Sinar mentari pagi menembus jendela mobil, menerangi wajah kedua orang tuaku yang duduk di kursi belakang. Aku menoleh ke belakang, melihat kegelisahan di mata mereka. Hari ini, kami akan membawa mereka ke kota untuk melanjutkan acara pernikahanku dengan Alvian."Ayah, Ibu, jangan khawatir," kataku dengan suara lembut. " Adik-adik baik-baik saja. Mereka sudah diurus oleh Bi Inah dengan baik. Tadi aku sudah meninggalkan uang yang cukup untuk makan adik-adik."Ayahku mengangguk pelan, tapi kerutan di dahinya tidak hilang. "Bagaimana kalau mereka ada apa-apa?" tanyanya dengan suara cemas."Tidak akan ada apa-apa, Ayah," sahut Alvian dari kursi kemudi. "Adik-adik sudah besar dan bisa menjaga diri sendiri. Lagipula, Bi Inah selalu ada di sana untuk mereka."Ibu menghela napas panjang. "Ya, semoga saja," katanya dengan suara lirih.Aku tahu, kekhawatiran utama orang tuaku adalah kedua adikku yang masih sekolah dan akan menyusul kami tepat di hari pernikahanku. Mereka tidak tega meninggalkan
Aku terdiam mendengar cerita ayah. Fitnah yang ditujukan kepadanya ternyata berakar dari masa lalunya dengan Weni."Ayah difitnah oleh mama?" tanyaku dengan suara bergetar. "Kenapa dia melakukan itu?"Ayah menarik napas panjang dan menundukkan kepalanya. "Dulu, saat kami masih SMA, sahabat ayah hamil," kata ayah dengan suara pelan. "Dia menuduhku sebagai ayah dari anaknya."Aku tercengang. Aku tidak percaya bahwa ayahku pernah melakukan hal seperti itu."Tapi, Ayah, kan?" tanyaku dengan keraguan. "Ayah tidak mungkin melakukan itu."Ayah menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukannya," katanya. "Weni berbohong. Dia ingin menjebakku agar mau menikahinya dan dia mangkir dari pernikahan yang sudah ayah rencanakan. Dia tahu ayah hanya orang miskin dan tidak menjanjikan masa depan apa-apa untuk Weni."Aku masih tidak percaya. Aku tidak ingin ayahku memiliki masa lalu yang kelam seperti ini."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara serak.Ayah menceritakan semuanya. Dia mengatakan ba
Alvian merasa sedih dan kecewa mendengar cerita ayah mertua. Dia tidak pernah menyangka bahwa mamanya melakukan hal seperti itu."Kenapa Mama melakukan itu?" tanya Alvian dengan suara serak.Ayah menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," katanya. "Mungkin dia ingin keluar dari kesusahan."Alvian bisa memahami alasan mamanya. Weni berasal dari keluarga yang miskin, dan dia mungkin ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan Alvian. Namun, Alvian tidak bisa menerima cara yang Weni pilih untuk mencapai tujuannya. Menjadi simpanan pengusaha kaya adalah hal yang tidak terhormat, dan itu telah menyakiti banyak orang. Alvian merasa kecewa dengan mamanya. Dia tidak percaya bahwa mamanya tega melakukan hal seperti itu. Alvian juga merasa sedih. Dia merasa bahwa dia tidak mengenal mamanya dengan baik.Sesampainya di kediaman Alvian, kami disambut oleh Dewi. Wajahnya terlihat ceria saat melihat Alvian datang."lvian, kamu datang!" seru Dewi sambil berlari ke arah Alvian dan mem
Alvian akhirnya setuju dengan permintaanku untuk segera mengesahkan hubungan kami. Dia berkata tidak ingin menyakitiku lagi. Syukurlah, dengan aku tegas maka semua akan lebih mudah untuk melaksanakan rencana kami tanpa pengganggu di sekitar kami.Pekerjaan Alvian yang sibuk di beberapa tempat menyebabkan dia sering pulang malam. Kami tinggal terpisah meski rumag berdekatan. Alvian sudah berpisah dengan Dewi yang sudah ditalak saat itu juga. Namun, Dewi memohon untuk tetap tinggal bersamaku sampai acara pernikahan kami dilangsungkan. Bagiku tidak masalah asal dia tidak membuat ulah dengan mencari celah mengganggu rencana kami.Alvian menatap jam tangannya dengan terlihat frustrasi. Aku menghampirinya dan mengusap lengan pria yang menjadi ayah anakku. Sudah hampir tengah malam, dan dia baru saja sampai di rumah. Tubuhnya terasa lelah dan remuk. Dia telah bekerja keras sepanjang hari untuk menyelesaikan persiapan pernikahannya denganku.Pernikahan mereka tinggal menghitung hari, dan Alv
Aku terpaku di depan cermin, menatap gaun pengantin yang indah tergeletak di atas tempat tidur. Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahanku dengan Alvian, namun kenyataan pahit menamparku. Akad nikah yang dinanti-nanti harus ditunda. Aku tidak percaya semua ini terjadi. Semalam, semua terasa sempurna. Persiapan pernikahan berjalan lancar, dekorasi ballroom megah dan indah, dan kebahagiaan menyelimuti hatiku. Namun, pagi ini, semua berubah. Sebuah pesan singkat dari Alvian mengabarkan bahwa akad nikah harus ditunda. Alasannya, ada masalah keluarga yang harus diselesaikan setelah aku pingsan di taman bersama dengan Weni. Setelah aku sadar Alvian mendadak pergi entah ke mana. Aku menelepon Alvian berkali-kali, namun tidak dijawab. Rasa panik dan kecemasan melanda hatinya. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres. Teringat percakapanku dengan Weni, mama Alvian, beberapa saat lalu. Weni tidak pernah menyetujui pernikahanku dan Alvian. Weni selalu berusaha untuk memisahkan kami dengan
Amarahku memuncak. Bagaimana bisa Alvian tidak percaya padaku? Bukti foto yang aku tunjukkan jelas-jelas menunjukkan jika Weni menjebakku bersama keponakannya. Aku yang saat itu baru dari toilet melewati Weni yang sedang duduk sembari minum teh dan menawarkannya untukku. Beberapa saat kemudian seorang pelayan membawakan minuman itu. Berhubung tubuhku sangat lelah dan haus aku tidak curiga dengan tawaran Weni saat itu. Beruntung saat itu aku sempat memotret kondisiku untuk memperbaiki riasan. Karena kekacauan yang ditimbulkan Weni sempat membuatku berkeringat dan khawatir makeup nya luntur. Beberapa kali aku sempat memencet kamera dengan sengaja dengang tujuan riasan takut rusak. Dan lebih beruntung ada tampilan waktu dan lokasi di foto itu. Weni tanpa kusengaja terlihat dalam fotoku sedang memegang gelas dan duduk di sampingku. Hatiku yang tak pernak buruk sangka tidak melihat bahaya sedang mengintai saat itu. "Mas Alvian, tolong lihat fotonya dengan seksama!" teriakku, berusaha men
Aku teringat tatkala Alvian yang memberi talak dan mengirimkan 1 miliar ke rekeningku waktu itu. Tapi dia tidak tahu jika Weni, mamanya telah merampas kembali uangnya dengan cara mengancam. Kini aku tidak akan percaya lagi dengan keluarga itu, meski dengan semua harta milik mereka. Amarah dan kekecewaan berkecamuk di dadaku waktu itu. Bayangan Alvian yang mengucapkan talak dan mentransfer 1 miliar ke rekeningnya masih segar dalam ingatannya. Uang yang dia kira sebagai tanda cinta dan komitmen, ternyata hanya sebuah alat untuk menyingkirkan. Rasa sakit hati itu semakin perih ketika dia mengetahui bahwa Weni telah merampas kembali uangnya dengan cara mengancam. Kompensi yang seharusnya kumiliki akhirnya tidak kudapatkan sama sekali di keluarganya, menyedihkan. Harta mereka tidak akan mampu membeli kembali kepercayaan yang telah mereka hancurkan. Menatap nanar ke luar jendela, melihat hiruk pikuk kota yang terasa hampa. Kepercayaan yang dibangun selama ini runtuh dalam sekejap. Kini, d
Nama pemes sebagai penulis mulai terlihat di akun medsos tidak berhenti di situ. Hobiku menulis yang selama ini dia tekuni diam-diam mulai menarik perhatian publik. Cerita-cerita pendeknya yang penuh makna dan inspiratif dibagikan secara luas di media sosial, membuatnya dikenal sebagai penulis baru yang menjanjikan.Ketenaranku di dunia maya tentu saja terdengar oleh Alvian. Meskipun dia bukan orang yang suka membaca, berita tentang hobi baruku membuatnya penasaran. Dia pun bertanya kepadaku tentang hobi ini, dengan nada yang tidak bersahabat."Jadi, sekarang kamu sibuk jadi penulis?" tanya Alvian dengan nada sinis. "Sejak kapan kamu suka menulis? Dan apa gunanya menulis cerita-cerita pendek di media sosial? Menurutku itu bukan hobi yang layak untuk seorang ibu," sindir Alvian lewat telpon.Kata-kata Alvian menusuk hatiku. Seharusnya dia mampu mengambil hati dengan bertanya baik-baik bukannya menyinggung tanpa alasan yang konkrit. Tidak menyangka bahwa Alvian akan merendahkan hobiku d
Kami saat ini sedang berkumpul untuk merayakan unversari pernikahanku dengan Alvian. Gedung mewah menjadi momen kebahagiaan kami yang sudah mengaruhi bahtera rumag tangga selama 15 tahun. Undangan para kolega dan sahabat kami berikan memperingati kebahgiaan kami saat ini. Aku dan Alvian berdiri menatap para tamu yang datang. Sari dengan keluarganya, Siti dengan calon tunagannya. Hari yang membuat kami bahagia setelah melewati semuanya dengan penuh ketegangan selama ini. Cahaya lampu kristal yang berkilauan menerangi ruangan ballroom yang megah. Alunan musik romantis mengalun merdu diiringi tarian para tamu undangan. Di tengah keramaian, aku dan Alvian berdiri bergandengan tangan, saling menatap dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Malam ini adalah malam spesial, malam di mana kami merayakan 15 tahun pernikahan kami. Lima belas tahun telah berlalu sejak kami mengucapkan janji suci pernikahan hanya di depan para saksi dan keluarga. Perjalanan pernikahan kami tidak selalu mulus. Ada rin
Sebagai manusia, kita hanya punya rencana. Selebihnya adalah Tuhan yang punya kuasa. Aku dan Alvian tidak hentinya bersyukur dengan kondisi kami saat ini. denga cobaan yang sering datang silih berganti dengan keterbatasan kemampuan akhirnya kami berhasil melewati semua ini dengan baik. Perjodohan dari sebuah perjanjian yang menjadikan kami pelajaran hidup yang tidak bisa digantikan. Benih-benih cinta tumbuh seiring perjalanan cinta yang luar biasa. Kami tidak sangka jika akan dipertemukan dalam situasi sepertisaat ini di mana Alvian yang uasianya jauh di atasku menjadi suamiku dengan semua ketulusan dan kasih sayangnya. Di malam hari, saat bulan bersinar kami mengungkapkan rasa cinta dengan dari dalam diri dengan penuh kekaguman. Aku memandangi Alvian dengan penuh kasih sayang. Kubalut tubuh polos kami dalam selimut tebal dengan mengungkapkan kata-kata mesra. “Mas, tak pernah kubayangkan perjodohan yang awalnya terasa asing dan penuh keraguan ini, justru mengantarkan kita pada cinta
Lima tahun berlalu, persahabatanku dengan Sari dan Hendra tidak pernah putus meski mereka tidak lagi menjadi bagian milik kami. Sari membuka usaha baru dengan toko makanan sebagai pendamping butiknya yang masih kecil dengan Hendra. Ditambah kedua orang tuanya ikut membantu usahanya seperti ayah dan ibuku. Sari dan Hendra bagaikan dua pasang sepatu yang serasi. Sejak awal pernikahan mereka, mereka selalu saling mendukung dan bahu membahu dalam segala hal. Semangat kewirausahaan yang mereka miliki mendorong mereka untuk membangun usaha bersama. Awalnya, mereka memulai usaha kecil-kecilan di rumah. Sari, dengan bakat memasaknya yang luar biasa, mulai membuat kue dan camilan rumahan. Hendra, yang pandai dalam hal pemasaran dan penjualan, mempromosikan produk Sari melalui media sosial dan menjajaki pasar online. Usaha mereka yang kecil perlahan-lahan mulai berkembang. Kue dan camilan Sari mendapat banyak pujian dari pelanggan karena kelezatan dan kualitasnya. Hendra pun berhasil memperlu
Alvian, dengan tekad dan kegigihannya, berhasil mengembangkan perusahaan milik Yeni hingga mencapai puncak kejayaan. Perusahaan yang dulunya hanya sebuah usaha kecil di Medan, kini telah menjelma menjadi raksasa di bidangnya, dengan jangkauan yang mendunia. Alvian melangkah dengan penuh keyakinan dan tekad di lorong-lorong kantor pusat perusahaan Yeni. Dasi yang rapi dan kemeja putihnya tak lekang oleh keringat yang membasahi dahinya. Tatapan matanya tajam dan berbinar, memancarkan aura optimisme yang tak tergoyahkan. Langkahnya tegas dan penuh tujuan, seolah-olah dia tahu persis ke mana dia ingin pergi dan apa yang ingin dia capai. Di balik kesuksesan Alvian, tersembunyi sebuah perjuangan panjang dan penuh rintangan. Dia memulai karirnya di perusahaan Yeni sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang pas-pasan dan jam kerja yang panjang. Namun, dia tidak pernah puas dengan keadaan yang ada. Dia selalu memiliki mimpi besar untuk membawa perusahaan Yeni ke puncak kejayaan. “Mas, melihat
Andini dan Aldo, dua buah hatiku, tumbuh dengan pesat, mekar menjadi tunas-tunas cerdas dan berprestasi. Kecerdasan mereka bagaikan mentari pagi, menerangi setiap langkah mereka. Di bangku sekolah, mereka selalu bersinar, menorehkan prestasi demi prestasi. Andini, si sulung, dengan kecerdasannya yang analitis, selalu unggul dalam bidang matematika dan sains. Ia bagaikan kompas yang selalu menunjukkan arah yang tepat, memecahkan setiap soal dengan kejelian dan logika yang luar biasa. Malam hari di ruang keluarga, setelah makan malam. Aku dan Alvian duduk di sofa, menikmati teh hangat sambil berbincang tentang anak-anak. "Mas, kamu lihat Andini dan Aldo hari ini? Mereka benar-benar luar biasa!" "Iya, aku juga perhatikan. Prestasi mereka di sekolah selalu membanggakan." "Andini, si sulung, makin jago aja nih di bidang matematika. Dia selalu mendapatkan nilai sempurna di setiap ujian." "Iya, dia memang cerdas dan tekun belajar. Aku yakin dia akan menjadi seorang yang sukses di masa de
Akhirnya Sari dan Hendra mendapatkan kebahagiaan dengan pernikahannya. Kami sekeluarga sangat senang dengan kondisi Sari yang telah diterima oleh kedua orang tuanya pasca penolakan. Mereka tetap bekerja di butik milikku. Hendra sedikir demi sedikit diajari oleh Alvian tentang cara membuka usaha baru agar tidak dipandang rendah oleh kedua mertuanya. Dia mengajarkan bagaimana bertanggung jawab kepada keluarga besar Sari yang tinggal bersamanya. Setahun berlalu, kami, aku dan Sari memiliki keluarga yang bahagia dengan pencapaian masing-masing. Aku tidak lagi memperkerjakan Sari di butik karena dia sudah memilih usaha barunya bersama suami meski hanya kecil-kecilan. Kedua orng tuanya sudah mulai menerima Hendra yang menyayangi Sari dan keluarganya tanpa pilih kasih. Sari juga sudah dikaruniai seorang anak dari pernikahannya. Hawa hangat pagi hari menyelimuti rumah kecil Sari dan Hendra. Suara tawa riang anak mereka, Dinda, terdengar dari ruang tamu. Sari sedang menyiapkan sarapan di dapu
Pernikahan Sari dan Hendra dilangsungkan dengan khidmat dan penuh kebahagiaan. Suasana dipenuhi dengan tawa, haru, dan doa dari keluarga dan teman-teman yang hadir. Sari yang terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun pengantin putih, tak henti-hentinya memancarkan aura kebahagiaan. Hendra pun tampak gagah dan berseri-seri di sisinya.Suara musik pernikahan mengalun merdu mengiringi langkah kaki Sari yang anggun menuju altar. Gaun putihnya yang berkilauan bagaikan gaun putri, memantulkan cahaya lampu yang menerangi ruangan. Hendra, sang mempelai pria, sudah menunggunya dengan penuh kerinduan di altar.Upacara pernikahan dipimpin oleh seorang penghulu yang terkenal bijaksana. Doa-doa dipanjatkan untuk kelancaran pernikahan mereka dan agar mereka selalu dilimpahi kebahagiaan."Sari, maukah kau menjadi istriku?" tanya Hendra dengan suara mantap."Ya, Hendra," jawab Sari dengan suara bergetar karena haru. "Aku bersedia menjadi istrimu."Suara tepuk tangan dan sorak-sorai menggema di ru
Melihat betapa rumitnya hubungan mereka, aku tak kuasa untuk melepaskan masalah ini. Sari sudah banyak membantuku selama aku dalam kesulitan. Demi sahabat aku dan Alvian akan berbicara dengan kedua orangtuanya Sari. Usia Sari sudah waktunya untuk berumah tangga. Selama ini ia selalu menghindar dari perkotaan karena tidak cocok dan tidak cinta dengan calon suaminya. Cinta tidak dapat dipaksakan, demikian juga dengan hati. Pengalaman mengajarkan aku untuk tidak memaksaku diri atas cinta. Kalau cinta seimbang dan sama-ada rasa tidak masalah. Tetapi jika cinta bertepuk sebelah tangan, jangan berharap akan bahagia untuk selamanya. "Sayang, kita harus bantu Sari. Aku ingin dia bersama dengan Hendra. Dia lelaki baik yang selama ini aku kenal. Alvian yang sering bersama anak-anak menoleh ke arahku. Aku belum cerita tentang Sari dan masalahnya. Andini dan Aldo yang bermain akhirnya masuk ke dalam kamar. Mereka tahu kedua orang tuanya sedang membicarakan masalah serius. Inilah kelebihan anak
Cahaya rembulan menembus jendela kamar Sari, menemaninya yang terduduk di atas ranjang. Air mata membasahi pipinya, membasahi surat yang baru saja dia baca. Surat itu berisi penolakan keras dari orang tuanya terhadap hubungannya dengan Hendra."Aku bingung harus bagaimana, Riana. Orang tuaku tidak merestui hubungan aku dengan Hendra. Hatiku terasa bagaikan teriris pisau. Aku tak habis pikir mengapa orang tuaku begitu menentang hubunganku dengan Hendra. Bagiku, Hendra adalah cinta sejati, pria yang selalu membuatku bahagia dan selalu ada untukku.”Aku mengusap punggung Sari yang baru bercerita setelah aku mendesaknya. Awalnya dia menolak tak ingin hubungannya yang belum mendapat restu diketahui oleh publik. Bagaimanapun Sari adalah orang terdekat yang membantuku selama ini. Dalam keadaan susah sekalipun dia tidak pernah pergi dari sisiku.Di tengah kesedihan yang tak berujung, Sari teringat padaku yang tadi memergoki mereka sedang berdua di dalam ruangan. Meski aku tidak ingin ikut cam