Dewangga menatap Maura dengan wajah datar dan muram. Pangkal alisnya berkerut."Kenapa?" tanya pria itu."Gak kenapa-kenapa," jawab Maura sambil bersiap-siap beranjak. "Kalau nggak mau, ya berarti gak mau."Maura pergi menenteng kantong berisi paketnya menuju pintu pagar tanpa mau menoleh lagi. Namun beberapa menit kemudian Dewangga tiba di sisinya menggunakan mobil.Tanpa berkata-kata lagi, Dewangga segera turun dan mengambil alih kantong di tangan Maura dan meletakkannya di jok belakang mobil."Dewangga, kamu ngapain, sih?" protes Maura tak terima. "Balikin!""Naik!" Alih-alih mendengarkan Maura, pria itu memberinya perintah sambil duduk di belakang kemudi.Maura menatap Dewangga tak percaya. Semua ucapannya sama sekali tak digubris tapi pria itu ingin ucapannya dituruti?Rasa sesak kembali hadir di dada Maura kala dia mengingat setiap perlakuan buruk pria itu padanya. Matanya hampir berkaca-kaca.Namun pada akhirnya Maura mengalah. Wanita itu duduk di sebelah Dewangga dengan wajah d
Maura menggeleng. "Maksudku ... aku memang belum pernah punya pengalaman.""Lalu, siapa Lusi?" tanya Andreas mengulang."Temanku sejak SMA. Aku udah tanya mengenai lowongan pekerjaan ke dia, tapi Lusi bilang katanya di tempatnya bekerja masih belum ada pekerjaan yang cocok buat aku. Di sana juga yang dibutuhkan pegawai yang udah berpengalaman."Andreas mengangguk paham."Kalau begitu ... sebelum kamu dapat pekerjaan di tempat lain, barangkali kamu minat bekerja sama aku? Kebetulan aku masih kekurangan staff. Kurang dari seminggu lagi, aku mau mulai membuka restoran," kata Andreas sambil menatap Maura dengan serius."Yang benar, Mas?" Maura terlihat antusias. Matanya berbinar."Iya.""Mau, Mas. Berapapun gajinya, asal ada pekerjaan, aku mau."Andreas tertawa kecil. "Restoran yang akan aku buka ini belum bisa mempekerjakan banyak orang, Maura. Mungkin ... pekerjaan kamu merangkap jadi waitress sekaligus bagian kasir atau dapur. Atau ....""Gak masalah. Aku pengen kerja. Pengen ada kegiat
Dewangga menoleh ikut menatap Maura yang masih berdiri."Ya," jawabnya singkat sambil mengangguk sekali sehingga membuat Maura sedikit tercengang."Wah, kamu memiliki istri yang cantik. Kenapa baru sekarang kamu bawa dia? Kenapa selalu disembunyikan?" gurau pria itu senang. "Takut pesaing bisnismu merebutnya?"Cantik? Apa tak salah? Itu pasti hanya gurauan pria tua itu. Maura tak pernah merasa bahwa dirinya cantik karena baginya Alena jauh lebih cantik dan menarik.Dewangga tersenyum lebar dan menanggapi gurauan itu dengan santai. Baru kali ini Maura melihat sisi lain pria itu yang sedikit humoris dan penuh ekspresi. Wajahnya tak datar seperti biasanya layaknya sebongkah kayu."Perkenalkan, namanya Maura," ujar Dewangga sambil berdiri dan memberi kode pada Maura untuk lebih mendekat.Maura berjalan maju ketika pria itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Saya Maura," ujar Maura sopan."Saya Jonathan, dan itu istri saya Sara," kata pria itu sambil menjabat tangan Maura sebenta
"Nggak apa-apa, Dewangga. Udah aku bilang sebelumnya, kan? Sesama saudara tak perlu ada kata maaf," ujar Alena sambil memaksakan senyumnya."Saya tak bisa berlama-lama di sini karena Maura masih menunggu," kata Dewangga sambil bangkit dari duduknya. "Istirahatlah beberapa hari lagi dan jangan memaksakan diri untuk bekerja."Alena mengangguk kecewa sambil memperhatikan Dewangga yang pergi meninggalkan dirinya. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin meledak, yaitu amarahnya."Maura, aku bakal berusaha bikin kamu dan Dewangga bercerai secepat mungkin!"Di luar, Maura menunduk melamun menatap kerikil sambil bermain ayunan. Derit besi yang beradu membuat Dewangga yang baru keluar dapat menemukannya dengan mudah."Maura, ayo pulang," ujar pria itu sambil mendekat dan membuyarkan lamunan wanita itu.Maura mengangkat wajahnya. Dewangga benar-benar menemui Alena sebentar. Tapi mengapa?"Masih mau melamun?" tanya pria itu ketika Maura masih belum bergerak.Maura segera turun dari ayunan dan berdir
Maura tercekat. Senyumnya berubah kaku seketika."De-Dewangga, kamu ngapain di sini?" tanya Maura gugup atas ejekannya.'Tunggu. Kenapa aku harus gugup? Harusnya aku biasa aja,' ucap Maura dalam hati."Kenapa memangnya kalau saya di sini?" Dewangga balik bertanya."Hehe ... nggak apa-apa," jawab Maura sambil tersenyum."Kenapa kamu baru pulang?" tanya Dewangga sambil melirik jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih beberapa menit."Tadi ada banyak barang yang harus diberesin," jawab Maura."Barang? Barang di mana? Kenapa kamu yang harus membereskan?""Kursi, meja, dan beberapa alat dapur. Aku ... mulai hari ini kerja di restorannya mas Andreas. Tapi restorannya belum resmi dibuka, sih," jawab Maura."Kerja?" Dewangga menatap Maura sedikit tak percaya. "Kamu bekerja?""Ya." Maura mengangguk.Dewangga tampak berpikir sejenak."Kamu mau pergi?" tanya Maura saat melihat tampilan pria itu yang casual dan rapi."Tadinya iya. Sekarang tidak jadi," jawab Dewangga sambil mas
Maura tak menanggapi ejekan itu. Dia melirik kaki Alena yang memakai sandal wedges bertali yang tak terlalu tinggi. "Sepertinya kakimu sudah lebih baik." "Tentu saja. Berkatmu, aku harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit," ujar Alena tersenyum sarkas. "Oh, mungkin besok kamu akan kembali dirawat lagi. Bukankah konyol kakimu patah tapi memakai wedges?" ujar Maura dengan nada sedatar mungkin. "Kamu!" Alena hampir saja kehilangan kendalinya andai saja dia tak menyadari bahwa Dewangga tengah memperhatikan mereka. Wanita itu menghela napas mengatur emosinya, kemudian dia tersenyum. "Kamu belum meminta maaf atas apa yang kamu lakukan tempo hari, Maura." "Kamu sendiri yang bilang bahwa sesama saudara nggak perlu saling meminta maaf. Lagi pula aku nggak melakukan apapun sama kamu," jawab Maura sambil tersenyum tenang dan mengeluarkan sebuah memo serta pulpen untuk mencatat pesanan mereka. "Aku akan mencatat pesanan kalian." Dewangga menatap Maura. Maura yang dulu tak akan ber
Maura mengangguk ketika Andreas menatapnya menunggu jawaban. "Untuk sekarang, aku masih istrinya Dewangga," ujar Maura lebih jelas. Andreas mematung tak percaya. Dia mengerutkan alisnya, sedikit ganjil atas jawaban Maura. Sementara Dewangga, sedikit tak terima dengan ucapan wanita itu walaupun kenyataannya memang sebentar lagi mereka akan berpisah. "Ya, udah. Sebaliknya kamu segera pulang. Periksakan lukamu ke rumah sakit," kata Lusi pada Maura. "Jangan lupa bawa ini. Aku membelinya untukmu dan Maura," lanjut wanita itu sambil menyodorkan oleh-oleh pada Dewangga yang sudah dibelinya untuk mereka. Andreas mengangguk setuju dan mengizinkan Maura pulang lebih dulu. "Lusi, saya harus merepotkanmu," kata Dewangga sambil mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. "Tolong bayarkan tagihan tadi." "Oh? Oke." Lusi mengangguk senang sambil mengulurkan tangannya. "Nggak perlu," tolak Andreas menahan tangan Lusi. "Saya tak akan meminta tagihan apapun. Insiden ini berhubungan dengan pelayanan
Dewangga terdiam memikirkan banyak hal. "Aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memiliki rencana untuk menikah lagi," ucap Dewangga sambil menatap Maura. "Ada banyak pekerjaan yang harus diurus ...." "Pekerjaan akan selalu banyak, Dewangga. Tapi kita hanya hidup sekali," potong Maura. "Memangnya kamu ingin membuat Alena menunggumu lebih lama?" "Alena?" Dewangga mengerutkan alisnya tak suka. "Mengapa Alena? Aku tak ada hubungan dengannya." "Benarkah?" Maura menatap Dewangga dengan terkejut. "Kalian tidak pacaran?" "Pacaran? Untuk apa? Aku tak pernah memiliki perasaan apapun padanya jika itu yang ingin kamu tahu," jawab Dewangga tegas. Maura tertegun sejenak. Dewangga tak mungkin membohonginya, kan? "Tapi tetap saja. Setelah kita berpisah, kita pasti menjalani hidup kita masing-masing. Mungkin kamu akan bertemu seseorang yang mengubah pikiranmu dan ingin segera menikahinya. Aku juga mungkin akan bertemu dengan pria yang baik," lanjut Maura sambil menopang dagunya. "Sampai hari itu t
Maura menyeka matanya dengan kasar, kemudian mendorong dada Dewangga padahal wanita itu masih ada dalam gendongannya.“Kamu akan jatuh kalau mendorongku seperti itu, Maura,” peringat Dewangga sambil menatap Maura tajam."Turunkan aku, Dewangga," pinta Maura.Bukannya menurunkan wanita itu, Dewangga malah berjalan ke arah tempat tidur dan menurunkan Maura dengan lembut di atas kasur.“Kalau mau tidur, tidur di sini,” kata Dewangga tak memedulikan ucapannya, kemudian pria itu duduk di samping Maura yang tengah berbaring menatapnya. “Katakan padaku, mengapa kamu menangis?”“Nggak kenapa-napa,” jawab Maura sambil berbaring memunggungi pria itu.Dewangga menatap bahu Maura yang tengah memejamkan matanya, kemudian dia segera memperbaiki posisi selimut yang dipakai Maura.“Kalau kamu tak mau kita tidur di ranjang yang sama, cukup katakan sejujurnya saja,” gumam Dewangga perlahan, tapi suaranya cukup terdengar jelas.Maura masih memejamkan matanya sambil meremas selimut yang dipakainya. Dia t
Maura menahan napasnya ketika mobil yang ditumpanginya berhenti tepat di depan teras. "Mereka semua keluargamu?" tanya Maura dengan perasaan cemas. Dewangga mengangguk. "Bersikaplah seolah-olah kamu mengenal mereka semua. Aku dan Naren akan berusaha membantumu agar tak ada yang tahu bahwa kamu amnesia." "Yang pakai baju putih di samping kiri oma Ambar itu papa Teguh Bagaskara. Di sebelahnya mama Laura. Di samping kanan Oma itu tante Vivian adiknya papa, lalu anak perempuannya Clara, sekaligus adiknya Naren." Maura mengangguk mengerti. Dia turun dan mengikuti langkah Dewangga menuju teras rumah. "Akhirnya setelah beberapa bulan berlalu, kalian mau menginap juga di rumah oma," kata oma Ambar senang. "Lho? Kamu beneran Maura?" tanya Laura sambil melihat penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Maura tercekat. Apa mereka mengetahui bahwa dia tengah amnesia? Maura pun menoleh pada Dewangga dengan perasaan was-was. Dewangga memberikan anggukan kecil sekilas, meyakinkannya
Maura menatap Dewangga dengan pandangan takut. Ingatannya satu lagi perlahan datang, namun semuanya hanya ingatan buruk. Ingatan kali ini lebih jelas dari ingatan lainnya, seolah baru terjadi kemarin.Maura ingat bagaimana wajah Dewangga yang sangat marah ketika dia menjambak Alena di masa lalu karena diam-diam Alena memprovokasinya, kemudian ketika Maura terpancing amarah, Alena bersikap seolah-olah semua salah Maura. Saat itu Dewangga hampir menamparnya.Alena selalu menjebak Maura seolah Maura selalu menganiayanya, kemudian berpura-pura lemah dan tertindas. Maura yang di masa lalu sangat pemarah karena faktor frustrasi, selalu terpancing dan masuk dalam jebakannya.Maura merasakan sudut hatinya begitu nyeri ketika ingatan itu muncul. Dia menderita dan sedih di waktu yang bersamaan."Maura? Ada apa?" tanya Dewangga khawatir saat melihat wajah wanita itu pucat pasi.Maura beringsut menjauh dan menatap Dewangga dengan tubuh gemetar. "Jang
Maura meremas sisi pakaiannya. Pikirannya kosong dalam beberapa detik. Detik kemudian jantungnya berdegup lebih kencang, sehingga membuat darahnya berdesir panas dingin. "De-Dewangga." Maura mendorong tubuh pria itu sehingga ciuman mereka terlepas, namun sedetik kemudian pria itu memperdalam lagi ciumannya hingga membuat Maura kehabisan napasnya. "Sudah." Pria itu melepaskan Maura, kemudian menatapnya dengan lekat sambil tersenyum tipis. "Cokelat panasnya enak sekali, Maura. Boleh minta lagi?" Mata Maura mengerjap beberapa kali, masih dalam pelukannya. Tubuhnya sedikit gemetar dan hampir ambruk andai dia tak berpegangan pada tangan Dewangga yang berada di sekitar tubuhnya. "Kamu gila?!" tanya Maura sambil melepaskan diri dari rengkuhan pria itu. Dewangga tersenyum menatap Maura sambil menopang dagunya di atas meja bar. "Kamu mabuk. Sebaiknya segera tidur," gerutu Maura dengan wajah merah padam. "Yang benar yang mana? Aku gila atau mabuk?" tanya Dewangga dengan tawa kecil.
Dewangga mulai mengetuk-ngetukkan jarinya di permukaan kaca jam tangan tanda sudah tak sabar lagi. Sebenarnya dia sudah tak memiliki banyak waktu di rumah itu. Tapi, karena ada kejadian tak terduga seperti ini, terpaksa dia harus duduk lebih lama di sana."Dewangga, kamu nggak mungkin kalau nggak percaya sama aku, kan?" tanya Maura penuh harap.Dewangga terdiam dengan wajah datar. Pria itu melirik bu Asih yang masih sibuk membuka laci."Bu Asih, bagaimana? Sudah ketemu?" tanya pria itu sambil menatap punggung bu Asih yang sedang membelakanginya.Bu Asih segera berbalik dan menggeleng. "Ti-tidak ada lagi, Tuan."Dewangga mengangguk sambil berdiri merapikan pakaiannya. Dia tahu bu Asih belum selesai memeriksa semua laci yang ada."Bu Asih, ayo kita keluar," ujarnya tanpa ekspresi, kemudian dia menatap Maura. "Aku tahu sedikit mengenai dirimu, Maura. Aku tak akan mempermasalahkannya. Kamu jangan khawatir. Jadi, istirahatlah."Maura menghela napasnya dengan kecewa sambil menatap punggung
Maura terdiam. Waktu tiga bulan akan terus bergulir tanpa terasa. Tak mungkin baginya kalau terus menerus berada di sekitar Dewangga. Mereka harus menjalani kehidupan masing-masing, bahkan mungkin mereka tak akan bertemu lagi setelahnya. "Oma, ini tehnya," kata Zefan sopan sambil meletakkan beberapa cangkir teh di meja. Dia sedikit tertekan dengan situasi di sana. Jika Maura resmi menjadi asisten Dewangga, maka bagaimana dengannya? "Oma—" "Oma, aku nggak mau jadi asistennya mas Dewangga," tolak Maura serius, memotong ucapan Dewangga yang hendak melayangkan protes. "Kenapa?" tanya oma Ambar sambil menatap Maura. "Jadi pramusaji itu capek, lho, Nak." Narendra yang menyaksikan penolakan Maura menelengkan kepalanya. Dia tahu Maura yang dulu sangat mencintai Dewangga seperti orang gila. Cintanya tak pernah main-main dan tak bisa dirobohkan oleh apapun. Tapi Maura yang sekarang menolak berada dekat dengan Dewangga karena sedang amnesia. Sedikit lucu, dan dia belum terbiasa. "Aku tahu
"Jangan berwajah datar seperti itu, Dewangga," ujar pria itu tertawa rendah sambil melepaskan cengkeraman tangan Dewangga darinya. "Apa kamu sudah berubah pikiran?" "Jangan main-main," kata Dewangga memberi peringatan. "Dan jangan mengganggu Maura." "Wah, kamu benaran sudah berubah pikiran, Dewangga." Pria itu menatap Dewangga tak percaya, kemudian pandangannya beralih pada Maura yang menatapnya asing. "Apa Dewangga masih bersikeras ingin menceraikanmu?" Maura mengerutkan alisnya dengan bibir terbuka seolah ingin menjawab, tetapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. "Apa? Ada apa?" Pria itu menatap Maura dengan aneh. "Ada yang aneh denganmu." Dewangga menarik napasnya panjang. "Sebaiknya kamu pulang." "Aku akan pulang," jawab pria itu. "Tapi setelah memastikan sesuatu." "Tak ada yang perlu kamu pastikan, Naren," ujar Dewangga menahan kesal sambil merentangkan tangannya menahan pria itu agar tak semakin mendekati Maura. "Tentu saja ada. Tak hanya kamu yang berubah. Ba
Suasana kantor cukup sibuk dengan kegiatan masing-masing. Maura mengikuti langkah Zefan sambil menenteng tas thermal-nya. Zefan bersikeras menolak titipan Maura meskipun Maura sudah membujuknya. Mau tak mau akhirnya dia ikut dengan pria itu untuk mengantarkan sendiri makanannya. "Bos di ruangannya. Masuk aja, Nyonya," ujar Zefan sambil mendorong pintu dan menunjuk Dewangga yang tengah sibuk berdiskusi di ruang kerjanya bersama dengan beberapa orang termasuk Alena dan Devina. "Silakan, Nyonya duduk dulu di sini." Zefan menunjuk single sofa yang terletak di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan kota. Maura mengangguk sembari duduk dan meletakkan tas bekal di pangkuannya. Dia menatap Dewangga yang memakai kemeja navy tanpa jas dan tengah memegang beberapa lembar kertas. Pria itu terlihat begitu serius dengan pekerjaannya. Tak jauh dari pria itu ada Devina juga Alena, dan beberapa orang lain yang Maura tak kenal. Mereka duduk berkumpul di sofa mengitari meja kaca yang penu
Dewangga terdiam memikirkan banyak hal. "Aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memiliki rencana untuk menikah lagi," ucap Dewangga sambil menatap Maura. "Ada banyak pekerjaan yang harus diurus ...." "Pekerjaan akan selalu banyak, Dewangga. Tapi kita hanya hidup sekali," potong Maura. "Memangnya kamu ingin membuat Alena menunggumu lebih lama?" "Alena?" Dewangga mengerutkan alisnya tak suka. "Mengapa Alena? Aku tak ada hubungan dengannya." "Benarkah?" Maura menatap Dewangga dengan terkejut. "Kalian tidak pacaran?" "Pacaran? Untuk apa? Aku tak pernah memiliki perasaan apapun padanya jika itu yang ingin kamu tahu," jawab Dewangga tegas. Maura tertegun sejenak. Dewangga tak mungkin membohonginya, kan? "Tapi tetap saja. Setelah kita berpisah, kita pasti menjalani hidup kita masing-masing. Mungkin kamu akan bertemu seseorang yang mengubah pikiranmu dan ingin segera menikahinya. Aku juga mungkin akan bertemu dengan pria yang baik," lanjut Maura sambil menopang dagunya. "Sampai hari itu t