal dihati hanya bisa kutelan sendiri. Bahkan Anne tidak peduli ada aku disini. Harusnya dia tahu aku ada disini, kenapa tidak mencariku. Setidaknya memberi penjelasan kenapa dia harus lari dengan pria lain. Tidak. Tidak boleh begini. Jangan sampai ada seorang gadispun yang berani menolak Hanzel. Akhirnya tak bisa lagi kutahan, aku berjalan mendekatinya
Mata Hanzel menyipit memandang wanita yang berjalan disamping Finn. Siapa dia? "Finn," "Hanz," "Elo disini?" Tanya Hanz " Iya, gue nganter mama gue," "Mam, kenalin. Ini Hanzel teman Finn kuliah di Harvard," Finn mengenalkan wanita tadi dengan sebutan mama. "Hanzel, Tante," Hanzel mengenalkan diri pada mamanya Finn. Wanita di depannya ini yang tadi membuat Hanzel sedikit tergetar hatinya. Wajahnya seperti mirip seseorang. "Sesama Lawyer ya kalian?" Tanya mama Finn. "Bukan, Tante. Kami beda jurusan. Hanzel kuliah jurusan Managemen Bisnis," jawab Hanz. "Oh, Finn ga mau jad
Miska membisikkan sesuatu di telinga Alex. Kemudian mata Alex membelalak sempurna. "What!" "Gimana, bagus kan rencana gue?" Miska tersenyum jahat. "Elo gila? Ogah, gue ga mau," tolak Alex. "Heleh, Cemen Lo," Miska memberengut. "Bukan gitu, ini tindakan kriminal," protes Alex. "Kriminal apaan, prank doang. Seru tauk," Miska terus membujuk. "Gue jamin, Anne dan Hanzel batal nikah," Miska berusaha membujuk Alex. "Tar deh, gue pikirin lagi," jawab Alex lemah. "Kalau Lo nyerah sih ya udah, gue ga akan maksa juga. Gue bakal cari orang lain yang mau jalanin rencana gue. Tapi elo jangan nyesel kalau ga bisa dapetin Anne," M
Miska telah sampai di mansion ketika rembulan menggantung sendirian di langit. Entah kenapa malam ini bintang-bintang enggan menampakkan diri. Mungkin sedang malas melihat kehidupan di dunia yang semakin porak poranda karena ambisi dan kerakusan manusia. Mansion tampak sepi, memang biasanya juga sepi. Bayangkan saja Mansion ini luasnya lebih dari 8000 meter persegi, tapi hanya di huni oleh lima orang manusia, belum termasuk dengan para pelayan, tukang kebun dan Security. Betapa sepinya. Mansion ini di bangun oleh Kakek Atmaja dengan fasilitas yang lengkap. Sejak anaknya Darren Atmaja menikah dan memiliki anak, Darren membangun taman bunga, di persembahkan spesial untuk Sherly istrinya dan Anne putri kesayangannya. Tapi semua kemewahan yang tampak indah di pelupuk mata ini, tidak mengisyaratkan makna sebuah kebahagiaan.
Ketika Anne melangkah keluar dari ruang depan asrama tuna rungu, dia berpapasan dengan dua orang pria yang salah satunya Anne kenal. Beliau adalah Om Federick papanya Hanzel. Sedang pria satunya kemungkinan relasi bisnis Om Federick, jika dilihat dari penampilannya yang masih mengenakan Jaz dan kemeja kantoran. Senyum dibibir Anne terbit, kemudian dengan ramah Anne menyapa mereka. Karena sekarang Anne adalah tuan rumah di Yayasan ini. "Selamat datang, Om Federick. Ada yang bisa Anne bantu?" sapa Anne ramah. Sebenarnya ada rasa sungkan dan rasa bersalah dalam diri Anne pada Om Federick, perihal malam itu saat makan malam. Tapi karena hari ini beliau adalah tamu maka sebisa mungkin Anne harus bersikap profesional. "Ann, kenalin ini teman Om, namanya Pak Ardian. Beliau ingin menj
"Tolong ... siapapun, tolong kami .... " Di tengah malam buta, saat cahaya rembulan sedang bersembunyi di balik awan gelap. Sedangkan bintang-bintang juga sedang begitu malas menampakkan diri. Sebuah mobil yang meluncur membelah jalan raya menuju puncak Bogor, tiba-tiba tak terkendali dan menghantam marka pembatas jalan. Mobil itu berguling beberapa kali hingga kemudian terbalik. Suara minta tolong itu terdengar menyayat hati. Tapi apa hendak dikata, malam ini tak ada satupun kendaraan yang lewat di tempat itu. Bahkan rintik hujan mulai turun mengguyur bumi, seolah meredam gejolak panas angkara murka. "Tolong, tolong kami," suara minta tolong itu terdengar semakin lirih. Dalam keadaan setengah sekarat, suara itu tak berputus asa meminta pertolongan.
Suasana tenang melingkupi area pemakaman Al Azhar memorial garden. Sepeninggal Dewangga pulang bersama polisi, Atmaja-pun pulang dianter Federick, sementara Anne ditemani Hanzel melanjutkan sekalian ziarah di makam orang tuanya. Apalagi besok adalah hari pernikahan mereka.Keduanya tampak khusyuk bersimpuh di depan dua makam di depan mereka. Di batu nisannya, bertuliskan Darren Atmaja, sementara yang satunya Sherly Putri Sudjatmiko. Ya, mereka adalah mama dan papa Anne."Ma, Pa, dia adalah pria yang mama pilihkan untuk Anne, namanya Hanzel," gumamnya di atas pusara orang tuanya.Dua netra bening telah dipenuhi dengan kaca-kaca yang hanya dengan sekali kedipan mata, akan luruh menjadi hujan."Om, Tante, terima kasih telah mempercayai saya untuk menjadi penjaga wanita ini, saya akan berusaha keras untuk menjaganya. Besok kami akan menikah, tenanglah di sana, semoga Allah menempatkan kalian di syurga-Nya," gumam Hanzel di depan pusara kedua orang tua Anne.
Dua orang pria tua duduk saling berhadapan dan saling membisu, tatapan mata keduanya bertemu akhirnya saling membuang wajah. Puluhan menit berlalu, tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibir keduanya."Kau ga ingin menghajarku?" tanya pria tua yang memakai baju Oren bertuliskan tahanan di punggungnya."Kau meledekku, hah? berdiri saja aku tidak mampu," jawab pria tua yang duduk di kursi roda."Tak kusangka Andini memilih pria lemah sepertimu," ejek pria berbaju oren.Keduanya tertawa miris. Ya, mereka adalah Atmaja dan Dewangga. Setelah sekian puluh tahun tak saling bertemu, tak saling menyapa, dan tak saling memberi kabar, akhirnya kini Tuhan mempertemukan mereka, di tempat yang tidak seharusnya.Ya, kini Dewangga ada di dalam penjara. Di tempat yang sama dengan Raka ditahan.Pagi ini Atmaja menjenguknya, menjenguk pria yang telah menghabisi anak semata wayangnya, Darren Atmaja."Apa tempatnya nyaman untukmu?" tanya At
Anne melangkah turun dari mobil dengan terburu-buru, sementara Hanzel mengawalnya di belakang. Mereka kini telah berada di kantor polisi, untuk menemui kakek Dewangga. Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam benaknya tentang alasan Dewangga menembak Raka. Anne menangkap keanehan tentang sikap Dewangga padanya. Mestinya pria tua itu tidak perlu mengorbankan dirinya meringkuk di penjara untuk orang yang baru sehari dia kenal, bukankah ini sangat aneh?Akan tetapi gadis itu sangat bersyukur pria tua yang baru dia kenal kemarin, telah melakukan sesuatu untuk mereka di saat yang tepat. Anne tidak bisa membayangkan jika Dewangga datang terlambat satu menit saja, akan lain ceritanya. Pasti saat itu kepala Hanzel yang harus terluka terkena pukulan Raka. Bagaimanapun semua pertanyaan itu harus terjawab hari ini.Finn yang sudah lebih dulu di kantor polisi, menyambut mereka dengan wajah penuh tanya."Kenapa, Hanz?" tanya Finn."Kakek Dewangga," jawab Hanzel
"Bunuh aku sekarang, Ka, aku ikhlas jika harus mati sekarang," jawab Anne lemah.Raka tertawa melihat Anne meringkuk di sudut kamar sambil ketakutan. Kemudian pria itu berjalan mendekatinya dengan bertelanjang dada, sementara Anne tampak semakin panik dan ketakutan tidak tahu harus berbuat apa. Hiks ..."Hahaha ... kemari, Ann!" ujar Raka di sela tawanya."Jangan mendekat, Ka!" pekik Anne."Hey, jangan teriak-teriak, Ann," ujar Raka menahan tawa."Pergi, Ka, pergi!" jerit Anne, mulai terisak.Raka geli melihat ekspresi Anne yang ketakutan. Padahal dia sebenarnya hanya bermaksud mengerjainya saja, supaya Anne berkata bersedia menjadi istrinya, tidak di sangka Anne benar-benar ketakutan melihatnya melepaskan kaosnya. Gadis itu mengira Raka akan melakukan hal yang tidak senonoh kepadanya, hingga membuatnya ketakutan. Baginya ini lebih menakutkan daripada dibunuh."Ann, udah, aku cuma becanda, ya ampun," hibur Raka, tapi Anne terlan
Hari ini Anne masih di Senggigi, semalam mereka menginap di resto milik Raka di tepian Senggigi. Karena setelah usai menikmati sunset, Anne tampak sudah terlalu lelah jika harus diajak pulang ke villa yang telah mereka sewa.Sementara Dewangga juga menginap di tempat yang sama atas permintaan Anne. Meskipun Raka keberatan, tapi akhirnya mengalah karena Anne bersikeras memberi tumpangan pada dewangga untuk menginap tadi malam.Siang ini Raka berniat mengajak Anne kembali ke villa, tapi Anne memaksa untuk membawa serta Dewangga bersama mereka. Raka tidak habis pikir dengan Anne, kenapa gadis itu begitu memaksa untuk memberi tumpangan pada Dewangga, padahal dia adalah orang asing.Kini mereka berdebat di tepi pantai."Ann, dia hanya orang asing, jangan terlalu baik," protes Raka ketika Anne memintanya untuk mengajak Dewangga sementara tinggal bersama mereka di villa."Ka, dia seusia kakek Atmaja, apa kamu ga kasihan?" bujuk Anne.Raka mem
Pintu kedatangan bandara internasional Zaenudin Abdul Madjid Lombok siang ini sangat padat, di luar tampak beberapa petugas sedang menunggu kedatangan Hanzel dan Finn serta dua polisi Surabaya yang terbang dari bandara Juanda sebelum dhuhur tadi."Kami sudah menunggu di luar, Pak," jawab salah satu polisi yang di dadanya tertulis nama Kompol Zakaria menjawab panggilan dari rombongan Hanzel."Baik, kami tunggu," jawabnya lagi seraya mematikan panggilan.Dia lalu memberikan informasi kepada anak buahnya untuk bersiap karena yang ditunggu sedang menuju di luar."Kalian bersiap, mereka sudah berjalan kemari," titahnya pada anak buah yang mendampingi."Siap, Ndan," jawab mereka serempak.Tak berapa lama kemudian, yang mereka tunggu telah muncul dari pintu keluar bandara, hingga terbit senyuman sang komandan seraya berjalan mendekat."Mari, Pak Finn, Pak Hanzel," sapanya.Mereka saling berjabat tangan, kemudian memberikan infor
Federick mendatangi mansion Atmaja bersama Elena. Mereka berdua merasakan ada kekhawatiran terhadap kondisi Atmaja, sejak beberapa hari lalu dia antar pulang dari kantor polisi, Federick belum sempat menengok ke mansion kakeknya Anne. "Bagaimana kabar anda, Pak Atmaja?" sapa Federick begitu Atmaja muncul didepannya. "Aku harus sehat sampai Anne ditemukan," jawab Atmaja diplomatis. Federick mengangguk membenarkan ucapan Atmaja. "Benar, anda harus sehat, mungkin Dewangga akan menghubungi anda, jika benar orang yang menguntit Anne selama ini adalah dia," saran Federick. Meski Atmaja ragu dengan ucapan Federick, tapi pria tua yang duduk di kursi roda itu yakin satu hal. Jika dulu Dewangga bisa khilaf karena kemarahannya pada Atmaja, hari ini dia pasti akan menyesali tengah membunuh anak dari wanita yang dicintainya. Karena Dewangga hanya terlalu mencintai. "Ada perkembangan informasi dari Surabaya?" tanya Atmaja. "Barusan, se
"Jadi, Kakek, menginap dimana nanti malam?" tanya Anne."Bolehkah, aku ikut bersamamu, Ann?" tanya Dewangga parau.Anne terkesiap, bukan maksud hati menolak, tapi keadaan dirinya saja hari ini sedang ditawan oleh Raka. Mana mungkin Raka mengijinkan ada orang asing bersama mereka. Entah kenapa Anne merasa bisa langsung akrab dengan kakek ini, padahal hari ini adalah pertemuan pertama mereka. Anne terdiam, dia menghela napas panjang."Apa kamu keberatan, Ann?" tanya Dewangga pelan."Bu-bukan begitu, Kakek. Tapi ....""Aku yang keberatan," sahut Raka seraya berjalan mendekat."Sudah kuduga," cibir Dewangga.Dewangga selama ini mengawasi Anne tentu saja sangat tahu detil apa yang sesungguhnya terjadi. Benar, pria tua ini bukan secara kebetulan bertemu dengan Anne di pantai senggigi, melainkan dia sengaja mengikuti Raka dan Anne.Tidak ada satu peristiwa pun yang terlewat dari pengamatan pria tua ini, ketika anak buahnya mengaba
"Mereka sudah ditemukan, Finn?" tanya Hanzel penasaran.Keduanya berjalan ke parkiran dengan terburu-buru karena rasa penasaran telah mendera mereka tentang keberadaan Anne yang sudah 4 hari ini hilang belum di temukan jejak keberadaannya.Finn menarik lengan Hanzel, mengajak berjalan lebih cepat menuju mobilnya ketika mereka sudah sampai di tempat mereka memarkirkan mobil."Ann, hari ini aku akan menemukanmu," gumam Hanzel berharap.Lumpia dan beberapa makanan lain yang tadi dia beli di geletakkan begitu saja di jok belakang. Rasa penasaran telah mengalahkan rasa lapar yang tadi terasa membuncah ingin segera diberi makan."Gue harap setidaknya jejaknya telah ditemukan, Hanz. Mereka jelaskan detilnya di hotel," jawab Finn.Hanzel mengangguk. Mereka meluncur meninggalkan tugu pahlawan Surabaya, kembali menuju hotel. Hanzel begitu berharap jejak Anne telah ditemukan, setidaknya bisa melanjutkan pencarian dengan pasti. Tidak hanya sekedar