6 Bulan yang lalu..
Soekarno Hatta Airport, Terminal 3, Kedatangan Luar Negeri.
Sosok gadis berwajah oriental dengan balutan asimetris dusty blue blouse dan rok midi plisket berwarna putih berjalan ke arah pintu keluar. Pandangannya mengelilingi sekitar mencari sosok yang bertanggung jawab atas kedatangannya saat itu.
“Anjani ... ”
Samar-samar ia mencari sumber suara. Arahnya berbalik 180 derajat. Namun belum menemukan si pemilik suara tersebut.
“Hei! Anjani Samitha!”
Ia kembali menoleh, kini berbalik searah jarum jam. Matanya memicing. Dilihatnya seorang gadis berambut pendek sebahu dengan setelan kemeja putih dan celana kerja krem. Gadis itu, melambaikan tangan dengan senyum bahagia.
“Hei!” sahut Anjani lantas berhambur ke arahnya.
“Kau terlihat semakin cantik, Anjani.”
Anjani tersenyum. Ia mencolek sahabatnya sambil tersenyum malu. “Kau jelas lebih cantik, Naomi,” balasnya.
Mereka tertawa disaat berikutnya.
“Kau sendirian?” Tanya Naomi sambil mengelilingi pandangannya.
“As always.”
“Baiklah. Kita ke hotel dulu antar barang-barang, setelah itu kita ke tempat meeting,” tawar Naomi sambil mengambil koper berukuran 14 inci dari tangan gadis itu.
“Biar aku saja.” sela Anjani.
“Kau tamu disini ... jadi biar aku yang bawa.”
Anjani tersenyum melirik gadis itu. Rasanya baru kemarin mereka lulus kuliah. Namun, kesibukan kini memisahkan kebersamaan mereka.
Well. Anjani Samitha merupakan Chief Marketing Officer sebuah perusahan Startup di bidang digital technology real estate yang berada di Johor Bahru, Malaysia. Perusahaan skala menengah ke atas berbasis layanan itu mulai menunjukkan eksistensinya di jagad industri. Kedatangannya saat ini, bukan untuk liburan tentunya, melainkan urusan bisnis. Kebetulan Naomi salah satu rekan yang menjembatani antara dirinya dengan salah satu investor di Indonesia. Meski demikian, mereka adalah sahabat karib yang sudah saling mengenal selama satu dekade.
Anjani merupakan lulusan Perguruan Tinggi Negeri di Malaysia yang mengambil jurusan School of Management hingga membuat dirinya lulus dengan gelar PhD di bidang Manajemen. Keputusan Anjani menetap di Malaysia setelah lulus, tentu membuat jarak yang besar diantara mereka.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, mobil berhenti tepat di depan lobi hotel ternama di kawasan Jakarta Selatan. Akhirnya Anjani mendarat di penginapannya. Hmm, keberadaannya di Indonesia ini tidak cukup lama, mengingat bahwa tak ada lagi sanak keluarga yang bisa dijumpai disana. Sejatinya, Anjani adalah kewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Negeri Jiran.
Kehidupannya yang tragis, membawa Anjani pada takdir yang dramatis. Anjani terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya meninggal akibat insiden kebakaran yang melahap habis seluruh isi rumah beserta ayah dan ibunya. Saat itu, ia tak bisa pulang ke Jakarta karena tengah mengikuti final semester assessment. Jika gagal, maka Anjani harus mengembalikan seluruh biaya yang dikeluarkan Pemerintah untuk beasiswanya. Sungguh malang. Ia tak memiliki pilihan. Kehilangan tentu merupakan cobaan terberat dalam hidupnya. Mencoba bangkit walau ditengah keterpurukan. Anjani dengan pasrah menerima takdirnya.
“Kita sudah sampai!” seru Naomi membuyarkan lamunan gadis disana. Anjani menoleh dengan pandangan kikuk. Terpancar bahwa ada sorot kerinduan di matanya.
“Kau baik-baik saja?”
Naomi memastikan dengan hati-hati, meskipun dirinya tahu bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Anjani langsung memeluk Naomi dengan erat. Entah mengapa, seketika gadis itu berhambur. “Aku merindukan mereka, Naomi.” Anjani terisak. Lima tahun, kejadian itu masih saja membekas di hatinya.
“Don’t worry, Anjani! I'll be with you! Masih ada aku disini,” cicit gadis itu memberi sedikit ketenangan pada sahabatnya.
Anjani mengangguk. Poni tipisnya tersibak bersama rambut bergaya soft-layered.
***
Anjani berdiri dengan gugup di depan podium. Bahan presentasinya sudah standby di layar proyektor sejak lima belas menit yang lalu. Dalam co-working space berukuran 5x5 meter persegi, Anjani melihat dua orang pria berjas hitam beserta sahabatnya, Naomi. Waktu berlalu namun ia terus bergeming, memandang ke arah sosok yang duduk di kursi besar. Kepercayaan dirinya lenyap seketika. Entah mengapa. Naomi dari sisi kanannya mencoba memberi kode untuk ia memulai presentasinya. “Bisa kita mulai?” tanya seseorang sambil memainkan iPad pro M1 miliknya.
“Eung? I-iya ... ”
Bodohnya, lidah Anjani jadi kelu. Entah mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Padahal, ini bukan pertama kali ia berhadapan dengan investor. Sekali lagi Naomi memberikan isyarat agar sahabatnya tidak membuang waktu.
“Waktuku tidak banyak, Nona. Jika kau terus berdiam diri, maka kita batalkan pertemuan hari ini,” ujarnya formal.
Pria itu hendak beranjak dari kursinya. Namun, Anjani langsung menahan. Ia memutar company profile sambil memberikan kata pembukaan. “Presentasi ini akan berlangsung selama lima belas menit dengan jumlah sepuluh slide ... ”
Anjani menarik nafas dalam sebelum akhirnya melanjutkan presentasi tersebut, “menjadi pioneer dalam mengedepankan kebutuhan customer adalah visi dari perusahaan kami.”
Senyumnya mengembang memperlihatkan dirinya mulai enjoy saat itu. Slide demi slide dipresentasikan dengan sangat detail hingga mendapatkan respon yang baik. “So, any question?” tanyanya di akhir presentasi. Anjani melihat pria di kursi besar itu berbisik pada asistennya. Satu detik, dua detik, hingga akhirnya di detik kesepuluh, sang asisten melontarkan pertanyaan.
“Dalam dunia bisnis, kami membutuhkan keuntungan.” Asisten itu berkata dengan serius hingga Anjani bergidik. “Darimana revenue yang akan Anda peroleh? Lalu, siapa saja yang jadi kompetitor Anda?”
Anjani menoleh pada Naomi. Anjani gugup. Ia memainkan jarinya sambil berpikir keras. Model bisnis yang sudah ia susun seketika lari dari otaknya. “Eung ... mari saya jelaskan dulu proyek ini, dimana proyek kami memberikan layanan kustom pembelian real estate di Asia Tenggara dengan target market millennial, harapannya banyak developer bergabung dengan memberikan penawaran harga sesuai pangsa pasar, dengan begitu, investasi di sektor properti semakin mendominasi.”
Anjani terhenti sesaat. Ia melirik pria lain yang memandang kosong pada iPad disana, pria itu mengusap bewok tipisnya.
“Revenue didapat melalui SEO, subscription, sistem referral, dan service lainnya,” jawab Anjani, mantap. “Beberapa kompetitor kami diantaranya, East2West, Divvy, dan Loft,” lanjutnya.
Meski begitu, Anjani meyakinkan bahwa mereka memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh kompetitor mereka.
“Baiklah, Nona.” Lagi-lagi asistennya yang bersuara. Entah mengapa Anjani merasa bahwa presentasinya gagal, mengingat betapa acuh pria selainnya.
“Oh, sorry, what's your name?”
“Anjani ... ”
Anjani menilik, “Anjani Samitha.”
Pria itu pun mengangguk.
Anjani menghela nafas. Akhirnya ia bisa bernafas karena sang investor berbicara dihadapannya. Pertemuan itu berlangsung selama tiga puluh menit, namun belum ada keputusan tentang proposal bisnis yang diajukannya.
Hingga akhirnya, kedua pria itu berlalu diantar Naomi hingga depan pintu. Setelahnya, Naomi memandang Anjani dengan senyum tak biasa.
Anjani mendesah. Nafasnya terasa berat.
“Orang itu sungguh menegangkan. Kau tahu siapa dia?”
Anjani mendesis sambil membenahi bahan presentasinya. Wajahnya merengut, tidak senang.
“Tentu. Aku yang membawanya kemari.” Naomi terkekeh.
“Kau tidak tahu siapa dia?” Naomi melanjutkan ucapannya sambil tercengang.
Anjani menggeleng dan Naomi tepuk jidat. “Arjuna Barathawardana ... kau bisa cari namanya di kolom pencarian.”
Anjani meraih iphone-nya sambil melirik Naomi yang tengah berpangku tangan. Mata Anjani mendelik. Ia tak percaya.
“Arjuna Barathawardana,” gumamnya pelan.
“Yups! Kau tahu? Pria itu juga salah satu senior kita saat kuliah,” cicit Naomi membuat Anjani menerka kembali. Sebenarnya Anjani tidak begitu yakin, tapi rasanya memang wajah itu tidak begitu asing.
***
“Tolong cari tahu tentang gadis itu, perusahaan, dan keluarganya.”
Pria bertubuh atletis itu melangkah tergesa sambil memerintahkan asistennya.
“Baik Tuan.”
Seketika langkah kakinya terhenti saat dering ponselnya berbunyi. Layar itu menampilkan sebuah nama “Sweetheart”. Dalam kurun waktu singkat, ponsel tersebut menempel ditelinganya.
“Yes, Sweety. No, I won't forget. I’ll be there in thirty minutes. Ok! See you. Bye!”
Pria itu menghelas nafas lalu tersenyum tipis. Langkah kakinya kembali melaju.
***
“Hai, my sweetheart!” seru seorang pria sambil membuka pintu dengan tiba-tiba lalu membentangkan tangan seolah menyambut seseorang dari kejauhan. Namun, bukan salam hangat yang ia dapat, melainkan pukulan-pululan clutch bermerek coach. “Dasar anak nakal!”Wanita lansia tersebut terus memukul sambil menyeru gemas. Balutan tunik tosca berbahan sutra berpadu blazer putih, memberikan kesan elegan bagi wanita berusia 70 tahun tersebut. Awet muda? Tentu. Terlihat dari bagaimana ia masih bisa mengejar dan memukul pria disana. Disisi lain asistennya, Kris. Hanya bisa menahan tawa.“Kau sungguh tak membantu, Kris!” Pria itu berlari mengitari tubuh Kris yang lebih besar darinya. Tak mendapat pembelaan dari pria tersebut. Akhirnya Arjuna menyerah. Deru nafas mulai tak beraturan, sedangkan ia melihat sang Nenek masih tetap segar bugar mengejarnya. Apa dunia sudah terbalik?“Ok! Cukup, Nek!” Ia menyerah. “Sepertinya aku harus mulai workout!” Nafas Arjuna memburu, pertanda ia begitu kelelahan. Pri
Pagi itu matahari terasa terik, seorang gadis berjalan dari stasiun bawah tanah dengan tergesa. Sesekali ia melirik jam tangannya. Lalu lalang para pekerja memadati jalanan Ibu Kota Jakarta di hari itu. Tak sedikit orang yang berjalan menuju halte untuk sampai ke tujuannya. Seperti gadis berkulit putih dengan setelan kemeja putih dipadu rok midi plisket berwarna nude. Ia berjalan melewati beberapa pejalan kaki yang langkahnya lebih santai, tidak seperti dirinya yang seolah tengah diburu waktu. Datanglah jam 8 pagi. Temui beliau di ruang eksekutif. Pesan teks itu membekas di ingatannya. Dengan penuh harap, ia berjalan untuk sampai tujuan. Tok Tok Tok.Suara ketuk pintu terdengar tiga kali, seseorang yang telah menunggu di kursi tersebut menengok ke arah pintu. “Itu pasti dia, bukalah!” Seorang pria memerintahkan pria lain disana. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya seseorang masuk ke ruangan itu. “Selamat pagi, Tuan,” sapa seorang gadis sambil melangkah mendekatinya.“Hai! Pagi!”
Derap langkah terdengar berdampingan menuju sebuah ruangan, tempat dimana terlihat begitu dijaga ketat oleh beberapa petugas keamanan. Mereka berdiri mengenakan jas hitam lalu berdiri tegak berbaris. Seorang lainnya menyusuri koridor sambil mengarahkan pandangan ke berbagai sudut. Ia tak mengira akan menginjakkan kaki di tempat seperti itu.“Kau sudah siap?” Seorang pria membuyarkan lamunannya. Ia menatap pada tangan yang menjulur dihadapannya seolah tawaran untuknya. Ia masih terdiam. Bingung. Sekali lagi, pria itu memberi isyarat agar ia menerima uluran tangan tersebut. “Eung—” Anjani gugup. Wajahnya jelas ingin menunjukan senyum, namun ia tak mampu. Ceklek!Suara pintu terbuka. Pria itu menggandeng gadisnya masuk. “Hai, Nek! Apa kabar?” Pria itu melepas genggaman tangannya lalu meraih tubuh sang nenek kedalam dekapannya. Kini pelukan hangat menyambutnya. Seketika ia tersenyum saat teringat terakhir kali disambut oleh pukulan clutch coach. Sedangkan gadis disana masih terdiam,
3 Minggu Kemudian..Johor Bahru, Malaysia. HomeSweet Enterprise.“Baik, boleh kita mulai pertemuan ini?” Seseorang dengan setelan kemeja putih dan jas abu-abu memulai pertemuan disana. Terlihat beberapa rekan dan investor hadir menindaklanjuti kerjasama pendanaan proyek mereka. Disisi lain, seorang gadis tertunduk dengan perasaan yang tak bisa ditebak. Hatinya berkecamuk dan pikirannya tidak fokus. “Anjani, boleh kita mulai?”Tak ada sahutan dari si empunya nama, ia terus tertunduk dengan wajah penuh cemas. Sosok pria lain terus mengamatinya. Entah apa yang terjadi dengan gadis itu saat ini. “Anjani? Hello? Kau mendengarku?” Rekan disisi kanan pun menepuk pundaknya. Seketika Anjani terkejut. “Yes, sorry?”“Are you okay, right?” “Ah, yes, i’m okay.” Anjani berusaha terlihat baik-baik saja. “Thank you, Ammar,” timpalnya pelan. Sebuah nama terucap. Ammar. Pria itu merupakan CEO HomeSweet Enterprise, sebuah perusahaan startup yang selama ini menjadi tempat Anjani bernaung dan memb
Seminggu berlalu..Jakarta Selatan, Indonesia. Sore itu langit tak lagi bercahaya. Awan gelap—mulai menyelimuti seluruh penjuru kota. Sang gemuruh saling bersahutan hingga memberi sensasi menakutkan. Hujan memang belum turun, namun aroma tanah mulai menelisik ke rongga hidung seseorang. Anjani terus berdiri diatas tanah kosong. Memandang lurus papan nama yang berdiri diatas tiang, “Barathaland Group,” gumamnya. Sesaat matanya terpejam. Ia tak mampu mempercayai bahwa tanah itu milik keluarga Arjuna. Tanah yang dulunya pernah berdiri sebuah bangunan dengan segala kenangan indah di dalamnya. “Aku bahkan tidak punya tempat untuk mengingat kenangan bersama mereka,” gumamnya, lirih.Langit seolah tak mendukung, semilir angin kencang disertai rintik hujan membasahi. Anjani bergeming. Ia tak berniat melangkah pergi. Tubuhnya masih meminta untuk tetap tinggal dan mengenang masa-masa indah bersama kedua orang tuanya.“Kau—Anjani Samitha?” Tiba-tiba suara berat mengejutkannya. Seketika gadis
Diruang kerja, Arjuna memandang satu kartu nama bertuliskan “Krediby”, salah satu perusahaan pinjaman dengan suku bunga yang super tinggi. Ia kembali teringat ketika Anjani meringkuk sambil memohon pertolongannya. Kasihan, pikirnya. Gadis itu harus menanggung beban dari lintah darat seperti mereka. Tak lama, pria itu meremas kartu nama dengan geram.“Target pasar mereka memang kalangan menengah ke bawah. Mereka memberikan pinjaman tanpa syarat, akan tetapi mereka mengambil keuntungan dari peminjam yang sulit membayar karena bunga diatas rata-rata,” tutur seseorang dihadapan Arjuna. “Kurang ajar, ini namanya pemerasan!” Arjuna memandang tajam ke depan. “Sudah banyak korban yang terjerat. Mereka yang menjadi korban harus membayar jaminan entah itu dengan uang atau dengan tubuh mereka.”Prank! Suara gebrakan meja terdengar keras. Jadi itulah mengapa Anjani begitu ketakutan saat kali terakhir mereka bertemu. Apakah gadis itu mendapatkan ancaman yang sama? Arjuna menerka. “Bereskan me
Setelah memutuskan menikah dicatatan sipil, Arjuna dan Anjani hidup bersama dalam satu atap untuk mengenal satu sama lain. Tepatnya, di sebuah apartemen pemberiannya. Malam itu, Arjuna menghampiri Anjani yang tengah menonton tv di sofa ruang tamu. Ia menyodorkan secarik kertas berisi perjanjian lanjutan. “Hmmm—”Anjani menoleh. Ia menengadahkan wajah sambil memandang Arjuna yang masih berdiri. “Ini perjanjian lanjutan after we got married.” Dengan balutan piyama navy, Arjuna beranjak duduk disebelah gadis itu yang mana secara hukum sah sebagai istrinya. “Setidaknya ada lima pasal yang perlu kita bahas.” Anjani memandang serius. Ia meraih secarik kertas yang sedari tadi terabaikan olehnya.“Pertama, meski secara hukum pernikahan ini sah, kita akan tidur di kamar yang berbeda. Aku akan tidur di kamar utama dan kau di kamar tamu.” Arjuna mengambil jeda. “Kedua, dilarang mencampuri privasi masing-masing. Ketiga, setiap akhir pekan kita berusaha untuk makan malam bersama Nenek. Keempa
Pagi itu Arjuna menemui Nyonya Nirwasita di kediamannya. Jam sibuk kerja kini sudah tak dihiraukan olehnya sejak terlibat dengan Anjani. Si pekerja keras yang ambisius itu kini menjadi si pria yang hanya memikirkan cara agar menguasai semua tahta kerajaan keluarganya, Barathaland Group. “Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat tidak bersemangat?” Nyonya Nirwasita menghampiri cucunya yang tengah bersandar di sofa. Wajahnya terlihat kusut dan keningnya mengkerut. Sejak bertengkar dengan Anjani kemarin, ia memutuskan untuk pergi. “Nek, apa kau marah jika aku jujur padamu?”Alis Nyonya Nirwasita menyatu. Tatapan matanya, menghunus Arjuna dengan tajam. “Tentang apa?” Arjuna menoleh. Ia memandang neneknya dengan wajah ragu. Sejujurnya, tentang pernikahan sipil itu, ia mengambil langkah yang terlalu jauh. “Aku dan Anjani—” Arjuna menggantungkan ucapannya. Bingung harus memulai darimana, Arjuna tak mampu melanjutkan ucapannya.“Ada apa dengan kalian?” Wajah cemas tergambar dari raut sang ne
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb