Maura menggeleng. "Maksudku ... aku memang belum pernah punya pengalaman." "Lalu, siapa Lusi?" tanya Andreas mengulang. "Temanku sejak SMA. Aku udah tanya mengenai lowongan pekerjaan ke dia, tapi Lusi bilang katanya di tempatnya bekerja masih belum ada pekerjaan yang cocok buat aku. Di sana juga yang dibutuhkan pegawai yang udah berpengalaman." Andreas mengangguk paham. "Kalau begitu ... sebelum kamu dapat pekerjaan di tempat lain, barangkali kamu minat bekerja sama aku? Kebetulan aku masih kekurangan staff. Kurang dari seminggu lagi, aku mau mulai membuka restoran," kata Andreas sambil menatap Maura dengan serius. "Yang benar, Mas?" Maura terlihat antusias. Matanya berbinar. "Iya." "Mau, Mas. Berapapun gajinya, asal ada pekerjaan, aku mau." Andreas tertawa kecil. "Restoran yang akan aku buka ini belum bisa mempekerjakan banyak orang, Maura. Mungkin ... pekerjaan kamu merangkap jadi waitress sekaligus bagian kasir atau dapur. Atau ...." "Gak masalah. Aku pengen kerja. Pengen a
Dewangga menoleh ikut menatap Maura yang masih berdiri. "Ya," jawabnya singkat sambil mengangguk sekali sehingga membuat Maura sedikit tercengang. "Wah, kamu memiliki istri yang cantik. Kenapa baru sekarang kamu bawa dia? Kenapa selalu disembunyikan?" gurau pria itu senang. "Takut pesaing bisnismu merebutnya?" Cantik? Apa tak salah? Itu pasti hanya gurauan pria tua itu. Maura tak pernah merasa bahwa dirinya cantik karena baginya Alena jauh lebih cantik dan menarik. Dewangga tersenyum lebar dan menanggapi gurauan itu dengan santai. Baru kali ini Maura melihat sisi lain pria itu yang sedikit humoris dan penuh ekspresi. Wajahnya tak datar seperti biasanya layaknya sebongkah kayu. "Perkenalkan, namanya Maura," ujar Dewangga sambil berdiri dan memberi kode pada Maura untuk lebih mendekat. Maura berjalan maju ketika pria itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. "Saya Maura," ujar Maura sopan. "Saya Jonathan, dan itu istri saya Sara," kata pria itu sambil menjabat tangan Maura
"Nggak apa-apa, Dewangga. Udah aku bilang sebelumnya, kan? Sesama saudara tak perlu ada kata maaf," ujar Alena sambil tersenyum polos, menyembunyikan kebenciannya. "Saya tak bisa berlama-lama di sini karena Maura masih menunggu," kata Dewangga sambil bangkit dari duduknya. "Istirahatlah beberapa hari lagi dan jangan memaksakan diri untuk bekerja." Alena mengangguk kecewa sambil memperhatikan Dewangga yang pergi meninggalkan dirinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin meledak, yaitu amarahnya. "Maura, aku bakal berusaha bikin kamu dan Dewangga bercerai secepat mungkin!" gumamnya perlahan sambil menggertakkan giginya. Di luar, Maura menunduk melamun menatap kerikil sambil bermain ayunan. Derit besi yang beradu membuat Dewangga yang baru keluar dapat menemukannya dengan mudah. "Maura, ayo pulang," ujar pria itu sambil mendekat dan membuyarkan lamunan wanita itu. Maura mengangkat wajahnya. Dewangga benar-benar menemui Alena sebentar. Tapi mengapa? "Masih mau melamun?" tanya pria i
Maura tercekat. Senyumnya berubah kaku seketika. "De-Dewangga, kamu ngapain di sini?" tanya Maura gugup atas ejekannya. 'Tunggu. Kenapa aku harus gugup? Harusnya aku biasa aja,' ucap Maura dalam hati. "Kenapa memangnya kalau saya di sini?" Dewangga balik bertanya. "Hehe ... nggak apa-apa," jawab Maura sambil tersenyum. "Kenapa kamu baru pulang?" tanya Dewangga sambil melirik jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit. "Tadi ada banyak barang yang harus diberesin," jawab Maura. "Barang? Barang di mana? Kenapa kamu yang harus membereskan?" "Kursi, meja, dan beberapa alat dapur. Aku ... mulai hari ini kerja di restorannya mas Andreas. Tapi restorannya belum resmi dibuka, sih," jawab Maura. "Kerja?" Dewangga menatap Maura sedikit tak percaya. "Kamu bekerja?" "Ya." Maura mengangguk. Dewangga menatap Maura tajam. "Apa ponselmu tak berfungsi?" "Oh, ponselku mati, lupa di-charge. Kenapa memangnya?" tanya Maura dengan tatapan polosnya. "Tak apa-apa,
Maura tak menanggapi ejekan itu. Dia melirik kaki Alena yang memakai sandal wedges bertali yang tak terlalu tinggi. "Sepertinya kakimu udah lebih baik." "Tentu aja. Berkatmu, aku harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit," ujar Alena tersenyum sarkas. "Oh, mungkin besok kamu akan kembali dirawat lagi. Bukannya konyol kakimu patah tapi memakai wedges?" ujar Maura dengan nada sedatar mungkin. "Kamu!" Alena hampir saja kehilangan kendalinya andai saja dia tak menyadari bahwa Dewangga tengah memperhatikan mereka. Wanita itu menghela napas dan mengatur emosinya, kemudian dia tersenyum. "Kamu belum meminta maaf atas apa yang kamu lakukan tempo hari, Maura." "Kamu sendiri yang bilang bahwa sesama saudara nggak perlu saling meminta maaf. Lagi pula aku nggak melakukan apapun sama kamu," jawab Maura sambil tersenyum tenang dan mengeluarkan sebuah memo serta pulpen untuk mencatat pesanan mereka. "Aku akan mencatat pesanan kalian." Dewangga menatap Maura. Maura yang dulu tak akan b
Maura mengangguk ketika Andreas menatapnya menunggu jawaban. "Untuk sekarang, aku masih istrinya Dewangga," ujar Maura lebih jelas. Andreas mematung tak percaya. Dia mengerutkan alisnya, sedikit ganjil atas jawaban Maura. Sementara Dewangga, sedikit tak terima dengan ucapan wanita itu walaupun kenyataannya memang sebentar lagi mereka akan berpisah. "Ya, udah. Sebaliknya kamu segera pulang. Periksakan lukamu ke rumah sakit," kata Lusi pada Maura, lalu menatap Dewangga. "Jangan lupa bawa ini. Aku membelinya untukmu dan Maura," lanjut wanita itu sambil menyodorkan oleh-oleh pada Dewangga yang sudah dibelinya untuk mereka. Andreas mau tak mau mengangguk setuju dan mengizinkan Maura pulang lebih dulu. "Lusi, saya harus merepotkanmu," kata Dewangga sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. "Tolong bayarkan tagihan tadi." "Oh? Oke." Lusi mengangguk senang sambil mengulurkan tangannya. "Nggak perlu," tolak Andreas menahan tangan Lusi. "Saya tak akan meminta tagihan apapun. Insid
Dewangga terdiam memikirkan banyak hal. "Aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memiliki rencana untuk menikah lagi," ucap Dewangga sambil menatap Maura. "Ada banyak pekerjaan yang harus diurus ...." "Pekerjaan akan selalu banyak, Dewangga. Tapi kita hanya hidup sekali," potong Maura. "Memangnya kamu ingin membuat Alena menunggumu lebih lama?" "Alena?" Dewangga mengerutkan alisnya tak suka. "Mengapa Alena? Aku tak ada hubungan dengannya." "Benarkah?" Maura menatap Dewangga dengan terkejut. "Kalian tidak pacaran?" "Pacaran? Untuk apa? Aku tak pernah memiliki perasaan apapun padanya jika itu yang ingin kamu tahu," jawab Dewangga tegas. Maura tertegun sejenak. Dewangga tak mungkin membohonginya, kan? "Tapi tetap saja. Setelah kita berpisah, kita pasti menjalani hidup kita masing-masing. Mungkin kamu akan bertemu seseorang yang mengubah pikiranmu dan ingin segera menikahinya. Aku juga mungkin akan bertemu dengan pria yang baik," lanjut Maura sambil menopang dagunya. "Sampai hari itu t
Suasana kantor cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Maura mengikuti langkah Zefan sambil menenteng tas thermal-nya. Zefan bersikeras menolak titipan Maura meskipun Maura sudah membujuknya. Mau tak mau akhirnya dia ikut dengan pria itu untuk mengantarkan sendiri makanannya. "Bos di ruangannya. Masuk aja, Nyonya," ujar Zefan sambil mendorong pintu dan menunjuk Dewangga yang tengah sibuk berdiskusi di ruang kerjanya bersama dengan beberapa orang termasuk Alena dan Devina. "Silakan, Nyonya duduk dulu di sini." Zefan menunjuk single sofa yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota. Maura mengangguk sembari duduk dan meletakkan tas bekal di pangkuannya. Dia menatap Dewangga yang memakai kemeja navy tanpa jas dan tengah memegang beberapa lembar kertas. Pria itu terlihat begitu serius dengan pekerjaannya. Tak jauh dari pria itu ada Devina juga Alena, dan beberapa orang lain yang Maura tak kenal. Mereka duduk berkumpul di sofa mengitari meja kaca yang penu
Musik indah mengalun lembut saat Maura dan Narendra masuk ke ballroom hotel, tempat diadakannya acara resepsi pernikahan itu.Keduanya telah mengenakan topeng yang dibagikan di pintu masuk saat memperlihatkan undangan yang dibawa pria itu pada staff yang berjaga di depan karena tamu yang menghadiri pesta itu sangat terbatas.Maura menatap dekorasi pesta yang terlihat mewah dan glamor. Lampu-lampu hias menggantung, ada yang seperti air mancur, ada juga yang seperti bintang-bintang.Aneka makanan dan minuman terhidang di meja yang dilapisi kain satin hitam. Mulai dari makanan ringan, sampai makanan berat.Lalu di ujung panggung pengantin, sepasang penyanyi melantunkan lagu cinta dengan suara yang merdu.“Apa Dewangga udah ada di sini?” bisik Maura sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling, ke wajah orang-orang yang telah mengenakan topeng separuh yang menutupi mata, sama sepertinya.“Entahlah,” jawab Narendra acuh tak acuh. “Kita harus menemui tuan rumah dulu dan kedua mempelai. Aku
Di kantor sore itu, Zefan yang tengah membantu merapikan beberapa berkas kontrak, menatap bosnya setelah membaca sebuah pesan yang masuk. Keduanya sama-sama duduk di sofa setelah selesai berdiskusi singkat.“Malam ini ada acara, kan? Pernikahan anaknya pak Bobby,” katanya membuka suara sekaligus mengingatkan, membuat Dewangga menoleh sekilas. “Setelan jas pesananmu katanya akan tiba di sini sebentar lagi. Gaun dan sepatunya juga.”Dewangga menjawab dengan anggukan.“Dengan siapa kamu akan datang? Apa aku harus menghubungi nyonya Maura buat minta dia bersiap-siap?”Dewangga terdiam sejenak. Dia teringat dengan penolakan Maura padanya saat pria itu mengajaknya membeli hadiah kalau wanita itu libur bekerja nanti. Mungkin Maura juga akan menolak ajakannya datang ke pesta pernikahan itu malam ini.Bukankah memang sebelumnya dia tak pernah mengajak wanita itu menghadiri berbagai acara? Pasti Maura juga bisa menebaknya meski sekarang dia amnesia.“Nggak usah hubungi dia,” ujar pria itu denga
“Tiga puluh ribu, Mas,” jawab penjual bakso itu yang langsung menatap Maura. “Neng, ini suaminya, ya?” tanya penjual bakso itu, membuat Maura enggan mengakuinya karena takut pria itu akan marah. “Iya, Pak.” Dewangga yang menjawab sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna merah. “Kembaliannya ambil aja.” Penjual bakso itu tersenyum cerah. “Makasih Mas. Duh, yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng. Dua-duanya baik pula. Benar-benar pasangan suami istri yang cocok.” Maura terdiam sambil tersenyum kaku, sementara Dewangga menanggapi candaan itu dengan ekspresi santai, seperti ekspresinya saat menjenguk pak Jo di rumah sakit dulu. Penjual bakso itu berpamitan pergi, meninggalkan keduanya. “Ayo, pulang,” kata Dewangga sambil berjalan lebih dulu. Wajahnya yang ramah kembali berubah datar. Maura berjalan dalam diam sambil menatap kerikil, mengikuti Dewangga di belakangnya. “Kenapa kamu malah ada di rumah? Bukannya tadi pagi bilangnya mau ke restoran?” tanya Dewangga sa
Maura tercekat menatap Dewangga. Tatapannya beralih pada mbok Narti yang masih menangis dengan tubuh gemetar.Kapan dia berkata ingin memecat wanita paruh baya itu?“Dewangga, aku … aku nggak bermaksud mecat mbok Narti,” ujarnya perlahan sambil menunduk.Mengingat bahwa dia bersikap sangat buruk di masa lalu, pasti Dewangga akan salah paham dan tak akan percaya padanya.Segala penjelasannya akan menjadi sia-sia.“Lalu, apa yang saya dengar barusan?” tanya pria itu masih dengan wajah yang garang.Maura mendesah frustrasi. “Aku nggak tahu kenapa mbok Narti ngomong kayak gitu.”“Mbok, ikut saya,” perintah Dewangga sambil berjalan meninggalkan Maura.Mbok Narti segera mengikuti, sementara Maura diam-diam mengepalkan tangannya di belakang tubuhnya.Dewangga masuk ke ruang kerjanya, diikuti mbok Narti.Pria itu segera duduk di kursinya.“Mbok, bukannya suami Mbok masih di rumah sakit?” tanya pria
Maura menarik napasnya panjang, menetralisir rasa sesak dan kecewa di dadanya.“Kamu juga pasti tahu sendiri alasan kenapa selama ini kamu nggak pernah ngajak aku buat beli hadiah. Iya, kan?” Maura balik bertanya sambil menatap Dewangga. “Karena aku nggak tahu selera mama Laura, atau selera siapapun di rumah keluargamu terlebih aku yang sekarang. Jadi sebaiknya kamu ajak orang lain aja, supaya nggak salah beli barang.”Maura tersenyum sendiri sambil menunduk menatap jari-jari tangannya yang gemetar, menertawakan dirinya.Mengapa dia harus kecewa? Dia sendiri yang bukan orang baik sehingga semua orang membencinya. Tentu saja dia harus menerima segala konsekuensinya sekarang.Atmosfer di dalam mobil terasa lebih berat. Dewangga melonggarkan dasinya dan tiba-tiba saja menghentikan mobilnya di tepi jalan.“Keluar!” titahnya dengan nada dingin, membuat Maura terkejut.“Dewangga, ini masih jauh dari restoran, lho,” ujarnya protes.
“Clara, tolong jaga bicaramu,” pinta Dewangga dengan tatapan tajam. Clara mendengus. “Biasanya juga aku kayak gini, kok. Biasanya juga dia selalu membalas kata-kataku. Kenapa sekarang jadi Kakak yang belain dia? Selama ini dia kan yang paling pintar membela dirinya sendiri. Kenapa hari ini tiba-tiba jadi diam? Kayak bukan Maura aja,” gerutu Clara. “Clara ….” Narendra meninggikan suaranya setengah oktaf. “Sebaiknya kamu tutup mulut.” “Lho, yang aku bilang itu bener, kok. Dia itu arogan, sombong, dan nyebelin hanya karena bisa memenangkan hati oma. Hanya karena dia tahu oma sayang banget sama dia, bahkan om Teguh, tante Laura dan mama harus mikir dua kali kalau mau nyinggung dia. Kakak lupa dengan penderitaan kak Angga selama menikah dengannya?” lanjut Clara seolah belum puas mengatakan isi hatinya. “Semua orang tahu kalau kak Angga tertekan menikah dengannya. Semua orang nggak buta, kecuali kak Naren yang otaknya ada masalah.” “Clara!” Dewangga juga menaikkan suaranya, sementara N
“Oma melihat Dewangga tidur di ruang kerja semalam,” ujar Laura sambil menatap mata Maura. "Oma udah minta Dewangga pindah ke kamar, tapi kayaknya dia tetap di ruang kerja, deh.""Oh?" Maura semakin terkejut. "Kalau itu, aku ....""Selamat pagi, Maura. Selamat pagi semuanya." Oma Ambar datang bersama Vivian dan Clara.“Selamat pagi.”"Dewangga belum datang, ya?""Belum, Oma." Narendra yang menjawab.“Kamu datang pagi sekali,” ejek Clara sambil tersenyum pada Maura dan duduk di samping ibunya, dekat dengan Narendra setelah oma Ambar dan yang lainnya duduk. "Biasanya kami semua yang sering menunggumu datang. Tapi hari ini kamu mau menunggu kami. Benar-benar ajaib."Vivian menatap Clara, memintanya untuk menjaga mulutnya, membuat Clara merasa kesal.“Apa tidurmu nyenyak, Nak?” tanya oma Ambar pada Maura dengan lembut.Maura mengangguk tersenyum, membuat wanita tua itu lega.“Oma cuma perhatian sama dia aja, deh. Rasanya nggak adil,” gerutu Clara."Clara, hati-hati dengan mulutmu," ujar N
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya. “Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam. "Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura. Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur. “Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak mempedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?” “Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu dan memejamkan matanya. Dewangga menatap bahu Maura yang terlihat kecil. Dia mengerutkan alisnya. Apa Maura sekurus ini dulu? Bobot tubuhnya pun terasa ringan. Kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai wanita itu. “Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, t
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren. Kamu bisa ingat, kan?" Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang, menyambut keduanya dengan senyum lebar. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-wa