Jantungku berdebar kencang saat mobil yang kami tumpangi memasuki halaman rumah. Rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Aku, bersama Alvian, pria yang pernah menyakiti keluarga kami, hendak bertemu dengan kedua orang tuaku untuk meminta restu rujuk. Alvian mencengkram tanganku erat, seolah merasakan kegelisahanku. Aku menoleh padanya, dan di matanya aku melihat pantulan ketakutan yang sama. Kami berdua tahu bahwa ini bukan percakapan yang mudah.Ketika mobil berhenti, aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku di depan orang tuaku. Alvian membukakan pintu mobil untukku, dan kami melangkah bersama menuju rumah. Suasana di dalam rumah terasa tegang. Kedua orang tuaku duduk di ruang tamu dengan wajah yang dingin dan datar. Aku melihat kekecewaan dan kemarahan di mata mereka."Silahkan duduk," kata ayahku dengan suara yang dingin. “Ingat rumah juga kamu, Riana,” kata ayah mengejekku.Aku dan Alvian duduk di sofa di dep
Sinar mentari pagi menembus jendela mobil, menerangi wajah kedua orang tuaku yang duduk di kursi belakang. Aku menoleh ke belakang, melihat kegelisahan di mata mereka. Hari ini, kami akan membawa mereka ke kota untuk melanjutkan acara pernikahanku dengan Alvian."Ayah, Ibu, jangan khawatir," kataku dengan suara lembut. " Adik-adik baik-baik saja. Mereka sudah diurus oleh Bi Inah dengan baik. Tadi aku sudah meninggalkan uang yang cukup untuk makan adik-adik."Ayahku mengangguk pelan, tapi kerutan di dahinya tidak hilang. "Bagaimana kalau mereka ada apa-apa?" tanyanya dengan suara cemas."Tidak akan ada apa-apa, Ayah," sahut Alvian dari kursi kemudi. "Adik-adik sudah besar dan bisa menjaga diri sendiri. Lagipula, Bi Inah selalu ada di sana untuk mereka."Ibu menghela napas panjang. "Ya, semoga saja," katanya dengan suara lirih.Aku tahu, kekhawatiran utama orang tuaku adalah kedua adikku yang masih sekolah dan akan menyusul kami tepat di hari pernikahanku. Mereka tidak tega meninggalkan
Aku terdiam mendengar cerita ayah. Fitnah yang ditujukan kepadanya ternyata berakar dari masa lalunya dengan Weni."Ayah difitnah oleh mama?" tanyaku dengan suara bergetar. "Kenapa dia melakukan itu?"Ayah menarik napas panjang dan menundukkan kepalanya. "Dulu, saat kami masih SMA, sahabat ayah hamil," kata ayah dengan suara pelan. "Dia menuduhku sebagai ayah dari anaknya."Aku tercengang. Aku tidak percaya bahwa ayahku pernah melakukan hal seperti itu."Tapi, Ayah, kan?" tanyaku dengan keraguan. "Ayah tidak mungkin melakukan itu."Ayah menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukannya," katanya. "Weni berbohong. Dia ingin menjebakku agar mau menikahinya dan dia mangkir dari pernikahan yang sudah ayah rencanakan. Dia tahu ayah hanya orang miskin dan tidak menjanjikan masa depan apa-apa untuk Weni."Aku masih tidak percaya. Aku tidak ingin ayahku memiliki masa lalu yang kelam seperti ini."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara serak.Ayah menceritakan semuanya. Dia mengatakan ba
Alvian merasa sedih dan kecewa mendengar cerita ayah mertua. Dia tidak pernah menyangka bahwa mamanya melakukan hal seperti itu."Kenapa Mama melakukan itu?" tanya Alvian dengan suara serak.Ayah menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," katanya. "Mungkin dia ingin keluar dari kesusahan."Alvian bisa memahami alasan mamanya. Weni berasal dari keluarga yang miskin, dan dia mungkin ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan Alvian. Namun, Alvian tidak bisa menerima cara yang Weni pilih untuk mencapai tujuannya. Menjadi simpanan pengusaha kaya adalah hal yang tidak terhormat, dan itu telah menyakiti banyak orang. Alvian merasa kecewa dengan mamanya. Dia tidak percaya bahwa mamanya tega melakukan hal seperti itu. Alvian juga merasa sedih. Dia merasa bahwa dia tidak mengenal mamanya dengan baik.Sesampainya di kediaman Alvian, kami disambut oleh Dewi. Wajahnya terlihat ceria saat melihat Alvian datang."lvian, kamu datang!" seru Dewi sambil berlari ke arah Alvian dan mem
Alvian akhirnya setuju dengan permintaanku untuk segera mengesahkan hubungan kami. Dia berkata tidak ingin menyakitiku lagi. Syukurlah, dengan aku tegas maka semua akan lebih mudah untuk melaksanakan rencana kami tanpa pengganggu di sekitar kami.Pekerjaan Alvian yang sibuk di beberapa tempat menyebabkan dia sering pulang malam. Kami tinggal terpisah meski rumag berdekatan. Alvian sudah berpisah dengan Dewi yang sudah ditalak saat itu juga. Namun, Dewi memohon untuk tetap tinggal bersamaku sampai acara pernikahan kami dilangsungkan. Bagiku tidak masalah asal dia tidak membuat ulah dengan mencari celah mengganggu rencana kami.Alvian menatap jam tangannya dengan terlihat frustrasi. Aku menghampirinya dan mengusap lengan pria yang menjadi ayah anakku. Sudah hampir tengah malam, dan dia baru saja sampai di rumah. Tubuhnya terasa lelah dan remuk. Dia telah bekerja keras sepanjang hari untuk menyelesaikan persiapan pernikahannya denganku.Pernikahan mereka tinggal menghitung hari, dan Alv
Aku terpaku di depan cermin, menatap gaun pengantin yang indah tergeletak di atas tempat tidur. Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahanku dengan Alvian, namun kenyataan pahit menamparku. Akad nikah yang dinanti-nanti harus ditunda. Aku tidak percaya semua ini terjadi. Semalam, semua terasa sempurna. Persiapan pernikahan berjalan lancar, dekorasi ballroom megah dan indah, dan kebahagiaan menyelimuti hatiku. Namun, pagi ini, semua berubah. Sebuah pesan singkat dari Alvian mengabarkan bahwa akad nikah harus ditunda. Alasannya, ada masalah keluarga yang harus diselesaikan setelah aku pingsan di taman bersama dengan Weni. Setelah aku sadar Alvian mendadak pergi entah ke mana. Aku menelepon Alvian berkali-kali, namun tidak dijawab. Rasa panik dan kecemasan melanda hatinya. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres. Teringat percakapanku dengan Weni, mama Alvian, beberapa saat lalu. Weni tidak pernah menyetujui pernikahanku dan Alvian. Weni selalu berusaha untuk memisahkan kami dengan
Amarahku memuncak. Bagaimana bisa Alvian tidak percaya padaku? Bukti foto yang aku tunjukkan jelas-jelas menunjukkan jika Weni menjebakku bersama keponakannya. Aku yang saat itu baru dari toilet melewati Weni yang sedang duduk sembari minum teh dan menawarkannya untukku. Beberapa saat kemudian seorang pelayan membawakan minuman itu. Berhubung tubuhku sangat lelah dan haus aku tidak curiga dengan tawaran Weni saat itu. Beruntung saat itu aku sempat memotret kondisiku untuk memperbaiki riasan. Karena kekacauan yang ditimbulkan Weni sempat membuatku berkeringat dan khawatir makeup nya luntur. Beberapa kali aku sempat memencet kamera dengan sengaja dengang tujuan riasan takut rusak. Dan lebih beruntung ada tampilan waktu dan lokasi di foto itu. Weni tanpa kusengaja terlihat dalam fotoku sedang memegang gelas dan duduk di sampingku. Hatiku yang tak pernak buruk sangka tidak melihat bahaya sedang mengintai saat itu. "Mas Alvian, tolong lihat fotonya dengan seksama!" teriakku, berusaha men
Aku teringat tatkala Alvian yang memberi talak dan mengirimkan 1 miliar ke rekeningku waktu itu. Tapi dia tidak tahu jika Weni, mamanya telah merampas kembali uangnya dengan cara mengancam. Kini aku tidak akan percaya lagi dengan keluarga itu, meski dengan semua harta milik mereka. Amarah dan kekecewaan berkecamuk di dadaku waktu itu. Bayangan Alvian yang mengucapkan talak dan mentransfer 1 miliar ke rekeningnya masih segar dalam ingatannya. Uang yang dia kira sebagai tanda cinta dan komitmen, ternyata hanya sebuah alat untuk menyingkirkan. Rasa sakit hati itu semakin perih ketika dia mengetahui bahwa Weni telah merampas kembali uangnya dengan cara mengancam. Kompensi yang seharusnya kumiliki akhirnya tidak kudapatkan sama sekali di keluarganya, menyedihkan. Harta mereka tidak akan mampu membeli kembali kepercayaan yang telah mereka hancurkan. Menatap nanar ke luar jendela, melihat hiruk pikuk kota yang terasa hampa. Kepercayaan yang dibangun selama ini runtuh dalam sekejap. Kini, d