Share

Mahligai

last update Last Updated: 2021-08-04 22:02:29

Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.

Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.

Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.

Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang kerja para jajaran manajemen F&B dialihkan ke sebuah area luas tanpa penyekat bergabung menjadi satu dengan General Administration dan Front Office.

Area kerja Laila dan kawan-kawannya diapit oleh General Administration dan F&B. Selama satu hari penuh, semua staf ketiga departemen tersebut sibuk memindahkan dan mengatur meja kerja masing-masing. Laila lebih dahulu membereskan mejanya. Ia memang cekatan, walaupun mengenakan rok dan high heels tetapi tak sungkan mengangkat benda yang besar dan berat. Bahkan ia sanggup memasang kembali perangkat komputernya sampai menyala kembali seperti sedia kala. Hendro memposisikan mejanya berdekatan dengan Laila.

Saat Laila dan Hendro tengah asyik dalam pekerjaan masing-masing, Wendi dan Elsa masih merapikan meja mereka.

“Wah, asyik, niy, bisa sekamar sama cowok-cowok.” Elsa mengomentari sambil terus bekerja. Matanya mengerling ke arah Hendro yang serius.

What do you say?” Wendi yang berkebangsaan Italia bertanya.

I said, it’s great to share a room with guys.

Oh, yeah. We will be working together with the men at the same area, means we will be at the same room.” Wendi menyahut dengan wajah tetap datar. Perempuan cantik berambut pirang dan bermata jeli tersebut memang tidak terlalu ekspresif, bahkan sering terlihat jutek.

“Hendro, do you love to watch what we do at the cupboard? Hihihi.” Kali ini suara Elsa terdengar menggoda. Ia bekerja dan berbicara sambil terus mengerling ke arah Hendro.

Yeah. Do you?” Wendi turut menambah.

No, I don’t like to watch you, girls, but I love to watch my wife.” Kata Hendro dengan diplomatis.

Kedua perempuan tersebut pun tertawa. Lebih tepatnya Wendi ikut tertawa melihat Elsa tertawa.

He would ‘ask’ Laila for more.” kata Elsa kepada Wendi.

What he said?” Wendi bertanya penasaran yang langsung dijelaskan oleh Elsa.

Yeah.” Wendi pun menyetujui pendapat Elsa.

Laila bergeming pada pekerjaannya. Ia sudah terbiasa dengan celoteh genit kedua perempuan tersebut.

Wendi dan Elsa, keduanya berada di bawah departemen yang dimanajeri oleh Laila. Elsa adalah Room Reservation Supervisor, sementara Wendi adalah Revenue Management Manager.

Sementara itu masuklah Aila beserta dua orang staf Housekeeping yang dipanggilnya untuk membereskan meja. Sesaat kemudian ia memanggil Rikardo, salah seorang staf IT berdarah Kupang untuk membereskan perangkat komputernya sampai menyala kembali. Ia sendiri berdiri sambil melipat kedua tangan di dada, memantau ketiga laki-laki suruhannya bekerja. Dalam sepuluh menit, meja Alia sudah kembali seperti sewaktu masih di ruang F&B. Perempuan berkulit putih berambut lurus pendek sebahu tersebut meletakkan sebuah kaktus kecil, menghiasi sudut mejanya.

Elsa dan Wendi yang memposisikan mejanya di seberang Laila, menghentikan percakapan mereka, pada akhirnya turut tenggelam dalam pekerjaan.

Meja Aila terletak seberang Hendro. Desas-desus yang menyeruak mengatakan bahwa ia sering terlihat seperti tak ingin berjauhan dari laki-laki menawan tersebut.

Kring… kring…

Bunyi dering pendek dua kali berbunyi dari meja Alia, menandakan ada panggilan dari dalam gedung.

“Laila.”

“Bu, ini ada tamu dari kamar 203 mau komplain masalah makanan. Dia bilang mau bicara sama manajernya langsung, tidak mau bicara sama saya.” kata sebuah suara perempuan muda di seberang.

“Oke, Lisa. Cantona, ya?” kata Laila yang menjawab telepon sambil membuka system reservasi di komputernya.

“Betul, Bu.”

Tak lama kemudian Laila telah menyimak serangkaian kalimat dalam bahasa Inggris melalui teleponnya, suara sesosok laki-laki berdialek Asia. Gagang telepon diapit diantara telinga dan pundak kiri sementara tangan kanan siap dengan catatan. Sesekali Laila menanyakan informasi detail, terkadang menyuarakan rasa prihatin.

Uhuh? Uhuh? Hm… I see… Yeah, right... Okey… I am sorry for the inconvenience. We will get back to you shortly.” Laila menutup pembicaraan dengan tamunya.

Hendro terlihat memusatkan perhatian. Tanpa disadari oleh Laila, ia mendengarkan seluruh pembicaraan sang Front Office and Reservation Manager dengan tamu kamar 203.

Sejurus kemudian Laila berdiri sambil memegang catatan keluhan tamu, ia seperti hendak beranjak dari posisinya. Sebuah cubitan lembut mendarat di paha Laila.

“Sini.” kata Hendro sambil mengangkat tangan kirinya.

“Eh, ada Chef di sini.” Laila terkejut. Ia pun memberikan catatan keluhan tamu kepada Hendro. Chef muda tersebut menyambut sambil menyentuhkan ujung jarinya ke tangan Laila lalu membaca isi catatan dengan cepat.

Aila memperhatikan semua adegan yang terjadi dengan mata melebar. Wajahnya terlihat menahan perasaan emosional, mungkin baginya itu sangat romantis. Laila dan Hendro memang salah satu dari sekian banyak pasangan yang disukai oleh rekan-rekan mereka.

Pasangan kekasih yang kini sudah menjadi suami-isteri tersebut sebetulnya tidak pernah mengumbar kemesraan di depan umum. Namun gesture kecil seperti tadi adalah sebuah pukulan berat bagi perempuan single seperti Aila.

Sungguh kasihan Aila, kisah kasihnya bukanlah seperti yang diharapkan sedangkan ia sudah berusaha menjadi perempuan baik. Ia berusaha tegar dengan kenyataan hidupnya akan tetapi tak kuat menahan rasa saat melihat keharmonisan pasangan suami-isteri. Aila yang rapuh begitu merana setiap kali diterpa vibrasi kebahagiaan Hendro dan Laila yang sangat kuat.

“Ada masalah apa, Hen?” tanya Alia kepada Hendro sambil menatap wajah rekannya itu lekat-lekat.

“Ini ….” Lalu Alia pun beranjak mengikuti ke mana Hendro melangkah. Kedua Chef de Party itu pun jalan bersisian. Dari ruangan besar masih terdengar suara Hendro dan Alia yang saling bertukar pikiran. Alia yang berkarakter dominan berusaha memberikan saran terbaik kepada Hendro, walaupun Hendro sendiri sebetulnya tidak begitu memerlukan saran siapa pun, akan tetapi ia ingin menghargai suara setiap rekannya. Mungkin itu sebabnya, Hendro tak memiliki banyak musuh. Semua dirangkul dengan baik oleh pria tersebut.

Laila, Elsa dan Wendi tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Sesekali terdengar suara mereka berdiskusi dari meja masing-masing. Tiga puluh menit kemudian, terdengar suara sepatu yang dihentakkan keras. Alia menghampiri meja Laila.

Tak… tok… tak… tok… tak… tok…

“Laila, kasus Cantona sudah done, ya. Gue yang ngurusin barusan. Jadi anak buah kamu salah mencatat pesanan tamu, Cantona harusnya sarapan jam enam pagi tapi karena tidak ada keterangan apa-apa, oleh anak dapur diantar jam tujuh seperti biasa ke kamarnya.” kata Aila dengan suara tegas dan keras sambil menatap Laila dengan matanya yang tajam. “Kita tadi membuatkan puding sebagai apologize untuk Cantona, expense ke Front Office karena ini kesalahan kamu.”

“Tidak usah, tetap ke F&B. Cantona sebetulnya tidak komplain keras. Dia cuma heran kenapa sarapannya datang jam tujuh bukan jam enam. Kalo dari makanan, dia suka, malahan tadi memuji makanan kita.” Tiba-tiba Hendro sudah berada di belakang Aila.

“Iya, tapi ini kan tetep kesalahan namanya.”

“Sudah, aku yang tanggung semuanya. Lagian berapa, siy, harga pudding. Nggak bikin F&B bangkrut.” Hendro meraih lembaran warna-warni yang dibawa oleh Alia lalu menandatanganinya. Tak lama kemudian dikembalikan kepada Alia, “Nih, kasih ke Accounting.”

Alia tak banyak bicara, Laila pun kembali menatap layar monitornya.

So, drama is over, shall we go for coffee?” tanya Wendi kepada seisi ruangan.

Sure, let’s go, Laila.” Elsa menjawab ajakan Wendi sambil beranjak dari mejanya.

Laila menurut. Namun sebelum bergabung dengan kedua rekannya itu, ia menghampiri Hendro yang telah kembali ke mejanya lalu memeluk belahan jiwanya tersebut dengan sangat kuat. Hendro pun mengusap punggung istrinya lalu mengecup keningnya.

--bersambung--

Related chapters

  • Sebelum Terlarang Untukku   Senandika Alia

    Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita

    Last Updated : 2021-08-10
  • Sebelum Terlarang Untukku   Be careful, Laila!

    “Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.“Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.“Dare to go to the beach?”“Yea!” Elsa lagi yang menjawab.Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.“Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.“I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!”Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.Sinar matahari

    Last Updated : 2021-08-10
  • Sebelum Terlarang Untukku   Hari Bahagia

    “Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun

    Last Updated : 2021-07-30
  • Sebelum Terlarang Untukku   Aku, Laila

    Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.Hendro, tahukah kau?Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk denga

    Last Updated : 2021-08-03
  • Sebelum Terlarang Untukku   Hendro

    Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan per

    Last Updated : 2021-08-03

Latest chapter

  • Sebelum Terlarang Untukku   Be careful, Laila!

    “Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.“Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.“Dare to go to the beach?”“Yea!” Elsa lagi yang menjawab.Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.“Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.“I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!”Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.Sinar matahari

  • Sebelum Terlarang Untukku   Senandika Alia

    Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita

  • Sebelum Terlarang Untukku   Mahligai

    Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang ker

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hendro

    Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan per

  • Sebelum Terlarang Untukku   Aku, Laila

    Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.Hendro, tahukah kau?Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk denga

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hari Bahagia

    “Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun

DMCA.com Protection Status