Arnold setengah berteriak hingga membuat beberapa orang yang ada di lobby melirik ke arahnya. 'Kalau sampai kamu berani menyentuhnya, aku tidak akan tinggal diam!' 'Aduh bagaimana ya, masalahnya aku dan Emily kan pasangan kekasih, jadi tidak mungkin aku tidak melakukan apa-apa padanya, terlebih kami sekarang berduaan di kamar hotel.' Ancaman Arnold nyatanya tidak membuat Arlen takut, dia malah semakin memanas-manasi Arnold. 'Jangan sentuh istriku, aku bisa menuntutmu!' 'Tuntut saja kalau bisa!' Arlen menyeringai sambil membayangkan bagaimana tampang Arnold yang sedang murka. 'Arlen aku pering-' "Sayang, ini minuman yang kamu pesan." Terdengar suara lain di sebelah Arlen, samar tapi Arnold mengenalinya, itu suara Emily, istrinya. "Ah kamu membuatkan ku minuman, apa ini sebagai hadiah untukku karena telah…" Arlen sengaja menggantungkan kalimatnya agar Arnold berpikiran yang tidak-tidak. Ia bahkan dengan sengaja mendesis, seakan terjadi sesuatu pada mereka berdua.
Sarah menangis sesenggukan, penampilannya saat ini sungguh miris. Jauh dari kata cantik dan anggun. Sarah yang dulu cantik dan menawan kini terlihat kumal dan acak-acakan. Arnold memejamkan matanya demi meminimalisir rasa sesak di dadanya. Empat tahun wanita yang ada di hadapannya ini sudah menipunya dan bodohnya ia sangat percaya padanya. "Aku datang ke sini hanya untuk memastikan bahwa kamu mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatanmu!" Rahang Arnold mengeras, sebenarnya penjara saja tidak cukup untuk kesalahan yang Sarah perbuat. Namun Arnold masih punya sedikit rasa iba dan menyerahkan semuanya kepada pihak yang berwajib. "Arnold! Kamu berubah semenjak wanita murahan itu hadir dalam pernikahan kita! Kamu bahkan tega memenjarakan ku agar bisa bersamanya bukan, Si Jalang Emily!" Mendengar Sarah mengatai Emily, amarah Arnold kembali tersulut. "DIAM! Kamu yang tidak tahu diri! Aku tidak menyangka kamu rela melakukan apa saja hanya untuk memenuhi hasratmu! Aku benar-benar
Kedatangan Arlen dan Emily disambut oleh pegawai restoran di depan pintu masuk. "Maaf apa Anda sudah memesan meja?" "Ya, atas nama Arlen Sebastian." Setelah memeriksa nama yang Arlen sebutkan di layar komputer, dengan sopan pegawai restoran langsung mengantarkan mereka berdua ke lantai atas. Sesampainya di lantai dua, Emily mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tak nampak ada orang lain di sana, hanya ada mereka bertiga. Arlen dengan sigap menarik kan kursi untuk Emily. "Silahkan duduk, Sayangku." Emily lantas duduk dengan raut bingung. "Apa lagi ini Arlen?" tanyanya gugup. Untuk kesekian kalinya, perlakuan Arlen yang mungkin biasa bagi pasangan kekasih lainnya, tapi bagi Emily ini sungguh luar biasa. "Berarti aku harusnya mendapatkan satu kecupan di sini!" tunjuk Arlen ke pipi kirinya. Emily menunduk, wajahnya merona. Setelah memesan makan malam kepada waiters yang tadi mengantar mereka, keduanya mengobrol ringan. Masih seputar hubungan mereka yang semakin dekat walaup
Matahari belum terbit saat suara handphone Emily membangunkan wanita itu. Dengan mata yang masih tertutup, Emily meraih handphonenya yang tergeletak di samping bantal dan mengangkat panggilan itu. 'Ya, halo.' 'Emily, kau ada di mana?' Mata Emily sontak terbuka lebar, suara yang sangat dikenalnya. 'Dari mana kau tahu nomor handphoneku, Arnold?' bentakan Emily tidak tampak selayaknya orang yang berapi-api, saking terlalu lembut dirinya. 'Emily aku akan menjemputmu, katakan di mana kau berada!' 'Bukan urusanmu!' jawab Emily ketus sambil menekan tombol reject. Emily menghela nafasnya dan melempar handphonenya ke sembarang arah. Sesaat matanya terpaku pada cincin berlian yang ada di jari manisnya. Tadi malam Arlen memintanya untuk menikah dengannya namun detik berikutnya Emily harus menerima kenyataan pahit. Emily beranjak dari tidurnya dan bergegas mengemasi barangnya, pagi-pagi sekali dia pergi meninggalkan hotel tanpa mengabari Arlen. Sementara itu di kamarnya, Arlen terbangu
Tidak ada yang bisa Arnold lakukan, daripada kehilangan Emily selamanya, lebih baik mengalah dulu saja. Kalau Emily berada di rumah mendiang orang tuanya masih jauh lebih baik daripada berada di rumah Arlen. "Jangan tampakkan wajahmu lagi disini!" ucapnya sambil mendorong Arnold dan membanting pintunya. Emily mengunci pintu dan bersandar di belakangnya sambil memejamkan mata. "Jaga dirimu, aku sangat mencintaimu!" Samar, Emily mendengar suara Arnold sebelum suara langkah kaki menjauh dan setelahnya sepi… Emily kembali sendirian, tanpa orang tua, tanpa suami, tanpa siapapun. Tok.. Tok.. Tok.. Pintu kembali diketuk, Emily sudah siap memaki Arnold. Dibukanya pintu, namun bukan Arnold yang datang melainkan Jovanka. "Hai Emily!" Senyum sinis nya masih sama seperti saat mereka terakhir bertemu. "Mau apa kau kesini?" tanya Emily dingin. "Apa hubunganmu dengan Arnold? Bukannya Arlen bilang kau adalah kekasihnya, lalu kenapa Arnold menemuimu?" Emily mengernyitkan keningnya bingung.
Emily bangun pagi sekali, dia kesulitan tidur karena memikirkan sidang perdana Sarah hari ini. Selain Arnold, Emily juga turut mengajukan tuntutan kepada Sarah atas gugurnya kandungannya waktu itu. Dari rangkaian pahitnya kehidupannya di rumah Arnold, Sarah berperan penting sebagai salah satu penyebabnya. "Aku harus mendapatkan keadilan, wanita licik itu harus mendapat hukuman yang setimpal." Dengan menaiki taksi, Emily sudah tiba di pengadilan setengah jam sebelum sidang dimulai. Belum ada orang yang Emily kenal, Emily menunggu sendirian di depan ruang sidang. Satu persatu orang berdatangan dan memasuki ruang sidang. Emily ikut masuk dan memilih tempat duduk paling depan. Sejak memasuki ruang sidang, jantung Emily berdebar kencang, terlebih saat Majelis Hakim, Penuntut Umum dan Kuasa Hukum memasuki ruang sidang dan menempati posisinya. "Kau sendirian?" Emily menoleh, Arnold duduk di sampingnya sambil tersenyum, tidak lama Nyonya Ruby dan Tuan William menyusul dan duduk di ku
Jovanka setengah berlari menghampiri Arlen yang masih mengetuk pintu depan kediaman Emily. Arlen tampak membawa paper bag di tangan sebelah kirinya. Tok! Tok! Tok! Sudah lebih dari 3 menit Arlen mengetuk, namun si empunya rumah belum kunjung membukakan pintu. "Emily! Apa kau ada di rumah?" Arlen setengah berteriak memanggil Emily. Arlen kebingungan sejak pulang dari Manchester, dia tidak bisa menghubungi Emily karena handphonenya ditinggalkan di hotel. Menurut Mike, Emily juga sudah mengajukan surat pengunduran dirinya. Arlen masih coba mengetuk pintu sambil memanggil nama Emily ketika tangan putih mulus melingkar di perutnya. Arlen sontak menoleh. "Jovanka!" Arlen kaget bukan main, dia membalik badannya dengan tangan Jovanka yang masih melingkar di pinggangnya, Jovanka tidak melepaskannya. Arlen tidak menyangka Jovanka ada di London. "Kau kembali ke London?" Jovanka mengangguk sambil tersenyum, dibenamkannya dirinya ke dalam pelukan Arlen. "Aku ingin memperbaiki kesalahan
"Katakan Nyonya, apa yang harus saya lakukan?" Sebagai penebus kesalahannya di masa lalu yang pernah turut andil dalam luka batin yang Emily rasakan, Sally akan melakukan apa saja yang Emily minta. "Tolong ambilkan perhiasan yang ku simpan di dalam lemari pakaianku!" "Perhiasan Nyonya?" Emily mengangguk dengan cepat. "Nyonya, maafkan saya. Perhiasan Nyonya beberapa minggu yang lalu di ambil oleh Nyonya Sarah. Dan saat Nyonya Ruby tahu, semua perhiasan akhirnya dibawa ke kediaman Nyonya Ruby." "Bukan, bukan perhiasan yang ada di laci meja riasku, tapi perhiasan yang aku taruh di dalam lemari pakaianku, di bawah tumpukan baju-bajuku, Sally. Kalung pemberian ibuku." Harta satu-satunya yang Emily miliki saat ini. Emily membutuhkan uang untuk memulai usaha. Dia berencana membuka kedai tapi dia tidak memiliki cukup uang dan tidak ada harta yang ditinggalkan kedua orang tuanya selain rumah yang ditempatinya sekarang. "Tapi saya takut menggeledah lemari Nyonya, takut kalau Tua
Pertanyaan itu sebetulnya sudah Arnold tahu jawabannya, namun entah mengapa, tetap keluar dari mulutnya. "Menurutmu?" Emily membalikkan pertanyaan dengan nada tenang tapi penuh makna. "Tentu saja marah!" jawab Arnold cepat. Ia cukup sadar diri, menyadari rentetan kesalahan yang pernah diperbuatnya. Emily tersenyum simpul, senyum yang tak bisa dibaca seluruhnya—ada luka, ada penerimaan. "Itu sudah tahu, kenapa masih bertanya?" Arnold menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang menyembunyikan getir. "Aku hanya ingin mendengarnya langsung dari mulutmu," katanya pelan sambil meraih jemari istrinya, menggenggam hangat, lalu mengecupnya seolah meminta maaf lagi dan lagi, tanpa kata. Emily memandang Arnold, tak ada kemarahan di matanya, hanya ketegaran. "Bohong kalau aku bilang tidak marah. Tapi cintaku untukmu terlalu besar, sampai-sampai aku bisa memaafkanmu tanpa batas. Mungkin, bagi sebagian orang aku sangat bodoh. Mau menikah dengan laki-laki yang pernah menghancurkan
Arnold mundur dua langkah, napasnya tercekat saat melihat darah mengalir di kaki Emily. Pemandangan itu membuatnya seolah terpaku, namun dalam sekejap naluri melindunginya mengambil alih. Dia segera menghampiri, menunduk, lalu memegangi tubuh istrinya dengan cermat dan hati-hati. Ia mendudukkannya perlahan di atas toilet, takut kalau gerakan sekecil apa pun bisa menyakitinya lebih dari yang sudah terjadi. Jantung Arnold berdebar hebat, lebih cepat dari biasanya. Ini pertama kalinya dia menyaksikan siklus haid seorang perempuan secara langsung, dan di benaknya, darah yang keluar seharusnya tidak sebanyak itu. Pikirannya sempat panik, mencemaskan yang terburuk. "Apa ini menyakitkan?" tanyanya dengan suara serak, nyaris berbisik, penuh kecemasan, sambil tetap memandangi darah merah segar yang mengalir di sela-sela kaki Emily. Emily mengatur napasnya, pelan-pelan, berusaha menenangkan diri. "Sedikit nyeri," jawabnya lirih. Arnold segera menarik shower, menyetel air hangat, dan mulai m
"Apa harus sekarang?" tanya Emily dengan suara nyaris tak terdengar, sorot matanya kosong, menatap hampa ke arah bungkusan kecil berwarna putih pucat yang tergeletak di atas meja. Obat itu tampak tak berbahaya, namun ia tahu betul bahwa satu tablet kecil itu bisa membersihkan rahimnya dalam sekejap—mengakhiri harapannya, menghentikan denyut kecil yang kini masih ada di dalam perutnya. Arnold menatap Emily dengan penuh simpati, matanya mengandung kecemasan dan kesedihan yang tak terucap. Ia menggenggam jemari istrinya yang saling meremas erat di atas pahanya, mencoba menyalurkan ketenangan lewat sentuhan hangatnya. "Ingat kata Dokter, lebih cepat lebih baik. Menundanya hanya akan membuatmu semakin susah untuk melepasnya. Yakinlah, ini yang terbaik." Suaranya terdengar lembut namun tegas, mencoba menjadi jangkar di tengah badai perasaan yang melanda istrinya. Emily diam. Pikirannya melayang-layang, hatinya campur aduk. Galau tak cukup untuk menggambarkan perasaannya—ini lebih dari se
Arnold menghela napas panjang, berat dan tertahan, seolah ingin mengusir penat yang menggumpal di dadanya. Sorot matanya menatap tajam namun penuh kasih, menekuri wajah istrinya yang tengah dilanda gejolak emosi. Emily sedang tidak stabil, dan itu berarti dia harus menyiapkan diri untuk lebih sabar, lebih kuat. Ia tahu, mencintai seseorang bukan hanya saat segalanya berjalan baik, tapi justru saat badai datang menghantam. "Kalau aku hanya mencintai janin kita, aku akan membiarkanmu mengandungnya dan setelah kau tiada, maka aku mencari penggantimu!" ucap Arnold dengan nada bergetar, suaranya menggema di antara keheningan kamar yang temaram. Kata-kata itu memukul perasaan Emily. Tangisnya kembali pecah, seperti bendungan yang tak mampu lagi menahan derasnya air. Ia sendiri bingung dengan segala perasaannya. Ada cinta, ada ketakutan, ada rasa bersalah, dan ada luka lama yang belum sembuh. Kehamilan membuat emosinya mendadak labil. Ia merasa seperti kehilangan kendali atas dirinya sendi
Arnold mengambil surat itu. Dengan teliti ia membaca seluruh isi dokumen, memastikan setiap kata dan konsekuensinya. Setelah memahami sepenuhnya, ia menarik napas panjang, seolah ingin mengumpulkan seluruh keberaniannya, lalu akhirnya membubuhkan tanda tangannya di bawah lembaran surat persetujuan itu. Tangannya sedikit bergetar saat menyelesaikannya, namun tidak ada keraguan dalam goresan tinta itu—hanya ketulusan dan pengorbanan. "Oke, saya salut dengan kalian. Ini bukti cinta Tuan Arnold ke Nyonya Emily. Kalau Tuan Arnold bersikeras mempertahankan janinnya, itu artinya Tuan Arnold hanya cinta buah hatinya, bukan ibunya!" Kalimat Dokter Natasha meluncur dengan ketegasan penuh makna. Namun, ucapan itu tak serta-merta membuat Emily merasa tersanjung. Hatinya masih diliputi rasa hampa dan perih. Kenyataan bahwa ia harus mengorbankan janin yang baru tumbuh dalam rahimnya begitu berat untuk diterima. Setelah menyimpan surat pernyataan yang sudah ditandatangani Arnold, Dokter Nata
Dokter Natasha menghentikan ucapannya sejenak, membiarkan suasana hening menyelimuti ruangan. Tatapannya bergantian mengamati Arnold dan Emily, seolah mencari tanda-tanda keraguan atau ketegasan dari kedua pasiennya. Keduanya tampak berusaha tenang. Tidak ada reaksi terkejut yang berlebihan—wajar, karena mereka sudah mengetahui kemungkinan ini sebelumnya, meski tetap saja bayangan kenyataan itu terasa berat. "Mumpung usia kandungannya masih muda, saya sarankan sebaiknya kita bersihkan dulu rahimnya dan obati lukanya," ujar Dokter Natasha dengan suara datar namun penuh kehati-hatian. Arnold mengangguk sedikit, mencoba mencerna setiap kata. Namun kemudian, dengan suara yang terdengar lebih berat daripada biasanya, ia bertanya, "Kalau kami ingin mempertahankan janinnya, apa risiko yang mungkin akan istri saya hadapi, Dokter?" Dokter Natasha menautkan kedua tangan di atas meja sebelum menjawab, tatapannya menjadi lebih serius. "Kalau lukanya tidak diobati dan terus ditekan oleh
Arnold dan Emily bergegas menghampiri Angel dan seorang laki-laki yang berdiri menghadap Angel. Dari kejauhan, yang terlihat hanya rambut hitam rapi dan punggungnya yang tegap, memberi kesan penuh wibawa namun asing di mata mereka. "Angel!" panggil Arnold dengan nada penuh kecemasan. Angel menoleh cepat ketika mendengar namanya. Sontak, dia berdiri, dengan tangan yang masih erat menggenggam tangan laki-laki di hadapannya. Ekspresi Angel terlihat campur aduk—terkejut sekaligus bersalah. Laki-laki itu juga menoleh, menampakkan wajah yang segera membuat Arnold terperangah. "Alex!" desis Arnold dengan rahang mengeras. Langkah Arnold semakin cepat, penuh emosi. Tanpa berpikir panjang, ia menarik keras kerah kemeja Alex, hingga membuat Angel memekik panik. "Kak, lepasin!" teriak Angel sambil berusaha keras menarik tangan Arnold yang mencengkram Alex dengan penuh amarah. Emily yang shock segera bergerak, meraih tubuh Arnold dan menggenggam jemari suaminya yang mengepal, siap menghanta
Arnold membalas pelukan Emily erat-erat, seolah berusaha mentransfer seluruh perasaannya ke dalam pelukan itu. "Aku hanya ingin kau bahagia bersamaku!" bisiknya dengan suara serak. Sebenarnya, di dalam hatinya, Arnold belum sepenuhnya yakin untuk mempertahankan kandungan Emily. Ada ketakutan, ada keraguan yang menyesakkan dadanya. Namun, menolak permintaan Emily saat ini terasa seperti meruntuhkan dinding harapan yang mulai dibangun di antara mereka. Ia tidak sanggup berkata tidak. "Sudah, sekarang tidurlah," ucap Arnold lembut, membelai rambut Emily dengan penuh kasih sayang. "Kau harus banyak beristirahat. Besok kita harus memeriksakan kandunganmu." Dengan hati-hati, Arnold membantu Emily berbaring. Ia menyelimutinya dengan gerakan penuh perhatian, memastikan setiap bagian tubuhnya terlindungi dari dingin. Belum sempat Emily menutup mata, ia berkata dengan suara lirih, hampir seperti sebuah gumaman penuh kecemasan, "Kalau aku tidak ada nanti, apa kau akan mencari gant-" "Diam!"
"Jahe. Bukankah wangi?" Emily tertawa kecil dan mendekatkan bibirnya untuk mencium Arnold. Namun, alih-alih membalas ciuman, Arnold malah berlari ke kamar mandi. Tak lama, suara muntah terdengar keras dari dalam. Emily terpaku, bingung. "Kenapa dia muntah, padahal wanginya enak sekali?" Dengan perasaan tak enak, Emily membereskan tas kerja dan jas Arnold di walk-in closet. Saat hendak keluar, Arnold muncul dengan langkah gontai, kancing kemeja terbuka, wajahnya pucat. "Sayang, kau sakit?" tanya Emily khawatir, hendak menghampirinya. Namun Arnold segera mengangkat tangan, menghentikannya. "Diam di sana... jangan mendekat. Kepalaku pusing." Emily membeku, wajahnya berubah sendu. Perlahan ia mundur, mengambil toples permen jahe dan keluar kamar, meninggalkan Arnold yang masih berusaha menahan rasa pusingnya. "Apa yang terjadi dengannya?" bisik Emily pada dirinya sendiri, hatinya penuh tanda tanya. Emily melangkah pelan menuju dapur, mengembalikan toples permen jahe ke te