update
Kegelisahan menyelimuti hatiku saat aku bersiap untuk berangkat ke Jawa. Bayangan keraguan tentang hubungan Ferdi dan Weni masih menghantui diriku. Aku ingin memastikan semuanya sebelum aku pergi dan itu tiba-tiba. Tidak ingin kepercayaan positif yang selama ini kubangun kepada Ferdi runtuh begitu saja. Malam itu, aku diam-diam keluar dari rumah dan menuju kediaman Ferdi. Aku ingin melihatnya dengan mataku sendiri. Sesampainya di sana, aku melihat pemandangan yang membuatku tercengang. Weni, mama mertuaku, keluar dari rumah Ferdi. Dia tampak tergesa-gesa dan berusaha menyembunyikan sesuatu. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Apakah mereka benar-benar ada afair selama ini? Apakah Ferdi telah membohongiku? Amarah dan kekecewaan membakar hatiku. Aku ingin menanyakan semuanya kepada Ferdi, tetapi aku tidak ingin dia melihatku seperti ini. Aku pun memutuskan untuk mengikuti Weni. Aku ingin tahu kemana dia pergi dan apa yang dia lakukan, seperti penguntit. Tapi biarlah terjawab
Aku dan Sari duduk gelisah di teras rumah, menunggu jemputan mobil untuk pergi ke bandara. Rasa penasaran tentang Ferdi masih menyelimuti otak kami. Sosok misterius yang selalu membantuku di saat-saat sulit, tanpa pamrih dan tanpa identitas yang jelas. Pikiran kami melayang, mencoba menerka siapa Ferdi sebenarnya. Apakah dia ada hubungannya dengan penculikan Andini dan yang sengaja menyembunyikan identitasnya? Atau mungkin dia memiliki motif tersembunyi di balik semua bantuannya? Di tengah kegelisahan kami, suara klakson mobil berbunyi. Kami saling berpandangan, berharap ini adalah jemputan yang kami tunggu. Namun, yang datang bukan mobil jemputan, melainkan Ferdi. Wajahnya tampak tenang dan ramah seperti biasa. Dia tersenyum dan menyapa kami dengan hangat. "Sepertinya mobil jemputan kalian terlambat," kata Ferdi. "Saya lihat kalian masih di sini, jadi saya menawarkan diri untuk mengantar kalian ke bandara." Aku dan Sari saling berpandangan lagi. Tawaran Ferdi tentu saja menggoda, m
Aku tidak mau menyerah. Aku melangkah maju, mendekatinya."Tolong, Mama," kataku dengan suara memohon. "Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."Weni menatapku dengan tatapan penuh kebencian."Tidak ada yang perlu dijelaskan," katanya. "Kau telah menghancurkan kebahagiaan anakku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu."Dia berbalik dan masuk ke dalam taksi. Taksi itu pun melaju, meninggalkan aku yang berdiri termenung di tengah jalan. Di dalam pesawat, aku termenung, memikirkan semua yang telah terjadi. Aku tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Weni akan terus berusaha untuk menghalangi kebahagiaanku. Namun, aku tidak akan menyerah. Aku akan memperjuangkan cintaku dengan Alvian, apapun rintangannya.Kegagalan untuk berbicara dengan Weni tidak mematahkan semangatku. Aku tetap memutuskan untuk berangkat ke Jawa, menyusul Alvian. Aku yakin dia menungguku di sana, menungguku untuk datang dan merawat Dewi, istrinya. Perjalanan ke Jawa terasa panjang dan melelahkan. Aku tidak bisa
Alvian masuk kembali ke kamar dan melihat Dewi meringis kesakitan, memegang perutnya yang buncit. Air mata mengalir di pipinya."Mas Alvian, tolong aku," bisiknya dengan suara lemah. "Sakit sekali."Alvian yang baru saja masuk, langsung panik melihat Dewi yang tergeletak di lantai. Dia segera membantunya berdiri dan membawanya ke sofa. Padahal tadi kutinggalkan dia baik-baik saja, dasar uler bulu."Ada apa, Dewi?" tanya Alvian dengan cemas. "Kenapa kamu sakit?"Dewi menggelengkan kepalanya."Aku tidak tahu," katanya. "Perutku tiba-tiba sakit sekali."Alvian bingung menatapku dan sejurus kemudian melihat Dewi. Lantas memapahnya bangun dari pembaringan"Jangan khawatir," katanya. "Aku akan mengantarmu ke dokter."Dewi tersenyum tipis."Terima kasih, Mas Alvian," katanya. "Kamu selalu ada untukku."Alvian membantu Dewi masuk ke mobil dan mengantarnya ke rumah sakit. Di rumah sakit, dokter memeriksa Dewi dan mengatakan bahwa dia mengalami kontraksi palsu."Ini wajar terjadi pada wanita ha
Jantungku berdebar kencang saat mobil yang kami tumpangi memasuki halaman rumah. Rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Aku, bersama Alvian, pria yang pernah menyakiti keluarga kami, hendak bertemu dengan kedua orang tuaku untuk meminta restu rujuk. Alvian mencengkram tanganku erat, seolah merasakan kegelisahanku. Aku menoleh padanya, dan di matanya aku melihat pantulan ketakutan yang sama. Kami berdua tahu bahwa ini bukan percakapan yang mudah.Ketika mobil berhenti, aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku di depan orang tuaku. Alvian membukakan pintu mobil untukku, dan kami melangkah bersama menuju rumah. Suasana di dalam rumah terasa tegang. Kedua orang tuaku duduk di ruang tamu dengan wajah yang dingin dan datar. Aku melihat kekecewaan dan kemarahan di mata mereka."Silahkan duduk," kata ayahku dengan suara yang dingin. “Ingat rumah juga kamu, Riana,” kata ayah mengejekku.Aku dan Alvian duduk di sofa di dep
Sinar mentari pagi menembus jendela mobil, menerangi wajah kedua orang tuaku yang duduk di kursi belakang. Aku menoleh ke belakang, melihat kegelisahan di mata mereka. Hari ini, kami akan membawa mereka ke kota untuk melanjutkan acara pernikahanku dengan Alvian."Ayah, Ibu, jangan khawatir," kataku dengan suara lembut. " Adik-adik baik-baik saja. Mereka sudah diurus oleh Bi Inah dengan baik. Tadi aku sudah meninggalkan uang yang cukup untuk makan adik-adik."Ayahku mengangguk pelan, tapi kerutan di dahinya tidak hilang. "Bagaimana kalau mereka ada apa-apa?" tanyanya dengan suara cemas."Tidak akan ada apa-apa, Ayah," sahut Alvian dari kursi kemudi. "Adik-adik sudah besar dan bisa menjaga diri sendiri. Lagipula, Bi Inah selalu ada di sana untuk mereka."Ibu menghela napas panjang. "Ya, semoga saja," katanya dengan suara lirih.Aku tahu, kekhawatiran utama orang tuaku adalah kedua adikku yang masih sekolah dan akan menyusul kami tepat di hari pernikahanku. Mereka tidak tega meninggalkan
Aku terdiam mendengar cerita ayah. Fitnah yang ditujukan kepadanya ternyata berakar dari masa lalunya dengan Weni."Ayah difitnah oleh mama?" tanyaku dengan suara bergetar. "Kenapa dia melakukan itu?"Ayah menarik napas panjang dan menundukkan kepalanya. "Dulu, saat kami masih SMA, sahabat ayah hamil," kata ayah dengan suara pelan. "Dia menuduhku sebagai ayah dari anaknya."Aku tercengang. Aku tidak percaya bahwa ayahku pernah melakukan hal seperti itu."Tapi, Ayah, kan?" tanyaku dengan keraguan. "Ayah tidak mungkin melakukan itu."Ayah menggelengkan kepalanya. "Aku tidak melakukannya," katanya. "Weni berbohong. Dia ingin menjebakku agar mau menikahinya dan dia mangkir dari pernikahan yang sudah ayah rencanakan. Dia tahu ayah hanya orang miskin dan tidak menjanjikan masa depan apa-apa untuk Weni."Aku masih tidak percaya. Aku tidak ingin ayahku memiliki masa lalu yang kelam seperti ini."Lalu, apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara serak.Ayah menceritakan semuanya. Dia mengatakan ba
Alvian merasa sedih dan kecewa mendengar cerita ayah mertua. Dia tidak pernah menyangka bahwa mamanya melakukan hal seperti itu."Kenapa Mama melakukan itu?" tanya Alvian dengan suara serak.Ayah menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu," katanya. "Mungkin dia ingin keluar dari kesusahan."Alvian bisa memahami alasan mamanya. Weni berasal dari keluarga yang miskin, dan dia mungkin ingin memberikan kehidupan yang lebih baik untuk dirinya dan Alvian. Namun, Alvian tidak bisa menerima cara yang Weni pilih untuk mencapai tujuannya. Menjadi simpanan pengusaha kaya adalah hal yang tidak terhormat, dan itu telah menyakiti banyak orang. Alvian merasa kecewa dengan mamanya. Dia tidak percaya bahwa mamanya tega melakukan hal seperti itu. Alvian juga merasa sedih. Dia merasa bahwa dia tidak mengenal mamanya dengan baik.Sesampainya di kediaman Alvian, kami disambut oleh Dewi. Wajahnya terlihat ceria saat melihat Alvian datang."lvian, kamu datang!" seru Dewi sambil berlari ke arah Alvian dan mem