'Sayang? Emily memanggilnya sayang? Apa aku salah dengar?' Jantung Arnold kembali terasa diremas-remas. Ketua divisi perencanaan berdiri dan mulai menjelaskan rancangan yang sudah mereka buat melalui layar proyektor. Arnold tampak tidak fokus, dia mencerna satu demi satu kejadian hari ini sambil sesekali mencuri pandang ke arah Emily dan Arlen. Mereka berdua tampak serius menatap layar, tapi Arnold bisa menebak bahwa Arlen memainkan tangannya di bawah meja. Tidak terlihat namun ekspresi wajah Emily menunjukkan segalanya. "Shit!" Arnold terbakar api cemburu, Emily adalah istrinya kenapa Arlen dengan lancang merengkuhnya bahkan memberikan kecupan di puncak kepalanya. Apa hubungan mereka? Tidak tahan lagi dengan keadaan yang semakin menghimpitnya, Arnold berdiri dan meminta izin ke kamar kecil. Arnold tidak takut kalau harus masuk penjara karena melukai Arlen, tapi Arnold menjaga perasaan Emily. Selama ini Arnold menyakitinya dan Arnold tahu tidak mudah bagi Emily un
Emily berbalik dan memajukan tubuhnya mendekat tanpa melepaskan genggaman tangannya dengan Arlen. "30 menit, kau hanya punya waktu 30 menit!" Emily menatapnya tajam. "Oke, tiga puluh menit. Kita sekaligus makan siang!" Tidak masalah bagi Arnold, yang penting Emily mau berbicara dengannya. Tidak peduli wanita di depannya ini menatap dengan jutaan kebencian, asalkan Emily mau memberinya waktu, Arnold sudah sangat bersyukur. "Aku tidak ma-" "Ayo kita berangkat sekarang!" potong Arnold. Arnold tidak ingin mendengar penolakan kali ini. Diraihnya tangan Emily namun Emily dengan cepat menepisnya. "Aku bisa jalan sendiri!" "Aku yang akan mengantarkan Emily!" Arlen akhirnya buka suara, dia tentu tidak akan membiarkan Emily pergi bersama Arnold. "Tidak perlu, aku suaminya!" gertak Arnold. "Aku kekasihnya!" Tantang Arlen tanpa ada rasa takut sedikitpun. "Sudah, cukup!" Emily merasa malu karena sejak tadi mereka menjadi pusat perhatian beberapa karyawan yang ada di sekitar
Emily mengerjapkan matanya demi memastikan bahwa yang ada di depannya benar-benar Arlen. Dan ya, ini memang Arlen. Dia bersungguh sungguh, tidak sedang bersandiwara. "Arlen!" Emily akhirnya memberanikan diri memanggil namanya. "Ya, Sayang," Arlen mengusap pipi Emily sambil tersenyum manis kepadanya. Wanita mana yang tidak bahagia diperlakukan seperti ini, disayangi dengan sepenuh hati. Tapi bagaimana dengan Emily, apa dia bahagia menerima perlakuan lembut Arlen padanya? Tentu saja dia bahagia namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam rasa sesak menghimpitnya. Emily menunduk dalam, air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung. "Hei, kenapa kau menangis!" Arlen meraih dagu Emily dan mengangkatnya hingga mata mereka kembali bertemu. "Kenapa kau menangis? Apa yang membuatmu bersedih?" Arlen mengusap kedua pipi Emily dan merangkulnya. Detak jantung Emily mendadak berdebar kencang. Seumur hidupnya, baru kali ini Emily mendapat pelukan hangat dari seorang laki-
Mobil yang ditumpangi Arnold sudah memasuki basement parkir SBC. Robert segera memarkirkan mobilnya. Arnold yang duduk di kursi depan bersiap hendak keluar namun baru saja membuka pintu mobilnya, tampak dari jauh, dua orang yang sangat familiar terlihat keluar dari lobby menuju ke arah mereka. Mata Arnold terpaku, dia kembali menutup pintunya dan menatap kedua orang yang semakin dekat. "Emily!" Bahasa tubuh keduanya menyiratkan bahwa mereka berdua nyaman satu sama lain. Arlen sesekali menoleh ke arah Emily sambil tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. "Kalau dulu bersaing dengan Arlen bukanlah hal yang sulit untukku, tapi sekarang…." Arnold hanya bisa memendam rasa cemburu yang teramat sangat saat melihat Emily bersama Arlen. CEO SBC itu terlihat sangat perhatian kepada Emily, berbanding terbalik dengan sikap Arnold yang bisanya hanya memberinya rasa sakit. "Anda punya hak untuk membawa Nyonya Emily kembali, Tuan," ucap Robert tegas. "Dengan paksaan? Dia akan sem
Tanpa basa basi, Arlen langsung ke intinya. Arnold tersenyum, dia sudah menduga bahwa kedatangan Arlen di sini pasti ada hubungannya dengan Emily. "Kalau aku tidak mau melepaskannya, apa kau akan memaksaku?" Arnold menyeringai, Arlen pasti sangat frustasi hingga nekat mendatanginya hanya untuk meminta Arnold melepaskan Emily. "Aku tidak akan memaksamu, aku melakukan ini karena aku tahu Emily tersiksa dengan statusnya. Jadi kalau kau benar-benar mencintainya seperti yang kau bilang, maka lepaskan dia." "Tidak akan!" Arlen menghela nafasnya dalam, dia lantas berdiri sambil mengangguk. "Baiklah, kalau kau tidak mau melepasnya dengan sukarela, maka sampai jumpa di pengadilan!" Arlen berlalu meninggalkan Arnold yang menggeram kesal, bisa-bisanya laki-laki itu mengintimidasinya. "Kau sudah ikut campur terlalu dalam Arlen, aku terima tantanganmu. Kita akan bertemu di pengadilan!" Arlen meninggalkan Maurer Corp dengan rasa kecewa. Dia boleh kalah dan menyerah saat Arnold
Arnold setengah berteriak hingga membuat beberapa orang yang ada di lobby melirik ke arahnya. 'Kalau sampai kamu berani menyentuhnya, aku tidak akan tinggal diam!' 'Aduh bagaimana ya, masalahnya aku dan Emily kan pasangan kekasih, jadi tidak mungkin aku tidak melakukan apa-apa padanya, terlebih kami sekarang berduaan di kamar hotel.' Ancaman Arnold nyatanya tidak membuat Arlen takut, dia malah semakin memanas-manasi Arnold. 'Jangan sentuh istriku, aku bisa menuntutmu!' 'Tuntut saja kalau bisa!' Arlen menyeringai sambil membayangkan bagaimana tampang Arnold yang sedang murka. 'Arlen aku pering-' "Sayang, ini minuman yang kamu pesan." Terdengar suara lain di sebelah Arlen, samar tapi Arnold mengenalinya, itu suara Emily, istrinya. "Ah kamu membuatkan ku minuman, apa ini sebagai hadiah untukku karena telah…" Arlen sengaja menggantungkan kalimatnya agar Arnold berpikiran yang tidak-tidak. Ia bahkan dengan sengaja mendesis, seakan terjadi sesuatu pada mereka berdua.
Sarah menangis sesenggukan, penampilannya saat ini sungguh miris. Jauh dari kata cantik dan anggun. Sarah yang dulu cantik dan menawan kini terlihat kumal dan acak-acakan. Arnold memejamkan matanya demi meminimalisir rasa sesak di dadanya. Empat tahun wanita yang ada di hadapannya ini sudah menipunya dan bodohnya ia sangat percaya padanya. "Aku datang ke sini hanya untuk memastikan bahwa kamu mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatanmu!" Rahang Arnold mengeras, sebenarnya penjara saja tidak cukup untuk kesalahan yang Sarah perbuat. Namun Arnold masih punya sedikit rasa iba dan menyerahkan semuanya kepada pihak yang berwajib. "Arnold! Kamu berubah semenjak wanita murahan itu hadir dalam pernikahan kita! Kamu bahkan tega memenjarakan ku agar bisa bersamanya bukan, Si Jalang Emily!" Mendengar Sarah mengatai Emily, amarah Arnold kembali tersulut. "DIAM! Kamu yang tidak tahu diri! Aku tidak menyangka kamu rela melakukan apa saja hanya untuk memenuhi hasratmu! Aku benar-benar
Kedatangan Arlen dan Emily disambut oleh pegawai restoran di depan pintu masuk. "Maaf apa Anda sudah memesan meja?" "Ya, atas nama Arlen Sebastian." Setelah memeriksa nama yang Arlen sebutkan di layar komputer, dengan sopan pegawai restoran langsung mengantarkan mereka berdua ke lantai atas. Sesampainya di lantai dua, Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tak nampak ada orang lain di sana, hanya ada mereka bertiga. Arlen dengan sigap menarik kan kursi untuk Emily. "Silahkan duduk, Sayangku." Emily lantas duduk dengan raut bingung. "Apa lagi ini Arlen?" tanyanya gugup. Untuk kesekian kalinya, perlakuan Arlen yang mungkin biasa bagi pasangan kekasih lainnya, tapi bagi Emily ini sungguh luar biasa. "Berarti aku harusnya mendapatkan satu kecupan di sini!" tunjuk Arlen ke pipi kirinya. Emily menunduk, wajahnya merona. Setelah memesan makan malam kepada waiters yang tadi mengantar mereka, keduanya mengobrol ringan. Masih seputar hubungan mereka yang semakin dekat walaup
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya
“Jangan terlalu dekat dengan Alex, aku tidak suka,” ucap Arnold sambil mengusap bibir Emily yang masih tampak kemerahan setelah ciuman mereka. Suaranya pelan namun tegas, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan. Emily menarik napas, berusaha mengontrol emosinya. “Aku sudah menganggap Alex dan Vania seperti saudaraku sendiri. Tidak lebih.” Wajah Arnold menegang. “Tetap saja aku tidak suka!” Tatapan keduanya saling mengunci. Dalam keheningan itu, seolah waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, saling menyelami isi hati melalui mata yang mengisyaratkan lebih dari sekadar kata-kata. Emosi, kekhawatiran, dan cinta yang campur aduk terpancar dalam diam. Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya menyerah. Ia tahu Arnold sudah cukup bersabar menghadapi sikap keras kepalanya akhir-akhir ini. Arnold perlahan bangkit dari atas tubuh Emily dan duduk di sampingnya. Wajahnya serius. “Mana handphone-mu? Berikan padaku!” Suaranya dalam, sedikit mengandung nada perint
Rahang Arnold tampak mengetat, otot-ototnya menegang hingga tampak jelas dari garis wajahnya yang keras. Sejak awal, dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Alex—lelaki yang tampak terlalu dekat dengan Emily, terlalu sering muncul di sisinya, dan terlalu membuatnya merasa terancam. Bukan hanya Alex. Bahkan dengan Arlen dan laki-laki lain yang sekadar bertukar tawa dengan Emily pun, Arnold tidak bisa menahan bara cemburu yang terus menyala dalam dirinya. Emily adalah miliknya. Dan ia tidak suka jika perempuan itu dekat dengan siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki selain dirinya. "Emily tidak punya siapa-siapa lagi setelah kau menghancurkan keluarganya," ucap Arnold, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Jadi aku, sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil, tidak akan membiarkanmu menyakiti Emily lagi untuk yang kedua kalinya." Matanya memerah, sorot matanya menusuk tajam ke arah Alex, penuh amarah dan tekad yang me
"Gak apa-apa, Arnold bisa nahan diri kok." Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily dan Arnold di depan pintu kamar. Emily menarik napas dalam, sementara Arnold hanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. "Angel di mana, Sayang?" tanya Arnold sambil membalikkan badan menatap Emily. "Dia menginap di tempat Livia. Tadinya aku juga mau menginap di sana, terus Mama bilang Mama sudah memesankan kamar untukku," jawab Emily sambil memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Mama ini," desah Arnold, mengusap pelipisnya. "Tunggu sebentar!" Tanpa menunggu respons, Arnold masuk ke dalam dan beberapa detik kemudian keluar kembali dengan handphone dan dompet di tangan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Ayo, aku pesankan kamar yang baru," ucapnya sambil menggenggam jemari Emily, menariknya perlahan menuju lobby. "Aku bukannya tidak mau tidur denganmu, tapi aku takut tidak bisa menahan diriku!" ucap Arnold dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengecup puncak kepala Emily,
Arnold kembali melamarnya. Kali ini di depan butik branded yang berkilau, dipenuhi kaca besar dan lampu etalase yang memantulkan cahaya gemerlap malam Paris. Aksi Arnold spontan itu sontak mencuri perhatian, disaksikan banyak pasang mata yang lalu lalang di trotoar Champs-Élysées. "Arnold, bangun. Ada banyak orang di sini!" bisik Emily panik, wajahnya memerah menahan malu. "Aku tidak akan bangun sebelum kau memberiku jawaban. Maukah kau menikah denganku?" tanyanya sekali lagi, suara Arnold terdengar bulat dan mantap. "Kalau kau tidak mau, aku siap menggantikanmu, Emily!" seru Vania tiba-tiba, sambil mengarahkan kamera ponselnya ke Arnold yang masih berlutut. Sejak tadi ia sibuk merekam video lamaran itu dengan senyum geli dan semangat yang tak bisa disembunyikan. Emily langsung menatapnya tajam, membuat Angel dan Vania meledak dalam tawa kecil yang tertahan. Netra Emily kembali menatap lembut manik mata hitam Arnold. Ada keraguan yang perlahan luluh dalam tatapan penuh cinta itu.
"Pernahkah kau bertanya bagaimana perasaan Emily kepadamu? Apa kau tidak penasaran, Arnold?" Suara Vania terdengar tenang namun menusuk. Di dalam ruang tamu yang remang dan hangat itu, tiga orang duduk dalam diam sejenak. Robert menyandarkan dirinya ke kursi, sementara Arnold menatap mereka berdua bergantian, matanya menyiratkan kebingungan yang samar. Arnold akhirnya bersuara, suaranya terdengar mantap, namun ada bayangan keraguan yang tersembunyi. "Pernah," katanya sambil menarik napas dalam. "Aku bahkan menanyakannya langsung kepada Emily. Dia bilang dia mencintaiku." Vania mengerutkan kening. "Kalau dia cinta, harusnya dia tidak langsung minta putus, kan?" Perkataan itu membuat dada Arnold bergemuruh. Untuk sesaat, ia tidak tahu harus berkata apa. Keraguan yang selama ini ia pendam perlahan menyeruak ke permukaan. "Tapi aku bisa mengerti bagaimana perasaannya. Wajar kalau dia marah dan kesal saat melihatku bersama wanita lain, lalu meminta putus," jawab Arnold pelan, seolah
"Tuan, Nona pergi ke Paris!" Robert meletakkan data perjalanan Emily yang didapatnya barusan dari hacker andalannya. "Paris?" Robert mengangguk. "Atur jetpriku sekarang juga, aku harus segera ke Paris untuk menjemput Emily!" "Tapi kan kita tidak tahu Nyonya Emily ada di mana." "Itulah gunanya uang, buat apa uangku yang banyak itu kalau aku tidak bisa menemukan di mana calon istriku!" Robert tersenyum canggung. "Nah sekarang tunggu apalagi? Nunggu Emily di ambil orang baru kamu mau atur perjalananku?" Robert bergegas keluar ruangan Arnold dan menghubungi pihak bandara, setelah itu dia menghubungi detektif untuk mencari keberadaan Emily. "Susah kalau sudah berhubungan dengan cinta, sampai ke ujung dunia pun tampaknya Tuan Arnold akan mengejar Nyonya Emily. Aku kapan ya bisa merasakan cinta seperti itu?" gumam Robert dan terdengar oleh Gwen, sekretaris Arnold. "Makanya sesekali jalan ke Mall, jangan tahunya kemana mana ikut Tuan Arnold terus," celetuk Gwen sambil berlalu. "So
Alex membunyikan klaksonnya ketika Emily sudah memasuki halaman rumahnya. Bukan tanpa alasan Alex sangat baik kepada Emily, dengan statusnya yang sekarang masih sendiri. Alex merasa harus menjaga Emily karena Emily sebatang kara. Setelah memarkirkan mobilnya, Emily masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Tanpa Emily sadari sejak tadi ada seseorang yang memperhatikannya di balik kaca mobilnya. Arnold melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Emily setelah melihat sang kekasih masuk ke dalam rumah. Arnold yang mengikuti Emily sejak dari rumah makannya, juga melihat Emily berbincang dengan Alex hingga kekasihnya itu dikawal pulang oleh Alex. Cemburu, sudah pasti. Tapi mau bagaimana lagi. Arnold tidak ingin ingkar janji, dia sudah terlanjur mengatakan akan membiarkan Emily bebas dalam seminggu ini sembari memikirkan jawaban atas lamarannya. Setelah selesai membersihkan diri, Emily tidak langsung tertidur. Dia membuat secangkir teh hangat untuk menemaninya menonton televisi.
Emily menatap lekat wajah Arnold, wajah sendu yang memang jarang terlihat senyuman di bibirnya akhir-akhir ini. Sekali lagi Arnold mengecup bibir Emily, memagutnya lembut. Mencurahkan cintanya yang begitu besar, yang hanya dia yang merasakannya. Entah sudah berapa kali mereka mengalami ini, tetapi pagutan Arnold hari ini benar-benar berbeda. Manis, lembut, dan candu. Dan Emily benar-benar rindu pada pria ini. Tangan Arnold bergerak hingga mengelus punggungnya, tapi tak berapa lama ia menghentikan gerakannya dan memutus tautan bibir itu. Arnold melakukan itu karena ia tak ingin menyakiti dan memaksa Emily. "Aku ingin memberimu waktu yang cukup untuk memikirkannya, saat aku tak berada di sisimu, aku harap kau bisa menyadarinya, apa cinta itu ada untukku? Ataukah hanya aku yang mencinta." Terdengar getir, Arnold yang sangat menginginkan Emily, tentunya ingin perasaannya berbalas, tapi dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. "Baiklah, aku akan memikirkannya." Emily mengusap