Tidak hanya ketiga wanita yang berdekatan itu yang menatap ke arah Arnold, tapi juga pengunjung lain yang rata-rata perempuan ikut menatap ke arah laki-laki tampan dengan sejuta pesona yang kini berjalan dengan gagah menuju ke arah Emily berada, tepat di samping Jovanka dan Nyonya Ruby yang tengah berdiri. Jovanka membalik badannya, jantungnya berdebar-debar. Apa dia tidak salah dengar? Arnold barusan memanggilnya sayang? Tidak mungkinkan Arnold memanggil mamanya sayang, jadi bisa dipastikan yang dipanggil Arnold sayang adalah dirinya. Jovanka menatap kedatangan Arnold dengan senyum angkuhnya, dadanya membusung dengan dagu diangkat ke atas, para pramuniaga toko ikut menatap ke arah Jovanka sambil berbisik. "Apa itu kekasihnya? Ah beruntung sekali. Aku tidak akan menolak laki-laki setampan itu!" samar bisikan itu terdengar di telinga Jovanka dan Emily. Emily kembali menunduk dan meneruskan bacaannya. Sementara itu Jovanka sudah melebarkan tangannya bersiap menyambut Arnold ke d
"Apa maksudmu?" Arlen menatap Jovanka dengan tatapan jijik. Wanita ini ada di mana mana, kemarin dia mendatangi Arlen ke SBC, hari ini dia ke rumah Emily. "Aku dan kamu punya keinginan yang sama, tidak salahnya kita bekerja sama bukan?" "Kau bekerja saja sendiri, aku tidak sudi bekerja sama dengan wanita licik sepertimu!" Arlen berlalu meninggalkan Jovanka. Jovanka yang membutuhkan bantuan Arlen lantas menarik tangannya dan mencoba merayunya kembali. "Aku mohon, aku tidak punya cukup uang untuk menjalankan aksiku. Aku butuh bantuanmu untuk memisahkan Arnold dan Emily. Tidak gratis, aku akan membayarnya dengan tubuhku!" Ucapan Jovanka justru menyulut emosi Arlen. Dirinya semakin murka, bagaimana bisa dia jatuh cinta pada wanita murahan ini hingga membuat Emily menjauh darinya. "Dasar tidak tahu malu, kamu tidak punya harga diri. Jangankan harus membayar, diberi gratis pun aku tidak mau,dasar menjijikkan!" Arlen menghempaskan tangannya hingga Jovanka hampir terjatuh, un
"Laki-laki yang tadi mengejar Nona." "Buang saja!" Emily keluar dari ruang penyimpanan dan mengintip dari balik tirai pembatas. Sepi, tidak ada lagi orang di luar. "Tuan itu bilang Nona harus membacanya, kalau tidak, dia akan mengirimkan surat ini setiap hari." Emily menggertakkan giginya saking kesal. Diambilnya surat yang dipegang oleh kasir rumah makannya. Emily kembali duduk di meja kasir dan membacanya. "Saat kau membaca surat ini, aku sudah pergi meninggalkan istriku yang cantik. Sayang, terima kasih makan siangnya. Hari ini adalah hari ulang tahunku, makan masakanmu adalah kado terindah di hari spesial ini. Aku mencintaimu, Nyonya Arnold Edgar." "Cih, gombalan tidak bermutu. Aku pikir dia akan bilang tidak akan lagi menggangguku." Emily meremas surat yang Arnold tulis dan melemparkannya ke bak sampah. "Kita tutup lebih cepat hari ini. Mood-ku sedang jelek." Kelima karyawannya saling bertatap, baru kali ini bos mereka bersikap aneh. Setelah menutup rumah makannya, Emi
"Baik, Tuan!" Robert pasrah dengan keputusan yang dibuat oleh Arnold. Robert percaya bahwa apa pun yang diputuskan oleh Arnold pasti sudah dipikirkan dengan matang oleh sang bos. "Belajar melepaskannya, walaupun berat. Aku percaya, kalau memang dia jodohku, kami pasti akan bersama lagi." "Yang Tuan katakan benar. Siapa tahu, saat status kalian berubah, cinta itu justru hadir di hati Nyonya." "Semoga saja. Sekarang antarkan aku ke rumah. Aku harus mengambil surat pernikahan kami dan surat perjanjian kontrak. Aku akan memberikan semua haknya sebagai istriku." --- Sementara itu, di rumah makannya, setelah puas menumpahkan kesedihannya, Emily akhirnya keluar dari ruang penyimpanan. Emily duduk di belakang meja kasir sambil mengecek stok bahan yang masih tersedia. Ia mencoba untuk acuh, tetapi perkataan Robert tadi siang cukup membuat mood-nya berantakan. Bukankah Emily tidak bersalah? Arnold yang bersalah. Seharusnya dia yang mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Wakt
Guntur bersahutan disertai kilat yang menyambar di langit malam Kota London. Arnold baru saja sampai di hotel ketika hujan lebat mengguyur. "Kenapa perasaanku tidak enak?" gumamnya sambil melepas jas yang basah terkena rintik hujan. Arnold memikirkan Emily, istrinya. Bagaimana dia pulang kalau hujan lebat seperti ini? Biasanya, sepulang kerja, Arnold menunggu Emily hingga rumah makannya tutup dan Emily kembali ke apartemennya yang memang tidak begitu jauh. "Robert, antar aku ke rumah makan Emily. Perasaanku mendadak tidak tenang, aku takut Emily tidak bisa pulang!" Robert menoleh sebentar sebelum mengangguk. "Baik, Tuan." Dia kembali menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya menuju rumah makan. "Kalau masih cinta, sebaiknya dipikir-pikir lagi, Tuan. Nanti menyesal kalau sudah bercerai," kata Robert sambil tetap fokus mengemudi. Arnold tersenyum tipis. "Justru karena cinta makanya aku menceraikannya. Emily menginginkan perceraian itu. Bukankah cinta tidak harus memil
Arnold terhuyung, namun tidak jatuh. Matanya tetap menyala penuh kemarahan. "Kau... akan menyesal..." geramnya sambil menahan sakit. Dengan sekuat tenaga, Arnold berbalik dan menghantam preman itu dengan siku hingga tersungkur. Robert melayangkan pukulan telaknya hingga membuat penjahat itu terkapar. Sirene polisi terdengar di kejauhan, setelah memastikan penjahatnya sudah aman di tangan polisi. Robert kembali berlari ke dalam dan mendapati Arnold terduduk sambil memegangi pinggangnya yang berlumuran darah. "Kita harus bertahan sedikit lagi," ujar Robert dengan napas memburu. "Emily, tolong buka ikatannya," pinta Arnold lirih. Robert mengambil pisau yang ada di meja kasir dan memotong ikatan tangan dan kaki Emily. Arnold mencoba berdiri sambil menahan perih. Dia hendak mengangkat Emily namun Robert menahan tangannya. "Biar saya saja, Tuan." Arnold menepis tangan Robert. "Jangan sentuh istriku, aku masih sanggup mengangkatnya!" Beberapa anggota kepolisian masuk dan membo
Melihat Emily berhenti, Nyonya Ruby ikut berhenti dan saat menyadari sayup terdengar suara Arnold, Nyonya Ruby langsung mengalihkan perhatian Emily. "Sebelum pulang apa ada yang mau Emily beli? Misalnya makanan atau apa?" Fokus Emily terpecah dan Arnold juga sudah tidak berbicara. Emily menggeleng, "Ma, apa Arnold belum datang? Maksud Emily apa dia tidak ke sini?" Emily akhirnya kembali bertanya. "Arnold belum menghubungi Mama sejak tadi, Nak. Nanti Mama telpon dia." "Jangan, Ma. Tidak usah, mungkin dia sedang sibuk." Emily kembali melanjutkan langkah kakinya menuju lift. Dia membuang jauh pikiran buruknya, 'tidak mungkin Arnold sedang dirawat, dia pasti sedang sibuk,' batinnya. Sesampainya di kediaman Nyonya Ruby. Emily dibawa ke kamar yang sudah di siapkan oleh Nyonya Ruby. Kamar yang seharusnya di tempati oleh Emily dan Arnold. Tapi karena Arnold tadi malam mengisyaratkan perpisahan dengan alasan yang cukup masuk akal, Nyonya Ruby akhirnya pasrah, setidaknya sampai d
Emily menangis tersedu, meratapi kerasnya hatinya selama ini. Nyata benar adanya, setelah kehilangan, barulah ia merasakan bahwa cinta itu masih ada. Hanya saja, selama ini tertutup oleh kebencian. "Emily, tenang dulu, Sayang." Nyonya Ruby mengusap puncak kepalanya dan mengecupnya dengan penuh kasih sayang. "Biarkan Emily menumpahkan kegundahan hatinya, Ma. Biar dia lega," ucap Papa William. Nyonya Ruby mengangguk dan membiarkan Emily menjadikan pundaknya sebagai tempat bersandar. Setelah tangisannya reda, Emily menarik napas dalam-dalam berulang kali, berusaha menenangkan diri. Ia meraup oksigen sebanyak-banyaknya agar detak jantungnya kembali stabil. "Ma, maafkan Emily. Emily terbawa perasaan." "Tidak apa-apa, Sayang. Mama mengerti." Emily memejamkan matanya sesaat sebelum meraih pulpen yang ditinggalkan Arnold. Dengan hati yang mantap, ia menandatangani dokumen itu. "Arnold ingin kamu tetap tinggal di sini. Di luar kurang aman, Sayang." Emily menggeleng. "Tidak bisa, Ma. K
Pertanyaan itu sebetulnya sudah Arnold tahu jawabannya, namun entah mengapa, tetap keluar dari mulutnya. "Menurutmu?" Emily membalikkan pertanyaan dengan nada tenang tapi penuh makna. "Tentu saja marah!" jawab Arnold cepat. Ia cukup sadar diri, menyadari rentetan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Emily tersenyum simpul, senyum yang tak bisa dibaca seluruhnya—ada luka, ada penerimaan. "Itu sudah tahu, kenapa masih bertanya?" Arnold menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang menyembunyikan getir. "Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari mulutmu," katanya pelan sambil meraih jemari istrinya, menggenggam hangat, lalu mengecupnya seolah meminta maaf lagi dan lagi, tanpa kata. Emily memandang Arnold, tak ada kemarahan di matanya, hanya ketegaran. "Bohong kalau aku bilang tidak marah. Tapi cintaku untukmu terlalu besar, sampai-sampai aku bisa memaafkanmu tanpa batas. Mungkin, bagi sebagian orang aku sangat bodoh. Mau menikah dengan laki-laki yang pernah menghancurkan
Arnold mundur dua langkah, napasnya tercekat saat melihat darah mengalir di kaki Emily. Pemandangan itu membuatnya seolah terpaku, namun dalam sekejap naluri melindunginya mengambil alih. Dia segera menghampiri, menunduk, lalu memegangi tubuh istrinya dengan cermat dan hati-hati. Ia mendudukkannya perlahan di atas toilet, takut kalau gerakan sekecil apa pun bisa menyakitinya lebih dari yang sudah terjadi. Jantung Arnold berdebar hebat, lebih cepat dari biasanya. Ini pertama kalinya dia menyaksikan siklus haid seorang perempuan secara langsung, dan di benaknya, darah yang keluar seharusnya tidak sebanyak itu. Pikirannya sempat panik, mencemaskan yang terburuk. "Apa ini menyakitkan?" tanyanya dengan suara serak, nyaris berbisik, penuh kecemasan, sambil tetap memandangi darah merah segar yang mengalir di sela-sela kaki Emily. Emily mengatur napasnya, pelan-pelan, berusaha menenangkan diri. "Sedikit nyeri," jawabnya lirih. Arnold segera menarik shower, menyetel air hangat, dan mulai m
"Apa harus sekarang?" tanya Emily dengan suara nyaris tak terdengar, sorot matanya kosong, menatap hampa ke arah bungkusan kecil berwarna putih pucat yang tergeletak di atas meja. Obat itu tampak tak berbahaya, namun ia tahu betul bahwa satu tablet kecil itu bisa membersihkan rahimnya dalam sekejap—mengakhiri harapannya, menghentikan denyut kecil yang kini masih ada di dalam perutnya. Arnold menatap Emily dengan penuh simpati, matanya mengandung kecemasan dan kesedihan yang tak terucap. Ia menggenggam jemari istrinya yang saling meremas erat di atas pahanya, mencoba menyalurkan ketenangan lewat sentuhan hangatnya. "Ingat kata Dokter, lebih cepat lebih baik. Menundanya hanya akan membuatmu semakin susah untuk melepasnya. Yakinlah, ini yang terbaik." Suaranya terdengar lembut namun tegas, mencoba menjadi jangkar di tengah badai perasaan yang melanda istrinya. Emily diam. Pikirannya melayang-layang, hatinya campur aduk. Galau tak cukup untuk menggambarkan perasaannya—ini lebih dari se
Arnold menghela napas panjang, berat dan tertahan, seolah ingin mengusir penat yang menggumpal di dadanya. Sorot matanya menatap tajam namun penuh kasih, menekuri wajah istrinya yang tengah dilanda gejolak emosi. Emily sedang tidak stabil, dan itu berarti dia harus menyiapkan diri untuk lebih sabar, lebih kuat. Ia tahu, mencintai seseorang bukan hanya saat segalanya berjalan baik, tapi justru saat badai datang menghantam. "Kalau aku hanya mencintai janin kita, aku akan membiarkanmu mengandungnya dan setelah kau tiada, maka aku mencari penggantimu!" ucap Arnold dengan nada bergetar, suaranya menggema di antara keheningan kamar yang temaram. Kata-kata itu memukul perasaan Emily. Tangisnya kembali pecah, seperti bendungan yang tak mampu lagi menahan derasnya air. Ia sendiri bingung dengan segala perasaannya. Ada cinta, ada ketakutan, ada rasa bersalah, dan ada luka lama yang belum sembuh. Kehamilan membuat emosinya mendadak labil. Ia merasa seperti kehilangan kendali atas dirinya sendi
Arnold mengambil surat itu. Dengan teliti ia membaca seluruh isi dokumen, memastikan setiap kata dan konsekuensinya. Setelah memahami sepenuhnya, ia menarik napas panjang, seolah ingin mengumpulkan seluruh keberaniannya, lalu akhirnya membubuhkan tanda tangannya di bawah lembaran surat persetujuan itu. Tangannya sedikit bergetar saat menyelesaikannya, namun tidak ada keraguan dalam goresan tinta itu—hanya ketulusan dan pengorbanan. "Oke, saya salut dengan kalian. Ini bukti cinta Tuan Arnold ke Nyonya Emily. Kalau Tuan Arnold bersikeras mempertahankan janinnya, itu artinya Tuan Arnold hanya cinta buah hatinya, bukan ibunya!" Kalimat Dokter Natasha meluncur dengan ketegasan penuh makna. Namun, ucapan itu tak serta-merta membuat Emily merasa tersanjung. Hatinya masih diliputi rasa hampa dan perih. Kenyataan bahwa ia harus mengorbankan janin yang baru tumbuh dalam rahimnya begitu berat untuk diterima. Setelah menyimpan surat pernyataan yang sudah ditandatangani Arnold, Dokter Nata
Dokter Natasha menghentikan ucapannya sejenak, membiarkan suasana hening menyelimuti ruangan. Tatapannya bergantian mengamati Arnold dan Emily, seolah mencari tanda-tanda keraguan atau ketegasan dari kedua pasiennya. Keduanya tampak berusaha tenang. Tidak ada reaksi terkejut yang berlebihan—wajar, karena mereka sudah mengetahui kemungkinan ini sebelumnya, meski tetap saja bayangan kenyataan itu terasa berat. "Mumpung usia kandungannya masih muda, saya sarankan sebaiknya kita bersihkan dulu rahimnya dan obati lukanya," ujar Dokter Natasha dengan suara datar namun penuh kehati-hatian. Arnold mengangguk sedikit, mencoba mencerna setiap kata. Namun kemudian, dengan suara yang terdengar lebih berat daripada biasanya, ia bertanya, "Kalau kami ingin mempertahankan janinnya, apa risiko yang mungkin akan istri saya hadapi, Dokter?" Dokter Natasha menautkan kedua tangan di atas meja sebelum menjawab, tatapannya menjadi lebih serius. "Kalau lukanya tidak diobati dan terus ditekan oleh
Arnold dan Emily bergegas menghampiri Angel dan seorang laki-laki yang berdiri menghadap Angel. Dari kejauhan, yang terlihat hanya rambut hitam rapi dan punggungnya yang tegap, memberi kesan penuh wibawa namun asing di mata mereka. "Angel!" panggil Arnold dengan nada penuh kecemasan. Angel menoleh cepat ketika mendengar namanya. Sontak, dia berdiri, dengan tangan yang masih erat menggenggam tangan laki-laki di hadapannya. Ekspresi Angel terlihat campur aduk—terkejut sekaligus bersalah. Laki-laki itu juga menoleh, menampakkan wajah yang segera membuat Arnold terperangah. "Alex!" desis Arnold dengan rahang mengeras. Langkah Arnold semakin cepat, penuh emosi. Tanpa berpikir panjang, ia menarik keras kerah kemeja Alex, hingga membuat Angel memekik panik. "Kak, lepasin!" teriak Angel sambil berusaha keras menarik tangan Arnold yang mencengkram Alex dengan penuh amarah. Emily yang shock segera bergerak, meraih tubuh Arnold dan menggenggam jemari suaminya yang mengepal, siap menghanta
Arnold membalas pelukan Emily erat-erat, seolah berusaha mentransfer seluruh perasaannya ke dalam pelukan itu. "Aku hanya ingin kau bahagia bersamaku!" bisiknya dengan suara serak. Sebenarnya, di dalam hatinya, Arnold belum sepenuhnya yakin untuk mempertahankan kandungan Emily. Ada ketakutan, ada keraguan yang menyesakkan dadanya. Namun, menolak permintaan Emily saat ini terasa seperti meruntuhkan dinding harapan yang mulai dibangun di antara mereka. Ia tidak sanggup berkata tidak. "Sudah, sekarang tidurlah," ucap Arnold lembut, membelai rambut Emily dengan penuh kasih sayang. "Kau harus banyak beristirahat. Besok kita harus memeriksakan kandunganmu." Dengan hati-hati, Arnold membantu Emily berbaring. Ia menyelimutinya dengan gerakan penuh perhatian, memastikan setiap bagian tubuhnya terlindungi dari dingin. Belum sempat Emily menutup mata, ia berkata dengan suara lirih, hampir seperti sebuah gumaman penuh kecemasan, "Kalau aku tidak ada nanti, apa kau akan mencari gant-" "Diam!"
"Jahe. Bukankah wangi?" Emily tertawa kecil dan mendekatkan bibirnya untuk mencium Arnold. Namun, alih-alih membalas ciuman, Arnold malah berlari ke kamar mandi. Tak lama, suara muntah terdengar keras dari dalam. Emily terpaku, bingung. "Kenapa dia muntah, padahal wanginya enak sekali?" Dengan perasaan tak enak, Emily membereskan tas kerja dan jas Arnold di walk-in closet. Saat hendak keluar, Arnold muncul dengan langkah gontai, kancing kemeja terbuka, wajahnya pucat. "Sayang, kau sakit?" tanya Emily khawatir, hendak menghampirinya. Namun Arnold segera mengangkat tangan, menghentikannya. "Diam di sana... jangan mendekat. Kepalaku pusing." Emily membeku, wajahnya berubah sendu. Perlahan ia mundur, mengambil toples permen jahe dan keluar kamar, meninggalkan Arnold yang masih berusaha menahan rasa pusingnya. "Apa yang terjadi dengannya?" bisik Emily pada dirinya sendiri, hatinya penuh tanda tanya. Emily melangkah pelan menuju dapur, mengembalikan toples permen jahe ke te