“Arjuna,” gumam gadis itu. Setelah melihat layarnya menyala. Anjani sama sekali tak berniat meresponnya. Ia menggeser ikon merah lalu menyalakan mode pesawat. Hatinya begitu hancur—seperti tak bisa tertata lagi. “Are you ok?” Rama memastikan dan Anjani mengangguk pelan. Meski tak jelas menunjukkan, Rama tentu tahu bahwa Anjani sedang tidak baik-baik saja. Ia berusaha menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Bagaimana bisa seorang gadis bisa baik-baik saja sementara melihat sang suami bersama gadis lain? Bahkan seluruh dunia mengetahuinya. “Hmm … bukankah dirimu seharusnya bersama Kayla?” Anjani mengalihkan perbincangan. Demi hati yang tak mampu berdamai, sudah seharusnya Anjani menghentikan perbincangan tentang Arjuna. Rasanya begitu sakit jika harus mengingat pemberitaan yang ada tentang mereka. Memandang keraguan di wajah pria itu, Anjani memastikan kembali. “Hei?!”Rama terlihat ragu. Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi ketika mendapati Arjuna ada di unit sang k
Anjani kembali ke rutinitas hariannya sebagai Direktur Keuangan dan Manajemen Resiko. Pagi itu ia sudah berangkat lebih awal demi menghindari Arjuna. Berada di atap yang sama sungguh membuatnya tak bisa bernafas. Segalanya jadi serba terbatas. Sejak ia menyatakan tentang perasaannya, Anjani merasa tak memiliki nyali untuk bertemu. Rasanya ia ingin sekali menyembunyikan wajahnya entah dimana. Sebab, menghadapi pria itu membuatnya semakin kesulitan. Pagi itu jalanan ibu kota sudah padat merayap. Anjani bersyukur berangkat lebih. Ia mengendarai sendiri mobil pemberian Arjuna beberapa waktu lalu. Sesungguhnya, jika ia ingin mengutuk, Anjani akan lakukan dirinya sendiri yang tetap memakai fasilitas pemberian pria itu. Mobil mercy keluaran terbaru memasuki lobby utama Barathaland Group—Anjani berhenti lalu memberikan kunci pada petugas. Ia gegas memasuki kantor karena sepuluh menit lagi rapat bagiannya di mulai. “Pagi, Bu Anjani!” sapa hangat seorang office boy yang tengah mengelap lanta
“Kau sedang tidak cemburu ‘kan?” Arjuna terkejut. Melihat tatapan Naomi membuat dirinya seketika gugup.Tak ada jawaban atas pertanyaan itu, ia tak membantah juga tak mengiyakan. Arjuna memalingkan wajahnya. Namun, dengan jailnya, Naomi menuntut jawaban pada pria itu. “Bukankah aku pernah bertanya tentang perasaanmu padanya?” Naomi terdiam, mengamati gerak gerik pria yang masih bergeming itu. Meski tak ada gerakan—ia bisa melihat ada sebuah kegugupan. Bibir Arjuna berkedut. “Aku tanya sekali lagi … kau menyukainya?”Terakhir kali mendapat pertanyaan itu, Arjuna dengan tegas menjawab tidak. Namun, kini ia tak mampu mengatakannya. Lidahnya kelu. Arjuna tak mengerti mengapa bibirnya begitu berat. Tak ada kalimat yang terlontar. Arjuna pun menelan ludah. “Tak perlu dijawab kalau begitu … sudah jelas bahwa dirimu mulai menyukai gadis itu.” Naomi menarik kesimpulan. Sebagai seorang sahabat, ia banyak memberi nasihat pada pria itu. Meski usia mereka terpaut jarak dan Arjuna lebih tua
“Apa kau pernah melihat Anjani bahagia bersama pria itu?”Pertanyaan Ammar kontan membuat Naomi tak berkutik. Ia tahu Ammar sosok yang begitu vokal. Ia tak akan begitu saja percaya dengan omongan yang orang lain katakan. Sementara ia bisa melihat fakta yang berbeda dari omongan tersebut. “Itu ….”“Aku sudah jauh mengenal kalian, Naomi. Apapun yang terjadi, aku sudah bisa membacanya.”Kris yang tak bisa memasuki ranah persahabatan itu, hanya mampu menyetir dengan kecepatan tinggi hingga tanpa sadar mobil mereka telah terparkir. “Kita sudah sampai,” sela Kris membuat mereka menghentikan obrolan itu.Ammar dan Naomi mengitari pandangan. “Oh, ya,” gumam Naomi. Disebuah restoran Jepang.Waktu berlalu sekitar lima belas menit setelah ketiganya tiba di restoran Jepang. Di sebuah bilik, Naomi dan lainnya menanti kedatangan sepasang suami istri. Hening. Ketiganya sibuk dengan gawai masing-masing hingga akhirnya sebuah suara mengisi suasana. “Maaf kami terjebak macet …” ujar Anjani setiba
“Mengapa hanya aku yang paling tidak mengerti dirimu,” gumam Anjani, dengan air mata mengambang di pelupuknya. Hatinya begitu terluka. Ia kian terisak. Pun demikian, genggamannya tak kunjung usai di jemari sang suami. Dengan siku bertumpu, Anjani berulang kali mengecup jemari tersebut. Ia tertunduk lesu dengan air mata yang tak kunjung henti berlinang. “Maafkan aku,” lirih Anjani. Hatinya begitu terluka. Ia mengutuk kebodohannya karena tak mengenal tentang pria itu. Rasanya percuma mereka tinggal bersama, hal remeh seperti itu pun ia tak tahu. Anjani menggeleng, gusar dengan dirinya sendiri. “Aku menyesal karena tidak tahu apapun tentang dirimu.” Lagi-lagi isak tangis terdengar dibersamai suara alat medis. Tak lama, suara pintu berdecit. Anjani gegas menghapus jejak air mata di pipinya. Ia menangkap sosok wanita yang semakin mendekat. Disaat yang sama ketika langkah kaki itu terhenti, Anjani mendekap erat tubuh wanita itu. Samar-samar mulai terdengar isak tangis. Kini Anjani me
Anjani berlari sejak mendengar percakapan kedua orang di ruang rawat. Hatinya teriris mengetahui bahwa gadis tersebut masih mencintai sang suami. Akankah mereka kembali bersama ketika hubungan kontrak antara dirinya dan Arjuna berakhir? Pikiran itu memenuhi ruang otaknya—hingga tanpa sadar ia menabrak seseorang. “Maaf—” Anjani hampir saja terpelanting jika orang tersebut tak mencekal lengannya. Ia masih tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah dipenuhi air mata. “Maafkan aku,” ucapnya lagi saat melihat sepasang sepatu masih tak bergerak dari hadapannya. “Hei, ada apa?” Anjani lantas mendongak. Suara itu sangat familiar di telinganya. “Ammar—” Sorot mata gadis itu terlihat berbinar dibersamai rasa sesak yang mendalam. Disaat berikutnya, ia meremas lengan jas sang sahabat dengan begitu erat. Meski tak menjelaskan apa yang terjadi, nyatanya Ammar mampu memahami apa yang dirasakannya. Ia pun membawa Anjani ke sebuah tempat. Tiga puluh menit berlalu. Anjani hanya bergeming
Ting..Tong..Ting..Tong Anjani melepas pelukannya, mereka saling memandang lalu mengernyitkan dahi bersama. “Kau ada janji?” tanya Anjani dan pria itu menggeleng. “Baiklah.” Anjani hendak beranjak, namun tangannya tertahan, “Biar aku saja,” ujar Arjuna berlalu. Betapa terkejut ketika pintu itu terbuka—Arjuna melihat sosok yang seharusnya tidak disana. “Kau?” Ekspresi pria itu kini berubah jadi dingin, tatapan dan nada bicaranya menjadi sangat tidak bersahabat. Anjani yang sejak tadi mengamati dari kursi makan, lantas menghampiri. “Ada apa?” Wajahnya menoleh ke ambang pintu. Entah apa yang membuat sosok itu tiba-tiba datang ke kandang macan. Padahal—Anjani tahu benar mereka berdua tidak bisa disatukan di satu tempat yang sama. “Rama, ada apa datang kesini?” Anjani menghampiri dan meminta Arjuna untuk tetap tenang. “Aku ingin mengembalikan ini.” Rama menyodorkan sebuah scarf hijau. “Eung..” Anjani seketika gugup. Ia memandang ke arah Arjuna yang berdiri tepat di
“Kumohon! Terserah! … apapun itu, meski harus jadi yang kedua, aku tak masalah! Suasana menjadi sangat tak bersahabat. Mereka saling memandang dalam diam. Arjuna bingung menghadapi gadis itu. Ia kini menganggap gadis itu gila. Bagaimana mungkin pernyataan itu terlontar dari bibirnya. Sungguh konyol! “Kau gila, ya?” “Ya! Aku memang gila!” tantang gadis itu dengan berlinang air mata. Suaranya naik dua oktaf menimbulkan kecurigaan orang-orang disekitar. “Kendalikan dirimu, Kayla!” bisik Arjuna meminta gadis itu tenang. Kini sudah beberapa pasang mata memandang ke arah mereka. Ada yang tengah berbisik dan ada pula yang hanya menelisik. Arjuna menyesali pertemuannya di muka umum, tidak seharusnya orang seperti dirinya ada di tempat yang bisa dilihat oleh khalayak umum bersama gadis lain. Beberapa waktu lalu tentang video yang masih belum reda, tentu akan menimbulkan validitas kebersamaan antara dirinya dan Kayla yang sering terjadi. Kini, Arjuna terlihat seperti peran antagonis yan