***"Ah! Sakit, Kak! Pelan-pelan bisa enggak?!"Meringis, Damar menatap Aksa yang kini duduk di sampingnya sambil menempelkan handuk basah untuk mengobati luka di sudut bibir juga lebam di pipi pasca perkelahian dia dengan Arka.Tak diusir, Damar dibawa Aksa ke rumahnya untuk diobati dan di sinilah mereka sekarang, duduk di balkon pinggir rumah dekat kolam renang."Ini juga udah pelan, manja banget kamu," celetuk Aksa ketika dia memasukkan lagi handuk putih kecil tersebut ke dalam baskom berisi air dingin lalu memerasnya lagi. "Lagian sok jagoan banget pake berantem segala.""Adik Kakak ngeselin tuh," ujar Damar. "Udah hamilin Aludra, dia enggak mau tanggung jawab."Aksa menghela napas. Meskipun sejak Arka pulang dia belum ke rumah sang adik, tapi tentang keputusan yang diambil Arka, Aksa sudah tahu dari Dirga yang langsung meneleponnya untuk meminta solusi."Arka bukan enggak mau tanggung jawab, dia cuman masih syok aja," ucap Aksa sambil menempelkan handuk basah itu di pipi Damar ya
***"Arka buka, Ar. Mama obatin wajah kamu ya. Buka Sayang."Hampir dua puluh menit Amanda berdiri di depan pintu kamar sambil mengetuknya—berharap Arka akan datang. Namun, hingga detik ini pintu kamar sang putra tak kunjung terbuka.Khawatir? Tentu saja. Masih teringat jelas di pikiran Amanda bagaimana kondisi wajah Arka setelah bertengkar dengan Damar. Lebam di pipi, sudut mata bahkan kedua sudut bibir Arka berdarah.Amanda hanya takut luka di wajah Arka infeksi jika terus dibiarkan dan nantinya bukan tak mungkin luka tersebut akan semakin parah."Gimana, Arka? Dibuka enggak pintunya?" tanya Dirga yang datang menghampiri setelah menghabiskan makan malamnnya.Karena kejadian tadi siang, semua orang melupakan makan siang mereka yang sudah disiapkan Bi Minah. Baik itu Arka maupun Amanda, sampai detik ini belum makan sedikit pun nasi pun karena memang rasa lapar itu terlupakan begitu saja."Enggak, Mas. Daritadi aku panggil, dia bahkan enggak nyaut," ucap Amanda. "Aku khawatir, Mas. Aku
***"Gimana kondisinya sekarang, Dokter?"Dokter kandungan di rumah sakit tempat Aludra dirawat melakukan pemeriksaan, Aurora langsung melayangkan pertanyaan tersebut."Stabil, Bu. Kondisi janin dan ibunya sudah cukul stabil, tapi harus tetap berhati-hati ya. Tak hanya fisik, pikirannya juga harus dijaga. Kehamilan kembar itu sangat rentan. Pikiran tidak boleh terbebani karena akibatnya akan fatal.""Baik dokter, terima kasih.""Berarti saya sudah bisa pulang, Dokter?" tanya Aludra."Sudah, Bu," kata dokter tersebut. "Tapi untuk seminggu ini, alangkah baiknya bedrest ya, atau paling tidak jika ingin berkegiatan, sangat dianjurkan memakai kursi roda.""Oh iya, dokter.""Saya akan buatkan resep vitamin," ucap dokter tersebut."Iya."Pemeriksaan selesai, dokter kandungan tersebut meninggalkan Aludra, Aurora dan juga Dewa yang beberapa detik kemudian ikut keluar untuk menebus obat juga administrasi."Tunggu di sini dulu, nanti Papa ke sini lagi.""Iya, Pa."Dewa pergi, Aurora menarik kurs
***"Gimana, Mas. Aman? Arka di mana?"Amanda yang sejak tadi duduk di sofa ruang tengah seketika langsung beranjak ketika melihat Dirga turun dari tangga setelah hampir dua puluh menit naik ke atas untuk menemui Arka yang sejak tadi bahkan tak mau turun."Aman," jawab Dirga. Menghempaskan tubuhnya di sofa, dia memijat pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing di kepala. "Tadi aku sempat ajak dia keluar, tapi Arka enggak mau. Katanya dia lagi males ngapa-ngapain.""Terus sekarang di mana?" tanya Amanda khawatir. Mendapat permintaan dari Dewa untuk menjauhkan Arka dari jangkauan Aludra, Amanda langsung meminta suaminya bertindak.Demi kebaikan bayi di dalam perut Aludra, mereka harus berusaha keras menjaga mood Aludra agar tetap baik, karena kehamilannya memang cukup rentan, apalagi sekarang usia kandungan Aludra baru memasuki trimester awal.Untuk kehamilan tunggal pun, trimester awal bisa dibilang cukup rentan, apalagi kehamilan kembar seperti Aludra."Di balkon belakang, lagi baca buk
"Maksud kamu apa?"Untuk yang kedua kalinya, Arka dan Damar saling melempar tatapan sengit. Baik Damar maupun Arka kini seolah-olah memancarkan aura permusuhan yang kuat, sementara Aludra berdiri di samping keduanya dengan perasaan yang jelas takut."Saya enggak sengaja," ucap Arka santai—seolah tak merasa bersalah sama sekali. Padahal, yang dia lakukan barusan hampir mencelakai Aludra juga kedua bayi di perutnya.Namun, ucapan Arka pun tak bohong karena dia memang tak sengaja. Arka hanya berniat menepis tangan Aludra yang hampir mendarat di pipinya—bukan untuk mendorong atau bahkan mencelakai Aludra.Sebesar apapun rasa kecewa Arka pada Aludra juga setinggi apapun puncak emosinya, Arka masih cukup waras untuk tidak mencelakai perempuan yang kini sedang mengandung anak-anaknya karena jauh di lubuk hati Arka yang paling dalam, cintanya pada Aludra masih utuh.Hanya saja untuk saat ini, semua perasaan cinta itu tenggelam di dalam lautan emosi dan ego yang tinggi."Enggak sengaja kata ka
***"Muka kamu jelek banget Ar, sumpah. Udah kaya mumi hidup."Arka yang saat ini tengah berbaring di sofa lantas mendelik ketika cemoohan tersebut dilontarkan seorang gadis yang datang membawa segelas minuman dingin dan menyimpannya di meja.Disalahkan semua orang di rumahnya atas apa yang dia lakukan pada Aludra, Arka memutuskan untuk pergi dari rumah. Tak jauh, tujuan Arka pergi adalah rumah Aksa.Memanfaatkan sang kakak yang siang ini di kantor, Arka bisa leluasa menenangkan pikirannya karena di rumah hanya ada Ananta bersama si kembar Danial dan Azura, sementara Bi Ijah—sang asisten rumah tangga, seperti biasa mengantar Aileen si sulung sekolah.Arka pikir dia bisa menghabiskan waktunya dengan tenang, karena Ananta tidak ikut menghakiminya seperti yang lain.Namun, ternyata ekspektasi Arka untuk tenang langsung buyar ketika ternyata hari ini Ananta tak sendirian di rumah.Ada gadis lain di rumah Ananta yang cukup akrab pula dengan Arka dan gadis itu adalah Arsyakayla Naditya Alex
***"Kita sampai, Ra."Damar menggeliat ketika mobil yang dia dikendarai akhirnya sampai di halaman luas rumah Dewa. Menempuh perjalanan tiga jam karena berhenti beberapa kali di jalan, mereka tiba di Jakarta pukul dua siang.Merentangkan kedua tangannya, Damar melepas pegal yang mendera kedua tangannya setelah menyetir cukup lama sementara wajah memarnya tentu saja berdenyut.Menyembulkan kepala lalu menoleh ke belakang, Damar menghela napas karena mobil Dewa belum sampai setelah tadi—tepat setelah keluar dari pintu tol mereka berpisah karena Aurora dan Dewa pergi untuk membeli sesuatu."Ra, kita udah sam-"Damar menghentikan ucapannya ketika melihat Aludra terlelap sambil bersandar pada sandaran mobil yang sedikit direndahkan. Mengukir senyum tipis, tak tahu kenapa Damar rasanya terharu melihat kedua tangan Aludra bermuara di perut.Sekerasa itu usaha Aludra untuk menjaga kedua bayinya meskipun kini dia dihadapkan kenyataan tak menyenangkan karena Arka tak mau menikahinya setelah ap
***"Ra, makan malam dulu yuk."Berdiri di depan kamar Aludra, Aurora mengetuk lebih dulu pintu kamar sang putri. Namun, karena beberapa menit menunggu Aludra tak kunjung merespon, pada akhirnya Aurora memutuskan untuk masuk ke kamar."Ra," panggil Aurora ketika di dalam kamar dia tak mendapati Aludra. "Kamu di mana? Makan yuk.""Rara di kamar mandi!" sahut Aludr dari dalam kamar mandi—membuat Aurora bergegas menghampiri pintu lalu membukanya tanpa permisi dan di dalam sana, Aludra tengah berjongkok di depan closet.Sebenarnya Aludra bisa memuntahkan isi perutnya di wastafel yang tersedia. Namun, karena kakinya yang tiba-tiba lemas juga kepalanya yang pusing membuat Aludra memutuskan untuk berjongkok di depan closet sejak sepuluh menit lalu."Ra, kamu kenapa?" tanya Aurora khawatir. Menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, dia menghampiri sang putri yang terlihat mengkhawatirkan."Mual," jawab Aludra. "Daritadi perut Rara enggak en ... hoek!"Ucapan Aludra terhenti ketika perut
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu