"Sungguh meresahkan!" desah Arlen sambil menuju wastafel, wajahnya mendadak panas. Ia membuka keran dan membasuh wajahnya beberapa kali, berharap air dingin bisa meredakan panas yang tiba-tiba menjalar ke seluruh wajahnya. Ingatan akan kejadian barusan masih segar di benaknya. Pemandangan yang tak sengaja tertangkap oleh matanya membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. Sementara itu, di dalam kamarnya, Emily dengan wajah merah padam segera membetulkan kancing bajunya yang terbuka. Tidak hanya satu, tapi dua! Bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat ini. "Kenapa kamu bodoh sekali, Emily! Jangan-jangan dia berpikir aku sengaja menggodanya? Ya ampun, bagaimana ini? Aku malu sekali!" gerutunya sambil membenamkan wajah ke bantal. Rasa malu itu begitu besar hingga ia ingin bersembunyi selamanya. Tapi sayangnya, ia tak bisa melakukan itu. Sebentar lagi jam makan siang, dan ia harus keluar untuk menyuapi Nyony
Mike meletakkan amplop cokelat besar di atas meja, tepat di hadapan Arlen. Namun, Arlen tidak langsung mengambilnya. Ia hanya menatap benda itu dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Bukalah, Tuan. Firasat saya ternyata benar. Anda pasti akan terkejut setelah melihatnya!" ujar Mike dengan nada serius. Mendengar ucapan itu, Arlen akhirnya mengambil map yang ada di hadapannya dan dengan cepat membukanya. Matanya menyipit begitu melihat isi di dalamnya—sebuah foto yang memperlihatkan Emily bersama saingannya, Arnold. Rahangnya mengeras. Tangan yang memegang foto itu sedikit menegang. "Bisa kau jelaskan apa ini, Mike?" tanyanya, rasa penasaran mulai menguasai dirinya. Mike menarik napas sebelum menjawab. "Seperti yang Anda lihat, Nona Emily adalah istri Tuan Arnold. Tapi bukan istri pertama atau satu-satunya. Dia adalah istri kedua." Arlen mengerutkan kening. "Istri kedua? Mereka menikah secara resmi?" Rasa penasaran itu semakin besar, karena setahunya Arnold adalah lelaki yang
Arnold memejamkan matanya sejenak, mencoba meredam amarah yang bergelora dalam dadanya. Namun, emosi itu terlalu kuat untuk diabaikan. Dengan gerakan kasar, ia meraih gagang telepon kabel di mejanya dan menekan tombol cepat. "Ke ruanganku sekarang!" perintahnya tanpa basa-basi. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung menutup telepon, seolah keberatan mendengar suara siapa pun saat ini. Tak butuh waktu lama, suara ketukan terdengar di pintu. Tok… Tok… "Masuk!" suara Arnold terdengar tajam. Pintu terbuka, dan seorang pria berjas rapi melangkah masuk dengan sikap profesional. Robert, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Arnold, berdiri tegap di hadapan bosnya. "Siap, Tuan!" ucapnya, suaranya stabil, tanpa ekspresi berlebihan. Arnold menarik napas dalam, lalu dengan gerakan cepat, ia merapikan kembali surat gugatan cerai yang baru saja ia remas sebelumnya. Matanya masih menatap dokumen itu dengan penuh ketidakpercayaan. Bisa-bisanya Emily yang lemah lembut mengajukan gugatan cerai.
Robert menunduk hormat sebelum keluar dari ruangan Arnold. Sepeninggal Robert, Arnold masih duduk di kursinya, memikirkan kembali perkataan asistennya. "Kenapa aku menahannya? Karena aku menginginkannya melahirkan anak untukku, bukankah itu sudah jelas? Kenapa Robert malah mempertanyakannya?" Arnold menghela napas panjang, berusaha mengabaikan kebingungan yang muncul dalam benaknya. Ia kemudian kembali larut dalam pekerjaannya, mencoba menekan segala pikiran yang mengganggu. --- Sementara itu, di Sebastian Building Corp—atau lebih dikenal dengan nama SBC, perusahaan kontraktor yang dibangun oleh mendiang kakek Arlen—suasana tetap sibuk seperti biasa. SBC adalah perusahaan terbesar kedua di industri konstruksi, hanya berada di bawah Maurer Corp, yang dipimpin oleh Arnold. Kedua perusahaan ini terus bersaing, terutama dalam merebut proyek-proyek besar. Namun, persaingan mereka juga membuat dunia kontraktor semakin kompetitif, menjadikan mereka dua perusahaan terbaik di bidang
"Itu... tadi saya sedang memijat kaki Nyonya dan tidak berani langsung kemari!" jawab Emily terbata, napasnya sedikit tersengal karena tergesa-gesa. "Ya sudah, lupakan saja. Cepat duduk! Ada hal yang ingin aku sampaikan!" Emily segera masuk, diikuti Arlen yang berjalan di belakangnya. Mereka duduk berseberangan, suasana di antara mereka terasa tegang. "Begini, Emily!" Arlen mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan menyodorkannya kepada Emily. Emily menatap benda itu dengan ragu. "Apa ini, Tuan?" tanyanya pelan. "Buka saja!" Tangannya sedikit gemetar saat Emily membuka amplop tersebut. Matanya menelusuri isi dokumen di dalamnya, membaca setiap kata dengan perlahan. Setelah selesai, dia menunduk dalam, ekspresinya sulit ditebak. "Kau ingin membalaskan dendammu, bukan? Aku akan membantumu, Emily!" suara Arlen terdengar mantap. Emily menggeleng lemah. "Ini tidak akan berlaku, Tuan. Tuan Arnold memegang surat perjanjian hitam di atas putih tentang pernikahan kontrak kami. Saya
Arlen sudah tahu bagaimana Arnold di dunia bisnis, jadi tidaklah mudah untuknya membantu Emily lepas dari Arnold jika Arnold mempertahankan Emily. "Untuk saat ini kau tidak perlu memikirkan apa-apa, cukup rawat nenekku sebaik mungkin!" Emily mengangguk, di sapunya kedua pipinya yang basah. Emily menegakkan kepalanya dan menatap Arlen yang sedari tadi terus menatapnya. "Terima kasih Tuan Arlen! Saya hanya ingin hidup saya damai. Saya tahu betul tidak mungkin mengembalikan masa lalu yang sudah hancur, terlebih mengembalikan kehadiran kedua orang tua saya." "Ya, kau benar. Aku tidak akan bisa mengembalikan kebahagiaanmu yang dulu, tapi aku akan berusaha membuat ke depannya jauh lebih baik." Tanpa sengaja Arlen mengucapkan janji untuk melindungj Emily. Melihat Emily yang kehilangan kedua orang tuanya dan tidak memiliki siapa siapa lagi ditambah hidupnya yang tragis di tangan Arnold, membuatnya iba. Ya hanya perasaan iba, tidak lebih. "Kembalilah menemani nenek, dia pasti kesep
Arnold kembali ke ruangannya setelah mengantarkan Sarah ke mobilnya. Baru saja ia memasuki ruangan, permintaan Sarah untuk menceraikan Emily kembali berkelebat dalam benaknya. "Apakah aku harus menceraikan Emily?" Arnold menggeleng, ada perasaan tidak rela kalau harus melepaskan wanita itu, tapi apa alasannya Arnold sendiri juga tidak tahu. Arnold urung duduk, ia melangkah menuju lemari penyimpanan berkas dan meraih amplop yang berisi surat gugatan cerai dari pengadilan. Dibukanya amplopnya, Arnold hendak membaca kembali isi surat gugatan itu, tapi saat ia mengeluarkan suratnya, beberapa lembar foto ikut terjatuh. Arnold menunduk, dipungutnya foto-foto tersebut satu per satu. Nafas Arnold rasanya tercekat di tenggorokan saat menatap wajah lugu Emily. Ia sangat cantik bahkan tanpa make up sekalipun. Satu per satu ditatapnya foto istri keduanya tersebut, hampir di semua foto Emily tersenyum manis, Arnold benci mengakuinya tapi Emily memang sangat cantik padahal latar foto itu sa
Napasnya mulai tidak beraturan. Arnold memilih untuk keluar dari kamar Emily saat semuanya terasa membayanginya; kemarahannya, kasarnya dia, dan tangis Emily. Saat Arnold menutup pintu kamar Emily, Sarah datang dan menatapnya dengan tatapan emosi. "Apa yang kamu lakukan di sini, Hon?" tanya Sarah dengan mata berkabut emosi. Alih-alih menjawab pertanyaan Sarah, Arnold justru bertanya balik. "Dari mana saja kamu? Bukankah kamu sudah pergi dari tadi? Kenapa baru kembali?" Pertanyaan Arnold yang bertubi-tubi membuat Sarah kelimpungan. Sarah diam membisu, otaknya blank, bingung harus menjawab apa. "Kenapa hanya diam? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Arnold dengan tatapan penuh selidik. Arnold terbawa emosi setelah melihat beberapa kebenaran akan Emily, ia menyalahkan dirinya sendiri yang sejak awal mencap Emily sebagai wanita jalang yang hanya ingin uangnya. Terlebih selama ini ia selalu mendengarkan perkataan Sarah. "T-tadi aku pergi mengunjungi sahabatku yang seda
Arnold membalas pelukan Emily erat-erat, seolah berusaha mentransfer seluruh perasaannya ke dalam pelukan itu. "Aku hanya ingin kau bahagia bersamaku!" bisiknya dengan suara serak. Sebenarnya, di dalam hatinya, Arnold belum sepenuhnya yakin untuk mempertahankan kandungan Emily. Ada ketakutan, ada keraguan yang menyesakkan dadanya. Namun, menolak permintaan Emily saat ini terasa seperti meruntuhkan dinding harapan yang mulai dibangun di antara mereka. Ia tidak sanggup berkata tidak. "Sudah, sekarang tidurlah," ucap Arnold lembut, membelai rambut Emily dengan penuh kasih sayang. "Kau harus banyak beristirahat. Besok kita harus memeriksakan kandunganmu." Dengan hati-hati, Arnold membantu Emily berbaring. Ia menyelimutinya dengan gerakan penuh perhatian, memastikan setiap bagian tubuhnya terlindungi dari dingin. Belum sempat Emily menutup mata, ia berkata dengan suara lirih, hampir seperti sebuah gumaman penuh kecemasan, "Kalau aku tidak ada nanti, apa kau akan mencari gant-" "Diam!"
"Jahe. Bukankah wangi?" Emily tertawa kecil dan mendekatkan bibirnya untuk mencium Arnold. Namun, alih-alih membalas ciuman, Arnold malah berlari ke kamar mandi. Tak lama, suara muntah terdengar keras dari dalam. Emily terpaku, bingung. "Kenapa dia muntah, padahal wanginya enak sekali?" Dengan perasaan tak enak, Emily membereskan tas kerja dan jas Arnold di walk-in closet. Saat hendak keluar, Arnold muncul dengan langkah gontai, kancing kemeja terbuka, wajahnya pucat. "Sayang, kau sakit?" tanya Emily khawatir, hendak menghampirinya. Namun Arnold segera mengangkat tangan, menghentikannya. "Diam di sana... jangan mendekat. Kepalaku pusing." Emily membeku, wajahnya berubah sendu. Perlahan ia mundur, mengambil toples permen jahe dan keluar kamar, meninggalkan Arnold yang masih berusaha menahan rasa pusingnya. "Apa yang terjadi dengannya?" bisik Emily pada dirinya sendiri, hatinya penuh tanda tanya. Emily melangkah pelan menuju dapur, mengembalikan toples permen jahe ke te
Hanya suara tarikan napas berat yang terdengar, membebani suasana yang sudah suram. Arnold tidak mau menjawab, seolah setiap kata hanya akan memperburuk keadaan. Dia memilih membenamkan Emily ke dalam pelukannya, merangkulnya erat seakan tak ingin melepaskan. "Aku sangat mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu," bisik Arnold dengan suara bergetar, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Emily. Jawaban itu sebetulnya sudah sangat jelas, namun Emily tetap bertahan dengan pikirannya sendiri. Dia paham, cinta sebesar apapun tidak bisa menahan waktu. Cepat atau lambat, mereka akan menghadapi perpisahan itu. Emily hanya ingin, sebelum saat itu datang, dia bisa meninggalkan sesuatu—seorang penerus, darah daging mereka. "Ayo kita makan," ucap Arnold kemudian, suaranya lembut tapi memaksa, tidak ingin mereka tenggelam terlalu dalam dalam kesedihan. Dengan berat hati, Arnold melepaskan pelukannya, lalu berdiri sambil tetap menggenggam jemari Emily. Sentuhan itu seperti tali penyel
Arnold beranjak dari duduknya dan kembali masuk ke dalam walk-in closet. Langkahnya mantap namun terasa berat, seakan ada beban yang ikut menyeret setiap gerakan. Tidak berselang lama, dia keluar dengan membawa sebuah amplop berwarna putih di tangannya. Tangannya sedikit gemetar, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang, seolah berusaha menyembunyikan badai yang tengah mengamuk di dalam dadanya. Dia lalu duduk perlahan di samping Emily yang sejak tadi terlihat gelisah, menggigit bibir bawahnya dan menunduk, menghindari tatapan. Arnold meletakkan amplop itu di atas pahanya, dengan sengaja memastikan Emily tahu betapa pentingnya isi dari amplop tersebut. “St. Thomas Hospital,” ucapnya pelan, namun nadanya tegas dan penuh makna. Emily menatap amplop itu dengan mata membulat. Hatinya berdebar hebat, napasnya memburu. Tiba-tiba saja pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk. Tangannya mulai berkeringat, dan ia bahkan belum berani menyentuh amplop itu. "Ini pasti berat untukmu,"
Arnold mengusap puncak kepala Emily hingga ke punggungnya, berulang kali hingga akhirnya Emily bangun dari tidurnya. Sentuhan itu lembut dan penuh perhatian, seakan ingin meredakan beban di hati sang istri. Napas Emily yang semula berat perlahan menjadi teratur, tapi matanya masih tampak sembab. Dengan gerakan cepat Emily menyeka sudut mata dan pipinya yang basah karena air mata. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Arnold, terlebih setelah apa yang baru saja terjadi. "Kau menangis?" tanya Arnold saat melihat Emily menyeka wajahnya. Suaranya lembut, ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan. Emily tidak menjawab, dia turun dari kasur melalui sisi sebelah kanannya untuk menghindari Arnold. Emily sedang kesal dan enggan menatap suaminya yang menjadi serba salah. Ia berjalan pelan menuju jendela, membiarkan sinar matahari menyinari wajahnya yang masih tampak murung. "Kita pulang, Sally, tolong bereskan barang-barang Emily. Aku akan meminta supir untuk kemari." Arnold be
Sementara itu, di ruangan Dokter Lexa. Arnold tengah menunggu Dokter Lexa yang sedang menangani pasien melahirkan sesar. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Jarum jam yang berdetak di dinding seakan sengaja memperpanjang kegelisahan yang merayap dalam dada Arnold. Sesekali ia menatap layar ponselnya, namun tak satu pun pesan masuk. Pikirannya kacau, hatinya berkecamuk. Arnold duduk dengan gelisah, dia benar-benar kaget saat mengetahui Emily sudah mengetahui kehamilannya, padahal akan lebih mudah kalau Emily tidak tahu sehingga Dokter bisa memberikannya obat penggugur kandungan, seperti saran awal Dokter Lexa yang ditanggapi Arnold dingin tadi malam. Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Pintu dibuka perlahan dan wajah lelah Dokter Lexa muncul di ambang pintu. "Tuan Arnold, maaf menunggu lama." Dokter Lexa menarik kursinya dan duduk dengan wajah muram. Beberapa helai rambut terurai dari sanggulnya yang sedikit berantakan, menunjukkan betapa berat kasus yang baru saja ia
"Katakan apa itu?" Arnold tidak kalah antusias. Dia juga ikut tersenyum saat melihat Emily tersenyum lebar. Setelah apa yang terjadi pada Emily tadi malam—mimpi buruk, tangisan tertahan, dan tatapan kosong yang begitu dalam—senyum lebarnya membuat Arnold bisa sedikit melupakan kepedihannya. Seolah senyum itu adalah cahaya pertama setelah malam yang panjang. "Tutup matamu," pinta Emily sambil mengusap rahang tegas Arnold. Sentuhan lembut jarinya menyapu bulu-bulu halus yang tumbuh tidak teratur karena Arnold pasti tidak mencukurnya beberapa hari ini. Emily selalu menyukai sisi acak Arnold yang satu ini, tampak maskulin namun tetap tenang dan penuh kehangatan. "Baiklah, cepat beritahu aku kejutannya." Arnold menutup matanya dengan patuh, menarik napas panjang seolah ingin menyerap momen bahagia itu sedalam mungkin. Senyum manis masih terukir di bibirnya, begitu tulus dan penuh harapan. Emily menoleh sesaat ke arah Sally yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sally, sahabat sekaligus
Emily menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Rasa mual yang datang tiba-tiba membuat tubuhnya melemas. Ia bergegas menuju wastafel dan memuntahkan seluruh isi perutnya tanpa bisa ditahan. Nafasnya tersengal-sengal, bahunya naik turun menahan ketidaknyamanan. Di sampingnya, Arnold yang sedari tadi menemaninya sigap mengusap punggung istrinya, mencoba memberikan ketenangan. "Apa buburnya tidak enak?" tanyanya lembut, meski wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Emily menggeleng pelan. "Enak, mungkin aku masuk angin... atau karena tadi malam aku tidak sempat makan." Suaranya terdengar lemah. Setelah merasa lebih baik dan mualnya sedikit mereda, Emily kembali ke tempat tidur, wajahnya masih pucat. "Makan lagi ya, Sayang," bujuk Arnold, mengangkat sendok dengan penuh harap. Emily menggeleng lagi, lebih tegas kali ini. "Aku benar-benar tidak selera." Arnold tidak menyerah. "Apa mau makan yang lain?" Dia tidak ingin membiarkan Emily melewati waktu makan, terlebih sekarang ia tengah men
Mendengar perkataan Papa William, Arnold tersenyum miring. Senyum sinis yang tak menutupi betapa getir hatinya. Bisa-bisanya, pikir Arnold, Papa William masih saja bertindak semaunya. Walau dia kepala keluarga dan Arnold hanyalah anaknya, bukan berarti setiap kata-kata sang ayah adalah perintah mutlak yang harus dituruti. "Arnold tidak akan pernah kembali lagi ke Maurer!" ucapnya tegas, sorot matanya tak main-main. Dulu, dia mungkin akan menuruti apa pun—menikahi Emily karena permintaan orang tua, menjalankan perusahaan keluarga tanpa banyak tanya. Tapi sekarang, semua itu sudah berubah. "Papa sudah tua, Nak. Kalau bukan kamu, lantas siapa lagi yang akan menjalankannya?" suara Papa William pelan, lebih kepada nada memohon daripada perintah. Ada getar halus yang tertangkap di ujung kalimatnya—ketakutan akan kehilangan, atau mungkin penyesalan. "Maaf, Pa. Arnold benar-benar tidak bisa." Jawabannya tegas namun lembut. Bukan untuk melukai hati ayahnya, tapi karena dia tahu, sudah wa