"Terima kasih, Sayang," ucap Emily lembut. Arnold menatapnya dalam. "Katakan, kau ingin hadiah apa? Aku akan memberikannya untukmu." Emily tersenyum hangat. "Kau adalah kado terindahku." Tanpa aba-aba, Arnold menarik tengkuk Emily perlahan dan menyatukan bibir mereka. Emily memejamkan mata, menikmati momen pertama di mana ciuman mereka bukan lagi karena paksaan atau marah, tapi karena cinta yang tulus. Pagutan lembut dari Arnold membuat Emily tenggelam dalam rasa yang hangat. Saat akhirnya Arnold melepaskan ciuman itu, tangannya mengusap bibir Emily yang kini memerah karena ulahnya sendiri. "Hari pertama jadi kekasihmu... aku sudah gagal. Aku malu pada diriku sendiri," gumam Arnold penuh sesal. Emily terkekeh. Tatapan mata Arnold yang sayu dan menyesal justru membuatnya tampak lebih menawan. "Masih ada waktu sebulan. Ini baru hari pertama. Bagaimana bisa kau sudah menyerah?" katanya dengan nada menggoda. Arnold menghela napas. "Begini saja, bagaimana kalau hari ini kita jalan-
Emily yang kelelahan dan mengantuk cukup terkejut dengan rentetan pertanyaan yang Arnold lontarkan padanya. "Tenang dulu, kau seperti orang kesurupan," ucap Emily, mencoba meredakan ketegangan. Ia berjalan menuju teras rumah, merasakan ngilu di kakinya setelah seharian berdiri saat memasak di rumah makan. Ia duduk dan mulai memijat kakinya yang pegal. "Jelaskan padaku, kenapa Alex baru mengantarkan mu pulang malam-malam begini?" tanya Arnold yang masih berdiri di depannya, tak sabar menunggu penjelasan. "Duduk dulu," pinta Emily tanpa menatapnya. Arnold menarik kursi dan duduk di sampingnya. "Alex hanya mengantarku pulang, lalu aku tertidur di dalam mobilnya. Dia tidak tega membangunkanku karena melihatku kelelahan. Dia baru membangunkan ketika kau meneleponku tadi. Apa jawaban itu cukup membuatmu tenang?" "Kau seharusnya meneleponku. Aku pasti akan menjemputmu!" balas Arnold, masih dengan nada tak puas. "Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi ponselmu tidak aktif. Dan kau juga
Emily mengabaikan panggilan Arnold. Ia bergegas masuk ke dalam rumah, namun belum sempat menutup pintu, tangan Arnold lebih dulu menahan daun pintu. "Tunggu!" seru Arnold. Emily tak membalas. Ia membatalkan niat menutup pintu dan langsung berjalan menuju kamarnya. "Emily!" panggil Arnold lagi, kali ini berdiri di depan pintu kamar, menahan diri untuk tidak masuk. "Emily, Sayang. Aku ingin bicara. Keluar, Sayang!" serunya sambil mengetuk pintu berulang kali. Namun Emily tetap diam. Rupanya, ia masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri, mencoba menenangkan hati dan pikirannya. Setelah selesai, ia keluar dengan pakaian rapi dan wajah yang sudah dipoles tipis dengan makeup. Panggilan Arnold masih terdengar samar dari balik pintu. Emily menatap pantulan dirinya di cermin, lalu bergumam pelan, "Kita lihat seberapa sabar kamu kali ini." Satu jam berlalu, dan Arnold masih bertahan. Tak ada suara keras, tak ada bantingan, hanya panggilan lembut dan ketukan sabar. Setelah merasa cukup,
Melihat Arnold membuang muka saat melihat Alex datang, membuat hati Emily tercubit. 'Apa aku keterlaluan padanya?' batin Emily. 'Tapi aku melakukannya agar dia tidak keterlaluan padaku, ah sudahlah. "Hai Emily!" Alex menyodorkan kado yang dia bawa. "Dari Vania!" "Sampaikan ucapan terima kasihku!" ucapnya sembari menerima kado yang diberikan adiknya Alex, Vania seumuran Emily dan kebetulan tanggal lahir mereka berdekatan, hari ini Emily, besok Vania. Alex mengangguk, "mana mobilmu? Sudah diganti Arnold?" Emily menjawab dengan anggukan. "Nanti kapan kapan ajak aku naik itu," ucapnya sembari menunjuk mobil baru Emily. "Boleh, bertiga dengan Arnold," jawabnya sambil terkekeh. "Ya sudah, aku pergi, jangan lupa besok malam." "Oke." Selepas kepergian Alex, Emily kembali ke ruang kerjanya. Dia masih kepikiran dengan Arnold yang tampak sedih saat pergi tadi. "Maafkan kalau aku keterlaluan." Emily membenamkan wajahnya ke atas tumpukan laporan keuangan rumah makan.
"Kau mau apa katakan?" Emily mendongak demi bisa menatap wajah tampan kekasih hatinya. Arnold mengusap bibir Emily dengan lembut, membuat sang empunya bibir tersenyum. "Nanti kalau sudah halal." "Jadi aku harus berpuasa?" "Hmm, hanya sebulan, bersabarlah. Belajar bersabar," tukas Emily. Emily melepaskan pelukannya dan melanjutkan memasaknya. "Tunggu di luar, sebentar lagi makan siangmu matang." Demi bisa memiliki Emily seutuhnya, Arnold akan menuruti apa saja yang Emily minta. Kalau dulu dia bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan dengan mudah, kali ini Arnold benar benar harus berjuang. "Baiklah, aku tunggu di luar." Arnold mengecup puncak kepala Emily dan bergegas keluar. "Bagaimana, Tuan?" tanya Robert. "Sukses, Emily suka kejutannya." "Syukurlah. Habis ini jangan bertengkar lagi, Tuan. Dan saran saya kurangi frekuensi pertemuannya." "Maksud kamu?" "Jangan sering-sering kemari, seminggu sekali cukup, agar saat bertemu rindunya menggebu." bisik Robert
"Iya, Nona. Tuan Arnold ke sini, tapi sebentar saja," jawab kasir rumah makannya. "Apa kau mengatakan padanya kalau aku pergi dengan Alex?" "Maafkan saya, Nona. Saya yang bilang Nona pergi dengan Tuan Alex dan Vania." Waiter yang tadi berbicara dengan Arnold maju selangkah dari tempatnya berdiri. "Tidak apa-apa, kalian tidak salah. Kembalilah bekerja." Emily berjalan melewati meja kasir sambil bergumam. "Dia pasti marah karena aku tidak mengabarinya." Emily lalu masuk ke dalam ruang kerjanya dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Belum sampai lima menit, Emily bangkit dari duduknya dan menuju dapur. Dia memasak makanan kesukaan Arnold. Setelah menyelesaikan masakannya, Emily bergegas kembali ke ruangannya dan mengambil kunci mobilnya yang ada di atas meja. Dia melajukan mobilnya menuju Maurer Corp. Emily hendak meminta maaf kepada Arnold. Selama ini Arnold sudah banyak berubah dan Emily cukup puas dengan perubahannya. Sesampainya di Maurer Corp, Emily menghubungi Robert. 'Iya,-"
Emily menatap lekat wajah Arnold, wajah sendu yang memang jarang terlihat senyuman di bibirnya akhir-akhir ini. Sekali lagi Arnold mengecup bibir Emily, memagutnya lembut. Mencurahkan cintanya yang begitu besar, yang hanya dia yang merasakannya. Entah sudah berapa kali mereka mengalami ini, tetapi pagutan Arnold hari ini benar-benar berbeda. Manis, lembut, dan candu. Dan Emily benar-benar rindu pada pria ini. Tangan Arnold bergerak hingga mengelus punggungnya, tapi tak berapa lama ia menghentikan gerakannya dan memutus tautan bibir itu. Arnold melakukan itu karena ia tak ingin menyakiti dan memaksa Emily. "Aku ingin memberimu waktu yang cukup untuk memikirkannya, saat aku tak berada di sisimu, aku harap kau bisa menyadarinya, apa cinta itu ada untukku? Ataukah hanya aku yang mencinta." Terdengar getir, Arnold yang sangat menginginkan Emily, tentunya ingin perasaannya berbalas, tapi dia tidak bisa memaksakan kehendaknya. "Baiklah, aku akan memikirkannya." Emily mengusap
Alex membunyikan klaksonnya ketika Emily sudah memasuki halaman rumahnya. Bukan tanpa alasan Alex sangat baik kepada Emily, dengan statusnya yang sekarang masih sendiri. Alex merasa harus menjaga Emily karena Emily sebatang kara. Setelah memarkirkan mobilnya, Emily masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Tanpa Emily sadari sejak tadi ada seseorang yang memperhatikannya di balik kaca mobilnya. Arnold melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Emily setelah melihat sang kekasih masuk ke dalam rumah. Arnold yang mengikuti Emily sejak dari rumah makannya, juga melihat Emily berbincang dengan Alex hingga kekasihnya itu dikawal pulang oleh Alex. Cemburu, sudah pasti. Tapi mau bagaimana lagi. Arnold tidak ingin ingkar janji, dia sudah terlanjur mengatakan akan membiarkan Emily bebas dalam seminggu ini sembari memikirkan jawaban atas lamarannya. Setelah selesai membersihkan diri, Emily tidak langsung tertidur. Dia membuat secangkir teh hangat untuk menemaninya menonton televisi.
Kening Emily berkerut, mencoba mencerna maksud dari ucapan Arnold yang begitu tegas dan penuh peringatan. "Apa maksudmu berkata seperti itu?" gumamnya pelan, namun belum sempat ia melanjutkan pertanyaannya... "Tapi, Say—" "Mulai sekarang belajarlah menuruti apa kataku. Aku hanya ingin kamu menjauh darinya. Dia sangat berbahaya." Nada suara Arnold tak dapat ditawar. Dingin. Tegas. Ada nada kekhawatiran yang terselip, tersembunyi di balik sorot matanya yang keras. Emily terdiam. Kalimat itu menggantung dalam pikirannya, tapi ia tahu—Arnold pasti punya alasan kuat hingga berkata sejauh itu tentang saudara tirinya sendiri. Dengan pelan, Emily mengangguk setuju. Meskipun hatinya masih dipenuhi tanya, ia memilih untuk mempercayai Arnold. "Istriku memang pintar," ucap Arnold sambil mengecup lembut puncak kepala Emily, kemudian mendekap tubuh mungilnya dengan erat, seolah ingin melindunginya dari dunia luar. Pagi itu, suasana meja makan terasa sunyi. Arnold dan Emily duduk berhadapan,
"Masuklah ke kamar!" pintanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. Emily mengangguk patuh, seulas senyum manis menghiasi wajahnya saat ia menatap Arnold sesaat. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan melangkah anggun meninggalkan ruang makan, langkah-langkahnya terdengar lembut di atas lantai kayu marmer yang mengkilap. Arnold dan Nicholas sama-sama menatap punggungnya yang perlahan menghilang di tangga. Tak satu pun dari mereka berbicara, seolah tengah membaca isi pikiran masing-masing. Nicholas akhirnya bersuara, suaranya ringan namun menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Kau tidak berniat mengenalkan istrimu kepadaku, Arnold?" Tidak ada jawaban. Hanya hening. Mata Arnold tetap menatap ke arah tangga, memastikan Emily benar-benar telah sampai di atas. Nicholas, sementara itu, masih mengikuti sosok wanita itu dengan pandangan yang sulit ditebak. Begitu Emily menghilang dari pandangan, Arnold berdiri. Ia melangkah pelan namun mantap ke arah Nich
Menjelang siang, sinar matahari mengintip malu-malu melalui sela tirai tipis yang menggantung di jendela kamar. Emily terbangun perlahan, kelopak matanya yang berat mengerjap beberapa kali. Tubuhnya terasa nyeri di berbagai bagian, seperti baru saja melewati perjalanan panjang yang melelahkan, namun tatkala ia menyadari di mana dirinya berada dan siapa yang sedang mendekapnya erat, seulas senyum manis langsung merekah di wajahnya yang memesona. Ada kebahagiaan dan ketenangan yang terpancar dari ekspresinya. Arnold, pria yang kini resmi menjadi suaminya, memeluk tubuh mungilnya dengan posesif. Kehangatan tubuhnya dan detak jantung yang terasa di dadanya membuat Emily merasa seperti sedang terkurung dalam mimpi indah yang enggan ia akhiri. Hatinya masih sulit percaya bahwa ia kini telah sah menjadi Nyonya Arnold Edward. "Sudah puas menatap wajahku yang tampan?" Suara berat Arnold yang menggodanya membuat Emily terperanjat kecil, rona merah muda segera merayapi pipinya. "Sejak kapan k
"Harusnya aku yang meminta seperti itu, bukan kau..." Arnold membenamkan Emily ke dalam pelukannya, air matanya ikut luruh. Dan tidak hanya mereka berdua, tapi juga Sally yang tahu awal mula kisah mereka ikut meneteskan air mata haru. "Sally, mulai sekarang aku akan mempercayakan Emily kepadamu saat aku tidak ada di rumah!" "Siap, Tuan. Saya akan menjaga Nyonya Emily dengan sepenuh hati." Sally membungkuk dengan senyum terukir di bibirnya. Emily mencubit pinggang Arnold pelan. "Aku bukan anak kecil yang harus dijaga!" "Kau memang bukan anak kecil, tapi kau sesuatu yang sangat berharga untukku." Emily menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, membuat Arnold mendadak gelisah. "Sally, bisakah kau membuatkan cake untukku dan Emily?" "Cake, tentu Tuan. Tuan mau dibuatkan cake apa? Red velvet? Cheese cake?" "Terserah kamu saja, kedua-duanya boleh juga." "Siap, Tuan!" Sally menunduk dan berlalu keluar dari kamar utama. "Sekarang hanya ada kita berdua," bisik Arnold
"Apa? Astaga aku belum mandi!" seru Emily panik. Ia berbalik secepat kilat, rambutnya yang panjang ikut terhempas, lalu langsung berlari menuju kamarnya meninggalkan Arnold yang hanya bisa menggeleng pelan, senyum kecil mengembang di wajahnya. Tatapannya mengikuti langkah Emily dengan penuh kasih, seperti melihat matahari pagi yang menyelinap masuk dari balik tirai jendela. Sembari menunggu Emily selesai mandi, Arnold duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya dan segera menghubungi Robert. “Bisa tolong bawakan sarapan untukku dan Emily?” pintanya tenang. Tak lama berselang, dering bel rumah terdengar. Robert datang dengan senyum sopan dan nampan di tangannya. Ia membantu Arnold menata makanan dengan cekatan, seperti sudah sangat hafal dengan rutinitas majikannya. "Bagaimana, apa persiapan penandatanganan buku nikahnya sudah beres?" tanya Arnold, suaranya terdengar sedikit gemetar. "Sudah, Tuan!" jawab Robert mantap. "Terima kasih, Robert!" ujar Arnold, menahan gejolak emo
Emily menghela napasnya pelan, dadanya terasa sesak oleh beban yang selama ini dipendam. Perlahan, diraihnya tangan Arnold, erat namun tetap lembut. "Kamu bersamaku hampir dua puluh empat jam," ucapnya lirih, "apa kamu lihat aku memegang handphone?" Suara Emily terdengar lelah, seperti seseorang yang habis berlari jauh dan tak kunjung mencapai garis akhir. Tatapannya yang sayu menyorot kelelahan yang lebih dari sekadar fisik—itu adalah kelelahan batin, dari terus-menerus dicurigai, dari rasa sayang yang tak henti dipertanyakan. Tanpa menunggu respons Arnold, Emily menarik tangannya dan menggandengnya. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu yang tertunda. Mereka berdua mendekati sosok Arlen yang sedang berdiri di bawah cahaya temaram lampu taman depan. "Arlen!" seru Emily, lantang namun terdengar getir. Arlen menoleh, dan seketika keningnya berkerut saat melihat jemari Emily yang menggenggam tangan Arnold begitu erat. "Emily, Arnold, kalian…." Suaranya
“Jangan terlalu dekat dengan Alex, aku tidak suka,” ucap Arnold sambil mengusap bibir Emily yang masih tampak kemerahan setelah ciuman mereka. Suaranya pelan namun tegas, menyiratkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan. Emily menarik napas, berusaha mengontrol emosinya. “Aku sudah menganggap Alex dan Vania seperti saudaraku sendiri. Tidak lebih.” Wajah Arnold menegang. “Tetap saja aku tidak suka!” Tatapan keduanya saling mengunci. Dalam keheningan itu, seolah waktu berhenti. Hanya ada mereka berdua, saling menyelami isi hati melalui mata yang mengisyaratkan lebih dari sekadar kata-kata. Emosi, kekhawatiran, dan cinta yang campur aduk terpancar dalam diam. Akhirnya, Emily menghela napas panjang. “Baiklah,” ucapnya menyerah. Ia tahu Arnold sudah cukup bersabar menghadapi sikap keras kepalanya akhir-akhir ini. Arnold perlahan bangkit dari atas tubuh Emily dan duduk di sampingnya. Wajahnya serius. “Mana handphone-mu? Berikan padaku!” Suaranya dalam, sedikit mengandung nada perint
Rahang Arnold tampak mengetat, otot-ototnya menegang hingga tampak jelas dari garis wajahnya yang keras. Sejak awal, dia memang tidak pernah bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada Alex—lelaki yang tampak terlalu dekat dengan Emily, terlalu sering muncul di sisinya, dan terlalu membuatnya merasa terancam. Bukan hanya Alex. Bahkan dengan Arlen dan laki-laki lain yang sekadar bertukar tawa dengan Emily pun, Arnold tidak bisa menahan bara cemburu yang terus menyala dalam dirinya. Emily adalah miliknya. Dan ia tidak suka jika perempuan itu dekat dengan siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki selain dirinya. "Emily tidak punya siapa-siapa lagi setelah kau menghancurkan keluarganya," ucap Arnold, suaranya bergetar oleh amarah yang tertahan. "Jadi aku, sebagai satu-satunya orang yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil, tidak akan membiarkanmu menyakiti Emily lagi untuk yang kedua kalinya." Matanya memerah, sorot matanya menusuk tajam ke arah Alex, penuh amarah dan tekad yang me
"Gak apa-apa, Arnold bisa nahan diri kok." Nyonya Ruby berlalu meninggalkan Emily dan Arnold di depan pintu kamar. Emily menarik napas dalam, sementara Arnold hanya menatap pintu kamar yang baru saja tertutup. "Angel di mana, Sayang?" tanya Arnold sambil membalikkan badan menatap Emily. "Dia menginap di tempat Livia. Tadinya aku juga mau menginap di sana, terus Mama bilang Mama sudah memesankan kamar untukku," jawab Emily sambil memainkan ujung rambutnya, sedikit gugup. "Mama ini," desah Arnold, mengusap pelipisnya. "Tunggu sebentar!" Tanpa menunggu respons, Arnold masuk ke dalam dan beberapa detik kemudian keluar kembali dengan handphone dan dompet di tangan. Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. "Ayo, aku pesankan kamar yang baru," ucapnya sambil menggenggam jemari Emily, menariknya perlahan menuju lobby. "Aku bukannya tidak mau tidur denganmu, tapi aku takut tidak bisa menahan diriku!" ucap Arnold dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Ia mengecup puncak kepala Emily,