Matahari belum terbit saat suara handphone Emily membangunkan wanita itu. Dengan mata yang masih tertutup, Emily meraih handphonenya yang tergeletak di samping bantal dan mengangkat panggilan itu. 'Ya, halo.' 'Emily, kau ada di mana?' Mata Emily sontak terbuka lebar, suara yang sangat dikenalnya. 'Dari mana kau tahu nomor handphoneku, Arnold?' bentakan Emily tidak tampak selayaknya orang yang berapi-api, saking terlalu lembut dirinya. 'Emily aku akan menjemputmu, katakan di mana kau berada!' 'Bukan urusanmu!' jawab Emily ketus sambil menekan tombol reject. Emily menghela nafasnya dan melempar handphonenya ke sembarang arah. Sesaat matanya terpaku pada cincin berlian yang ada di jari manisnya. Tadi malam Arlen memintanya untuk menikah dengannya namun detik berikutnya Emily harus menerima kenyataan pahit. Emily beranjak dari tidurnya dan bergegas mengemasi barangnya, pagi-pagi sekali dia pergi meninggalkan hotel tanpa mengabari Arlen. Sementara itu di kamarnya, Arlen terbangu
Tidak ada yang bisa Arnold lakukan, daripada kehilangan Emily selamanya, lebih baik mengalah dulu saja. Kalau Emily berada di rumah mendiang orang tuanya masih jauh lebih baik daripada berada di rumah Arlen. "Jangan tampakkan wajahmu lagi disini!" ucapnya sambil mendorong Arnold dan membanting pintunya. Emily mengunci pintu dan bersandar di belakangnya sambil memejamkan mata. "Jaga dirimu, aku sangat mencintaimu!" Samar, Emily mendengar suara Arnold sebelum suara langkah kaki menjauh dan setelahnya sepi… Emily kembali sendirian, tanpa orang tua, tanpa suami, tanpa siapapun. Tok.. Tok.. Tok.. Pintu kembali diketuk, Emily sudah siap memaki Arnold. Dibukanya pintu, namun bukan Arnold yang datang melainkan Jovanka. "Hai Emily!" Senyum sinis nya masih sama seperti saat mereka terakhir bertemu. "Mau apa kau kesini?" tanya Emily dingin. "Apa hubunganmu dengan Arnold? Bukannya Arlen bilang kau adalah kekasihnya, lalu kenapa Arnold menemuimu?" Emily mengernyitkan keningnya bingung.
Emily bangun pagi sekali, dia kesulitan tidur karena memikirkan sidang perdana Sarah hari ini. Selain Arnold, Emily juga turut mengajukan tuntutan kepada Sarah atas gugurnya kandungannya waktu itu. Dari rangkaian pahitnya kehidupannya di rumah Arnold, Sarah berperan penting sebagai salah satu penyebabnya. "Aku harus mendapatkan keadilan, wanita licik itu harus mendapat hukuman yang setimpal." Dengan menaiki taksi, Emily sudah tiba di pengadilan setengah jam sebelum sidang dimulai. Belum ada orang yang Emily kenal, Emily menunggu sendirian di depan ruang sidang. Satu persatu orang berdatangan dan memasuki ruang sidang. Emily ikut masuk dan memilih tempat duduk paling depan. Sejak memasuki ruang sidang, jantung Emily berdebar kencang, terlebih saat Majelis Hakim, Penuntut Umum dan Kuasa Hukum memasuki ruang sidang dan menempati posisinya. "Kau sendirian?" Emily menoleh, Arnold duduk di sampingnya sambil tersenyum, tidak lama Nyonya Ruby dan Tuan William menyusul dan duduk di ku
Jovanka setengah berlari menghampiri Arlen yang masih mengetuk pintu depan kediaman Emily. Arlen tampak membawa paper bag di tangan sebelah kirinya. Tok! Tok! Tok! Sudah lebih dari 3 menit Arlen mengetuk, namun si empunya rumah belum kunjung membukakan pintu. "Emily! Apa kau ada di rumah?" Arlen setengah berteriak memanggil Emily. Arlen kebingungan sejak pulang dari Manchester, dia tidak bisa menghubungi Emily karena handphonenya ditinggalkan di hotel. Menurut Mike, Emily juga sudah mengajukan surat pengunduran dirinya. Arlen masih coba mengetuk pintu sambil memanggil nama Emily ketika tangan putih mulus melingkar di perutnya. Arlen sontak menoleh. "Jovanka!" Arlen kaget bukan main, dia membalik badannya dengan tangan Jovanka yang masih melingkar di pinggangnya, Jovanka tidak melepaskannya. Arlen tidak menyangka Jovanka ada di London. "Kau kembali ke London?" Jovanka mengangguk sambil tersenyum, dibenamkannya dirinya ke dalam pelukan Arlen. "Aku ingin memperbaiki kesalahan
"Katakan Nyonya, apa yang harus saya lakukan?" Sebagai penebus kesalahannya di masa lalu yang pernah turut andil dalam luka batin yang Emily rasakan, Sally akan melakukan apa saja yang Emily minta. "Tolong ambilkan perhiasan yang ku simpan di dalam lemari pakaianku!" "Perhiasan Nyonya?" Emily mengangguk dengan cepat. "Nyonya, maafkan saya. Perhiasan Nyonya beberapa minggu yang lalu di ambil oleh Nyonya Sarah. Dan saat Nyonya Ruby tahu, semua perhiasan akhirnya dibawa ke kediaman Nyonya Ruby." "Bukan, bukan perhiasan yang ada di laci meja riasku, tapi perhiasan yang aku taruh di dalam lemari pakaianku, di bawah tumpukan baju-bajuku, Sally. Kalung pemberian ibuku." Harta satu-satunya yang Emily miliki saat ini. Emily membutuhkan uang untuk memulai usaha. Dia berencana membuka kedai tapi dia tidak memiliki cukup uang dan tidak ada harta yang ditinggalkan kedua orang tuanya selain rumah yang ditempatinya sekarang. "Tapi saya takut menggeledah lemari Nyonya, takut kalau Tua
"Nyo-Nyonya tadi ke rumah mengambil kalung pemberian ibunya yang ditinggalkan nyonya di dalam lemari pakaiannya dan sekarang Nyonya berjalan menuju bus yang ada di sana," tunjuknya ke arah depan. Arnold segera masuk ke dalam mobil dan melajukan nya dengan kecepatan tinggi berharap bisa bertemu Emily dan membawanya kembali. Mobil Arnold menepi tepat di belakang Bus yang baru saja Emily masuki. "Emily!" tangannya terangkat namun kembali dijatuhkannya di atas setir. Arnold lalu memukul setir kemudinya karena kesal. Hanya terlambat beberapa detik dan dia harus kehilangan kesempatan ini. Bus melaju dengan pelan, Arnold akhirnya memutuskan untuk mengikuti bus yang membawa Emily untuk memastikan bahwa istrinya sampai ke rumah dalam keadaan selamat. Perhentian pertama, Arnold ikut menepikan mobilnya. Tidak disangka ternyata Emily turun dan berjalan menuju Mall. Arnold kembali melajukan mobilnya dan memarkirkannya di parkiran Mall dengan tetap mengikuti arah langkah Emily. Saat keluar d
Arnold mengulurkan tangannya kepada Emily namun bukannya disambut, Emily hanya menatap uluran tangan tersebut. Nyonya Ruby tersenyum, bagaimanapun juga dia sadar bahwa anaknya telah dengan sengaja menyakiti Emily. Tapi awal mula permasalahan mereka justru datang darinya. Dia yang membawa Emily masuk ke dalam rumah tangga Arnold dan Sarah. Dia yang menginginkan Emily menjadi istri Arnold di saat sang anak tengah tergila gila dengan istri psikopatnya. Jadi, dirinya juga harus ikut bertanggung jawab atas luka yang Emily rasakan. Diraihnya tangan Emily dan disatukannya dengan tangan Arnold. "Biarkan suamimu mengantarkanmu pulang!" ucapnya sembari mengusap dua tangan yang sudah bersatu itu. Seulas senyum terbit di bibir Arnold. Tapi wajah Emily masih saja datar. Emily akhirnya mengangguk dan pasrah saja saat Arnold membawanya ke mobil. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Emily, Arnold tidak henti tersenyum, sesekali mencuri pandang ke arah Emily yang menatap lurus ke depan,
Tidak hanya ketiga wanita yang berdekatan itu yang menatap ke arah Arnold, tapi juga pengunjung lain yang rata-rata perempuan ikut menatap ke arah laki-laki tampan dengan sejuta pesona yang kini berjalan dengan gagah menuju ke arah Emily berada, tepat di samping Jovanka dan Nyonya Ruby yang tengah berdiri. Jovanka membalik badannya, jantungnya berdebar-debar. Apa dia tidak salah dengar? Arnold barusan memanggilnya sayang? Tidak mungkinkan Arnold memanggil mamanya sayang, jadi bisa dipastikan yang dipanggil Arnold sayang adalah dirinya. Jovanka menatap kedatangan Arnold dengan senyum angkuhnya, dadanya membusung dengan dagu diangkat ke atas, para pramuniaga toko ikut menatap ke arah Jovanka sambil berbisik. "Apa itu kekasihnya? Ah beruntung sekali. Aku tidak akan menolak laki-laki setampan itu!" samar bisikan itu terdengar di telinga Jovanka dan Emily. Emily kembali menunduk dan meneruskan bacaannya. Sementara itu Jovanka sudah melebarkan tangannya bersiap menyambut Arnold ke d
Berikut adalah perbaikan teks sesuai dengani "Baik, Tuan!" Robert pasrah dengan keputusan yang dibuat oleh Arnold. Robert percaya bahwa apa pun yang diputuskan oleh Arnold pasti sudah dipikirkan dengan matang oleh sang bos. "Belajar melepaskannya, walaupun berat. Aku percaya, kalau memang dia jodohku, kami pasti akan bersama lagi." "Yang Tuan katakan benar. Siapa tahu, saat status kalian berubah, cinta itu justru hadir di hati Nyonya." "Semoga saja. Sekarang antarkan aku ke rumah. Aku harus mengambil surat pernikahan kami dan surat perjanjian kontrak. Aku akan memberikan semua haknya sebagai istriku." --- Sementara itu, di rumah makannya, setelah puas menumpahkan kesedihannya, Emily akhirnya keluar dari ruang penyimpanan. Emily duduk di belakang meja kasir sambil mengecek stok bahan yang masih tersedia. Ia mencoba untuk acuh, tetapi perkataan Robert tadi siang cukup membuat mood-nya berantakan. Bukankah Emily tidak bersalah? Arnold yang bersalah. Seharusnya dia yan
"Laki-laki yang tadi mengejar Nona." "Buang saja!" Emily keluar dari ruang penyimpanan dan mengintip dari balik tirai pembatas. Sepi, tidak ada lagi orang di luar. "Tuan itu bilang Nona harus membacanya, kalau tidak, dia akan mengirimkan surat ini setiap hari." Emily menggertakkan giginya saking kesal. Diambilnya surat yang dipegang oleh kasir rumah makannya. Emily kembali duduk di meja kasir dan membacanya. "Saat kau membaca surat ini, aku sudah pergi meninggalkan istriku yang cantik. Sayang, terima kasih makan siangnya. Hari ini adalah hari ulang tahunku, makan masakanmu adalah kado terindah di hari spesial ini. Aku mencintaimu, Nyonya Arnold Edgar." "Cih, gombalan tidak bermutu. Aku pikir dia akan bilang tidak akan lagi menggangguku." Emily meremas surat yang Arnold tulis dan melemparkannya ke bak sampah. "Kita tutup lebih cepat hari ini. Mood-ku sedang jelek." Kelima karyawannya saling bertatap, baru kali ini bos mereka bersikap aneh. Setelah menutup rumah makannya, Emi
"Apa maksudmu?" Arlen menatap Jovanka dengan tatapan jijik. Wanita ini ada di mana mana, kemarin dia mendatangi Arlen ke SBC, hari ini dia ke rumah Emily. "Aku dan kamu punya keinginan yang sama, tidak salahnya kita bekerja sama bukan?" "Kau bekerja saja sendiri, aku tidak sudi bekerja sama dengan wanita licik sepertimu!" Arlen berlalu meninggalkan Jovanka. Jovanka yang membutuhkan bantuan Arlen lantas menarik tangannya dan mencoba merayunya kembali. "Aku mohon, aku tidak punya cukup uang untuk menjalankan aksiku. Aku butuh bantuanmu untuk memisahkan Arnold dan Emily. Tidak gratis, aku akan membayarnya dengan tubuhku!" Ucapan Jovanka justru menyulut emosi Arlen. Dirinya semakin murka, bagaimana bisa dia jatuh cinta pada wanita murahan ini hingga membuat Emily menjauh darinya. "Dasar tidak tahu malu, kamu tidak punya harga diri. Jangankan harus membayar, diberi gratis pun aku tidak mau,dasar menjijikkan!" Arlen menghempaskan tangannya hingga Jovanka hampir terjatuh, un
Tidak hanya ketiga wanita yang berdekatan itu yang menatap ke arah Arnold, tapi juga pengunjung lain yang rata-rata perempuan ikut menatap ke arah laki-laki tampan dengan sejuta pesona yang kini berjalan dengan gagah menuju ke arah Emily berada, tepat di samping Jovanka dan Nyonya Ruby yang tengah berdiri. Jovanka membalik badannya, jantungnya berdebar-debar. Apa dia tidak salah dengar? Arnold barusan memanggilnya sayang? Tidak mungkinkan Arnold memanggil mamanya sayang, jadi bisa dipastikan yang dipanggil Arnold sayang adalah dirinya. Jovanka menatap kedatangan Arnold dengan senyum angkuhnya, dadanya membusung dengan dagu diangkat ke atas, para pramuniaga toko ikut menatap ke arah Jovanka sambil berbisik. "Apa itu kekasihnya? Ah beruntung sekali. Aku tidak akan menolak laki-laki setampan itu!" samar bisikan itu terdengar di telinga Jovanka dan Emily. Emily kembali menunduk dan meneruskan bacaannya. Sementara itu Jovanka sudah melebarkan tangannya bersiap menyambut Arnold ke d
Arnold mengulurkan tangannya kepada Emily namun bukannya disambut, Emily hanya menatap uluran tangan tersebut. Nyonya Ruby tersenyum, bagaimanapun juga dia sadar bahwa anaknya telah dengan sengaja menyakiti Emily. Tapi awal mula permasalahan mereka justru datang darinya. Dia yang membawa Emily masuk ke dalam rumah tangga Arnold dan Sarah. Dia yang menginginkan Emily menjadi istri Arnold di saat sang anak tengah tergila gila dengan istri psikopatnya. Jadi, dirinya juga harus ikut bertanggung jawab atas luka yang Emily rasakan. Diraihnya tangan Emily dan disatukannya dengan tangan Arnold. "Biarkan suamimu mengantarkanmu pulang!" ucapnya sembari mengusap dua tangan yang sudah bersatu itu. Seulas senyum terbit di bibir Arnold. Tapi wajah Emily masih saja datar. Emily akhirnya mengangguk dan pasrah saja saat Arnold membawanya ke mobil. Sepanjang perjalanan menuju kediaman Emily, Arnold tidak henti tersenyum, sesekali mencuri pandang ke arah Emily yang menatap lurus ke depan,
"Nyo-Nyonya tadi ke rumah mengambil kalung pemberian ibunya yang ditinggalkan nyonya di dalam lemari pakaiannya dan sekarang Nyonya berjalan menuju bus yang ada di sana," tunjuknya ke arah depan. Arnold segera masuk ke dalam mobil dan melajukan nya dengan kecepatan tinggi berharap bisa bertemu Emily dan membawanya kembali. Mobil Arnold menepi tepat di belakang Bus yang baru saja Emily masuki. "Emily!" tangannya terangkat namun kembali dijatuhkannya di atas setir. Arnold lalu memukul setir kemudinya karena kesal. Hanya terlambat beberapa detik dan dia harus kehilangan kesempatan ini. Bus melaju dengan pelan, Arnold akhirnya memutuskan untuk mengikuti bus yang membawa Emily untuk memastikan bahwa istrinya sampai ke rumah dalam keadaan selamat. Perhentian pertama, Arnold ikut menepikan mobilnya. Tidak disangka ternyata Emily turun dan berjalan menuju Mall. Arnold kembali melajukan mobilnya dan memarkirkannya di parkiran Mall dengan tetap mengikuti arah langkah Emily. Saat keluar d
"Katakan Nyonya, apa yang harus saya lakukan?" Sebagai penebus kesalahannya di masa lalu yang pernah turut andil dalam luka batin yang Emily rasakan, Sally akan melakukan apa saja yang Emily minta. "Tolong ambilkan perhiasan yang ku simpan di dalam lemari pakaianku!" "Perhiasan Nyonya?" Emily mengangguk dengan cepat. "Nyonya, maafkan saya. Perhiasan Nyonya beberapa minggu yang lalu di ambil oleh Nyonya Sarah. Dan saat Nyonya Ruby tahu, semua perhiasan akhirnya dibawa ke kediaman Nyonya Ruby." "Bukan, bukan perhiasan yang ada di laci meja riasku, tapi perhiasan yang aku taruh di dalam lemari pakaianku, di bawah tumpukan baju-bajuku, Sally. Kalung pemberian ibuku." Harta satu-satunya yang Emily miliki saat ini. Emily membutuhkan uang untuk memulai usaha. Dia berencana membuka kedai tapi dia tidak memiliki cukup uang dan tidak ada harta yang ditinggalkan kedua orang tuanya selain rumah yang ditempatinya sekarang. "Tapi saya takut menggeledah lemari Nyonya, takut kalau Tua
Jovanka setengah berlari menghampiri Arlen yang masih mengetuk pintu depan kediaman Emily. Arlen tampak membawa paper bag di tangan sebelah kirinya. Tok! Tok! Tok! Sudah lebih dari 3 menit Arlen mengetuk, namun si empunya rumah belum kunjung membukakan pintu. "Emily! Apa kau ada di rumah?" Arlen setengah berteriak memanggil Emily. Arlen kebingungan sejak pulang dari Manchester, dia tidak bisa menghubungi Emily karena handphonenya ditinggalkan di hotel. Menurut Mike, Emily juga sudah mengajukan surat pengunduran dirinya. Arlen masih coba mengetuk pintu sambil memanggil nama Emily ketika tangan putih mulus melingkar di perutnya. Arlen sontak menoleh. "Jovanka!" Arlen kaget bukan main, dia membalik badannya dengan tangan Jovanka yang masih melingkar di pinggangnya, Jovanka tidak melepaskannya. Arlen tidak menyangka Jovanka ada di London. "Kau kembali ke London?" Jovanka mengangguk sambil tersenyum, dibenamkannya dirinya ke dalam pelukan Arlen. "Aku ingin memperbaiki kesalahan
Emily bangun pagi sekali, dia kesulitan tidur karena memikirkan sidang perdana Sarah hari ini. Selain Arnold, Emily juga turut mengajukan tuntutan kepada Sarah atas gugurnya kandungannya waktu itu. Dari rangkaian pahitnya kehidupannya di rumah Arnold, Sarah berperan penting sebagai salah satu penyebabnya. "Aku harus mendapatkan keadilan, wanita licik itu harus mendapat hukuman yang setimpal." Dengan menaiki taksi, Emily sudah tiba di pengadilan setengah jam sebelum sidang dimulai. Belum ada orang yang Emily kenal, Emily menunggu sendirian di depan ruang sidang. Satu persatu orang berdatangan dan memasuki ruang sidang. Emily ikut masuk dan memilih tempat duduk paling depan. Sejak memasuki ruang sidang, jantung Emily berdebar kencang, terlebih saat Majelis Hakim, Penuntut Umum dan Kuasa Hukum memasuki ruang sidang dan menempati posisinya. "Kau sendirian?" Emily menoleh, Arnold duduk di sampingnya sambil tersenyum, tidak lama Nyonya Ruby dan Tuan William menyusul dan duduk di ku