POV Hanzel Siapa pria itu, berani sekali mendekati Anne. Ingin rasanya kuumumkan di sini bahwa wanita itu adalah calon istri Hanzel Adi Wijaya. Tapi ... dia tadi pagi lari dari rumah karena menolak perjodohan ini. Diakah pria yang telah melarikan Anne tadi pagi? Huh, aku harus bagaimana? Kesal dihati hanya bisa kutelan sendiri. Bahkan Anne tidak peduli ada aku disini. Harusnya dia tahu aku ada disini, kenapa tidak mencariku. Setidaknya memberi penjelasan kenapa dia harus lari dengan pria lain. Tidak. Tidak boleh begini. Jangan sampai ada seorang gadispun yang berani menolak Hanzel. Akhirnya tak bisa lagi kutahan, aku berjalan mendekatinya
Mata Hanzel menyipit memandang wanita yang berjalan disamping Finn. Siapa dia? "Finn," "Hanz," "Elo disini?" Tanya Hanz " Iya, gue nganter mama gue," "Mam, kenalin. Ini Hanzel teman Finn kuliah di Harvard," Finn mengenalkan wanita tadi dengan sebutan mama. "Hanzel, Tante," Hanzel mengenalkan diri pada mamanya Finn. Wanita di depannya ini yang tadi membuat Hanzel sedikit tergetar hatinya. Wajahnya seperti mirip seseorang. "Sesama Lawyer ya kalian?" Tanya mama Finn. "Bukan, Tante. Kami beda jurusan. Hanzel kuliah jurusan Managemen Bisnis," jawab Hanz. "Oh, Finn ga mau jad
Miska membisikkan sesuatu di telinga Alex. Kemudian mata Alex membelalak sempurna. "What!" "Gimana, bagus kan rencana gue?" Miska tersenyum jahat. "Elo gila? Ogah, gue ga mau," tolak Alex. "Heleh, Cemen Lo," Miska memberengut. "Bukan gitu, ini tindakan kriminal," protes Alex. "Kriminal apaan, prank doang. Seru tauk," Miska terus membujuk. "Gue jamin, Anne dan Hanzel batal nikah," Miska berusaha membujuk Alex. "Tar deh, gue pikirin lagi," jawab Alex lemah. "Kalau Lo nyerah sih ya udah, gue ga akan maksa juga. Gue bakal cari orang lain yang mau jalanin rencana gue. Tapi elo jangan nyesel kalau ga bisa dapetin Anne," M
Miska telah sampai di mansion ketika rembulan menggantung sendirian di langit. Entah kenapa malam ini bintang-bintang enggan menampakkan diri. Mungkin sedang malas melihat kehidupan di dunia yang semakin porak poranda karena ambisi dan kerakusan manusia. Mansion tampak sepi, memang biasanya juga sepi. Bayangkan saja Mansion ini luasnya lebih dari 8000 meter persegi, tapi hanya di huni oleh lima orang manusia, belum termasuk dengan para pelayan, tukang kebun dan Security. Betapa sepinya. Mansion ini di bangun oleh Kakek Atmaja dengan fasilitas yang lengkap. Sejak anaknya Darren Atmaja menikah dan memiliki anak, Darren membangun taman bunga, di persembahkan spesial untuk Sherly istrinya dan Anne putri kesayangannya. Tapi semua kemewahan yang tampak indah di pelupuk mata ini, tidak mengisyaratkan makna sebuah kebahagiaan.
Ketika Anne melangkah keluar dari ruang depan asrama tuna rungu, dia berpapasan dengan dua orang pria yang salah satunya Anne kenal. Beliau adalah Om Federick papanya Hanzel. Sedang pria satunya kemungkinan relasi bisnis Om Federick, jika dilihat dari penampilannya yang masih mengenakan Jaz dan kemeja kantoran. Senyum dibibir Anne terbit, kemudian dengan ramah Anne menyapa mereka. Karena sekarang Anne adalah tuan rumah di Yayasan ini. "Selamat datang, Om Federick. Ada yang bisa Anne bantu?" sapa Anne ramah. Sebenarnya ada rasa sungkan dan rasa bersalah dalam diri Anne pada Om Federick, perihal malam itu saat makan malam. Tapi karena hari ini beliau adalah tamu maka sebisa mungkin Anne harus bersikap profesional. "Ann, kenalin ini teman Om, namanya Pak Ardian. Beliau ingin menj
"Tolong ... siapapun, tolong kami .... " Di tengah malam buta, saat cahaya rembulan sedang bersembunyi di balik awan gelap. Sedangkan bintang-bintang juga sedang begitu malas menampakkan diri. Sebuah mobil yang meluncur membelah jalan raya menuju puncak Bogor, tiba-tiba tak terkendali dan menghantam marka pembatas jalan. Mobil itu berguling beberapa kali hingga kemudian terbalik. Suara minta tolong itu terdengar menyayat hati. Tapi apa hendak dikata, malam ini tak ada satupun kendaraan yang lewat di tempat itu. Bahkan rintik hujan mulai turun mengguyur bumi, seolah meredam gejolak panas angkara murka. "Tolong, tolong kami," suara minta tolong itu terdengar semakin lirih. Dalam keadaan setengah sekarat, suara itu tak berputus asa meminta pertolongan.
Federick membaca berkas laporan yang dikirim seseorang di email-nya. Dari ekspresi wajahnya menampakkan keseriusan, seolah sedang memeriksa laporan penting."Hmmm, jadi begini, dasar licik," desisnya geram.Dia masih begitu serius membaca email itu, ketika terdengar dering panggilan telepon di Smartphone nya."Ya.""Teruskan saja, jangan ada yang terlewat!""Okay, kutunggu laporannya."Demikian instruksi yang dia perintahkan pada orang di seberang sana. Setelah dia menutup telepon, Federick kembali sibuk dengan laptopnya."Gue akan membongkar semua misteri ini untuk elo, semoga elo tenang di sana, Sher," gumamnya pelan.Federick Adi Wijaya menghembuskan nafas panjang. Dia terkenang dengan masa sekian puluh tahun yang lalu. Ketika dia masih memakai seragam putih abu."Sher
Finn melangkah meninggalkan restoran dengan geram. Nafsu makannya mendadak hilang saat melihat Hanzel sedang memeluk Anne di restoran tadi.Langkahnya tergesa menuju mobilnya, tak butuh waktu lama kemudian meluncur meninggalkan restoran itu secepat kilat. Finn memukul setir mobil geram."Gue udah bilang sama elo, kalo Anne spesial banget buat gue, Hanz," gumam Finn.Kemudian Finn melajukan mobilnya menuju rumahnya dengan mood yang sangat buruk. Sesampai rumah, dia melihat Mama Merry sedang membaca novel kesukaannya di sofa ruang keluarga. Merry menghentikan aktivitasnya saat melihat Finn tampak kesal."Ada apa, Finn?" tanyanya."Finn lagi kesel, Mam," jawabnya sambil menyandarkan punggungnya di kursi."Mama juga tahu kalo kamu kesel, wajahnya aja ditekuk-tekuk gitu. Maksudnya ada masalah apa?" tanya Merry."Han
Suasana tenang melingkupi area pemakaman Al Azhar memorial garden. Sepeninggal Dewangga pulang bersama polisi, Atmaja-pun pulang dianter Federick, sementara Anne ditemani Hanzel melanjutkan sekalian ziarah di makam orang tuanya. Apalagi besok adalah hari pernikahan mereka.Keduanya tampak khusyuk bersimpuh di depan dua makam di depan mereka. Di batu nisannya, bertuliskan Darren Atmaja, sementara yang satunya Sherly Putri Sudjatmiko. Ya, mereka adalah mama dan papa Anne."Ma, Pa, dia adalah pria yang mama pilihkan untuk Anne, namanya Hanzel," gumamnya di atas pusara orang tuanya.Dua netra bening telah dipenuhi dengan kaca-kaca yang hanya dengan sekali kedipan mata, akan luruh menjadi hujan."Om, Tante, terima kasih telah mempercayai saya untuk menjadi penjaga wanita ini, saya akan berusaha keras untuk menjaganya. Besok kami akan menikah, tenanglah di sana, semoga Allah menempatkan kalian di syurga-Nya," gumam Hanzel di depan pusara kedua orang tua Anne.
Dua orang pria tua duduk saling berhadapan dan saling membisu, tatapan mata keduanya bertemu akhirnya saling membuang wajah. Puluhan menit berlalu, tanpa sepatah katapun yang terucap dari bibir keduanya."Kau ga ingin menghajarku?" tanya pria tua yang memakai baju Oren bertuliskan tahanan di punggungnya."Kau meledekku, hah? berdiri saja aku tidak mampu," jawab pria tua yang duduk di kursi roda."Tak kusangka Andini memilih pria lemah sepertimu," ejek pria berbaju oren.Keduanya tertawa miris. Ya, mereka adalah Atmaja dan Dewangga. Setelah sekian puluh tahun tak saling bertemu, tak saling menyapa, dan tak saling memberi kabar, akhirnya kini Tuhan mempertemukan mereka, di tempat yang tidak seharusnya.Ya, kini Dewangga ada di dalam penjara. Di tempat yang sama dengan Raka ditahan.Pagi ini Atmaja menjenguknya, menjenguk pria yang telah menghabisi anak semata wayangnya, Darren Atmaja."Apa tempatnya nyaman untukmu?" tanya At
Anne melangkah turun dari mobil dengan terburu-buru, sementara Hanzel mengawalnya di belakang. Mereka kini telah berada di kantor polisi, untuk menemui kakek Dewangga. Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam benaknya tentang alasan Dewangga menembak Raka. Anne menangkap keanehan tentang sikap Dewangga padanya. Mestinya pria tua itu tidak perlu mengorbankan dirinya meringkuk di penjara untuk orang yang baru sehari dia kenal, bukankah ini sangat aneh?Akan tetapi gadis itu sangat bersyukur pria tua yang baru dia kenal kemarin, telah melakukan sesuatu untuk mereka di saat yang tepat. Anne tidak bisa membayangkan jika Dewangga datang terlambat satu menit saja, akan lain ceritanya. Pasti saat itu kepala Hanzel yang harus terluka terkena pukulan Raka. Bagaimanapun semua pertanyaan itu harus terjawab hari ini.Finn yang sudah lebih dulu di kantor polisi, menyambut mereka dengan wajah penuh tanya."Kenapa, Hanz?" tanya Finn."Kakek Dewangga," jawab Hanzel
"Bunuh aku sekarang, Ka, aku ikhlas jika harus mati sekarang," jawab Anne lemah.Raka tertawa melihat Anne meringkuk di sudut kamar sambil ketakutan. Kemudian pria itu berjalan mendekatinya dengan bertelanjang dada, sementara Anne tampak semakin panik dan ketakutan tidak tahu harus berbuat apa. Hiks ..."Hahaha ... kemari, Ann!" ujar Raka di sela tawanya."Jangan mendekat, Ka!" pekik Anne."Hey, jangan teriak-teriak, Ann," ujar Raka menahan tawa."Pergi, Ka, pergi!" jerit Anne, mulai terisak.Raka geli melihat ekspresi Anne yang ketakutan. Padahal dia sebenarnya hanya bermaksud mengerjainya saja, supaya Anne berkata bersedia menjadi istrinya, tidak di sangka Anne benar-benar ketakutan melihatnya melepaskan kaosnya. Gadis itu mengira Raka akan melakukan hal yang tidak senonoh kepadanya, hingga membuatnya ketakutan. Baginya ini lebih menakutkan daripada dibunuh."Ann, udah, aku cuma becanda, ya ampun," hibur Raka, tapi Anne terlan
Hari ini Anne masih di Senggigi, semalam mereka menginap di resto milik Raka di tepian Senggigi. Karena setelah usai menikmati sunset, Anne tampak sudah terlalu lelah jika harus diajak pulang ke villa yang telah mereka sewa.Sementara Dewangga juga menginap di tempat yang sama atas permintaan Anne. Meskipun Raka keberatan, tapi akhirnya mengalah karena Anne bersikeras memberi tumpangan pada dewangga untuk menginap tadi malam.Siang ini Raka berniat mengajak Anne kembali ke villa, tapi Anne memaksa untuk membawa serta Dewangga bersama mereka. Raka tidak habis pikir dengan Anne, kenapa gadis itu begitu memaksa untuk memberi tumpangan pada Dewangga, padahal dia adalah orang asing.Kini mereka berdebat di tepi pantai."Ann, dia hanya orang asing, jangan terlalu baik," protes Raka ketika Anne memintanya untuk mengajak Dewangga sementara tinggal bersama mereka di villa."Ka, dia seusia kakek Atmaja, apa kamu ga kasihan?" bujuk Anne.Raka mem
Pintu kedatangan bandara internasional Zaenudin Abdul Madjid Lombok siang ini sangat padat, di luar tampak beberapa petugas sedang menunggu kedatangan Hanzel dan Finn serta dua polisi Surabaya yang terbang dari bandara Juanda sebelum dhuhur tadi."Kami sudah menunggu di luar, Pak," jawab salah satu polisi yang di dadanya tertulis nama Kompol Zakaria menjawab panggilan dari rombongan Hanzel."Baik, kami tunggu," jawabnya lagi seraya mematikan panggilan.Dia lalu memberikan informasi kepada anak buahnya untuk bersiap karena yang ditunggu sedang menuju di luar."Kalian bersiap, mereka sudah berjalan kemari," titahnya pada anak buah yang mendampingi."Siap, Ndan," jawab mereka serempak.Tak berapa lama kemudian, yang mereka tunggu telah muncul dari pintu keluar bandara, hingga terbit senyuman sang komandan seraya berjalan mendekat."Mari, Pak Finn, Pak Hanzel," sapanya.Mereka saling berjabat tangan, kemudian memberikan infor
Federick mendatangi mansion Atmaja bersama Elena. Mereka berdua merasakan ada kekhawatiran terhadap kondisi Atmaja, sejak beberapa hari lalu dia antar pulang dari kantor polisi, Federick belum sempat menengok ke mansion kakeknya Anne. "Bagaimana kabar anda, Pak Atmaja?" sapa Federick begitu Atmaja muncul didepannya. "Aku harus sehat sampai Anne ditemukan," jawab Atmaja diplomatis. Federick mengangguk membenarkan ucapan Atmaja. "Benar, anda harus sehat, mungkin Dewangga akan menghubungi anda, jika benar orang yang menguntit Anne selama ini adalah dia," saran Federick. Meski Atmaja ragu dengan ucapan Federick, tapi pria tua yang duduk di kursi roda itu yakin satu hal. Jika dulu Dewangga bisa khilaf karena kemarahannya pada Atmaja, hari ini dia pasti akan menyesali tengah membunuh anak dari wanita yang dicintainya. Karena Dewangga hanya terlalu mencintai. "Ada perkembangan informasi dari Surabaya?" tanya Atmaja. "Barusan, se
"Jadi, Kakek, menginap dimana nanti malam?" tanya Anne."Bolehkah, aku ikut bersamamu, Ann?" tanya Dewangga parau.Anne terkesiap, bukan maksud hati menolak, tapi keadaan dirinya saja hari ini sedang ditawan oleh Raka. Mana mungkin Raka mengijinkan ada orang asing bersama mereka. Entah kenapa Anne merasa bisa langsung akrab dengan kakek ini, padahal hari ini adalah pertemuan pertama mereka. Anne terdiam, dia menghela napas panjang."Apa kamu keberatan, Ann?" tanya Dewangga pelan."Bu-bukan begitu, Kakek. Tapi ....""Aku yang keberatan," sahut Raka seraya berjalan mendekat."Sudah kuduga," cibir Dewangga.Dewangga selama ini mengawasi Anne tentu saja sangat tahu detil apa yang sesungguhnya terjadi. Benar, pria tua ini bukan secara kebetulan bertemu dengan Anne di pantai senggigi, melainkan dia sengaja mengikuti Raka dan Anne.Tidak ada satu peristiwa pun yang terlewat dari pengamatan pria tua ini, ketika anak buahnya mengaba
"Mereka sudah ditemukan, Finn?" tanya Hanzel penasaran.Keduanya berjalan ke parkiran dengan terburu-buru karena rasa penasaran telah mendera mereka tentang keberadaan Anne yang sudah 4 hari ini hilang belum di temukan jejak keberadaannya.Finn menarik lengan Hanzel, mengajak berjalan lebih cepat menuju mobilnya ketika mereka sudah sampai di tempat mereka memarkirkan mobil."Ann, hari ini aku akan menemukanmu," gumam Hanzel berharap.Lumpia dan beberapa makanan lain yang tadi dia beli di geletakkan begitu saja di jok belakang. Rasa penasaran telah mengalahkan rasa lapar yang tadi terasa membuncah ingin segera diberi makan."Gue harap setidaknya jejaknya telah ditemukan, Hanz. Mereka jelaskan detilnya di hotel," jawab Finn.Hanzel mengangguk. Mereka meluncur meninggalkan tugu pahlawan Surabaya, kembali menuju hotel. Hanzel begitu berharap jejak Anne telah ditemukan, setidaknya bisa melanjutkan pencarian dengan pasti. Tidak hanya sekedar