Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.
Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.
Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.
Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan pertama? Rasanya kita seperti sudah kenal lama. Entahlah di mana kita pernah bertemu, mungkin di hotel sebelumnya, aku tak ingat. Kau pun hanya tertawa dengan keherananku. Tawa yang ambigu sehingga membuatku malu, aku merasa berlebihan dalam hal ini.
Ah, mungkin memang hanya perasaanku saja. Buktinya kamu bisa cepat berbaur dengan setiap orang yang baru kau temui. Perasaanmu begitu halus, sehingga kau sanggup mengetahui karakter setiap orang dalam lima menit pertemuan. Berbincang dengamu bagaikan bertemu belahan jiwa, kau sanggup memahami semua kata-kataku.
Pak GM yang berdarah Eropa bahkan pernah secara khusus memintamu menilai karakter calon pegawai. Kuketahui betul hal itu ketika Departemen F & B merekrut tim dengan jumlah banyak oleh sebab perluasan restoran. Ngurah adalah salah satu pegawai yang mendapat sentuhan halusmu. Tak kusangka ada sebuah peristiwa yang membawa kita menjadi lebih dekat hingga aku bisa memilikimu.
Laila, ketika kita berbincang di meja Front Office, kupikir akan sama seperti saat bersama front liners yang lain. Mana kutahu ada sebuah jejak membekas di hatiku. Kamu tidak secantik wanita yang pernah kutemui, tetapi ada magnet dalam dirimu yang membuatku tak bosan berdekatan.
Apakah itu senyumanmu? Ataukah sorot matamu? Penampilanmu? Sungguh, aku tak pandai dalam memahami perempuan selain mengikuti intuisi ke mana magnet itu menarik. Namun satu hal yang pasti, aku yakin kamu adalah teman sejati.
Pagi itu aku mendengar Kevin berbicara padamu dengan suara tinggi. Aku tengah menuju restoran, tetapi kubelokkan langkah menuju area front office. Dari kejauhan dapat kudengar keluhan Kevin yang tajam akan masakan Ngurah. Ternyata benar dugaanku.
Mungkin Tuhan memang menuntun langkahku menuju kamu. Jika saja saat itu aku memutar melalui taman seperti biasanya, belum tentu kita akan menjadi sangat dekat. Bisa saja kau menghubungi bagian F&B lalu berbicara dengan Chef yang lain.
Laila, sebagai Chef aku berhak dan berkewajiban memantau perkembangan keluhan tamu. Sebetulnya aku tidak harus menyambangi mejamu setiap pagi. Bisa saja aku duduk di mejaku lalu berbicara denganmu lewat telepon lalu hubungan kita akan biasa-biasa saja.
Entahlah apa yang kupikirkan saat itu, yang kutahu kasus tersebut terasa beda. Padahal cuma keluhan mengenai sepotong steak yang keliru cara masak. Sepotong steak well done telah mempertemukan kita setiap pagi. Kita jadi memiliki aktifitas baru, berbincang di pagi nan sejuk dan tenang. Kenapa juga aku harus bertemu denganmu karena sebuah steak. Itu pasti bukan kebetulan.
Aku sungguh yakin, ada campur tangan Tuhan melalui perantara Ngurah dan steak-nya.
Laila, kasus Ngurah and steak--begitulah kami menyebutnya di area dapur—sebetulnya langsung selesai hari itu juga. Sisa hari berikutnya, ketika aku masih mengunjungimu di meja front office, kulakukan karena mengikuti naluri. Naluriku bilang, aku harus bertemu dan berbincag denganmu.
Pun, ketika Kevin dan kekasihnya check out. Rasanya aku harus mencari alasan baru untuk bertemu. Saat itu, tak biasanya aku memantau proses check out. Kuperhatikan semua aktifitas front liners sambil duduk di sampingmu. Tak kuhiraukan juga tatapan para front liners yang menggoda. They smell something in the air.
Laila, kenapa aku harus menangkap siluetmu ketika tengah memandangi taman. Di sela-sela waktu kerja, aku kerap melihatmu jalan-jalan sendirian. Kupandangi sosokmu melalui jendela restoran yang bening. Kepulangan Kevin membuatku kehilangan alasan berdua denganmu, tetapi rasanya tak apa jika aku mengajakmu keluar. Kita sudah terlanjur akrab.
Hari berikutnya, kubawa langkah ini mendekatimu saat kau tengah sendirian. Rasanya aku mulai menyukai pola pikirmu yang cerdas tetapi tetap bersikap humble. Kau terlihat anggun dan menawan dengan pembawaan ramahmu. Terkadang kau bertingkah konyol, tidak takut terlihat bodoh di depan orang. Malahan kau membuat semua senang dan tertawa.
Laila, aku pun manusia biasa yang bisa galau. Di saat senduku, kenapa hanya kamu yang teringat. Kau tak menolak ajakan jalan-jalan di pantai. Perempuan lain mungkin sudah merayu manja agar bisa jalan-jalan agak mewah, tetapi kau biarkan aku membawamu ke pantai yang sepi untuk sekedar duduk diam saja melarutkan kegetiran jiwaku. Tahu-tahu kita sudah terhanyut mengikuti curahan hati yang menyeruak dari lubuk hati paling dalam.
Laila, ingatkah kau aku pernah cuti untuk sekedar menengok ibuku di Jakarta? Ketika bertemu, ibu menggodaku. Ia bilang apakah aku ingin meminta restu karena sudah menemukan perempuan yang cocok. Aku hanya tertawa mendengar ucapan perempuan yang paling kuhormati tersebut. Akan tetapi ibuku tidak berhenti sampai di situ. Mungkin benar perempuan kesayanganku itu tengah mengorek informasi dariku, tetapi bisa saja ia sekedar ingin mendengar cerita keseharianku di Bali. Pada akhirnya aku telah menguraikan banyak hal tentangmu kepada ibu.
Ibu meminta untuk dipertemukan denganmu. Ia merencanakan sebuah liburan keluarga. Setelah kembaliku ke Bali, seminggu kemudian beramai-ramai dengan kedua kakak yang telah menikah juga satu adik yang masih single, ibu mengadakan acara makan bersama yang istimewa. Istimewa buatku. Buat kita.
Tentu saja diperlukan sebuah alasan kenapa kamu harus datang ke acara keluarga. Ibu beserta kakak-adikku menyempatkan diri datang ke hotel kita bekerja, lalu memperkenalkan diri kepadamu. Keluargaku memang kuajak berkeliling hotel tetapi itu semuanya hanyalah basa-basi menutupi tujuan utama kami. Mengakrabkan diri denganmu.
Tadinya aku sempat ragu, aku takut kau menolak atau pun beralasan sudah ada acara. Akan tetapi kau iyakan ajakan keluargaku, kau pasti tak tahu bahwa aku sangat gembira.
Aku menyadari usaha ibu mengoreksi keterangan lebih banyak tentangmu. Untunglah semua dalam keadaan riang gembira, kau pun cepat sekali akrab dengan keluargaku. Sungguh, aku kawatir jika usaha ibu menemui kegagalan. Aku takut kecewa. Aku takut hanya bertepuk sebelah tangan. Namun kuakui ibu sangat lihai, ia membuatmu nyaman dan jatuh cinta pada kami. Pada sebuah kesempatan menyendiri berdua, kau iyakan lamaran ibu untuk bersanding denganku. Aku menangis dalam diam ketika mengetahui kenyataan itu.
Laila, aku berjanji akan membahagiakanmu. Kuharap kita bersama selamanya.
“Mandi, yuk.”
Sebuah ajakan membuyarkan lamunanku. Ternyata kita masih berpelukan dalam diam. Kulepas rangkulanku padamu. Kau melangkah dengan tertatih. Ah, tentu saja.
“Sini.”
Kuraih tubuhmu lalu kubopong, kita pun mandi berdua.
--Bersambung--
Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang ker
Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita
“Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.“Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.“Dare to go to the beach?”“Yea!” Elsa lagi yang menjawab.Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.“Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.“I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!”Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.Sinar matahari
“Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun
Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.Hendro, tahukah kau?Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk denga
“Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.“Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.“Dare to go to the beach?”“Yea!” Elsa lagi yang menjawab.Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.“Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.“I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!”Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.Sinar matahari
Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita
Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang ker
Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan per
Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.Hendro, tahukah kau?Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk denga
“Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun