Aku terpaku di depan cermin, menatap gaun pengantin yang indah tergeletak di atas tempat tidur. Hari ini seharusnya menjadi hari pernikahanku dengan Alvian, namun kenyataan pahit menamparku. Akad nikah yang dinanti-nanti harus ditunda. Aku tidak percaya semua ini terjadi. Semalam, semua terasa sempurna. Persiapan pernikahan berjalan lancar, dekorasi ballroom megah dan indah, dan kebahagiaan menyelimuti hatiku. Namun, pagi ini, semua berubah. Sebuah pesan singkat dari Alvian mengabarkan bahwa akad nikah harus ditunda. Alasannya, ada masalah keluarga yang harus diselesaikan setelah aku pingsan di taman bersama dengan Weni. Setelah aku sadar Alvian mendadak pergi entah ke mana. Aku menelepon Alvian berkali-kali, namun tidak dijawab. Rasa panik dan kecemasan melanda hatinya. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres. Teringat percakapanku dengan Weni, mama Alvian, beberapa saat lalu. Weni tidak pernah menyetujui pernikahanku dan Alvian. Weni selalu berusaha untuk memisahkan kami dengan
Amarahku memuncak. Bagaimana bisa Alvian tidak percaya padaku? Bukti foto yang aku tunjukkan jelas-jelas menunjukkan jika Weni menjebakku bersama keponakannya. Aku yang saat itu baru dari toilet melewati Weni yang sedang duduk sembari minum teh dan menawarkannya untukku. Beberapa saat kemudian seorang pelayan membawakan minuman itu. Berhubung tubuhku sangat lelah dan haus aku tidak curiga dengan tawaran Weni saat itu. Beruntung saat itu aku sempat memotret kondisiku untuk memperbaiki riasan. Karena kekacauan yang ditimbulkan Weni sempat membuatku berkeringat dan khawatir makeup nya luntur. Beberapa kali aku sempat memencet kamera dengan sengaja dengang tujuan riasan takut rusak. Dan lebih beruntung ada tampilan waktu dan lokasi di foto itu. Weni tanpa kusengaja terlihat dalam fotoku sedang memegang gelas dan duduk di sampingku. Hatiku yang tak pernak buruk sangka tidak melihat bahaya sedang mengintai saat itu. "Mas Alvian, tolong lihat fotonya dengan seksama!" teriakku, berusaha men
Aku teringat tatkala Alvian yang memberi talak dan mengirimkan 1 miliar ke rekeningku waktu itu. Tapi dia tidak tahu jika Weni, mamanya telah merampas kembali uangnya dengan cara mengancam. Kini aku tidak akan percaya lagi dengan keluarga itu, meski dengan semua harta milik mereka. Amarah dan kekecewaan berkecamuk di dadaku waktu itu. Bayangan Alvian yang mengucapkan talak dan mentransfer 1 miliar ke rekeningnya masih segar dalam ingatannya. Uang yang dia kira sebagai tanda cinta dan komitmen, ternyata hanya sebuah alat untuk menyingkirkan. Rasa sakit hati itu semakin perih ketika dia mengetahui bahwa Weni telah merampas kembali uangnya dengan cara mengancam. Kompensi yang seharusnya kumiliki akhirnya tidak kudapatkan sama sekali di keluarganya, menyedihkan. Harta mereka tidak akan mampu membeli kembali kepercayaan yang telah mereka hancurkan. Menatap nanar ke luar jendela, melihat hiruk pikuk kota yang terasa hampa. Kepercayaan yang dibangun selama ini runtuh dalam sekejap. Kini, d
Nama pemes sebagai penulis mulai terlihat di akun medsos tidak berhenti di situ. Hobiku menulis yang selama ini dia tekuni diam-diam mulai menarik perhatian publik. Cerita-cerita pendeknya yang penuh makna dan inspiratif dibagikan secara luas di media sosial, membuatnya dikenal sebagai penulis baru yang menjanjikan.Ketenaranku di dunia maya tentu saja terdengar oleh Alvian. Meskipun dia bukan orang yang suka membaca, berita tentang hobi baruku membuatnya penasaran. Dia pun bertanya kepadaku tentang hobi ini, dengan nada yang tidak bersahabat."Jadi, sekarang kamu sibuk jadi penulis?" tanya Alvian dengan nada sinis. "Sejak kapan kamu suka menulis? Dan apa gunanya menulis cerita-cerita pendek di media sosial? Menurutku itu bukan hobi yang layak untuk seorang ibu," sindir Alvian lewat telpon.Kata-kata Alvian menusuk hatiku. Seharusnya dia mampu mengambil hati dengan bertanya baik-baik bukannya menyinggung tanpa alasan yang konkrit. Tidak menyangka bahwa Alvian akan merendahkan hobiku d
Alvian mendengar kabar entah dari mana tentang Dani dan hubunganku dengan temanku tersebut. Dia sangat marah dan mengancam akan mengambil Andini anakku yang masih balita untuk diasuhnya. Meski kami sudah bercerai Alvian tetap memantau perkambangan Andini sampai detik ini. Dalan telpon dia tidak segan ingin membawa hak asuh Andini ke pengadilan.Jantungku berdegup kencang, seperti genderang perang yang ditabuh bertubi-tubi. Ancaman Alvian bagaikan petir di siang bolong, menyambar ketenangan yang baru saja kuraih. Bayangan Andini, putri kecilku yang berusia dua tahun, direnggut dari pelukanku, membuat air mata mengalir tanpa henti."Mas, kau tidak bisa melakukan ini!" teriakku di telpon saat video call, berusaha menahan gemetar dalam suaraku. "Andini adalah anakku, dan aku tidak akan pernah membiarkanmu mengambilnya dariku!"Alvian menatapku dengan tatapan tajam, penuh amarah dan kekecewaan. "Kau telah menghancurkan harapanku kita, Riana," geramnya. "Dan sekarang aku berniat merebut And
Perasaan campur aduk antara keraguan dan harapan untuk masa depan Andini. Alvian terus merangsek untuk mendapatkan Andini yang berada di gendonganku. Mereka yang ada di ruang tamu hanya sebagai penonton tidak ada yang bertindak. Keluargaku dan keluarga Alvian kini diam mematung menyaksikan pertengkaran kami.“Berikan Andini, Riana. Kamu sudah lalai dalam menjaganya.”“Ckk, sejak kapan Mas perduli dengan anakku. Kamu terlalu sibuk dengan istri baru sehingga lupa dengan Andini, anak sendiri,” ucapku dengan lantang.“Cukup! Kamu tidak tahu yang kulakukan sejauh ini. Ibu yang hanya mementingkan diri sendiri saja kamu ini.”Hatiku sangat perih mendengar kalimat yang terlontar dari Alvian Pratama. Semenjak ia kutinggalkan banyak sekali perubahan sifatnya, kasar dan tidak sayang kepada kami. Ap pengaruh mamanya terlalu kuat? Andini terus menangis, aku tidak tega melihatnya menjadi rebutan keluarga sendiri.Terdengar suara langakh kaki mendekat sosok yang familiar di depan kami. Tiba-tiba dat
Seulas senyum merekah di bibirku saat kulihat Alvian menceritakan tentang perceraiannya dengan Dewi. Banyak hal yang sudah kulewati selama berpisah dengannya. Pernikahan yang dulu kandas karena orang ketiga, kini kembali terjalin. Dewi, sang mantan istri, telah pergi, meninggalkan luka mendalam bagi Alvian karena pembohongan. Namun, takdir berkata lain, aku dan Andini, hadir kembali dalam hidupnya, menawarkan secercah harapan untuk membangun rumah tangga yang harmonis.Pernikahan kami tinggal sebulan lagi. Selama masa penantian itu, Alvian dengan penuh kasih sayang berusaha membantuku melewati masa-masa sulit. Aku masih dirundung rasa trauma dan ketakutan akan perpisahan. Bayang-bayang Dewi selalu menghantui pikiranku.Alvian memahami keadaanku. Dia selalu sabar menemaniku, mendengarkan keluh kesahku, dan meyakinkanku bahwa dia tidak akan pernah meninggalkanku lagi. Dia menunjukkan komitmennya dengan selalu mengawasiku, memastikan aku aman dan terlindungi.Alvian memahami rasa trauma
Di tengah hiruk pikuk persiapan pernikahanku dengan Alvian datang Aldi, bayangan hitam masa lalu menghantui. Aldi yang merupakan buronan kini berada di sini, saat detik-detik menjelang acara pernikahan kami.Hal ini tentu menjadikan Sari tidak enak hati. Ia dengan kasar menarik tangan Aldi agar menjauh dari aku dan Andini. Rasa trauma akan penculikan yang dilakukannya masih membekas di hati kami sampai saat ini.Aku mengabarkan hal itu kepada Alvian dan meminta Roy untuk segera mengurusnya. Roy dalam hitungan menit datang dan melapor kepada Alvian yang terjadi dengan Aldi.Berita mengejutkan datang dari Roy, sang asisten yang mengawal kasus penculikan Andini. Roy dengan raut wajah muram, bergegas menemuiku dan Alvian di rumah."Ada kabar penting yang harus saya sampaikan," kata Roy dengan nada pelan. "Mengenai penemuan mayat yang diidentifikasi sebagai Aldi..."Aku dan Alvian terpaku, rasa cemas dan penasaran menyelimuti hatiku. "Ada apa dengan mayat itu?" tanyaku dengan suara gemetar