Anjani berjalan di antara rerimbun pohon di pusat kota Jakarta Selatan. Sesekali ia merasa angin menyapu wajahnya dengan lembut. Sejak mendapati suaminya berpelukan dengan gadis lain, tak ada yang bisa ia perbuat, mengingat ada kesepakatan yang telah disetujui. 'Tapi tunggu? Seharusnya Arjuna tidak melupakan pasal keempat, tentang orang ketiga 'kan?' Entahlah, pikiran Anjani kini jadi kacau. Ia terus melangkah dengan menyampirkan long coat biru di lengan, lantas berjalan sambil mencoba menghilangkan kegalauanya. Anjani tiba di tribun taman tersebut, lantas duduk. Tiba-tiba nada pesan mengejutkan. Ia meraih ponsel dari saku coat-nya, melihat pesan yang datang dari sang sahabat. Naomi pasti khawatir tentang persaaannya saat ini. Are u ok? Seulas senyum tipis nampak di wajah Anjani, ia sungguh beruntung memiliki sahabat yang mengerti perasaannya. Anjani gegas mengetik. I don’t think so. But I’m trying to be okay. Pesan itu hampir saja dikirim, namun, ponselnya tiba-tiba mati. Ia
Pagi itu Anjani mulai terlihat sibuk di ruang kerjanya. Tepat seminggu berlalu, saat gadis itu ditetapkan sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko. Ia banyak menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya, setelah hampir empat bulan vakum di dunia industri. Selama menjalani posisi baru, Anjani terus mendengar desas-desus tak enak sampai ke telinganya. Hampir sebagian petinggi pun banyak meragukan kemampuan dirinya serta mempertanyakan kredibilitasnya. Mengingat, kehadiran gadis itu melalui jalur dalam, yaitu Arjuna.Tak ingin ambil pusing, Anjani berjibaku dengan berkas-berkas yang perlu dipelajarinya. Sudah seminggu ini ia didampingi oleh seorang asisten, Sinta. Gadis yang usianya lebih muda satu tahun darinya itu merupakan asisten Tuan Arwan Singgih, mantan Direktur yang lama. Sinta banyak membantu Anjani menyesuaikan diri. Anjani berusaha mengakrabkan diri, menganggap Sinta sebagai temannya, bukan lagi asistennya. “Ini, Nyonya, kopi untukmu—” Sinta menyodorkan segelas kopi yan
Dokter wanita paruh baya itu melepas earpieces stetoskop lalu berbalik ke arah seorang pria yang menantinya. Di sebuah ruang kerja, Anjani terbaring pada sofa panjang dengan selang infus menggantung. Sejak terjatuh di depan lift, Kris langsung menghubungi dokter pribadi keluarga Barathawardana untuk memeriksa keadaan istri Arjuna. Hening sesaat. “Nona Anjani baik-baik saja, kau tak perlu khawatir.”Terpancar raut kekhawatiran. Meski sikapnya dingin bagaikan es, Arjuna masih memiliki hati nurani. Ia jelas mengkhawatirkan sang istri yang tiba-tiba pingsan. “Apa ada yang serius?” “Tidak,” ujar dokter ber-nametag Reisa dengan santai. “Imunnya hanya sedang turun akibat perubahan cuaca dan mungkin juga karena terlalu lelah bekerja.” Dokter Reisa hanya mendiagnosa gadis itu kelelahan, tidak ada yang serius Anjani disarankan untuk beristirahat beberapa waktu. Selang infus yang nampak menggantung seolah menjadi sumber energi bagi gadis yang terbaring lemah tersebut. Wajah Anjan
Anjani berhasil melewati ambang pintu itu lalu berpapasan langsung dengan Kayla, gadis yang pernah ada di kehidupan Arjuna serta pewaris tunggal Manendra Corporation. Mata mereka saling bersitatap dalam waktu yang cukup lama. Anjani berusaha menebar senyuman seraya menyapa, namun Kayla sama sekali mengabaikannya dan berlalu begitu saja. Dalam hati Anjani mengumpat. ‘Sombong sekali dia ... apa yang salah dariku? Jika harus ada yang cemburu, bukankah istrinya lebih pantas melakukannya? Tsk! Kenapa menatapku seolah aku ini perusak hubungannya!’ Anjani bermonolog. Cih! Ekor mata Anjani melirik gadis yang saat ini berhasil lolos masuk ke dalam ruang kerja Arjuna. Sedetik kemudian, Naomi menepuk tangannya di depan wajah sang sahabat ketika Anjani berhasil melewati gawang pintu. Kontan, Anjani pun terkejut. “Uhuk! Kau jealous?” Wajah Anjani merah padam, bibirnya berkedut. Ia tak mengingkari bahwa dirinya memang tengah dibakar api cemburu. Bukankah dalam perjanjian itu A
“Maaf ... ini adalah kesalahan—”Anjani mengulang kembali kalimat yang membuat dirinya tak habis pikir. Hatinya masih sakit, sungguh. Dalam perjalan menuju kediaman, baik Anjani dan Arjuna tak bersuara. Sesekali supir melirik dari balik kaca spion, merasakan atmosfer dingin yang tercipta membuat tengkuknya bergidik ngeri. Akibat kejadian siang itu ... Arjuna seolah bersikap tak terjadi apapun, meski rasa canggung meyelimutinya. Di sepanjang jalan, Arjuna hanya fokus memantau pergerakan saham melalu iPad-nya. Perjalanan pulang yang dibersamai keheningan membuat Anjani tak mampu berkata apapun. Gadis itu lantas melirik sang suami yang tampak tak menganggapnya ada. Seolah keseriusan Arjuna hanya untuk menutupi ketidanyamanan. Waktu berlalu tanpa obrolan. Hingga akhirnya, suara getar ponsel mengisi keheningan. Anjani gegas memeriksa ponsel yang tengah ada digenggaman, memandang sebuah nama yang tak asing baginya. Sedangkan pria di sebelahnya diam-diam melirik. Raut wajah itu semakin ding
Anjani berjibaku dengan berkas-berkas yang ada di meja. Semenjak kepulangan Arjuna dua hari lalu, sosok gadis itu berubah menjadi sangat dingin. Ia jadi lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor dan menyelesaikan tugas sesuai perjanjian. Yups! partner bisnis, bukan lagi pendamping hidup. Hari sudah larut, mungkin saat ini sudah pukul 9 malam, Anjani memutuskan tak pulang bersama suaminya. Rasanya, ia perlu waktu untuk bisa menata hati dan berhenti berharap.Suara leguh memecah keheningan ketika Anjani berhasil menyelesaikan tugas ... mengecek laporan audit resiko keuangan proyek Green Building setelah Arjuna pergi untuk meninjaunya langsung. Kepulangan Arjuna tentu membawa pe-er yang banyak untuknya. Namun entah mengapa Anjani justru berterima kasih atas kesibukan yang diberikan oleh pria itu. Dengan begitu, Anjani berharap mampu melupakan perasaannya.Anjani tertegun. Gadis itu menatap kosong pintu di hadapannya. Rasa-rasanya Anjani pun sudah tidak mendengar suara penghuni kantor.
“Tolong undur rapat dengan Manendra Corporate.”Arjuna menghunus netra seseorang di hadapannya. Nafasnya terdengar memburu dan rahang terlihat mengeras. “Lalu panggilkan Anjani ke ruanganku ... NOW!” Sebuah pekikan membuat Naomi tersentak. Ia tak mengerti setan apa yang telah merasuki pria itu. Tidak biasanya, Arjuna mengobarkan amarahnya di pagi hari. “Tunggu apalagi, Naomi? Panggilkan sekarang juga!”Naomi pun bergegas. Jantungnya sudah tak aman sejak beberapa waktu lalu. Kini kakinya melangkah, menjauh dari hadapan Arjuna. Bersama langkah kaki itu, Naomi mengetik sebuah pesan singkat yang ditujukan pada sahabatnya.Tue, feb 16, 2021, 07.15 Bersiaplah, Anjani … riwayatmu tamat hari ini! Hih. Naomi sendiri merinding ketika pesan itu berhasil terkirim. Ia duduk di workstation dan menelepon sahabatnya berulang kali. Memandang amarah Arjuna saat itu, membuat Naomi mencemaskan Anjani. Apa yang terjadi dengan mereka? Mengapa Arjuna bisa semarah itu? Apa mungkin karena Anjani tidak pu
Perang dingin yang terjadi hampir satu minggu ini telah membuat Arjuna gerah. Selama itu, Anjani benar-benar terasa asing baginya. Arjuna yang tak tahu harus bagaimana, lantas mencoba mengajak Anjani berbicara. Tepatnya sebelum mereka bergegas menuju kediaman Nyonya Nirwasita karena akhir pekan telah tiba. Arjuna berdehem di ujung pintu kamar hingga Anjani yang tengah sibuk memakai skin care pun menoleh. “Kita perlu bicara—aku tunggu di ruang tamu.” Anjani memutar bola matanya enggan. Pun saat Arjuna menghilang, Anjani malas menanggapinya. Rasa sakit yang menghujam berkali-kali menyebabkan Anjani lelah bertahan. Sesungguhnya, ia sudah tak peduli. Anjani hanya berpikir bagaimana cara menyelesaikan kontrak mereka lalu pergi sejauh mungkin. Namun, saat ia mulai menyerah … Arjuna seolah memberinya ruang. Anjani merasa seperti layangan yang terus ditarik ulur oleh pemainnya.Saat tiba di sofa, Arjuna bergeser dan Anjani duduk tepat beberapa senti di sampingnya. Canggung. Atmosfer yang
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb