Derap langkah terdengar berdampingan menuju sebuah ruangan, tempat dimana terlihat begitu dijaga ketat oleh beberapa petugas keamanan. Mereka berdiri mengenakan jas hitam lalu berdiri tegak berbaris. Seorang lainnya menyusuri koridor sambil mengarahkan pandangan ke berbagai sudut. Ia tak mengira akan menginjakkan kaki di tempat seperti itu.
“Kau sudah siap?”
Seorang pria membuyarkan lamunannya. Ia menatap pada tangan yang menjulur dihadapannya seolah tawaran untuknya. Ia masih terdiam. Bingung. Sekali lagi, pria itu memberi isyarat agar ia menerima uluran tangan tersebut.
“Eung—” Anjani gugup.
Wajahnya jelas ingin menunjukan senyum, namun ia tak mampu.
Ceklek!
Suara pintu terbuka. Pria itu menggandeng gadisnya masuk.
“Hai, Nek! Apa kabar?” Pria itu melepas genggaman tangannya lalu meraih tubuh sang nenek kedalam dekapannya. Kini pelukan hangat menyambutnya. Seketika ia tersenyum saat teringat terakhir kali disambut oleh pukulan clutch coach. Sedangkan gadis disana masih terdiam, menautkan kedua jemarinya seraya gugup. Ia tertunduk hingga anak rambut menutupi wajah pucat pasinya.
“Oh, ya, ini Anjani.” Arjun melepas pelukan tersebut lalu menuntun sang nenek menuju gadis itu. “Anjani Samitha, calon istriku.”
Seulas senyum terukir di wajah wanita lansia tersebut. Tak disangka, bahwa Arjuna akan memperkenalkan seorang gadis secepat ini. Padahal, ia begitu tertutup. Langkah kaki Nirwasita menuju Anjani. Saat berhadapan, wanita itu menggenggam jemari yang telah menjadi korban keganasan gadis disana.
“Hei!” sapanya lembut, membuat Anjani seketika menoleh.
“A-ha-lo, Nyonya.” Jantungnya semakin berdebar. Ia tiba-tiba gugup ketika mata itu menatapnya. Namun, ia merasa ada kehangatan menyelimuti hatinya saat ini. Tatapan mata wanita itu begitu menghangatkan.
“Jangan panggil aku Nyonya.” Wanita itu tersenyum. “Panggil aku, seperti Arjuna memanggilku, Nenek.” Setelahnya Nyonya Nirwasita membawa gadis itu kedalam pelukan. Apakah padangan pertama ini begitu mengesankan? Anjani sungguh beruntung jika hal itu memang terjadi.
“Mari kita duduk.”
Nyonya Nirwasita membawanya ke tempat yang tidak jauh dari sana, di sebuah sofa disudut ruangan. Sedang pria itu ikut mengekori langkah mereka dan duduk disisi Anjani.
“Sejak kapan kalian mengenal?” Wanita itu memulai perbincangan. Anjani yang masih belum terbiasa, terus menerus merasa gugup, namun seketika kegugupan itu hilang ketika sebuah tangan mendekap punggung tangannya erat. “Kami satu almamater, Nek. Kebetulan Anjani adalah juniorku dan sejak saat itu kami mulai dekat.”
Wanita itu mengangguk. “Kau tinggal dimana sekarang?”
“Eung—”
“Di Johor Bahru, Malaysia, Nek.”
Lagi-lagi pertanyaan dijawab oleh Arjuna. Hal itu jelas membuat Nyonya Nirwasita geram. Ia pun berdehem. “Arjuna, bisakah kau tinggalkan kami berdua?” Anjani pun dengan cepat menoleh ke arah pria itu. Ia gugup. Seketika tangannya dingin dan disaat itu pula Arjuna mengelus punggung tangan tersebut mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.
Arjuna menghelas nafas. “Baiklah..”
Pria itu berlalu menyisakan kecemasan dalam diri Anjani. Apa yang harus ia lakukan?
“Kau mencintai Arjuna?” tanya wanita itu setelah cucunya berlalu dari ruangan tersebut. Sedangkan Anjani melukis senyum di bibirnya. Ada rasa takut bercampur cemas bahwa semua ini akan terbongkar. Namun, ia mencoba menetralkan perasaannya. Ia pun menarik nafas lalu mengangguk pelan.
“Apakah kau tahu Anjani—”
Wanita itu menampakkan raut wajah yang tak biasa. Anjani mencoba membaca situasi ini, apakah hubungannya tak bisa direstui? Anjani menerka.
“Ketika perceraian kedua orang tuanya terjadi, saat itu usia Arjuna masih balita. Hingga ia harus tinggal bersama ibunya. Lalu ketika usianya beranjak remaja, Arjuna kehilangan ibunya.” Wanita itu menundukkan pandangan. Tak kuasa mengingat kenangan buruk yang terjadi pada cucu sulungnya tersebut. “Arjuna merasa saat itu dunianya hancur. Ia bahkan tak mempercayai siapapun, termasuk aku dan ayahnya. Ia menjadi tertutup dan mudah marah.”
Anjani terdiam. Bagaimana bisa di pertemuan pertama, wanita itu menceritakan semuanya?
“Aku berharap—kau mampu membuat Arjuna sepenuhnya mempercayai dan mencintaimu.” Anjani memicingkan mata. Air mata hampir mengambang. Entah mengapa, kata-kata itu membuat hatinya begitu terluka. “Aku juga berharap—kau mampu mencairkan hati Arjuna yang mengeras.”
“Ba-baik, Nek! Aku janji akan menjaganya.”
Nyonya Nirwasita beranjak dan duduk disisi Anjani. Menggenggam tangan gadis itu. Entah mengapa, ia merasa tangan itu mampu menghilangkan segala keraguannya.
“Bagaimana dengan orang tuamu?”
“Ah, mereka ...”
Anjani terdiam.
Seketika dadanya sesak. Ia teringat ketika insiden itu terjadi dan dirinya tak ada untuk mereka. Air mata mulai mengambang sampai akhirnya berhasil menetes.
“Kau baik-baik saja, Anjani?”
Wanita itu meraih wajah Anjani yang tertunduk.
“A-aku—”
Anjani menyeka air matanya. “Yatim piatu, Nek.”
Meski dengan susah payah, akhirnya kata-kata itu lolos dari bibirnya dengan suara parau. Rasa sesak masih tertahan di dadanya. Seharusnya ia tak menunjukkan kelemahan itu. Namun, ketika teringat orang tuanya, Anjani menjadi begitu lemah.
“I’m so sorry to hear that, Dear.” Nyonya Nirwasita mendekap Anjani hingga akhirnya tangis itu pecah.
Seseorang menjauh dari balik pintu setelah menguping pembicaraan mereka.
***
“Kau baik-baik saja?”
Seseorang yang tengah tertegun akhirnya tersadar. Ia yang sedari tadi memandang kearah jendela mobil, kini menoleh pada pria itu.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Arjuna sekali lagi.
“Eung? Tidak ada.” Gadis itu menjawab sekenanya lalu memandang keluar jendela lagi. Setelah pertemuan itu, hatinya mulai berkecamuk.
“Kau ingat perjanjian kita, ‘kan?”
“Ya?”
“Tak boleh melibatkan perasaan apapun selama kontrak berlangsung.”
Anjani tak menjawab. Ia menoleh lalu memandang wajah Arjuna yang begitu serius. Lagi-lagi ia menghela nafas. Berat rasanya.
“Arjuna tidak pernah membawa seorang gadis ke rumah ini. Dan kau adalah yang pertama. Kuharap kau bisa mengubah dirinya menjadi lebih hangat, Anjani.” Ucapan itu terlintas di benaknya.
Ia memandang lurus Arjuna yang tengah fokus mengendarai. Sesekali ia menelan air liur, menetralkan hatinya yang terasa berat. Bertemu dengan Nyonya Nirwasita membuat dirinya berharap lebih dan tentu tidak seharusnya perasaan itu jadi serakah. Anjani mengutuk dirinya.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi hingga membuat Anjani sedikit bergidik, apa dia marah? Anjani sesekali melirik kearah pria itu.
“Oh, ya, kita singgah sebentar ke showroom real estate. Aku akan carikan tempat tinggal selama kau disini.” tutur Arjuna tanpa memandang ke arah gadis itu.
“Ah, i-iya.” Anjani menurut.
***
“Selamat datang, Tuan. Senang bisa kedatangan anda disini. Ada yang bisa kami bantu?”
Seorang pria ber-name tag David menyambutnya ramah. Bagaimana tidak, ketika melihat orang berpengaruh di dunia real estate berkunjung ke showroom tersebut, seketika itu pula perlakuan istimewa tertuju pada mereka. Tentu hal itu membuat gadis disana semakin mengagumi sosok Arjuna. Ia tak menyangka bahwa keberuntungan berpihak padanya.
“Aku ingin satu unit full-furnished dengan view yang bagus.”
“Baik, Tuan. Mari kami antar untuk melihat-lihat.” ujar David, sambil sesekali melirik gadis yang ada di belakang Arjuna.
David menekan tombol lift. Sesaat pintu lift pun terbuka. Mereka menuju lantai 8.
Suasana di dalam lift terlihat begitu canggung. David pun membuka topik pembicaraan, menjelaskan bahwa semua unitnya hampir terjual dipasaran serta melaporkan persentase pembeli. “Sejak satu tahun lalu, unit laku terjual dipasaran, Tuan. Dan berdasarkan presentase, invest tertinggi dari kaum milenial …”
Anjani yang sejak tadi bergeming, langsung menoleh ke arah David. Ia kembali teringat presentasinya saat itu, bahwa target marketnya pun sama. Kaum millennial. Sungguh prediksi yang tepat, pikirnya.
“Delapan puluh lima persen pembeli adalah pengusaha muda—mereka yang masih merintis.”
Arjuna berdeham. Seketika ia menghentikan langkahnya. “Thanks for your report, David.” Ia menoleh. “Tapi saat ini aku sedang tidak ingin mendengar laporan tersebut,” ujarnya, dingin.
“Kau bisa menemuiku di kantor jika ingin mempresentasikannya,” pungkasnya, tajam.
David pun terlihat gugup. Anjani melihat Arjuna dengan tatapan yang tak biasa. Ia melihat sorot mata yang dingin. Pintu lift kembali terbuka. Mereka tiba di lantai 8. David lantas mempersilahkan Arjuna dan Anjani keluar lift. Setelahnya ia mengajak ke unit A808.
“Kita sampai, Tuan.”
Beep!
Suara kunci pintu terbuka dengan sekali tap. David mempersilakan mereka masuk untuk melihat seisi apartemen tersebut.
“Unit ini sudah full-furnished dengan city view. Saat malam akan terlihat lebih indah, karena banyak gemerlap lampu kota yang terlihat dari sini.”
Anjani hanya bisa menghela nafas pelan. Ia tak mengerti, mengapa dirinya bisa sejauh ini. Bagaimana bisa ia menerima sesuatu yang begitu besar. “Kau menyukainya?” tanya Arjuna membuyarkan lamunannya.
“Eung?”
Arjuna melirik David yang menatap mereka. Dan saat itu pula, David langsung menundukkan pandangannya. Sedetik kemudian, Anjani mengangguk pelan.
“Jika kau menyukainya, aku akan ambil unit ini untukmu.” Lagi-lagi David meliriknya, kali ini tak hanya melirik Arjuna, bahkan ia melirik Anjani yang ia yakini seseorang yang begitu spesial bagi pemilik perusahaan real estate tersebut.
“Terima kasih,” ujar Anjani pelan.
***
3 Minggu Kemudian..Johor Bahru, Malaysia. HomeSweet Enterprise.“Baik, boleh kita mulai pertemuan ini?” Seseorang dengan setelan kemeja putih dan jas abu-abu memulai pertemuan disana. Terlihat beberapa rekan dan investor hadir menindaklanjuti kerjasama pendanaan proyek mereka. Disisi lain, seorang gadis tertunduk dengan perasaan yang tak bisa ditebak. Hatinya berkecamuk dan pikirannya tidak fokus. “Anjani, boleh kita mulai?”Tak ada sahutan dari si empunya nama, ia terus tertunduk dengan wajah penuh cemas. Sosok pria lain terus mengamatinya. Entah apa yang terjadi dengan gadis itu saat ini. “Anjani? Hello? Kau mendengarku?” Rekan disisi kanan pun menepuk pundaknya. Seketika Anjani terkejut. “Yes, sorry?”“Are you okay, right?” “Ah, yes, i’m okay.” Anjani berusaha terlihat baik-baik saja. “Thank you, Ammar,” timpalnya pelan. Sebuah nama terucap. Ammar. Pria itu merupakan CEO HomeSweet Enterprise, sebuah perusahaan startup yang selama ini menjadi tempat Anjani bernaung dan memb
Seminggu berlalu..Jakarta Selatan, Indonesia. Sore itu langit tak lagi bercahaya. Awan gelap—mulai menyelimuti seluruh penjuru kota. Sang gemuruh saling bersahutan hingga memberi sensasi menakutkan. Hujan memang belum turun, namun aroma tanah mulai menelisik ke rongga hidung seseorang. Anjani terus berdiri diatas tanah kosong. Memandang lurus papan nama yang berdiri diatas tiang, “Barathaland Group,” gumamnya. Sesaat matanya terpejam. Ia tak mampu mempercayai bahwa tanah itu milik keluarga Arjuna. Tanah yang dulunya pernah berdiri sebuah bangunan dengan segala kenangan indah di dalamnya. “Aku bahkan tidak punya tempat untuk mengingat kenangan bersama mereka,” gumamnya, lirih.Langit seolah tak mendukung, semilir angin kencang disertai rintik hujan membasahi. Anjani bergeming. Ia tak berniat melangkah pergi. Tubuhnya masih meminta untuk tetap tinggal dan mengenang masa-masa indah bersama kedua orang tuanya.“Kau—Anjani Samitha?” Tiba-tiba suara berat mengejutkannya. Seketika gadis
Diruang kerja, Arjuna memandang satu kartu nama bertuliskan “Krediby”, salah satu perusahaan pinjaman dengan suku bunga yang super tinggi. Ia kembali teringat ketika Anjani meringkuk sambil memohon pertolongannya. Kasihan, pikirnya. Gadis itu harus menanggung beban dari lintah darat seperti mereka. Tak lama, pria itu meremas kartu nama dengan geram.“Target pasar mereka memang kalangan menengah ke bawah. Mereka memberikan pinjaman tanpa syarat, akan tetapi mereka mengambil keuntungan dari peminjam yang sulit membayar karena bunga diatas rata-rata,” tutur seseorang dihadapan Arjuna. “Kurang ajar, ini namanya pemerasan!” Arjuna memandang tajam ke depan. “Sudah banyak korban yang terjerat. Mereka yang menjadi korban harus membayar jaminan entah itu dengan uang atau dengan tubuh mereka.”Prank! Suara gebrakan meja terdengar keras. Jadi itulah mengapa Anjani begitu ketakutan saat kali terakhir mereka bertemu. Apakah gadis itu mendapatkan ancaman yang sama? Arjuna menerka. “Bereskan me
Setelah memutuskan menikah dicatatan sipil, Arjuna dan Anjani hidup bersama dalam satu atap untuk mengenal satu sama lain. Tepatnya, di sebuah apartemen pemberiannya. Malam itu, Arjuna menghampiri Anjani yang tengah menonton tv di sofa ruang tamu. Ia menyodorkan secarik kertas berisi perjanjian lanjutan. “Hmmm—”Anjani menoleh. Ia menengadahkan wajah sambil memandang Arjuna yang masih berdiri. “Ini perjanjian lanjutan after we got married.” Dengan balutan piyama navy, Arjuna beranjak duduk disebelah gadis itu yang mana secara hukum sah sebagai istrinya. “Setidaknya ada lima pasal yang perlu kita bahas.” Anjani memandang serius. Ia meraih secarik kertas yang sedari tadi terabaikan olehnya.“Pertama, meski secara hukum pernikahan ini sah, kita akan tidur di kamar yang berbeda. Aku akan tidur di kamar utama dan kau di kamar tamu.” Arjuna mengambil jeda. “Kedua, dilarang mencampuri privasi masing-masing. Ketiga, setiap akhir pekan kita berusaha untuk makan malam bersama Nenek. Keempa
Pagi itu Arjuna menemui Nyonya Nirwasita di kediamannya. Jam sibuk kerja kini sudah tak dihiraukan olehnya sejak terlibat dengan Anjani. Si pekerja keras yang ambisius itu kini menjadi si pria yang hanya memikirkan cara agar menguasai semua tahta kerajaan keluarganya, Barathaland Group. “Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat tidak bersemangat?” Nyonya Nirwasita menghampiri cucunya yang tengah bersandar di sofa. Wajahnya terlihat kusut dan keningnya mengkerut. Sejak bertengkar dengan Anjani kemarin, ia memutuskan untuk pergi. “Nek, apa kau marah jika aku jujur padamu?”Alis Nyonya Nirwasita menyatu. Tatapan matanya, menghunus Arjuna dengan tajam. “Tentang apa?” Arjuna menoleh. Ia memandang neneknya dengan wajah ragu. Sejujurnya, tentang pernikahan sipil itu, ia mengambil langkah yang terlalu jauh. “Aku dan Anjani—” Arjuna menggantungkan ucapannya. Bingung harus memulai darimana, Arjuna tak mampu melanjutkan ucapannya.“Ada apa dengan kalian?” Wajah cemas tergambar dari raut sang ne
Senja berganti malam. Arjuna terdiam di kursi kekuasaan ditengah gelap gulitanya ruangan. Hanya ada sinar rembulan yang menembus dari kaca ruangan tersebut. Berkali-kali ia menghela nafas sambil memikirkan apa yang terjadi. Ia berpikir, dulu hidupnya tentram dan damai. Namun, saat ini kehidupannya berubah 360 derajat. Keterlibatan Anjani dalam perebutan tahta berbuah malapetaka. Bukan ia tak tahu konsekuensinya dan bukan pula ia ingin menyalahkan keadaan, namun ia hanya tak memikirkan lebih jauh tentang rencananya. Arjuna merasa bodoh. Tak lama, derap langkah kaki membuyarkan lamunannya. Arjuna mendongak. Ia melihat sosok gadis menggelengkan kepala sambil mengejeknya. “Kau baik-baik saja, Tuan?” tanya gadis itu, tertawa tipis. Ia menatap tajam lalu membuang wajahnya. “Jika saja kau lebih tanggap, mungkin semua tak akan seheboh ini,” cicit Arjuna yang masih kesal. Lagi-lagi kesalahan dilimpahkan pada Naomi, Sekretaris perusahaannya. Setahu Arjuna, Naomi pribadi yang bisa menger
“Jadi apa rencana kalian selanjutnya?”Nyonya Nirwasita bergantian memandang Anjani dan Arjuna yang tengah menikmati makan malam. Mereka saling membisu di tengah meja itu. Arjuna melirik Anjani yang masih terus mengunyah. Meski sudah berbaikan, pria itu merasa Anjani masih bersikap dingin terhadapnya. “Arjuna, Anjani, kalian mendengarkan, Nenek?” Sekali lagi, Nyonya Nirwasita memastikan dan disaat itu pula keduanya menoleh.“Ya, Nek?” Lantas mereka saling memandang, tak disangka mereka bisa sekompak itu. Nenek pun terkekeh hingga membuat keduanya tersipu malu. “Tentang kabar berita itu ... bukankah lebih baik jika kita adakan pesta pernikahan?”Seketika Anjani tersedak. Mukanya memerah karena menahan makanan yang hampir menyumbat saluran nafasnya. Ia pun terbatuk. Arjuna yang duduk bersebelahan segera memberikan air minum, menuntun gadis itu lalu mengusap punggungnya. “Kau baik-baik saja?” tanya Arjuna dan Anjani hanya mengangguk. “Rasanya terlalu terburu-buru, Nek.” Arjuna menge
Malam itu, gemerlap bintang berkelip diatas langit, seolah bersorak atas kebahagiaan di sana, bulan yang terlihat bulat sempurna pun kontan menyinari pelaminan. Kini para tamu undangan silih berganti berdatangan, memasuki area lahan berukuran satu hektar tersebut. Di sekelilingnya telah terdapat beberapa media yang akan meliput. Pesta pernikahan yang diadakan di kediaman Nyonya Nirwasita, bersifat semi intimate, di mana hanya dihadiri beberapa rekan bisnis, keluarga inti, dan beberapa awak media. Lahan taman yang lebih terlihat seperti lapangan golf tersebut telah didekorasi dengan konsep rustic romantic. Pelataran beige sepanjang tiga meter membentang jalan dihiasi standing flower menuju pelaminan. Barisan kursi dan meja panjang telah tertata rapih di sisi kanan kiri pelataran tersebut. Beberapa orang yang sudah hadir telah memenuhi kursi tamu yang telah disesuaikan. Mereka siap menyambut kedatangan mempelai malam itu. Sambutan tepuk tangan menggema diiringi musik romantis yang berp
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb