Share

Be careful, Laila!

last update Last Updated: 2021-08-10 08:12:26

Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.

Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.

Dare to go to the beach?

Yea!” Elsa lagi yang menjawab.

Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.

Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.

I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!

Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.

Sinar matahari yang semburat keemasan menyirami pantai yang berpasir putih, saat itu tak banyak tamu sehingga ketiga sahabat leluasa menikmati waktu santai mereka. Wendi mengenakan kacamata hitamnya merebahkan diri di sunbed yang berjajar di sepanjang bibir pantai. Bagi Elsa, bukan ke pantai namanya jika tidak masuk ke laut. Perempuan ceria tersebut menenteng sandalnya sambil mendekati laut membiarkan kakinya dimainkan oleh ombak yang datang dan pergi. Sementara Laila bertelanjang kaki di pasir yang putih sambil menatap cakrawala serta mengawasi kedua rekannya, sesekali ia melangkahkan kaki pendek-pendek melemaskan persendian. Pasir yang lembut menghangatkan telapak kaki, lalu secara perlahan menghidupkan syaraf perasa melalui pori-pori terus melaju ke seluruh tubuh membagikan kebahagiaan yang turut mendingin. Ketiganya pasti merasa kaku di sekujur tubuh setelah seharian penuh bekerja di dalam ruangan ber-AC.

Ketika Laila tengah asyik memandangi ujung barat yang mulai berwarna-warni, sepasang tangan kekar memeluknya dari belakang. Laila berbalik. Terlihatlah wajah seorang suami yang merindu, begitu dekat dengan wajahnya yang telah kembali menghangat. Perempuan yang membiarkan rambut ombaknya terurai tersebut dengan serta merta membalas pelukan orang tercintanya.

Laila memejamkan mata seakan ingin menghidupkan sensori seluruh indranya lebih aktif lagi, ia menghirup udara dalam-dalam lalu dihembuskan kembali dengan lega, demikian pula Hendro. Tak lama kemudian mereka telah bergandengan tangan menyusuri pantai.

Melalui jendela bar yang besar dan jernih, Hendro melihat kepergian Laila dan kedua rekannya. Ia pun mengikuti ketiga perempuan tersebut lalu turut serta bergabung di pantai.

Hendro dan Laila adalah pasangan serasi, siapa pun akan terpesona melihat kehangatan keduanya. Walaupun menggandeng Laila, ia tidak hanya asyik sendiri tetapi disempatkan pula untuk menyapa siapa pun yang ditemui di pantai.

Wendi dan Elsa kembali ke kantor tanpa menanti kembalinya Laila ke tengah mereka. Alia masih saja di tempatnya duduk. Tak lama setelah Wendi dan Elsa duduk di meja masing-masing, Hendro dan Laila masuk ke dalam ruangan. Raut wajah Hendro terlihat segar, sementara Laila tampak bersemu. Jauh di lubuk hati kedua sahabat mengetahui yang tersirat, akan tetapi tak ada komentar apa pun dari Elsa dan Wendi. Berbeda dengan Alia, raut wajah perempuan berambut pendek tersebut berubah, sesaat setelah memperhatikan kedua pasangan romatis tersebut.

You know, it’s only a few minutes going home.” Tiba-tiba Alia bersuara.

I know.” Hendro menjawab komentar Alia.

Ketika Alia hendak membuka mulutnya lagi, Wendi mendahului, “It’s none of your business. At all. Do you have any problem with that?

No.

Good. Keep it that way.

***

Gelap tak selalu kelam, buktinya kopi hitam yang manis dapat memberikan kejutan kepada raga yang mengantuk. Alia menyesap kopi hitamnya yang tersisa sambil duduk santai di bar. Matahari terlihat malu-malu mengintip di ufuk timur, melemparkan semburat keemasan yang membiru.

Ali tiba terlebih dahulu melebihi rekan-rekannya lalu melanjutkan sarapan paginya di bar. Bar open air membuatnya leluasa memperhatikan tamu yang tengah jogging melewati bar sambil terus mengawasi timnya bekerja. Seorang bule perempuan berpakaian jogging berhenti sebentar ketika berpapasan dengan seorang waitress mengenakan polo putih, celana panjang hitam dan apron hitam sambil membawa sebotol air mineral. Mata Alia yang jeli menangkap Made tengah menuangkan air mineral kepada tamu perempuan tersebut. Alia segera menghampiri keduanya.

So, is there any problem?” tanya Alia kepada tamu.

“Well, this lady is good that bring me some quencher for my thirst. I’m fine.” Sahut sang bule dengan menyungging senyuman. Pelipisnya berkeringat, juga beberapa area leher dan ketiak terliat keringat membasahi.

Made seketika berdiri dengan posisi siap. Jar digenggampnay dengan tangan kiri.

Alia beralih kepada Made,” You know, when you pure some water, you have to realize that you cannot touch several area such us the upper part of the glass. This area is where the people put their lips to drink. We should consider taking care this area very well, for what?

So that it’s clean.” Made menjawab.

Correct. This area should be clean therefore you cannot touch it with your hand nor your bottle. When you pure the water, the correct way is like this …

Alia meraih botol air mineral dari tangan Made lalu menuangkan sedikit air ke dalam gelas tamu dengan ketinggian sepuluh senti meter.

Do not put the bottle directly to the glass. Even thou this bottle is clean, you must respect whoever drinks from this glass. The guests do not know if the bottle is celan or not. Keep the bottle this height from the glass.” Kata Alia sambil mempraktekkan cara menuang air mineral ke dalam gelas.

Made mengangguk-angguk setelah mendengar penjelasan dari Alia.

Do you get it?

Yes.

Now you do that.”

Made mempraktekkan apa yang baru saja diuraikan oleh Laila di hadapan tamu. Ia terlihat canggung, akan tetapi sang tamu memberinya senyuman ramah sehingga menguatkan gadis polos tersebut agar percaya diri.

See? You can do it.” Kata sang tamu dengan wajah sumringah.

Made pun tersenyum lebar.

Alia melanjutkan, “That’s how we do it in correct way.”

Thank you.” kata Made kepada Aila lalu mundur selangkah untuk kemudian kembali ke bar.

Pekerjaan Alia sebagai Chef tidak hanya terbatas pada area dapur dan kantor saja tetapi harus mengawasi kegiatan di lapangan. Jika ditemuinya sebuah kekeliruan walau pun kecil sekali pun dan sedang berada di dekat tamu, ia akan segera menghampiri tempat kejadian untuk mengoreksi. Tugas ini bukanlah mudah juga tidak mudah bagi karyawan yang sedang melayani tamu. Sungguh memerlukan kebesaran dan kekuatan hati, sehingga mampu terus bersikap professional.

Kali ini mata Alia menangkap sosok Hendro dan Alia yang tengah mengobrol berdekatan sambil berdiri di dekat kolam renang. Alia memperhatikan tingkah pasangan dimabuk asmara tersebut dengan teliti, bola matanya melebar lalu mendesis, “Be careful, Laila.”

--Bersambung--

Related chapters

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hari Bahagia

    “Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun

    Last Updated : 2021-07-30
  • Sebelum Terlarang Untukku   Aku, Laila

    Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.Hendro, tahukah kau?Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk denga

    Last Updated : 2021-08-03
  • Sebelum Terlarang Untukku   Hendro

    Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan per

    Last Updated : 2021-08-03
  • Sebelum Terlarang Untukku   Mahligai

    Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang ker

    Last Updated : 2021-08-04
  • Sebelum Terlarang Untukku   Senandika Alia

    Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita

    Last Updated : 2021-08-10

Latest chapter

  • Sebelum Terlarang Untukku   Be careful, Laila!

    “Hey, girls!” sapa Laila kepada Wendi dan Elsa yang tengah terpaku pada layar monitor.“Hey!” Elsa menjawab sambil terus mengetik.“Dare to go to the beach?”“Yea!” Elsa lagi yang menjawab.Wendi masih saja serius dengan pekerjaannya.“Let’s go!” Laila berdiri di antara kedua perempuan berbeda warga negara tersebut agar bersiap.“I am coming!” Elsa berdiri sambil meraih tas kecilnya menyambut ajakan manajer yang ceria tersebut. “Let’s go, Wendi!”Ketiganya memang kerap bertiga jalan-jalan. Sore itu, enam puluh menit menjelang waktu pulang, mereka bermaksud hendak jalan-jalan ke pantai yang menjadi satu bagian dengan resort mereka bekerja.Sinar matahari

  • Sebelum Terlarang Untukku   Senandika Alia

    Tahukah kau, aku kerap mencuri pandang, memandangi wajahmu yang cerah penuh senyuman dari tempatku memasak? Kau tidak seperti Chef lainnya yang kaku. Di saat kebanyakan chef dengan sengaja memasang wajah kaku berkalimat tegas, kau malah kerap bersenda gurau bersama tim dapur. Tak sanggup aku melepaskan pikiranku darimu. Kau begitu mudah untuk disukai.Berawal dari interview di depan para kepala bagian, termasuk dirimu, aku sudah menyukai vibrasi positif lingkungan ini. Bahkan kurasa aku jatuh cinta pada pembawaan hangat, ramah dan penuh senyumanmu. Sejak hari itu, aku terus menyelipkan doa agar aku bisa berada dalam lingkungan hotel berpantai putih ini. Tak luput dari anganku betapa bahagianya bisa selalu berdekatan denganmu.Rupanya Tuhan mendengar doaku. Pada hari pertama bekerjaku, kau sendiri yang menyambutku lalu mengantarku berkeliling berkenalan dengan semua personel yang telah lebih dahulu menjadi bagian dari hotel ini. Kita

  • Sebelum Terlarang Untukku   Mahligai

    Pagi yang cerah, Hendro dan Laila bergerak dengan sigap membersihkan dan menata rumah mungil mereka. Dalam tiga puluh menit rumah tinggal pasangan muda tersebut telah rapi dan bersih.Laila mengenakan blazer hitam dan gaun warna senada yang berpotongan sederhana, roknya mengembang sehingga ia terlihat langsing. Kedua kaki jenjangnya dilapisi stoking hitam dan bersepatu hitam setinggi lima sentimeter. Sebuah bros berbentuk kembang kecil bertahtakan sepuluh buah berlian tersemat di dada kirinya.Hendro berseragam Chef serba putih di mana lis hitam menghiasi pinggir kain. Terlihat garis samar sisa-sisa mencukur berwarna hijau menghiasi area dagu dan pipi, wajahnya terlihat bersih dan segar. Sebelum berangkat, mereka berdua mematut diri pada sebuah cermin besar yang hampir setinggi tubuh manusia.Situasi area F&B masih dalam renovasi, tidak hanya restoran tetapi juga meliputi kantor F&B dan loker perempuan. Ruang ker

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hendro

    Kuterbangun di pagi hari karena sebuah sentuhan lembut di pipi. Rasa geli agak gatalnya menembus alam tidurku. Wajah Laila yang masih menyisakan sedikit make up terpampang begitu dekat dengan wajahku. Aku senang melihatnya terkejut dan tersipu-sipu. Tampaknya ia tengah mengagumiku, mungkin juga teringat pergulatan tadi malam.Tak kuasa menahan diri, kuraih ia dalam pelukan. Tubuh semampainya terasa mungil dan lembut. Pakaian minim yang kami kenakan membuat kulit kami saling bersentuhan dengan leluasa, seketika itu hormon kebahagiaan melaju deras, lalu kuberikan kecupan pada bibirnya yang merah jambu. Kita pun mengulangi kebahagiaan tadi malam. Aku ingin mengulanginya lagi dan lagi, bersamamu.Laila, aku sungguh bahagia. Kau membuatku bahagia. Bersentuhan denganmu adalah yang kuinginkan. Sungguh hasratku tak dapat kukendalikan ketika berhadapan denganmu.Laila, tahukah kamu, aku sudah terpikat sejak pandangan per

  • Sebelum Terlarang Untukku   Aku, Laila

    Aku terbangun di pagi hari dengan Hendro di sisiku yang helaan nafasnya terdengar teratur. Kurapatkan tubuhku padanya, kupandangi wajahnya lekat-lekat lalu kusentuh pipinya dengan ujung jariku. Seakan ingin memastikan ini bukanlah mimpi. Aroma tubuhnya begitu menyenangkan. Rasa nyaman pun menyelinap dalam sukmaku. Ia tidak menyadari apa yang kulakukan, sepertinya masih jauh tenggelam dalam tidurnya.Hendro, tahukah kau?Semenjak pertama kita bertemu, aku seperti telah mengenalmu puluhan tahun lamanya. Apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama? Ataukah pertanda jodoh? Sosokmu serupa tokoh dalam bayangku. Kau persis sama seperti yang kumau. Keceriaanmu, gaya bicaramu yang apa adanya, kecerdasanmu, dan penampilanmu yang mempesona. Begitu mudah bagi siapa pun untuk akrab denganmu.Kau selalu lebih dahulu memulai percakapan. Menyapaku duluan saat melihatku santai sendirian di bar, atau saat aku tengah sibuk denga

  • Sebelum Terlarang Untukku   Hari Bahagia

    “Sekitar dua jam lagi saya tiba, Bu. Masih macet, niy.” kataku. “Siap, Mbak Laila. Kira-kira pukul delapan, ya… Saya tunggu, kok.” sahut Bu Bambang kepadaku dengan intonasinya yang lembut menenangkan. Gawai pun kututup. Malam ini aku dan Hendro bermaksud mengunjungi Bu Bambang di Griya Aseri untuk fitting final. Sebetulnya posisi saat ini dekat saja dengan kediamannya, tapi macet yang mengular membuatku berasumsi akan lama di jalan. Aku—Hannah Laila dan Hendro Angkawijaya—calon suamiku tengah mempersiapkan sebuah hari yang istimewa. Besok adalah hari bahagia kami berdua, karena esok pagi sebuah sumpah suci akan dilangitkan. Acaranya sederhana saja. Akad di KUA lalu dilanjutkan makan siang di restoran pilihan. Tamu yang diundang pun terbatas hanya dari keluarga dan sahabat dekat kami di mana jumlahnya hanya sekitar seratus orang banyaknya. Akhirnya tibalah di kediaman Bu Bambang. Wanita anggun

DMCA.com Protection Status