Aruna menatap makanannya malas. Berapa jam lagi ia harus menunggu lelaki itu? Ini sudah larut, bahkan sebentar lagi jam 12 malam. Jika bukan karena Om Woni yang meminta, ia malas sekali.
Jika mau sudah sedari tadi ia pulang. Tak lama seseorang datang dengan santainya duduk di samping Aruna setelah memindahkan kursi dari depan. Ia mengepulkan asap rokok dari mulutnya dan membuang puntung itu di piring Aruna. Aruna melotot sempurna.
Kurang ajar, siapa dia dengan selancang itu berbuat tidak sopan. Baru saja Aruna hendak bicara, lelaki itu sudah memotong duluan.
"Lo Aruna? Cewek yang dijodohin sama gue?" tanyanya sembari memakan daging steak yang tadi di potong Aruna.
"Kamu siapa?" tanya Aruna sopan dan bersabar.
"Jose," singkatnya.
Ternyata lelaki ini yang akan dijodohkan denganku. Apanya yang disebut lelaki berparas good boy, bad boy iya. Aku melongo sempurna saat setengah makanan di meja ludes ia makan. Ini ngga makan seminggu apa gimana?
"Ngga usah nglihatin sampai segitunya, gue tahu gue ganteng," pedenya.
Aku bergidik geli, pede sekali Anda. Aku pun ikut makan dengannya. Sedari tadi aku hanya menyantap sedikit makanan, aku menghargai orang yang akan makan bersamaku. Jadi, aku menunggunya untuk makan bersama.
Ia tiba-tiba merogoh sakunya dan menyodorkan ponsel miliknya kepadaku. "Nomor telepon," ucapnya tanpa menatapku.
"Punyaku?" Ia mengangguk.
Setelah aku memberikan itu, tak lama ada pesan masuk di ponselku. Terlampir file dengan format P*F. Aku membukanya.
"Itu kontrak perjanjian," ucap Jose sembari menyesap minuman berwarna merah.
Aku mengerutkan kening tidak paham.
"Lo kira dengan mudahnya gitu kita nikah dan menjalin hubungan kayak di novel-novel gitu. Sorry, it's not in my dictionary."
"So, sesuai perkataan Ayah gue. Kalau utang Ayah lo lunas dengan cara menikahkan kita. Maka dari itu, berdasarkan analisis gue. Pernikahan kita hanya satu tahun. Detailnya lo baca sendiri. Bisa baca 'kan? Bisa dong 'kan S1," lanjutnya.
Aku menghembuskan napas pasrah dan mulai membaca isi kontrak itu. Aku menatap lelaki di sampingku tidak percaya. Gila, benar-benar gila. Ia benar-benar menghitung utangnya dengan imbalan jasa aku bebas ia suruh, bahkan seperti menjadi babu untuknya.
Ia menggajiku Rp 1.000.000/hari. Benar-benar gila. Jika seperti ini, lebih baik aku menjadi pembantunya saja. Daripada harus menjadi istrinya.
"Keberatan?" tanyanya.
"Bisnis tetaplah bisnis. Jangan mengira pernikahan kita menjadi pijakan mudah pelunasan utang. No-no-no, utang tetaplah utang. Itu harus dibayar setimpal," lanjutnya dengan senyum miringnya.
"Tanda tangan di sana dan segera kirimkan kepadaku." Ia beranjak pergi setelah mengatakan kalimat terakhirnya.
Aku benar-benar dibuat pusing dengannya. Sejujurnya dengan alur ini semua. Aku tidak paham apa yang Tuhan rencanakan padaku.
***
Om Woni meminta pernikahan kami cepat dilaksanakan, entah apa alasannya aku tidak tahu. Toh sekarang aku hanya ingin menjadi robot saja. Malas terlalu memikirkan hal yang tidak penting, karena terpenting ini cepat selesai dan aku bisa membantu Ayah ke depan. Aku menatap malas kaca di depanku, sudah sejak 5 menit yang lalu aku selesai bersiap dengan gaun pengantin yang aku akui ini sangat cantik."Senyum dong, masa mau nikah manyun," ucap Kak Liza dan merangkul pundak adiknya dari belakang.
Kak Liza tertawa melihat wajahku yang masam. "Nikmati saja, anggap saja kamu tidak perlu repot-repot mencari jodoh," ucapnya.
Aku semakin manyun dan ia asik tertawa, menertawakanku. Tak lama penata rias masuk dan mengatakan pernikahan segera dimulai.
Aruna berjalan menuju tempat ijab, dengan Muning dan Liza yang berjalan di sampingnya. Muning mengusap punggung Aruna dan tersenyum. Ini adalah moment sakral anak gadis sambungnya, ia tetaplah seorang Ibu.
Aruna duduk di samping Jose yang sudah siap untuk melangsungkan pernikahan.Ijab pun dimulai, jujur Aruna benar-benar gemetar. Sekalipun ini bukan yang Aruna inginkan, tapi ini tetap pernikahan. Setelah ijab berjalan lancar, dilanjutkan prosesi lainnya.
***
Aruna mendudukkan dirinya di kasur dan menarik napas lelah. Seharian pernikahan berlangsung dengan segala macam prosesi dan harus menerima tamu yang terbilang banyak. Maklum lah, keluarga Jose keluarga yang terpandang. Keluarga terpandang harus dengan keluarga terpandang juga bukan?Inilah dunia Aruna. Dunia yang katanya indah di novel dengan alur pernikahan seperti ini, tapi bagi Aruna sangat memuakkan. Dikata pernikahan buat ajang ketenaran dan harta dunia saja, aishh. Asik dengan dumelannya, Jose masuk dan merebahkan tubuhnya di kasur.
"Lo mau tidur pakai gaun?" ucap Jose membuyarkan lamunan Aruna.
Aruna berdiri dan berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil baju tidur di kopernya. Sekarang ini mereka ada di apartemen Jose, sebenarnya Erni Ibunda Jose meminta agar Aruna dan Jose tinggal di rumah Jose. Akan tetapi, Jose mengatakan jika besok ada rapat penting di kantor. Ya terserah sih bagi Aruna, toh ia 'kan akan menjadi robot saja.
Setelah membersihkan diri, Aruna menatap Jose yang terlelap dengan balutan jas. Awalnya Aruna membiarkan dan menaruh handuk di tempatnya, tapi ia tetaplah seorang istri. Aahh, jangan posisikan Aruna di posisi seperti ini. Aruna berjalan mendekat ke arah Jose dan membuka jasnya.
Pelan-pelan agar lelaki itu tidak bangun dan menuduhnya macam-macam. Setelah melepas jas dan sepatu, serta melonggarkan baju dan ikat pinggang Jose. Aruna menarik selimut sampai batas pinggang Jose. Aruna berjalan menuju sofa dan memutuskan tidur di sana.
Ingatlah ini pernikahan kontrak. Ingat, sebatas kontrak. Jadi, jangan berharap lebih.
***
Mentari mulai memancarkan sinarnya, tak terasa waktu begitu cepat berjalan. Aruna bangun dari tidurnya dan melihat jam di nakas. Pukul 05.20, masih ada waktu untuk sholat. Setelah sholat Shubuh, Aruna merapikan dirinya dan menyiapkan sarapan.Merapikan kamar, membersihkan apartemen, menyiapkan pakaian kerja, bahh rasanya benar-benar biasa saja. Membangunkan Jose? Ia tidak berani, ia takut mengganggu dan memilih untuk mandi saja. Jose membuka matanya perlahan dan mendudukkan tubuhnya.
Pukul 07.30, masih ada waktu 30 menit untuk bersiap dan berangkat ke kantor. Jose beranjak dari tempat tidur dan membuka kenop pintu kamar mandi. Aruna yang tengah berdiri membelakangi Jose dengan tubuh tanpa sehelai benang membuat Jose berdiri dan menyandarkan tubuhnya di pinggiran pintu sambil melipat tangannya di dada.
"Siapa gadis yang ku bawa semalam? Perasaan aku tidak pergi ke club," batinnya sambil asik memandangi tubuh Aruna.
Aruna yang masih belum menyadari sesuatu, kemudian ia berbalik dan langsung berteriak kencang sembari menutup dada dan kemaluannya dengan tangan.
"Lo kalau mau masuk ketuk pintu dulu!" kesal Aruna dan meraba mengambil handuknya.
"Ini handuk kenapa ngga bisa diajak kompromi sih, mana lagi," batinnya dengan tangan yang masih mencari keberadaan handuk.
Jose menahan tawanya. Ia lupa jika ia sudah menikah. Akan tetapi, asik juga baginya melihat tubuh Aruna. Toh ia juga suaminya, berhak dong.
Aruna langsung menutup badannya dengan handuk dan menatap nyalang Jose. Bukannya takut Jose malah menutup pintu kamar mandi dan berdiri di depannya. Menunggu apa yang akan Aruna lakukan.
"Keluar dari sini!" desis tegas Aruna.
"Nope," sahut Jose santai.
"Ke-lu-ar!"
Jose berjalan mendekat ke arah Aruna dan menggelengkan kepalanya. Takut? Tidak ada di dalam kamus Aruna. Ia mendongak menatap Jose yang memang lebih tinggi darinya dengan tatapan tajam.
"Keㅡ"
Baru saja Aruna hendak bicara, Jose sudah melepas balutan handuk di tubuh Aruna dan memeluk pinggang Aruna. Jose memandangi wajah Aruna yang sedang memerah karena marah.
"Cantik," batin Jose.
"Sial, milikku berdiri," batin Jose lagi.
Tapi setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya bukan jika mereka melakukan itu?
Jose langsung menyambar leher jenjang putih mulus milik Aruna. Aruna membola dan mencoba mendorong Jose menjauh, tapi sayang semakin kuat ia mencoba semakin erat juga Jose menariknya kedalam pelukannya. Jose meraba punggung Aruna dan mendorong perlahan Aruna ke dinding. Kini Aruna benar-benar terkurung oleh Jose.Jose mengecup sensual leher Aruna. Semakin naik semakin membuat Aruna geli. Ini buat geli biasa karena digelitiki, ini seperti sensasi berbeda. Aruna memegang lengan atas Jose dan mencengkeramnya saat Jose menyesap kuat kulitnya. Membuat tanda kemerahan di sana.Aruna mendesah. "Joss-ahh. S-sstopp," ucap Aruna.Bukannya berhenti, Jose semakin liar. Ia meremas bokong Aruna yang cukup sintal. Aruna semakin kelabakan. Setelah menyesap cuping Aruna yang membuat si empu menutup mata setelah mendesah. Jose menatap wajah Aruna, tangannya tergerak meraba buah dada Aruna dengan tatapan masih di kedua manik Aruna yang tertutup."Jossh,"
Sedari kemarin Aruna tidak banyak bicara. Ia hanya menjawab singkat jika ditanya dan cenderung sangat menghindari perdebatan dengan Jose, sekalipun Jose selalu memancingnya. Jujur Jose tidak pernah peduli dengan hal-hal seperti ini, toh biasanya cewek-cewek yang akan berbicara sendiri padanya. Akan tetapi, entah kenapa Jose terusik untuk saat ini.Jose yang tengah menatap iPad-nya sesekali mencuri pandang Aruna yang tengah menata baju untuk ke Jerman besok pagi. Wajahnya masih datar dan mulutnya tetap tidak mau membuka dengan tangan yang sibuk melipat baju, lalu memasukkannya ke koper."Besok jangan telat bangun, jam 6 pagi harus udah ada di bandara," ucap Jose tanpa menatap Aruna.Aruna tak bergeming dan memilih tak menyahut. Jose menghembuskan napasnya jengah."Gue ngomong sama manusia apa patung sih!" kesal Jose.Aruna masih diam dan kini berdiri. Mendorong kopernya ke dekat pintu agar mudah untuk membawanya besok. Setelah itu ia ma
Aruna menarik selimut sampai ke dada Jeso yang tertidur menghadapnya. Lelaki itu sedari tadi masih memeluk pinggangnya, bahkan matanya telah tertutup dan mendengkur halus. Jika dilihat-lihat wajah Jeso saat tidur sangat tampan, ah Aruna terpaku. Aruna tergerak mengelus tulang hidung Jeso dengan jari telunjuknya.Bukannya terusik, Jeso semakin merapatkan dirinya ke Aruna. Aruna tersenyum tipis dan mengelus lembut rahang tegas Jeso. Tunggu, lelaki ini sudah berapa lama tidak mencukur bulu halusnya. Tiba-tiba tangan Aruna diarahkan Jeso ke puncak kepalanya.Aruna cukup peka maksudnya dan pada akhirnya ia mengelus rambut Jeso. Ah, besok berangkat ke Jerman pagi-pagi dan ini sudah jam 1 dini hari. Tanpa Aruna sadari ia terlelap dengan sendirinya. Merasa ada sesuatu yang berada di atas kepalanya, Jeso membuka matanya.Listrik sudah menyala beberapa menit sebelum Jeso bangun. Jeso mendongak ke atas, Aruna tertidur di atas kepalanya. Akhirnya Jeso memindahkan dan mem
Aruna menatap takjub tembok-tembok yang berjejer dengan berbagai coretan indah di sana. East Side Gallery menjadi destinasi pertama Aruna. Jujur ia tidak tahu mau kemana, tapi tak butuh perjalanan jauh ia tiba di sini. Aruna menyandarkan sepedanya di pos dan berkeliling."Kamu tidak perlu terlalu banyak tujuan, karena kamu akan melewatkan ada spot bagus jika kamu terlalu fokus dengan tujuanmu."Aruna mengembangkan senyum manisnya. Entah kenapa setiap coretan yang tercipta di sana ada penumpahan rasa. Ini membuat Aruna merasa bisa menjelajah dunia fantasi. Sudah lama ia tidak berkeliling, menikmati kehidupan sederhana.Selama ini ia sibuk dengan lembaran-lembaran kertas dan dunia bisnis yang ia pelajari. Ia tak punya waktu bermain, atau me time. Rencana mendirikan perusahaan sendiri pun tidak tercapai, ya kalian tahu lah apa sebabnya. Namun, Aruna tidak terlalu memusingkan itu. Ia percaya Tuhan punya sesuatu indah suatu saat nanti, tugas kita hanya menik
Aruna merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar hotel.Ting...Aruna meraih ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Ada pesan dari Ibu Sambungnya."Aruna bisakah kamu memberikan Mama uang? Kebutuhan dapur habis dan scincare Mama."Aruna menghela napas. Sampai kapan Ibunya itu selalu mementingkan fashion dan fashion. Akan tetapi, bagaimanapun juga Ibu sambungnya telah merawatnya selama ini. Walaupun, kasih sayangnya ke Liza lebih besar daripada kepada dirinya.Aruna mengirimkan sisa tabungannya, sebesar Rp 2.000.000. Ia harus berhemat, kalaupun Jeso memberikan uang untuk bulanan. Namun, itu bukan haknya sepenuhnya. Uang yang Jeso berikan kepada Aruna ia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari dan menabungnya, itupun Aruna membuka rekening baru untuk menyimpan uangnya. Mana mungkin ia lupa jika ia hanya istri sementara.Merasa badannya perlu diguyur air, Aruna memutuskan mandi. Selesai membersihkan diri dan men
Aruna membuka matanya perlahan dan meraih ponselnya di meja. Pukul 06.30, lagi-lagi ia telat bangun. Aruna berjalan lunglai sembari membuka tirai. Terpampang indah suasana pagi hari di Jerman. Aruna menggeser pintu kaca dan mendekati pembatas balkon.Aruna menghirup napas serakah. Udara pagi hari adalah hal langka bagi orang sibuk dan Aruna salah satunya. Bola mata Aruna berkeliling menikmati indahnya panorama pagi di Jerman. Saking fokusnya dengan apa yang ia lihat, tanpa ia sadari seseorang berdiri di sampingnya dan juga menatap lurus ke depan.Aruna menoleh dan berjingkat kaget. Jeso menaikkan alisnya kala Aruna memegang dadanya menetralkan degup jantungnya. Aruna memilih pergi untuk mandi, tapi cekalan tangan Jeso membuatnya menoleh."Gue laper," cengir Jeso. Aruna mengangguk paham dan melepas cekalan Jeso.Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Frakus untuk membawakan sarapan ke hotel. Selesai mengirimkan pesan, Aruna merapikan is
Jose mengusap kening Aruna dengan tisu. Wajah pucat itu berangsur membaik."Pak Pram bisa nyalakan AC-nya," ucap Jeso.Supir yang bernama Pramana itu menyalakan AC mobil. Namanya Indonesia ya? Memang, sebab Pram adalah supir terpercaya Jose dari Indonesia. Jose sering mengikutsertakan Pram dalam perjalanan bisnisnya, sebab Jose tidak mudah percaya dengan orang baru. Pramana juga terbilang handal dalam menguasai rute, walaupun itu di luar negeri.Aruna membuka matanya perlahan dan memegang kepalanya yang masih sedikit pening. Jose merapikan rambut Aruna ke belakang. Pram menyodorkan air mineral ke Aruna dan diterima Jose."Minum," titah Jose setelah membuka tutup botolnya.Aruna meraih botol itu dengan kondisi lemas. Ditenggaknya minuman itu dengan bantuan Jose tentunya. Merasa masih belum bisa bergerak banyak, Aruna kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi."Pak kita balik ke hotel," ucap Jose. Aruna m
Jeso menatap Aruna dan mengelus pipi gadis itu. Aruna hanya menatap lurus dan kedua lengannya masih bergelantung di leher Jeso. Jujur Aruna masih belum tersadar, entah kenapa bibir Jeso membiusnya seperti ini. Lihatlah ia membiarkan Jeso mengambil first kissnya, bahkan ia meladeninya."Masih mau di sini?" tanya Jeso. Aruna tersadar dan menggeleng polos. Jeso tersenyum dan naik ke atas, diikuti Aruna yang juga naik ke atas.***Sesuai dengan rencana malam ini, selesai mandi dan makan malam Aruna bersiap-siap. Namun, baru saja hendak masuk ke kamar mandi. Suara Jeso menginterupsinya dari ambang pintu, Jeso berjalan mendekat ke arah Aruna."Pakai ini," ucap Jeso."Apa ini?" tanya Aruna sembari mengambil paper bag tersebut.Aruna membuka kotak hadiah berwarna hitam dari dalam paper bag. Aruna membulatkan matanya sempurna."Gaun?" tanya Aruna. Jeso mengangguk.Aruna mengambil gaun tersebut dan mengamatiny
"Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, maaf nih saya ganggu waktu nontonnya sebentar. Begini, ini ada Bapak sama Ibu dari kota yang mau gabung nonton sekaligus traktir makan buat semua yang ada di sini," ucap Ibu penjaga rumah makan. Aruna dan Jeso tersenyum menyapa seluruh orang yang bersorak bahagia di sana. "Silahkan Pak, Bu. Mari sini duduk, masih ada tikar kosong kok," ucap seorang lelaki paruh baya dengan peci di kepalanya. Jeso mengangguk dan menggandeng Aruna menuju tempat dimana sebuah tikar yang sudah terpasang sempurna, tepat di bawah pohon. "Maklum Pak, Bu, seadanya," timpal seorang wanita dengan hijab panjang warna pink. "Tidak apa-apa, Bu. Diterima dengan baik saja sudah cukup kok," jawab Aruna sopan. "Silahkan dinikmati, Pak, Bu." "Terima kasih, Bu." "Kalau perlu sesuatu jangan sungkan ya, Pak. Saya ketua RT di sini, nama saya Pak Samsul," ucap lelaki paruh baya tadi. Jeso menyambut
"Mm." Aruna membasahi bibirnya. "Sahabatku kerja di sana, Kak." Della membola. "Serius?" Aruna mengangguk. "Wahh, sepertinya kita punya misi penting Aruna." Baru saja hendak bertanya, makanan sudah tiba di meja mereka. Ternyata Della memesan cukup banyak. "Hehe, maaf ya. Aku kalau makan emang banyak," ucap Della diakhiri senyum lebarnya. Aruna tersenyum maklum dan mengangguk. "Santai aja, Kak." "Aku makan dulu, sambung setelah makan. Okay?" Aruna mengangguk dan menyesap kopinya. Satu hal yang Aruna kagum dari Della, sekalipun ia makan banyak. Akan tetapi, tubuhnya tetap ternyata langsing. Bisa Aruna pastikan ini akan membuat iri banyak orang di luar sana, padahal jika dipikir lagi pasti Della juga ingin gemuk. Namun, ia tidak bisa. Persis seperti Aruna. Mau digimanain lagi, ya udah ini dia. Menerima itu lebih baik, tidak usah iri dengan yang lain. "Kamu beneran ngga mau pesan maka
"Je, may I come in?" tanya Aruna. Jeso yang tengah berbaring menoleh ke belakang. "Tumben izin, biasanya asal nyelonong aja," sahut Jeso. Aruna berdecak dan berjalan ke arah ranjang. "Aku boleh ngomong sesuatu ngga?" tanya Aluna setelah duduk di tepi ranjang. Jeso berbalik dan memundurkan tubuhnya, menepuk sisi depannya yang kosong mengisyaratkan agar Aruna tidur di sampingnya. Aruna menurut dan membaringkan tubuhnya ke sisi kiri Jeso. "Mau ngomong apa?" tanya Jeso. Aruna memiringkan tubuhnya menghadap Jeso. "Kamu keberatan ngga--" "Ngga." Aluna mencapit hidung Jeso dengan kedua jarinya. "Aku belum selesai ngomong!" kesal Aruna. Jeso tertawa. "Keberatan soal apa? Kamu di atas aku? Ngga masalah." Aluna berdecak. "Pikiran kamu tuh sekali-kali jangan sex bisa ngga sih?" "Ngga bisa, 'kan aku cowok." "Ya tahu, tapi ya jangan selalu soal itu lah
Aruna mengintip dari balik tembok, di sana Jeso dan Ardis tengah bercengkrama sebentar sebelum Jeso pergi. Saat Jeso melintas di depannya, sontak Aruna langsung menatap ke sisi kanan. Tepatnya ke arah kaca dan mencoba menutupi wajahnya dengan ponsel. Merasa sudah aman, Aruna mengelus dadanya dan menghela napas lega. Baru saja hendak menghampiri Ardis, Aruna kembali berhenti dan bersembunyi. "Saya sudah menandatangani kontrak tersebut, jadi kita jalankan rencananya," ucap Ardis kepada seseorang di seberang sana. "Rencana? Kontrak?" beo Aruna di balik tembok. "Apa ini ada hubungannya sama perusahaan Jeso?" lanjut Aruna. Aruna yang terus berpikir tanpa sadar Ardis mengerutkan keningnya dan menatapnya dari samping. "Kamu mau di sini terus atau kembali ke kantor?" tanya Ardis dingin. Aruna tersentak dan menoleh ke arah kiri. "Iya, Pak. Maaf." "Minta maaf mulu, lebaran masih lama," sahut Ardis pelan.&n
Aruna kembali menatap minumannya setelah memastikan Jeso tidak berulah dengan Ayahnya. Ya, memang lelaki itu tidak seburuk itu. Ah, Aruna hanya takut lelaki itu bisa berbicara aneh-aneh. Bukan soal kontrak mereka, tapi ya mungkin hal lain. Entahlah lupakan, hanya kekhawatiran sesaat. Saking asiknya menatap cairan dalam gelas, Aruna tidak menyadari ada seseorang berdiri di sampingnya menandinginya dengan kening berkerut. "What's happen with you, mu daughter-in-law," ucap Erni. Aruna langsung teralih dan tersenyum. "Nothing, Mam. Mama sama Ayah?" Erni mengangguk. "Dia sedang bernostalgia dengan anaknya." Aruna membalikkan badan, tak jauh dari sana Jeso sedang bercengkrama dengan Woni. "Ah, gimana kabar kalian?" tanya Erni sembari mengambil beberapa buah dessert di sana. Aruna kembali menatap Erni dan tersenyum. "Everything okay, Mam." Erni tersenyum dan mengangguk senang. "Mama tahu kamu bisa
Aruna terdiam. Parfum Ardis memang soft, tapi wanginya akan lama menempel jika berada di dekatnya. And you know lah, seharian dia bolak-balik ke ruangan lelaki itu bahkan mengikuti rapat yang dimana posisi duduk mereka selalu berdekatan. "Honey," panggil Jose, membuyarkan lamunan Aruna. Lebih tepatnya, diamnya Aruna yang entah harus menjawab seperti apa. "Emm, ah iya tadi calonnya kak Liza 'kan datang. Ya dia lelaki dengan selera parfum yang benar-benar anti-mainstream," alibi Aruna. Jeso mengerutkan keningnya. "Apa kalian banyak menghabiskan waktu berdekatan?" Aruna meneguk salivanya samar dan meringis. "Ya aku harus akrab dengannya, bukan?" Jeso membuka mulutnya, tapi detik selanjutnya ia memutuskan untuk menghentikan sesi wawancara ini. Pasalnya, ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu saat ini. "Sudahlah lupakan, kita lanjutkan." Tanpa menunggu balasan Aruna, Jeso kembali menyusuri tubuh Aruna deng
Hai readers, gimana nih kabarnya? Aku harap kalian baik-baik saja ya. Jangan lupa jaga kesehatan dan selalu bahagia ya. Niatku membuat ini untuk mengucapkan terima kasih atas keluangan waktu kalian membaca novel ku ini. Ini adalah karya pertamaku di sini, aku harap kalian benar-benar menikmati ini and I hope your coment, guys. Maaf jika mungkin terkesan tidak sehebat novel hebat lain, but I'll always do my best. So, maybe there's a review later to give you comfort and convenience. Jangan lupa ajak temen-temen kalian buat baca yuk, siapa tahu cocok. Kayak Jeso sama Aruna. Wkwkwk. Sekali lagi, thanks a bunch, guys. Enjoy yash. And, I wish I could finish this novel well. Jangan lupa ya, ambil hikmah ceritanya. Jangan enaknya aja. Wkwkwk, just kidding, guys. See you next part and big love for you.
Aruna menatap sepatu formalnya, perkataan Jeso tadi pagi membuatnya terus berpikir, "Ada apa dengan Jeso?". "Bu Aruna, silahkan masuk ke ruangan untuk wawancara akhir," ucap wanita yang menjabat sebagai HRD membuyarkan lamunan Aruna. Aruna mengangguk dan tersenyum, lalu masuk setelah mengucapkan terima kasih. Aruna menatap pintu di depannya, baru saja hendak masuk. Akan tetapi seorang lelaki keluar dan menatap Aruna sejenak. "Aruna?" tanyanya sembari menunjuk Aruna dengan map di tangannya. Aruna mengangguk dan tersenyum. "Langsung aja, ikut saya rapat." Aruna melongo sempurna. Tunggu, wawancaranya bagaimana? Bentar, kok langsung ikut rapat. "Hei, rapat ini tidak menunggu dirimu ya, Aruna," ucap lelaki itu setelah berbalik dan melipat tangannya di dada. Aruna tersadar dan menunduk meminta maaf. Lalu, mengikuti langkah lelaki di depannya. Sepanjang langkahnya, Aruna menatap punggu
Aruna membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke kanan tepatnya ke sumber cahaya. "Jam berapa ini?" tanyanya dengan suara serak. Tidak ada sahutan, padahal entah kepada siapa dia bertanya. Namun, tiba-tiba suara dengkuran menerpa telinganya. Aruna menoleh, di sisi kirinya seorang lelaki yang tak lain tak bukan sudah membuatnya tidak tidur semalaman kini dengan seenak jidat ia menampilkan wajah imutnya saat tidur. "Emang dasar Jeso," dumel Aruna pelan. Aruna memiringkan tubuhnya, walaupun selangkangannya perih saat ada gesekan di bawah sana. Mau tahu ulah siapa? Ya pastinya biang kerok Jeso lah. "Je, kamu ngga bangun?" tanya Aruna sembari merapikan rambut Jeso ke belakang. Bukannya bangun, Jeso malah mengeram kesal dengan mata tertutup. "Seharusnya aku yang capek, kamu main tanpa jeda," gerutu Aruna. "Udah tugas kamu," sahut Jeso masih menutup mata. Aruna berdecak.