Hihi kira kira siapa yah yang datang? Yuk kasih author support terus ^^ Comment and gem yuhuuu
Ting..Tong..Ting..Tong Anjani melepas pelukannya, mereka saling memandang lalu mengernyitkan dahi bersama. “Kau ada janji?” tanya Anjani dan pria itu menggeleng. “Baiklah.” Anjani hendak beranjak, namun tangannya tertahan, “Biar aku saja,” ujar Arjuna berlalu. Betapa terkejut ketika pintu itu terbuka—Arjuna melihat sosok yang seharusnya tidak disana. “Kau?” Ekspresi pria itu kini berubah jadi dingin, tatapan dan nada bicaranya menjadi sangat tidak bersahabat. Anjani yang sejak tadi mengamati dari kursi makan, lantas menghampiri. “Ada apa?” Wajahnya menoleh ke ambang pintu. Entah apa yang membuat sosok itu tiba-tiba datang ke kandang macan. Padahal—Anjani tahu benar mereka berdua tidak bisa disatukan di satu tempat yang sama. “Rama, ada apa datang kesini?” Anjani menghampiri dan meminta Arjuna untuk tetap tenang. “Aku ingin mengembalikan ini.” Rama menyodorkan sebuah scarf hijau. “Eung..” Anjani seketika gugup. Ia memandang ke arah Arjuna yang berdiri tepat di
“Kumohon! Terserah! … apapun itu, meski harus jadi yang kedua, aku tak masalah! Suasana menjadi sangat tak bersahabat. Mereka saling memandang dalam diam. Arjuna bingung menghadapi gadis itu. Ia kini menganggap gadis itu gila. Bagaimana mungkin pernyataan itu terlontar dari bibirnya. Sungguh konyol! “Kau gila, ya?” “Ya! Aku memang gila!” tantang gadis itu dengan berlinang air mata. Suaranya naik dua oktaf menimbulkan kecurigaan orang-orang disekitar. “Kendalikan dirimu, Kayla!” bisik Arjuna meminta gadis itu tenang. Kini sudah beberapa pasang mata memandang ke arah mereka. Ada yang tengah berbisik dan ada pula yang hanya menelisik. Arjuna menyesali pertemuannya di muka umum, tidak seharusnya orang seperti dirinya ada di tempat yang bisa dilihat oleh khalayak umum bersama gadis lain. Beberapa waktu lalu tentang video yang masih belum reda, tentu akan menimbulkan validitas kebersamaan antara dirinya dan Kayla yang sering terjadi. Kini, Arjuna terlihat seperti peran antagonis yan
“Jika aku tak mencintainya—aku tak mungkin menikahinya.” Anjani lantas bangkit, begitu pula dengan Ammar. Kedua pria itu saling memandang di udara. Terlihat rahang tegas Arjuna mengeras. Tatapannya seolah menyatakan ketidaksukaannya terhadap pria disana. Arjuna mendekat. Kini ia berdiri disisi gadis itu, menggenggam tangan sang gadis kemudian memandang tajam netra Ammar. Sementara Ammar hanya mampu tersenyum sepat, memalingkan wajahnya sesaat. Dalam hati ia tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Arjuna. Bahkan sekalipun, ia sungguh tak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. “Kau pikir aku bodoh!” umpat Ammar, pelan. Matanya menusuk netra Arjuna yang masih memandangnya tajam. “Eung—” Anjani hendak menghentikan ketegangan di antara keduanya. Namun, langkahnya tertahan, Arjuna semakin menggenggam erat tangan gadis itu, tak membiarkannya menjauh. Ammar memandang Anjani dan gadis itu memberi isyarat agar sang sahabat segera menyudahi pertemuan itu. Ia tak ingin emosi Arjuna
“Silahkan duduk!” seru wanita itu. Anjani pun kembali duduk dan diikuti oleh wanita tersebut. Setelah mereka duduk berhadapan, Zivaa menatap Anjani yang terlihat gugup. “Kau boleh memanggilku, Ibu ...” Seulas senyum tak biasa membuat bulu tengkuk Anjani berdiri. Lidahnya mendadak kelu. Tenggorokannya kian tercekat. Matanya tak henti memperhatikan wanita yang tampak awet muda di hadapannya. Sungguh tidak main-main, penampilannya bak seorang diva. Penampilan elegan dengan wajah tegas. Anjani menelan saliva saat melihat dua pria berjas hitam menjaga ibu mertuanya dari kejauhan. “Kau suka makan apa?” tawar wanita itu sembari membolak-balikkan buku menu. “Hmmm … apa saja, Nyo—eh Bu.” Terdengar tawa tipis dari wanita itu. Anjani lantas memandang Zivaa dengan penuh kekhawatiran. Ia takut sikapnya salah di mata sang ibu. “Kau tak perlu gugup—aku hanya ingin makan malam bersama menantuku.” Semakin wanita itu melontarkan ucapannya, semakin Anjani tak bisa menahan rasa gugup. Zivaa memes
“Jangan pergi,” gumamnya, membuat Anjani tak mengerti. Anjani membisu. Ia begitu terkejut saat Arjuna tiba-tiba menarik tubuhnya kedalam dekapan itu. Erat seolah tak ingin lepas. “A-ada apa?” tanya gadis itu, bingung. Arjuna terdiam. Bukan menjawab pertanyaan gadis itu, Arjuna makin mengeratkan pelukannya. Aroma tubuh Anjani bagai candu yang membuat dirinya menjadi tenang. Deru nafas pun mulai stabil dan ketakutannya lambat laun menghilang.“Jangan pergi!”Lagi-lagi kalimat itu terlontar dari bibirnya. Anjani masih tak mengerti arti kalimat yang baru saja ia dengar. “Baiklah, aku tak akan pergi.”Anjani membalas dekapan Arjuna lalu mengusap lembut punggung pria itu. “Jika kau sedang tidak sehat, kau istirahat saja. Aku akan ke kantor urus beberapa pekerjaan,” terang Anjani. “Tidak—kau tidak perlu ke kantor hari ini.”Mendengar kalimat itu membuat Anjani terkejut. Ia mendorong tubuh pria itu. Memandangnya penuh tanda tanya. “Kau mengizinkan aku tak pergi ke kantor?” setelah itu
Langkah kaki mereka berderap berdampingan. Ditengah semilir angin menuju pintu keluar area pemakaman tersebut, genggaman tangan terus bertaut seolah tak bisa lepas. “Terima kasih—Anjani.” ujar Arjuna, tiba-tiba hingga membuat gadis itu menoleh. Seulas senyum pun menghiasi wajah Anjani. “Aku yang seharusnya berterima kasih padamu—” Ucapan Anjani jeda sesaat. Berada disisi Arjuna membuatnya begitu nyaman, berjalan berdampingan sambil berpegang tangan, membuat dunia serasa milik mereka. “—terima kasih, karena kau membawaku menemui ibumu,” sambungnya. Sore itu awan hanya sekedar mendung. Hujan yang dinanti tak kunjung turun. Arjuna lantas membawa sang istri menyusuri kota Paris dengan mobil yang di sewa mereka untuk beberapa hari. Perjalanan itu merupakan perjalanan pertama bagi mereka. Arjuna mencoba menciptakan kenangan baru antara dirinya dan Anjani. Mobil yang dikemudikan tiba di sebuah menara terkenal di kota Paris, ya, Eiffel tower. Arjuna menggamit pinggang Anjani, lalu mengg
“Apa kau mempercayaiku?” tanya Arjuna, membuat Anjani semakin memandangnya. Sekitar beberapa detik tak ada jawaban. Anjani diam membeku. Matanya terus memandang pria di sana lalu mencoba meyakinkan hatinya. Tak lama, Anjani mengangguk pelan. Jemarinya bergerak cepat menarik Arjuna, lalu mengecup bibir pria itu dengan lembut. Suasana hening. Dua insan kini lupa bahwa ada perjanjian yang telah mereka sepakati. Disaat berikutnya, Arjuna mulai mengecup kening Anjani perlahan. Lambat laun, turun ke mata hingga mengulum lembut bibir ranum gadis disana. Tak ada penolakan. Anjani hanya terpejam, mencoba meresapi. Ia membiarkan dirinya hanyut dalam kisah cinta yang sejak dulu dirindukan. Ia melingkarkan kedua tangan di leher pria itu, ketika sang suami mulai mencium bibirnya dengan penuh gejolak. Deru nafas terdengar beriringan. Tautan bibir yang masih menyatu membawa mereka bergerak, bak dua insan yang tengah menari di lantai dansa. Kaki Arjuna menuntun langkah gadis itu menuju kamar. Sesek
Deg. Jantung Anjani memompa lebih cepat. Matanya membeliak, melihat notifikasi pesan itu.Aku merindukanmu, Arjuna.“Ada apa, Anjani?” Arjuna keluar dari kamar mandi, sontak membuat Anjani tak sengaja menjatuhkan ponsel tersebut. Brugh!Dahi Arjuna mengernyit. Ponsel itu adalah miliknya. Lantas mengapa ada dalam genggaman Anjani. Pikiran negatif pun menyerbu ruang otak pria itu. Ia bergerak mendekat dengan langkah cepat. Menghampiri Anjani yang tengah membeku. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya mengatup namun tampak getaran yang tak bisa disembunyikan. Mereka saling menatap dari kejauhan. “Hei, ada apa?”Arjuna memutar gadis itu menghadapnya, sementara Anjani terus menyembunyikan wajahnya.“Eung?” Anjani gelagapan. Ia tak tahu—lidahnya seketika kelu.“Kau melihat apa?”“A, I-Itu ...” Anjani kian gugup. Gadis itu merasakan cengkraman di bahunya. Arjuna mencekal bahu itu, lalu menengadahkan wajahnya yang berusaha ia sembunyikan. “T-tidak ada.” Anjani bingung. Pesan te