Share

Aku, Laila

last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-03 00:25:33

Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.

Hendro, tahukah kau?

Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.

Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk dengan tumpukan kertas, juga saat aku jalan-jalan di halaman resort yang teduh.

Aku menikmati setiap detik bersamamu. Denganmu seakan waktu bukan sahabat, ia selalu saja berlalu dengan cepatnya. Meninggalkan kita yang masih ingin terus berbincang.

Pada suatu ketika, kau pernah menanyakan jika kita pernah bertemu sebelumnya. Aku hanya tertawa karena meyakini kita baru bertemu, akan tetapi perasaanku senang ternyata kau merasakan hal yang sama. Waktu itu aku yakin sekali bahwa kaulah jodohku.

Andai saja Ngurah--tukang masak muda yang baru saja kau rekrut--tidak melakukan kekeliruan melayani tamu, mungkin kita tak akan pernah sedekat ini.

Di pagi hari yang bersejarah itu, aku menerima tamu bule yang begitu ganteng. Penampilannya membuat siapa pun terpesona seketika tetapi rasa dalam hatiku perlahan musnah seiring mendengar ucapannya yang begitu emosional. Ia ungkapkan kekeliruan Ngurah sejelas-jelasnya. Lelaki bertubuh tinggi, berambut pirang bernama Kevin itu merasa anak buahmu yang masih belia tersebut tidak memasak dengan baik. Ia bilang steak-nya terlalu kering, padahal yang dipesan setengah matang. Pria malang tersebut kecewa karena sebetulnya ingin makan malam yang romantis bersama sang kekasih. Namun sepotong steak telah berhasil menghancurkan rencananya.

Kuterima semua keluhan Kevin dengan penuh empati, ia pasti mengetahui rasa prihatinku melalui sorot mata. Pada akhirnya nada suara Kevin melembut seiring dengan ungkapan ‘I am sorry’ yang terlontar dariku.

Datanglah kamu dengan senyuman lebar dan wajah sumringah. Kembali sang bule Eropa tersebut menyampaikan keluhannya tapi kali ini dengan intonasi yang jauh menurun. Kamu mendengarkan sambil mengangguk-angguk lalu sepuluh menit kemudian ia pun pamit.

Hendro, bagimu tak ada masalah yang terlalu rumit. Semua dapat kau atasi dengan tenang. Aku menyukai karaktermu yang satu ini. Sungguh mirip dengan Cinta Pertamaku.

Semenjak pertemuan dengan Kevin, kau kerap menyambangi meja Front Office untuk menanyakan jika sang tamu ada keluhan lainnya ataukah sudah puas dengan layanan tim dapur. Aku ingat waktu itu setidaknya dua kali dalam sehari kau datang menemui. Terkadang kehadiranmu diiringi tertawa kecil para junior. Mereka menggodamu seakan kita tengah menjalin sebuah hubungan. Lima hari Kevin dan kekasih menginap, lima hari pula kita bertemu dalam suasana yang akrab.

Saat Kevin pulang, aku seperti sepi dalam keramaian. Tak ada lagi sosok Chef murah senyuman yang mendatangi mejaku setiap pagi. Namun demikian, kusimpan sendiri rasa itu.

Di suatu sore yang cerah, saat jam pulangku. Sesosok bermotor memelankan kendaraan roda duanya ketika sudah di dekatku. Ternyata kau. Sumpah mati aku girang melihatmu. Kurasa senyumku menjadi jauh lebih sumringah saat itu. Wajahku pasti bersemu. Kau mengajakku pulang bersama, sebab arah tujuan kita satu.

Kita tak banyak cakap, akan tetapi begitu saja aku sudah senang. Setiba di kosku yang berhalaman luas berpohon besar nan rindang. Kau sempatkan mengaso sambil mengagumi lingkungan kos yang asri berhawa sejuk. Keringat bermunculan di keningmu tapi kutahan diri menyentuhnya dengan tisu.

Aku ingin membalas kebaikanmu, kukeluarkan jus jeruk dari lemari pendingin untuk menyegarkanmu kembali. Kamu tampak menikmati suasana. Ketika kukembali ke teras, kau telah pulih kembali. Kau menegakkan posisi dudukmu lalu mulai bertanya padaku, apakah aku sudah punya kekasih. Kali ini parasmu tanpa senyuman. Aku berharap kau sungguh-sungguh, bukan hanya sekedar bertanya. Namun kutepis perasaan penuh harap tersebut keras-keras.

Kujawab bahwa aku belum punya kekasih. Kukatakan padamu bahwa aku tidak ingin menjalin hubungan tanpa restu, yang kuinginkan adalah sebuah mahligai nan suci yang kokoh. Wajahmu tercenung semakin dalam seakan merenungi kata-kataku.

Tiba-tiba kamu memujiku, kamu bilang aku baik banget. Kamu berharap mudah-mudahan yang menjadi suamiku orangnya juga baik. Aku sebetulnya agak kecewa mendengar kalimat tersebut, tetapi aku amini sambil tersenyum ringan. Tak lama kemudian, kamu pun pamitan.

Hendro, di hari-hari selanjutnya, kenapa aku merasa kau begitu memperhatikan aku? Sedangkan kamu begitu baik pada semua orang, jadi, kurasa aku tak berhak memiliki perasaan tersanjung itu. Hati kecilku ingin menepis segala harap tersebut, tetapi sikap manismu terus memberiku harapan.

Aku membawa perasaan tersebut dalam doa, sungguh aku takut jika ilusi tersebut menguat, mengakar karena hanya membuat aku terjatuh kecewa.

Pada sore hari yang berangin agak kuat, kita berdua jalan-jalan di pantai. Rasa penat mempertemukan kita sehingga untaian kalimat curhat tercurah cukup panjang lagi dalam. Kau ceritakan segala harapan dalam hidup, cita-citamu lalu kau ungkapkan juga latar belakang keluarga yang makmur. Aku pun berucap, semoga bertemu perempuan yang benar-benar memahami kamu.

Beberapa kali kita janjian jalan-jalan. Segala kemelut hidup pun terurai. Hati kita menemukan kecocokan. Relung jiwa saling mengisi. Saat tengah duduk di gazebo pinggir pantai, kau bertanya apakah aku mau berkenalan dengan orang tuamu. Aku jawab aku mau.

Kau pun mempertemukan aku dengan kedua orang tuamu di sebuah restoran bersuasana homey. Tak disangka kami langsung menyatu, suasana penuh dengan keakraban. Cerita demi cerita mengalir begitu saja dengan apa adanya. Dalam hati kuberteriak, tolong jangan membuatku berharap.

Rupanya Tuhan tak sedang menggodaku, ibumu yang cantik nan anggun mendekatiku sehingga kami tinggal berdua saja. Dia tanya apakah aku mau menjagamu dengan sepenuh hati. Ibumu mengaku bahwa ia terkesan dengan kepribadianku. Ia bilang ia percaya, aku sanggup mengemban tugas darinya.

Saat itu hatiku bagaikan kembang api tahun baru. Begitu meriah, kelap-kelip, menggelegar. Aku berjanji tidak akan mengecewakan ibumu. Kan kujaga kamu dengan sepenuh hati, kuusahakan untuk selalu memahami setiap arti kecewamu.

Senyumanmu pun menjadi lebih indah. Kau menjadi lebih tampan, atau kah hanya perasaanku saja. Hari-hari merajut harapan kita lewati dengan apa adanya. Tak ada impian yang muluk-muluk, hanya ada janji akan saling setia dan saling memahami.

“Sudah bangun?”

Aku terkejut lalu langsung tertawa malu. Kau terbangun kemudian membuyarkan lamunanku. Kau meraihku ke dalam pelukan lalu mencium bibirku yang masih menyungging senyuman. Kukendalikan diri agar seirama denganmu, lalu kedua bibirku menyambut hangatnya kecupanmu.

--Bersambung--

Bab terkait

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hendro

    Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan per

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Sebelum Terlarang Untukku   Mahligai

    Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang ker

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-04
  • Sebelum Terlarang Untukku   Senandika Alia

    Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-10
  • Sebelum Terlarang Untukku   Be careful, Laila!

    “Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.“Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.“Dare to go to the beach?”“Yea!” Elsa lagi yang menjawab.Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.“Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.“I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!”Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.Sinar matahari

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-10
  • Sebelum Terlarang Untukku   Hari Bahagia

    “Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30

Bab terbaru

  • Sebelum Terlarang Untukku   Be careful, Laila!

    “Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.“Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.“Dare to go to the beach?”“Yea!” Elsa lagi yang menjawab.Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.“Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.“I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!”Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.Sinar matahari

  • Sebelum Terlarang Untukku   Senandika Alia

    Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita

  • Sebelum Terlarang Untukku   Mahligai

    Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang ker

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hendro

    Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan per

  • Sebelum Terlarang Untukku   Aku, Laila

    Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.Hendro, tahukah kau?Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk denga

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hari Bahagia

    “Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun

DMCA.com Protection Status