Pagi itu Arjuna menemui Nyonya Nirwasita di kediamannya. Jam sibuk kerja kini sudah tak dihiraukan olehnya sejak terlibat dengan Anjani. Si pekerja keras yang ambisius itu kini menjadi si pria yang hanya memikirkan cara agar menguasai semua tahta kerajaan keluarganya, Barathaland Group. “Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat tidak bersemangat?” Nyonya Nirwasita menghampiri cucunya yang tengah bersandar di sofa. Wajahnya terlihat kusut dan keningnya mengkerut. Sejak bertengkar dengan Anjani kemarin, ia memutuskan untuk pergi. “Nek, apa kau marah jika aku jujur padamu?”Alis Nyonya Nirwasita menyatu. Tatapan matanya, menghunus Arjuna dengan tajam. “Tentang apa?” Arjuna menoleh. Ia memandang neneknya dengan wajah ragu. Sejujurnya, tentang pernikahan sipil itu, ia mengambil langkah yang terlalu jauh. “Aku dan Anjani—” Arjuna menggantungkan ucapannya. Bingung harus memulai darimana, Arjuna tak mampu melanjutkan ucapannya.“Ada apa dengan kalian?” Wajah cemas tergambar dari raut sang ne
Senja berganti malam. Arjuna terdiam di kursi kekuasaan ditengah gelap gulitanya ruangan. Hanya ada sinar rembulan yang menembus dari kaca ruangan tersebut. Berkali-kali ia menghela nafas sambil memikirkan apa yang terjadi. Ia berpikir, dulu hidupnya tentram dan damai. Namun, saat ini kehidupannya berubah 360 derajat. Keterlibatan Anjani dalam perebutan tahta berbuah malapetaka. Bukan ia tak tahu konsekuensinya dan bukan pula ia ingin menyalahkan keadaan, namun ia hanya tak memikirkan lebih jauh tentang rencananya. Arjuna merasa bodoh. Tak lama, derap langkah kaki membuyarkan lamunannya. Arjuna mendongak. Ia melihat sosok gadis menggelengkan kepala sambil mengejeknya. “Kau baik-baik saja, Tuan?” tanya gadis itu, tertawa tipis. Ia menatap tajam lalu membuang wajahnya. “Jika saja kau lebih tanggap, mungkin semua tak akan seheboh ini,” cicit Arjuna yang masih kesal. Lagi-lagi kesalahan dilimpahkan pada Naomi, Sekretaris perusahaannya. Setahu Arjuna, Naomi pribadi yang bisa menger
“Jadi apa rencana kalian selanjutnya?”Nyonya Nirwasita bergantian memandang Anjani dan Arjuna yang tengah menikmati makan malam. Mereka saling membisu di tengah meja itu. Arjuna melirik Anjani yang masih terus mengunyah. Meski sudah berbaikan, pria itu merasa Anjani masih bersikap dingin terhadapnya. “Arjuna, Anjani, kalian mendengarkan, Nenek?” Sekali lagi, Nyonya Nirwasita memastikan dan disaat itu pula keduanya menoleh.“Ya, Nek?” Lantas mereka saling memandang, tak disangka mereka bisa sekompak itu. Nenek pun terkekeh hingga membuat keduanya tersipu malu. “Tentang kabar berita itu ... bukankah lebih baik jika kita adakan pesta pernikahan?”Seketika Anjani tersedak. Mukanya memerah karena menahan makanan yang hampir menyumbat saluran nafasnya. Ia pun terbatuk. Arjuna yang duduk bersebelahan segera memberikan air minum, menuntun gadis itu lalu mengusap punggungnya. “Kau baik-baik saja?” tanya Arjuna dan Anjani hanya mengangguk. “Rasanya terlalu terburu-buru, Nek.” Arjuna menge
Malam itu, gemerlap bintang berkelip diatas langit, seolah bersorak atas kebahagiaan di sana, bulan yang terlihat bulat sempurna pun kontan menyinari pelaminan. Kini para tamu undangan silih berganti berdatangan, memasuki area lahan berukuran satu hektar tersebut. Di sekelilingnya telah terdapat beberapa media yang akan meliput. Pesta pernikahan yang diadakan di kediaman Nyonya Nirwasita, bersifat semi intimate, di mana hanya dihadiri beberapa rekan bisnis, keluarga inti, dan beberapa awak media. Lahan taman yang lebih terlihat seperti lapangan golf tersebut telah didekorasi dengan konsep rustic romantic. Pelataran beige sepanjang tiga meter membentang jalan dihiasi standing flower menuju pelaminan. Barisan kursi dan meja panjang telah tertata rapih di sisi kanan kiri pelataran tersebut. Beberapa orang yang sudah hadir telah memenuhi kursi tamu yang telah disesuaikan. Mereka siap menyambut kedatangan mempelai malam itu. Sambutan tepuk tangan menggema diiringi musik romantis yang berp
Suasana pagi tercipta begitu hangat, Nyonya Nirwasita tak henti-hentinya mengulas senyum. Kebahagiaannya kini terpenuhi, seorang cucu menantu yang menyayanginya sepenuh hati. Kala itu, matahari menyinari ruang makan yang berada di dekat kolam, pintu kaca yang terbuka membiarkan angin alam memberikan kesejukan di antara mereka. Anjani masih bergeming sambil menghabiskan sarapannya, sedangkan Arjuna sesekali melirik gadis tersebut. Ada yang berbeda dari gadisnya, wajah itu terlihat pucat dan sembab. “Kau baik-baik saja, Anjani?” Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Arjuna, Nyonya Nirwasita menelan keheningan. Wanita itu memandang Anjani intens, menatap mata yang tak berani memandangnya. “Kau sakit?” Sejak tadi Anjani masih belum menjawab pertanyaan sang nenek, pikirannya entah ke mana. Sesungguhnya ia merasa sangat malu, perasaannya berkecamuk atas kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan. Hatinya tak mampu mengelabui wanita yang terlampau baik terhadapnya, serta tak mampu membohon
Sepekan berlalu, rapat umum pemegang saham luar biasa segera berlangsung. Desas-desus terdengar bersahutan ketika “orang baru” muncul pada rapat kali. Gadis dengan long coat blazer biru dan accordion skirt navy, membuat seluruh mata memandang ke arahnya. Rambut yang sedikit digulung ke atas dengan poni tipis berserakan membuatnya tampak manis. Tak sedikit wanita yang hadir di sana iri dengan kecantikannya. “Baik ... Bapak, Ibu, kita mulai acara rapat hari ini.” Naomi memecah desas-desus itu. Seluruh peserta rapat kini menoleh ke arahnya yang tengah duduk di bangku pertama sayap kanan Arjuna. Meja persegi yang membentang sepanjang tiga meter terlihat padat meski ada dua atau tiga kursi yang kosong. “Mata acara RUPSLB hari ini yakni membahas dua hal diantaranya pertama pengangkatan dan pemberhentian Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko—”Belum genap Naomi menyelesaikan ucapannya, seketika ruangan menjadi bising. Para pemegang saham bersahutan, mereka tidak percaya bahwa pimpinan ra
Anjani berjalan di antara rerimbun pohon di pusat kota Jakarta Selatan. Sesekali ia merasa angin menyapu wajahnya dengan lembut. Sejak mendapati suaminya berpelukan dengan gadis lain, tak ada yang bisa ia perbuat, mengingat ada kesepakatan yang telah disetujui. 'Tapi tunggu? Seharusnya Arjuna tidak melupakan pasal keempat, tentang orang ketiga 'kan?' Entahlah, pikiran Anjani kini jadi kacau. Ia terus melangkah dengan menyampirkan long coat biru di lengan, lantas berjalan sambil mencoba menghilangkan kegalauanya. Anjani tiba di tribun taman tersebut, lantas duduk. Tiba-tiba nada pesan mengejutkan. Ia meraih ponsel dari saku coat-nya, melihat pesan yang datang dari sang sahabat. Naomi pasti khawatir tentang persaaannya saat ini. Are u ok? Seulas senyum tipis nampak di wajah Anjani, ia sungguh beruntung memiliki sahabat yang mengerti perasaannya. Anjani gegas mengetik. I don’t think so. But I’m trying to be okay. Pesan itu hampir saja dikirim, namun, ponselnya tiba-tiba mati. Ia
Pagi itu Anjani mulai terlihat sibuk di ruang kerjanya. Tepat seminggu berlalu, saat gadis itu ditetapkan sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko. Ia banyak menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya, setelah hampir empat bulan vakum di dunia industri. Selama menjalani posisi baru, Anjani terus mendengar desas-desus tak enak sampai ke telinganya. Hampir sebagian petinggi pun banyak meragukan kemampuan dirinya serta mempertanyakan kredibilitasnya. Mengingat, kehadiran gadis itu melalui jalur dalam, yaitu Arjuna.Tak ingin ambil pusing, Anjani berjibaku dengan berkas-berkas yang perlu dipelajarinya. Sudah seminggu ini ia didampingi oleh seorang asisten, Sinta. Gadis yang usianya lebih muda satu tahun darinya itu merupakan asisten Tuan Arwan Singgih, mantan Direktur yang lama. Sinta banyak membantu Anjani menyesuaikan diri. Anjani berusaha mengakrabkan diri, menganggap Sinta sebagai temannya, bukan lagi asistennya. “Ini, Nyonya, kopi untukmu—” Sinta menyodorkan segelas kopi yan
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb