***"Arka buka, Ar. Mama obatin wajah kamu ya. Buka Sayang."Hampir dua puluh menit Amanda berdiri di depan pintu kamar sambil mengetuknya—berharap Arka akan datang. Namun, hingga detik ini pintu kamar sang putra tak kunjung terbuka.Khawatir? Tentu saja. Masih teringat jelas di pikiran Amanda bagaimana kondisi wajah Arka setelah bertengkar dengan Damar. Lebam di pipi, sudut mata bahkan kedua sudut bibir Arka berdarah.Amanda hanya takut luka di wajah Arka infeksi jika terus dibiarkan dan nantinya bukan tak mungkin luka tersebut akan semakin parah."Gimana, Arka? Dibuka enggak pintunya?" tanya Dirga yang datang menghampiri setelah menghabiskan makan malamnnya.Karena kejadian tadi siang, semua orang melupakan makan siang mereka yang sudah disiapkan Bi Minah. Baik itu Arka maupun Amanda, sampai detik ini belum makan sedikit pun nasi pun karena memang rasa lapar itu terlupakan begitu saja."Enggak, Mas. Daritadi aku panggil, dia bahkan enggak nyaut," ucap Amanda. "Aku khawatir, Mas. Aku
***"Gimana kondisinya sekarang, Dokter?"Dokter kandungan di rumah sakit tempat Aludra dirawat melakukan pemeriksaan, Aurora langsung melayangkan pertanyaan tersebut."Stabil, Bu. Kondisi janin dan ibunya sudah cukul stabil, tapi harus tetap berhati-hati ya. Tak hanya fisik, pikirannya juga harus dijaga. Kehamilan kembar itu sangat rentan. Pikiran tidak boleh terbebani karena akibatnya akan fatal.""Baik dokter, terima kasih.""Berarti saya sudah bisa pulang, Dokter?" tanya Aludra."Sudah, Bu," kata dokter tersebut. "Tapi untuk seminggu ini, alangkah baiknya bedrest ya, atau paling tidak jika ingin berkegiatan, sangat dianjurkan memakai kursi roda.""Oh iya, dokter.""Saya akan buatkan resep vitamin," ucap dokter tersebut."Iya."Pemeriksaan selesai, dokter kandungan tersebut meninggalkan Aludra, Aurora dan juga Dewa yang beberapa detik kemudian ikut keluar untuk menebus obat juga administrasi."Tunggu di sini dulu, nanti Papa ke sini lagi.""Iya, Pa."Dewa pergi, Aurora menarik kurs
***"Gimana, Mas. Aman? Arka di mana?"Amanda yang sejak tadi duduk di sofa ruang tengah seketika langsung beranjak ketika melihat Dirga turun dari tangga setelah hampir dua puluh menit naik ke atas untuk menemui Arka yang sejak tadi bahkan tak mau turun."Aman," jawab Dirga. Menghempaskan tubuhnya di sofa, dia memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing di kepala. "Tadi aku sempat ajak dia keluar, tapi Arka enggak mau. Katanya dia lagi males ngapa-ngapain.""Terus sekarang di mana?" tanya Amanda khawatir. Mendapat permintaan dari Dewa untuk menjauhkan Arka dari jangkauan Aludra, Amanda langsung meminta suaminya bertindak.Demi kebaikan bayi di dalam perut Aludra, mereka harus berusaha keras menjaga mood Aludra agar tetap baik, karena kehamilannya memang cukup rentan, apalagi sekarang usia kandungan Aludra baru memasuki trimester awal.Untuk kehamilan tunggal pun, trimester awal bisa dibilang cukup rentan, apalagi kehamilan kembar seperti Aludra."Di balkon belakang, lagi baca buk
"Maksud kamu apa?"Untuk yang kedua kalinya, Arka dan Damar saling melempar tatapan sengit. Baik Damar maupun Arka kini seolah-olah memancarkan aura permusuhan yang kuat, sementara Aludra berdiri di samping keduanya dengan perasaan yang jelas takut."Saya enggak sengaja," ucap Arka santai—seolah tak merasa bersalah sama sekali. Padahal, yang dia lakukan barusan hampir mencelakai Aludra juga kedua bayi di perutnya.Namun, ucapan Arka pun tak bohong karena dia memang tak sengaja. Arka hanya berniat menepis tangan Aludra yang hampir mendarat di pipinya—bukan untuk mendorong atau bahkan mencelakai Aludra.Sebesar apapun rasa kecewa Arka pada Aludra juga setinggi apapun puncak emosinya, Arka masih cukup waras untuk tidak mencelakai perempuan yang kini sedang mengandung anak-anaknya karena jauh di lubuk hati Arka yang paling dalam, cintanya pada Aludra masih utuh.Hanya saja untuk saat ini, semua perasaan cinta itu tenggelam di dalam lautan emosi dan ego yang tinggi."Enggak sengaja kata ka
***"Muka kamu jelek banget Ar, sumpah. Udah kaya mumi hidup."Arka yang saat ini tengah berbaring di sofa lantas mendelik ketika cemoohan tersebut dilontarkan seorang gadis yang datang membawa segelas minuman dingin dan menyimpannya di meja.Disalahkan semua orang di rumahnya atas apa yang dia lakukan pada Aludra, Arka memutuskan untuk pergi dari rumah. Tak jauh, tujuan Arka pergi adalah rumah Aksa.Memanfaatkan sang kakak yang siang ini di kantor, Arka bisa leluasa menenangkan pikirannya karena di rumah hanya ada Ananta bersama si kembar Danial dan Azura, sementara Bi Ijah—sang asisten rumah tangga, seperti biasa mengantar Aileen si sulung sekolah.Arka pikir dia bisa menghabiskan waktunya dengan tenang, karena Ananta tidak ikut menghakiminya seperti yang lain.Namun, ternyata ekspektasi Arka untuk tenang langsung buyar ketika ternyata hari ini Ananta tak sendirian di rumah.Ada gadis lain di rumah Ananta yang cukup akrab pula dengan Arka dan gadis itu adalah Arsyakayla Naditya Alex
***"Kita sampai, Ra."Damar menggeliat ketika mobil yang dia dikendarai akhirnya sampai di halaman luas rumah Dewa. Menempuh perjalanan tiga jam karena berhenti beberapa kali di jalan, mereka tiba di Jakarta pukul dua siang.Merentangkan kedua tangannya, Damar melepas pegal yang mendera kedua tangannya setelah menyetir cukup lama sementara wajah memarnya tentu saja berdenyut.Menyembulkan kepala lalu menoleh ke belakang, Damar menghela napas karena mobil Dewa belum sampai setelah tadi—tepat setelah keluar dari pintu tol mereka berpisah karena Aurora dan Dewa pergi untuk membeli sesuatu."Ra, kita udah sam-"Damar menghentikan ucapannya ketika melihat Aludra terlelap sambil bersandar pada sandaran mobil yang sedikit direndahkan. Mengukir senyum tipis, tak tahu kenapa Damar rasanya terharu melihat kedua tangan Aludra bermuara di perut.Sekerasa itu usaha Aludra untuk menjaga kedua bayinya meskipun kini dia dihadapkan kenyataan tak menyenangkan karena Arka tak mau menikahinya setelah ap
***"Ra, makan malam dulu yuk."Berdiri di depan kamar Aludra, Aurora mengetuk lebih dulu pintu kamar sang putri. Namun, karena beberapa menit menunggu Aludra tak kunjung merespon, pada akhirnya Aurora memutuskan untuk masuk ke kamar."Ra," panggil Aurora ketika di dalam kamar dia tak mendapati Aludra. "Kamu di mana? Makan yuk.""Rara di kamar mandi!" sahut Aludr dari dalam kamar mandi—membuat Aurora bergegas menghampiri pintu lalu membukanya tanpa permisi dan di dalam sana, Aludra tengah berjongkok di depan closet.Sebenarnya Aludra bisa memuntahkan isi perutnya di wastafel yang tersedia. Namun, karena kakinya yang tiba-tiba lemas juga kepalanya yang pusing membuat Aludra memutuskan untuk berjongkok di depan closet sejak sepuluh menit lalu."Ra, kamu kenapa?" tanya Aurora khawatir. Menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, dia menghampiri sang putri yang terlihat mengkhawatirkan."Mual," jawab Aludra. "Daritadi perut Rara enggak en ... hoek!"Ucapan Aludra terhenti ketika perut
***"Yakin mau kamu yang bawa?"Sekali lagi, pertanyaan itu dilontarkan Aurora ketika Aludra menawarkan diri untuk membawakan makanan ke kamar Alula setelab tadi sang kakak ngambek dan pergi begitu saja."Iya, Ma," ucap Aludra. "Kenapa emangnya? Mamam kok kaya takut gitu? Ini Aludra mau nemuin Kak Rara lho, bukan siapa-siapa.""Lula lagi enggak baik sama kamu, Ra. Mama takut dia apa-apain kamu.""Enggak akan, Ma. Kak Lula paling marah lewat ucapan aja, enggak akan lebih," ucap Aludra menenangkan. Namun, nyatanya Aurora sama sekali tak bisa tenang.Dia benar-benar takut Alula melakukan sesuatu yang macam-macam pada Aludra—mengingat betapa kerasnya si putri sulung."Kenapa? Ada apa?"Dewa yang tadi sempat ke depan menemui tamu, kini kembali menghampiri Aludra dan Aurora yang masih berdiri di dekat meja makan."Ini tadi kan Alula minta dibawain makanan ke kamar. Rencananya mau aku yang bawa aja sambil bujuk, tapi katanya Rara pengen bawa. Dia mau ngobrol sama Kakaknya," ungkap Aurora yan