update
Hatiku terasa perih mendengar Sari mengatakan bahwa dia belum memaafkan aku dan tidak ingin tinggal bersama denganku lagi. Aku tahu dia masih terluka dan kecewa dengan fitnah yang dilontarkan oleh Mama mertuaku, Weni. Aku berusaha untuk menenangkannya, tapi dia tetap kukuh dengan keputusannya. Dia mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya. Aku tak bisa memaksanya untuk tinggal bersamaku. Aku tahu dia butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya. Sari tak berkata apa-apa. Dia hanya memelukku erat dan kemudian menutup pintu rumah. Aku melihat pintu yang tertutup rapat. Kulangkahkan kaki pulang dengan perasaan kosong. Persahabatan kami sungguh diuji dengan fitnah dari Weni. Sampai kapa aku terus berada pada masalah rumit yang tek bertepi. Aku kembali ke rumah sendirian. Rumah yang terasa begitu kosong tanpa Sari. Aku duduk di sofa dan termenung. Aku memikirkan semua yang telah terjadi. Semenjak beberapa hari dia pergi hanya celoteh Andini anakku dan Siti yan
Pintu rumah diketuk, aku bangit dan melupakan apa yang dilakukan oleh Alvian dan Dewi. Berusaha berpikir positif dengan peristiwa di luar kendali. Aku percaya Alvia tidak akan mengkhianatiku dan kembali dengan istrinya. “Sari, ada apa?” Aku terkejut melihat Sari berdiri di depan pintu dengan mata sembab. Kuraih tubuhnya mengajaknya masuk rumah. hingga beberapa menit dia tidak biacra hingga menatapku dan minta maaf atas sikapnya selama ini. aku pikir sikap Sari sangat plin plan tapi tak masalah yang penting persahabatan kami tetap terjalin tanpa gangguan orang laai. “Riana, aku minta maaf. Sebenarnya aku sangat cemburu dan benci kepadamu saat ini. tapi aku sekarang tidak punya siapa-siapa di sini. Aku hanya punya kamu, terserah jika setelah ini kamu mengusirku dari sini aku pasrah.” “Sebentar, kamu bicara apa. Ayok cerita jangan dipendam sendiri.” Kemudian dengan terbata-bata diiringi dengan isak tangis Sari menceritakan kejadian yang baru dialami. Dia bertemu dengan Ferdi dan meng
Di tengah kemelut dengan tuduhan dari Sari yang menyebutku sebagai pelakor untuk rumah tangga suamiku tiba-tiba Alvian suamiku menelpon dan memintaku untuk datang ke tempatnya saat ini. Aku merasa ada yang aneh, tadi dia bilang bahwa ada di rumah dan berbincang dengan Dewi dan istrinya itu pingsan. Tapi mengapa sekarang terdengar ada yang disembunyikan. “Ya, Mas. Ada masalah dengan Dewi?” “Sayang, aku bisa minta tolong. Sekarang di tempat ini tidak ada orang sama sekali untuk aku percaya menjaga Dewi yang sedang hamil tua. Aku bisa minta bantuanmu untuk menjaganya sampai kondisinya stabil. Pekerjaanku sangat banyak dan tidak bisa kuwakilkan.” “Apa, aku disuruh mejaga istrimu? Yang benar saja, apa kamu tidak memikirkan perasaanku sama sekali, Mas?” tanyaku dengan emosi. “Bukan, bukan seperti itu, Sayang.” Kemudian Alvian menjelaskan secara rinci mengapa dia memilihku. Hal ini karena dia tidak ingin kecolongan lagi masalah Dewi yang selalu licik dan memanfaatkannya selama ini. Prose
Kegelisahan menyelimuti hatiku saat aku bersiap untuk berangkat ke Jawa. Bayangan keraguan tentang hubungan Ferdi dan Weni masih menghantui diriku. Aku ingin memastikan semuanya sebelum aku pergi dan itu tiba-tiba. Tidak ingin kepercayaan positif yang selama ini kubangun kepada Ferdi runtuh begitu saja. Malam itu, aku diam-diam keluar dari rumah dan menuju kediaman Ferdi. Aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri. Sesampainya di sana, aku melihat pemandangan yang membuatku tercengang. Weni, mama mertuaku, keluar dari rumah Ferdi. Dia tampak tergesa-gesa dan berusaha menyembunyikan sesuatu. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Apakah mereka benar-benar ada afair selama ini? Apakah Ferdi telah membohongiku? Amarah dan kekecewaan membakar hatiku. Aku ingin menanyakan semuanya kepada Ferdi, tetapi aku tidak ingin dia melihatku seperti ini. Aku pun memutuskan untuk mengikuti Weni. Aku ingin tahu kemana dia pergi dan apa yang dia lakukan, seperti penguntit. Tapi biarlah terjawab
Aku dan Sari duduk gelisah di teras rumah, menunggu jemputan mobil untuk pergi ke bandara. Rasa penasaran tentang Ferdi masih menyelimuti otak kami. Sosok misterius yang selalu membantuku di saat-saat sulit, tanpa pamrih dan tanpa identitas yang jelas. Pikiran kami melayang, mencoba menerka siapa Ferdi sebenarnya. Apakah dia ada hubungannya dengan penculikan Andini dan yang sengaja menyembunyikan identitasnya? Atau mungkin dia memiliki motif tersembunyi di balik semua bantuannya? Di tengah kegelisahan kami, suara klakson mobil berbunyi. Kami saling berpandangan, berharap ini adalah jemputan yang kami tunggu. Namun, yang datang bukan mobil jemputan, melainkan Ferdi. Wajahnya tampak tenang dan ramah seperti biasa. Dia tersenyum dan menyapa kami dengan hangat. "Sepertinya mobil jemputan kalian terlambat," kata Ferdi. "Saya lihat kalian masih di sini, jadi saya menawarkan diri untuk mengantar kalian ke bandara." Aku dan Sari saling berpandangan lagi. Tawaran Ferdi tentu saja menggoda, m
Aku tidak mau menyerah. Aku melangkah maju, mendekatinya."Tolong, Mama," kataku dengan suara memohon. "Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."Weni menatapku dengan tatapan penuh kebencian."Tidak ada yang perlu dijelaskan," katanya. "Kau telah menghancurkan kebahagiaan anakku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu."Dia berbalik dan masuk ke dalam taksi. Taksi itu pun melaju, meninggalkan aku yang berdiri termenung di tengah jalan. Di dalam pesawat, aku termenung, memikirkan semua yang telah terjadi. Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Weni akan terus berusaha untuk menghalangi kebahagiaanku. Namun, aku tidak akan menyerah. Aku akan memperjuangkan cintaku dengan Alvian, apapun rintangannya.Kegagalan untuk berbicara dengan Weni tidak mematahkan semangatku. Aku tetap memutuskan untuk berangkat ke Jawa, menyusul Alvian. Aku yakin dia menungguku di sana, menungguku untuk datang dan merawat Dewi, istrinya. Perjalanan ke Jawa terasa panjang dan melelahkan. Aku tidak bisa
Alvian masuk kembali ke kamar dan melihat Dewi meringis kesakitan, memegang perutnya yang buncit. Air mata mengalir di pipinya."Mas Alvian, tolong aku," bisiknya dengan suara lemah. "Sakit sekali."Alvian yang baru saja masuk, langsung panik melihat Dewi yang tergeletak di lantai. Dia segera membantunya berdiri dan membawanya ke sofa. Padahal tadi kutinggalkan dia baik-baik saja, dasar uler bulu."Ada apa, Dewi?" tanya Alvian dengan cemas. "Kenapa kamu sakit?"Dewi menggelengkan kepalanya."Aku tidak tahu," katanya. "Perutku tiba-tiba sakit sekali."Alvian bingung menatapku dan sejurus kemudian melihat Dewi. Lantas memapahnya bangun dari pembaringan"Jangan khawatir," katanya. "Aku akan mengantarmu ke dokter."Dewi tersenyum tipis."Terima kasih, Mas Alvian," katanya. "Kamu selalu ada untukku."Alvian membantu Dewi masuk ke mobil dan mengantarnya ke rumah sakit. Di rumah sakit, dokter memeriksa Dewi dan mengatakan bahwa dia mengalami kontraksi palsu."Ini wajar terjadi pada wanita ha
Jantungku berdebar kencang saat mobil yang kami tumpangi memasuki halaman rumah. Rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Aku, bersama Alvian, pria yang pernah menyakiti keluarga kami, hendak bertemu dengan kedua orang tuaku untuk meminta restu rujuk. Alvian mencengkram tanganku erat, seolah merasakan kegelisahanku. Aku menoleh padanya, dan di matanya aku melihat pantulan ketakutan yang sama. Kami berdua tahu bahwa ini bukan percakapan yang mudah.Ketika mobil berhenti, aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku di depan orang tuaku. Alvian membukakan pintu mobil untukku, dan kami melangkah bersama menuju rumah. Suasana di dalam rumah terasa tegang. Kedua orang tuaku duduk di ruang tamu dengan wajah yang dingin dan datar. Aku melihat kekecewaan dan kemarahan di mata mereka."Silahkan duduk," kata ayahku dengan suara yang dingin. “Ingat rumah juga kamu, Riana,” kata ayah mengejekku.Aku dan Alvian duduk di sofa di dep