Cung yang masih ikutin cerita ini? Kasih author semangat dgn comment dan gem yuk. Gomawong ^^
“Jika aku tak mencintainya—aku tak mungkin menikahinya.” Anjani lantas bangkit, begitu pula dengan Ammar. Kedua pria itu saling memandang di udara. Terlihat rahang tegas Arjuna mengeras. Tatapannya seolah menyatakan ketidaksukaannya terhadap pria disana. Arjuna mendekat. Kini ia berdiri disisi gadis itu, menggenggam tangan sang gadis kemudian memandang tajam netra Ammar. Sementara Ammar hanya mampu tersenyum sepat, memalingkan wajahnya sesaat. Dalam hati ia tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Arjuna. Bahkan sekalipun, ia sungguh tak mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. “Kau pikir aku bodoh!” umpat Ammar, pelan. Matanya menusuk netra Arjuna yang masih memandangnya tajam. “Eung—” Anjani hendak menghentikan ketegangan di antara keduanya. Namun, langkahnya tertahan, Arjuna semakin menggenggam erat tangan gadis itu, tak membiarkannya menjauh. Ammar memandang Anjani dan gadis itu memberi isyarat agar sang sahabat segera menyudahi pertemuan itu. Ia tak ingin emosi Arjuna
“Silahkan duduk!” seru wanita itu. Anjani pun kembali duduk dan diikuti oleh wanita tersebut. Setelah mereka duduk berhadapan, Zivaa menatap Anjani yang terlihat gugup. “Kau boleh memanggilku, Ibu ...” Seulas senyum tak biasa membuat bulu tengkuk Anjani berdiri. Lidahnya mendadak kelu. Tenggorokannya kian tercekat. Matanya tak henti memperhatikan wanita yang tampak awet muda di hadapannya. Sungguh tidak main-main, penampilannya bak seorang diva. Penampilan elegan dengan wajah tegas. Anjani menelan saliva saat melihat dua pria berjas hitam menjaga ibu mertuanya dari kejauhan. “Kau suka makan apa?” tawar wanita itu sembari membolak-balikkan buku menu. “Hmmm … apa saja, Nyo—eh Bu.” Terdengar tawa tipis dari wanita itu. Anjani lantas memandang Zivaa dengan penuh kekhawatiran. Ia takut sikapnya salah di mata sang ibu. “Kau tak perlu gugup—aku hanya ingin makan malam bersama menantuku.” Semakin wanita itu melontarkan ucapannya, semakin Anjani tak bisa menahan rasa gugup. Zivaa memes
“Jangan pergi,” gumamnya, membuat Anjani tak mengerti. Anjani membisu. Ia begitu terkejut saat Arjuna tiba-tiba menarik tubuhnya kedalam dekapan itu. Erat seolah tak ingin lepas. “A-ada apa?” tanya gadis itu, bingung. Arjuna terdiam. Bukan menjawab pertanyaan gadis itu, Arjuna makin mengeratkan pelukannya. Aroma tubuh Anjani bagai candu yang membuat dirinya menjadi tenang. Deru nafas pun mulai stabil dan ketakutannya lambat laun menghilang.“Jangan pergi!”Lagi-lagi kalimat itu terlontar dari bibirnya. Anjani masih tak mengerti arti kalimat yang baru saja ia dengar. “Baiklah, aku tak akan pergi.”Anjani membalas dekapan Arjuna lalu mengusap lembut punggung pria itu. “Jika kau sedang tidak sehat, kau istirahat saja. Aku akan ke kantor urus beberapa pekerjaan,” terang Anjani. “Tidak—kau tidak perlu ke kantor hari ini.”Mendengar kalimat itu membuat Anjani terkejut. Ia mendorong tubuh pria itu. Memandangnya penuh tanda tanya. “Kau mengizinkan aku tak pergi ke kantor?” setelah itu
Langkah kaki mereka berderap berdampingan. Ditengah semilir angin menuju pintu keluar area pemakaman tersebut, genggaman tangan terus bertaut seolah tak bisa lepas. “Terima kasih—Anjani.” ujar Arjuna, tiba-tiba hingga membuat gadis itu menoleh. Seulas senyum pun menghiasi wajah Anjani. “Aku yang seharusnya berterima kasih padamu—” Ucapan Anjani jeda sesaat. Berada disisi Arjuna membuatnya begitu nyaman, berjalan berdampingan sambil berpegang tangan, membuat dunia serasa milik mereka. “—terima kasih, karena kau membawaku menemui ibumu,” sambungnya. Sore itu awan hanya sekedar mendung. Hujan yang dinanti tak kunjung turun. Arjuna lantas membawa sang istri menyusuri kota Paris dengan mobil yang di sewa mereka untuk beberapa hari. Perjalanan itu merupakan perjalanan pertama bagi mereka. Arjuna mencoba menciptakan kenangan baru antara dirinya dan Anjani. Mobil yang dikemudikan tiba di sebuah menara terkenal di kota Paris, ya, Eiffel tower. Arjuna menggamit pinggang Anjani, lalu mengg
“Apa kau mempercayaiku?” tanya Arjuna, membuat Anjani semakin memandangnya. Sekitar beberapa detik tak ada jawaban. Anjani diam membeku. Matanya terus memandang pria di sana lalu mencoba meyakinkan hatinya. Tak lama, Anjani mengangguk pelan. Jemarinya bergerak cepat menarik Arjuna, lalu mengecup bibir pria itu dengan lembut. Suasana hening. Dua insan kini lupa bahwa ada perjanjian yang telah mereka sepakati. Disaat berikutnya, Arjuna mulai mengecup kening Anjani perlahan. Lambat laun, turun ke mata hingga mengulum lembut bibir ranum gadis disana. Tak ada penolakan. Anjani hanya terpejam, mencoba meresapi. Ia membiarkan dirinya hanyut dalam kisah cinta yang sejak dulu dirindukan. Ia melingkarkan kedua tangan di leher pria itu, ketika sang suami mulai mencium bibirnya dengan penuh gejolak. Deru nafas terdengar beriringan. Tautan bibir yang masih menyatu membawa mereka bergerak, bak dua insan yang tengah menari di lantai dansa. Kaki Arjuna menuntun langkah gadis itu menuju kamar. Sesek
Deg. Jantung Anjani memompa lebih cepat. Matanya membeliak, melihat notifikasi pesan itu.Aku merindukanmu, Arjuna.“Ada apa, Anjani?” Arjuna keluar dari kamar mandi, sontak membuat Anjani tak sengaja menjatuhkan ponsel tersebut. Brugh!Dahi Arjuna mengernyit. Ponsel itu adalah miliknya. Lantas mengapa ada dalam genggaman Anjani. Pikiran negatif pun menyerbu ruang otak pria itu. Ia bergerak mendekat dengan langkah cepat. Menghampiri Anjani yang tengah membeku. Terlihat matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya mengatup namun tampak getaran yang tak bisa disembunyikan. Mereka saling menatap dari kejauhan. “Hei, ada apa?”Arjuna memutar gadis itu menghadapnya, sementara Anjani terus menyembunyikan wajahnya.“Eung?” Anjani gelagapan. Ia tak tahu—lidahnya seketika kelu.“Kau melihat apa?”“A, I-Itu ...” Anjani kian gugup. Gadis itu merasakan cengkraman di bahunya. Arjuna mencekal bahu itu, lalu menengadahkan wajahnya yang berusaha ia sembunyikan. “T-tidak ada.” Anjani bingung. Pesan te
“Bagaimana hubunganmu dengan gadis itu?”Seorang pria terdiam, gelas yang hampir ia taruh di atas nakas seketika tertahan. Senyum mengulum tipis di wajahnya. Disaat berikutnya, ia lanjut menaruh gelas tersebut, lalu bergeser sedikit di tepi ranjang, mencari posisi ternyaman. Netranya memandang lembut wanita tua yang bersandar pada punggung ranjang. “Entahlah, Nek.” “Bukankah kalian berencana untuk menikah?” Lagi-lagi senyum tipis tampak di bibirnya. Dan ya, setelah mendengar kabar kondisi kesehatan neneknya, Rama mencoba mengambil hati Nirwasita dengan meluangkan waktu untuk menjaga wanita tua itu. Setelah kembali dari rumah sakit, Rama selalu ada di sisi sang nenek dan menggeser posisi Arjuna. Kepergian Arjuna tentu menjadi kesempatan bagi Rama untuk merebut hati Nirwasita.“Apa kalian ada masalah?”Melihat respon Rama yang begitu lama. Membuat Nirwasita mengambil kesimpulan bahwa hubungan Rama dan Kayla memang sedang tidak baik-baik saja.Disaat berikutnya, Rama mengangguk. “Ada
Deg. Anjani merasa dentuman keras menghujam jantungnya. Bagai tersambar petir. Otaknya seketika ngeblank. Detak jantungnya berhenti sejenak. Matanya membulat dan bibir pun bergetar. Mendengar kata ‘bercinta’ membuat dadaa Anjani memanas. ‘Jadi foto itu bukan rekayasa? Bahwa mereka tidur bersama…’Nirwasita yang sejak tadi menahan, hatinya seolah hancur berkeping.Anjani hanya bisa membeku, mencerna kata-kata yang keluar dari bibir Rama. Ia menyesal mengapa harus mendengar hal yang membuat hatinya hancur berkeping-keping. “Cukup!” pekik wanita tua disana. Dibandingkan kondisinya saat itu, Nirwasita jauh lebih mengkhawatirkan perasaan Anjani yang sedari tadi bergeming. Memandang wajahnya saja, Nirwasita bisa menebak seberapa remuk hati Anjani saat ini. Ucapan yang terlontar dari Rama sungguh membuat siapapun yang mendengarnya pasti terluka.Emosi Arjuna meluap, matanya menusuk, rahangnya menggertak. Tatapannya kini berubah menjadi buas. Namun, kakinya tertahan, seperti ada magnet ya
Di tengah perbincangan yang santai, ketiga gadis yang saling bersahabat mulai mengarah pada Anjani. Salah satunya, Naomi. Setelah Raina tertidur di stroller, Naomi tak henti mengamati kedekatan Sadewa dan Chayra di sisi tembok yang sedang mereka warnai. Meski gadis cilik di hadapannya itu sangat terlihat tenang dan fokus terhadap aktivitasnya, tapi Sadewa sesekali menggoda dengan menggores tinta ke pipinya.“Sadewa!”Suster dari keluarga Hoover pun menenangkan sang majikan, ia berlutut dan mengelus dada gadis cilik tersebut.Naomi dibuat penasaran dengan kedekatan itu. Tak sekali dua kali pula Kris mengatakan tentang perjodohan keluarga Barathawardana dan Hoover.“Jadi, benar?”Naomi mencondongkan tubuhnya seraya bertanya pelan. Sementara Kayla hanya mengamati kedua orang yang sudah
“Sadewa apa yang kau lakukan! Kembalikan!”Seorang gadis cilik bermata biru mengerang kesal ketika anak laki-laki itu mengambil boneka dari tangannya lalu berlari mengelilingi ruangan tersebut. Wajahnya begitu bahagia mengerjai gadis sebaya yang rambutnya dikuncir dua.“Sadewa ….”Sang ibu yang tengah membantu bibi Sri di dapur mengingatkan dengan datar. Sementara ayah mereka tengah berdiskusi di ruang tamu. Ketika kedua anak itu saling berlari dan terus kejar mengejar melewati Arjuna dan Jarvis, senyum terbit diantara pria dewasa disana.Arjuna berhasil menangkap Sadewa yang melewati jalan kosong di hadapannya.“Hap! Tertangkap!” seru Arjuna.Sementara Chayra merajuk diatas pangkuan sang ayah.“Ayah ….”“Tidak apa-apa, Sayang. Sadewa hanya ingin bermain denganmu.”“Sadewa, kau tidak boleh seperti itu, ya, Nak.”Anjani yang baru
“Berjanjilah untuk bersikap hangat padaku ….”Di tengah nafas yang memburu, mata mereka saling memandang lekat.“Ya, aku berjanji!”Tak lama kemudian, Rama pun melanjutkan ciuman panas mereka. Bibir saling bertaut dibersamai saliva yang bertukar hangat membuat hasrat mereka kian membara. Rama tak lagi ingat bahwa ia takut akan sebuah komitmen. Gejolak primitifnya kian membara, membuat dirinya tak bisa mengendalikan naluri yang terus membawanya jauh. Mereka menyatu dengan cepat bersama suara indah yang menusuk ke telinga. Lambat laun, Kayla mulai merasa bahwa ia pun tak bisa menolak permainan itu. Jemarinya menyusuri kulit punggung sang pria, sesekali tanpa sadar ia mencakarnya kuat.“Ah!”Rama terus bergerak dengan tempo yang cepat seraya menciuminya tanpa ampun.“Hmmmmmp!”“I gonna crazy because of you, Kay ….”Di tengah desakan yang kian memunc
Kayla melangkah dengan tergesa ketika lift telah mengantarkannya ke lantai dasar. Ia gegas melangkah dengan tergesa. Beberapa pegawai yang melihatnya langsung menundukkan kepala seraya menghormati. Ketika berhasil melewati pintu lobi yang berputar dan hampir menarik handle pintu mobil yang terparkir disana, seseorang menahan jemarinya.“Biar aku antar,” ucap pria itu.Kayla menatap tangannya yang hangat dalam genggaman. Lalu, ia menatap pria itu dengan dalam. Sungguh! Ingin rasanya ia mencaci. Namun, ia tak mampu lakukan itu. Faktanya gengsi wanita memang lebih besar. Dan Kayla, menyingkirkan genggaman itu dengan tangannya yang lain.“Tidak perlu.”Gadis itu hendak menarik kembali handle pintu tersebut. Namun, lagi-lagi tertahan.“Jangan keras kepala!”“Tsk!”Kayla berdecih sambil memalingkan wajahnya ke arah lain.“Jangan sok peduli!”
“Kau mau mandi bersama?”Kris mengerlingkan mata pada gadis yang kini telah resmi menyandang status sebagai istrinya. Naomi yang tengah berbaring disisinya, lantas menoleh. Pipi pun jadi merona seketika. Ini bukan kali pertama—tapi mendengar pertanyaan itu membuat gemuruh jantungnya berdetak hebat.“Eung …”Tak butuh jawaban dari wanita itu. Kris langsung beranjak lalu membopong gadis itu hingga Naomi terpekik karena gerakan yang begitu tiba-tiba.“Kyaaaaaaaa!”Meskipun begitu, Naomi begitu merasa dicintai. Tak pernah menyangka bahwa pria yang selama ini bekerjasama dengannya sebagai rekan kerja, menjadi pasangan seumur hidupnya.Waktu berlalu begitu saja—entah sejak kapan mereka telah berada dalam kondisi yang polos dan saling berpangkuan di atas bathup. Meski udara dingin menusuk tulang, keduanya justru dibasahi oleh peluh yang bercampur dengan air busa di bathup ters
“Apa kau sudah menikah?” Jantung Rama seketika diremas, setiap kali bertemu orang dan di usianya yang menginjak kepala tiga—pertanyaan tentang pernikahan selalu mengiang di telinganya. Padahal, mereka ke tempat itu untuk membicarakan soal bisnis. Tapi, Tuan Hoover seolah memancing adrenalin-nya. Rama melirik ke arah Arjuna yang tersenyum tipis, seperti orang yang sangat bahagia atas penderitaan orang lain. “I-tuuuu,” gumam Rama. Sebenarnya ia bisa saja menjawab bahwa sudah ada calon dan akan segera melangsungkan pernikahan. Tapi bibirnya terasa kaku. “Sayangnya, aku tak mungkin memberikan putriku untukmu, Rama ….” “Apa?” “Apa?” Kontan Arjuna dan Rama membeliak. “Karena Chayra sudah milik Sadewa.” Lelucon macam apa itu, Rama hampir mencelos mendengar pernyataan Jarvis. Ternyata ia hanya bergurau. ‘Ya Tuhan … lelucon macam apa itu.’ Rama bermonolog lalu tersenyum tipis. Di tengah makan mal
Memandang wajah Rama yang berubah pias membuat Kayla tersenyum dibalik Zivaa yang penuh mengisi layar ponsel itu. Zivaa dan Sadewa seolah sengaja membuat Rama tak berkutik dengan menggodanya.“Ayolah, Paman! Jangan membuat Bibi Kayla menunggu lebih lama lagi.”“Eung …”Di ujung panggilan video itu, terlihat Rama yang terus menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia terdengar menghela nafas berkali-kali.“Sudahlah, kalian jangan terus menerus menggoda Paman Rama.”Anjani meraih ponsel itu dari wajah Zivaa dan mengembalikannya pada Kayla. Ia lantas merebut Sadewa dalam genggaman sang ibu mertua.“Bu, biarkan Kayla berbicara dengan Rama. Mereka pasti saling merindukan,” goda Anjani.Lantas ia beranjak menuju kamar Sadewa.“Ayo, Bu!”Zivaa pun mengangguk dan berpindah dari ruang keluarga menuju kamar anak bayi itu. Setelah kedua orang itu berlalu dan menghilang dari pandangan. Kayla lantas menatap layar ponsel itu dengan senyum tak biasa.“Kau menertawakanku?” “Tidak. Hanya saja … lucu.”“Ap
Dalam perjalanan menuju bandara, Rama tak berhenti diam. Ia terus mendengus sambil sesekali mengecek ponselnya. Hasrat yang belum tuntas dan rasa rindu pun sudah menggebu bahkan sebelum ia benar-benar meninggalkan tanah air. Arjuna yang sedari tadi mengamati, hanya bisa menggelengkan kepala. Dasar si keras kepala itu. Ia tidak ingin cepat-cepat menikahi wanita yang sudah jelas dicintai.“Baru saja bertemu, kau sudah rindu?”Rama pun menoleh hingga matanya bersirobok di udara dengan Arjuna.“Ya?”“Kau itu terlalu gengsi!”“Apa?”Tak lama suara gelak tawa memenuhi penjuru mobil. Arjuna terlihat begitu puas menertawai sang adik yang jelas-jelas tengah dilanda frustasi.“Ada yang lucu?” tanya Rama kesal karena ditertawai begitu saja.“Sikapmu yang lucu! Kau tidak ingin menikahinya cepat-cepat, tapi kau dengan lihai melakukan permainan di kantor. Aku sampai merinding—hih!”“Shut up!”Meski mereka pernah berseteru, tapi setiap kali Arjuna mengolok-olok Rama, tak ada lagi kecanggungan dianta
“Apa kau setuju jika Sadewa dijodohkan dengan rekan bisnisku?”Mata gadis itu membola. Seketika Anjani terperanjat hingga tanpa sadar mendorong tubuh Arjuna menjauh.“Kau gila?”“Tenanglah!” seru Arjuna dengan senyum tak biasa, membuat Anjani semakin tak tenang. Bagaimana mungkin bayi yang belum genap sebulan sudah ingin dijodohkan? Apa suaminya ini gila?Anjani tak berhenti menggeleng sambil menatap mata sang suami dengan tajam.“Dia Tuan Hoover yang akan menginvestasikan dananya untuk proyek Paradise.”“Paradise?”“Ya, setelah semua sengketa clear tak ada alasan untuk menunda pembangunan bukan?”Anjani termangu. Tiba-tiba sorot matanya meredup. Bagaimanapun tanah itu, pernah berdiri sebuah bangunan yang penuh kenangan. Tapi, semua sudah berlalu. Anjani seharusnya tak lagi mengingat itu sementara ia sudah memiliki Arjuna dan Sadewa di sisinya.“Kenapa?”Arjuna seolah tahu apa yang dipikirkan oleh sang istri. Ia menengadahkan wajah sang istri lalu menangkup pipi serta mengusapnya lemb