"Saya terima nikah dan kawinnya Sandra Adriani binti Abdullah dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai." Ruangan tempat para pria berkumpul hening sejenak. Lalu, seruan saksi menggema. "Sah! Sah!" Di ruangan berbeda, Sandra meremas ujung kebayanya. Tangannya sedingin es, kakinya lemas, tapi dia tetap duduk dengan punggung lurus. Matanya terpejam saat suara itu menusuk telinganya. Sah… Waktu tak bisa diputar kembali. Sekarang, dia telah menjadi seorang istri. “Nduk, ayo temui suamimu.” Suara Amina membuyarkan lamunannya. Sang ibu menggenggam tangannya erat, seolah memberinya kekuatan. Dengan langkah gemetar, Sandra mengikuti langkah ibunya menuju ruang utama, di mana suaminya menunggu. Begitu tiba, suasana mendadak terasa asing bagi Sandra. Semua mata tertuju padanya. Di sana, seorang pria berdiri dengan postur tegap, mengenakan setelan rapi, wajahnya tampan—tapi ekspresinya sulit ditebak. Itukah suaminya? “Sandra, ini Nak Bram, suamimu,” kata Amina dengan lembut. Sandra mengangkat wajahnya, menatap Bram untuk pertama kalinya. Hatinya berdebar tak menentu. Bram menoleh sekilas, lalu mengulurkan tangannya. Sandra menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Tangannya perlahan terangkat, menyambut uluran itu. Saat jemarinya menyentuh punggung tangan Bram dan membawanya ke kening, sesuatu terasa janggal. Bram tidak menggenggam tangannya dengan erat. Tidak ada kehangatan di sana. Hanya sentuhan ringan, sekadarnya. Ketika Sandra mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan kosong Bram. Deg. Hatinya mencelos. Tatapan itu… seperti mengatakan bahwa pernikahan ini tak berarti apa pun bagi Bram. Bram menarik tangannya kembali, ekspresinya tetap datar. Tapi tiba-tiba, dia sedikit mencondongkan tubuh, berbisik pelan di telinga Sandra. "Jangan kira pernikahan ini berarti sesuatu bagiku." Sandra membeku mendengarnya. "Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Pernikahan ini, tidak ada dalam daftar masa depanku." Seketika, dada Sandra terasa sesak. Tangannya yang masih sedikit terangkat perlahan turun. Di sekeliling mereka, orang-orang tersenyum bahagia, tanpa tahu bahwa di dalam hati Sandra, dunianya baru saja runtuh. Kemarin, hidupnya masih normal. Kemarin, dia masih Sandra Adriani— gadis biasa yang punya rencana untuk masa depannya. Tapi semua berubah dalam satu percakapan. Saat ayahnya berkata, "Besok kamu akan menikah," Sandra pikir itu lelucon. Ternyata bukan. "Jika kamu tidak menikah, rumah ini akan disita. Bapak dan Ibu tidak punya tempat tinggal lagi." Dunianya runtuh sejak saat itu. Dia ingin menolak. Ingin berteriak. Tapi melihat wajah lelah ibunya dan keputusasaan di mata ayahnya, semua protesnya terasa lumpuh. Pernikahan ini bukan tentang cinta. Bukan tentang kebahagiaan. Ini tentang tanggung jawab yang terlalu berat untuk dipikulnya seorang diri. Dan sekarang, setelah resmi menikah, satu hal yang pasti—suaminya sendiri tidak menginginkan pernikahan ini.
-------
Setelah pernikahan selesai, Sandra mengikuti suaminya kembali ke Kota. Sepanjang perjalanan, wanita itu hanya duduk diam di dalam mobil, membiarkan tatapannya menerawang keluar jendela. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Hanya suara deru mesin yang mengisi keheningan yang menyesakkan. Bram tetap fokus menyetir, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sandra beberapa kali mencuri pandang, mencoba menangkap secercah emosi di wajah pria itu. Namun, nihil. Setelah perjalanan yang cukup panjang, mobil akhirnya berbelok memasuki gerbang tinggi yang terbuka otomatis. Di baliknya, berdiri sebuah mansion megah dengan arsitektur elegan dan halaman luas yang tertata sempurna. Sandra menatapnya dengan perasaan bercampur aduk—antara kagum dan bingung. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Bram keluar tanpa banyak bicara, sementara Sandra masih diam di dalam. Pintu di sisinya tiba-tiba terbuka. Bram berdiri di sana, ekspresinya tetap tak terbaca. "Keluar." Sandra menarik napas panjang sebelum ikut melangkah turun. "Ikuti saya," ucapnya datar, lalu berjalan masuk tanpa menoleh. Sandra melangkah mengikuti, matanya menyapu sekeliling ruangan luas dengan langit-langit tinggi dan dekorasi mewah. Beberapa asisten rumah tangga datang menunduk hormat saat mereka lewat. “Mereka akan mengawasi kamu selama di sini.” Sandra mengangkat wajah, menatap suaminya dengan kening berkerut. "Mengawasi?" Bram tak menjawab, hanya melangkah pergi tanpa memberikan kesempatan bagi Sandra untuk bertanya lebih jauh. Seolah dia tak lebih dari tamu yang harus dipantau. “Nyonya, mari saya antar ke kamar,” seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah menghampirinya. Sandra berusaha membalas dengan senyum tipis. “Terima kasih, tapi saya bisa membawa koper saya sendiri.” Wanita itu tersenyum lembut. “Panggil saya Bi Ijah, Nyonya. Biar saya saja, karena ini tugas saya.” Akhirnya, Sandra membiarkan Bi Ijah membawakan kopernya dan mengikutinya ke lantai atas. Saat pintu kamar terbuka, matanya disambut ruangan luas bernuansa putih dan hangat. “Ini kamar saya dan Mas Bram?” Bi Ijah tampak ragu. “Untuk kamar Tuan, ada di lantai atas, Nyonya. Ini kamar yang sudah disiapkan untuk Nyonya.” Sandra terdiam. Tidak satu kamar? Rasa aneh menggelayuti hatinya. “Saya dan suami saya tidak satu kamar?” Bi Ijah tersenyum kikuk. “Bibi kurang tahu, Nyonya. Mungkin lebih baik tanyakan langsung ke Tuan.” Sandra mengangguk pelan, mencoba mencerna fakta ini. “Tidak perlu. Terima kasih, Bi.” Begitu Bi Ijah pergi, Sandra duduk di tepi ranjang. Hari ini terasa begitu panjang, dan perasaan tidak nyaman terus mengganggunya. Dia mengingat ekspresi Bram selama perjalanan tadi—datar, dingin, seolah dia hanyalah udara baginya. Mungkin, jika dia bisa melakukan sesuatu, situasi akan menjadi lebih baik. Dengan tekad itu, dia turun ke dapur. Para asisten rumah tangga tampak sibuk, tapi mereka segera menghentikan aktivitasnya begitu melihatnya. “Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?” Seorang gadis muda dengan rambut hitam dikepang terlihat menghampiri. “Kamu?” “Perkenalkan, Nyonya. Saya Tari, asisten rumah tangga di sini, saya yang bertanggung jawab untuk dapur." Sandra tersenyum canggung. “Tari, aku ingin bertanya sesuatu. Apa kamu tahu makanan kesukaan Mas Bram?” Tari tampak berpikir sebelum menjawab, “Seingat saya, Tuan Bram sangat menyukai sup jagung, Nyonya.” Sandra mengangguk. “Kalau begitu, apakah bahan-bahannya ada di sini?” “Ada, Nyonya.” Sandra tersenyum. “Baik, aku ingin memasak untuk Mas Bram.” Tari tampak ragu. “Nyonya, sebaiknya—” “Tari, aku ingin melakukan sesuatu sebagai istri, anggaplah ini untuk menyenangkan suamiku,” potong Sandra lembut. Setelah sedikit bimbang, Tari akhirnya mengangguk. “Baiklah, Nyonya.” Ia segera mencuci tangan, lalu mulai menyiapkan bahan-bahan. Jagung ia sisir perlahan, sementara Tari membantu meracik bumbu dan menyiapkan kaldu. Begitu semuanya siap, Sandra mulai menumis bawang putih hingga harum sebelum menuangkan air kaldu ke dalam panci. Dengan telaten, ia memasukkan jagung dan bahan lainnya, mengaduk perlahan hingga aroma gurih memenuhi dapur. Saat sup jagung akhirnya matang dan tersaji di meja, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, ini sesuatu yang bisa ia lakukan untuk mendekatkan diri pada suaminya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat Bram menuruni tangga. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi, wajahnya tetap dingin dan tak terbaca.
“Mas?” panggilnya pelan. Bram tak menjawab, hanya melewatinya seolah dia tak ada. Hatinya mencelos, tapi dia memutuskan untuk tidak ambil hati. Beberapa saat kemudian, dia melihat Bram duduk di meja makan. Sandra tersenyum kecil saat melihat pria itu menyantap sup buatannya. Setidaknya, dia memakannya. “Mas, bagaimana?” tanyanya dengan harapan. Bram menghentikan gerakannya, menatap Sandra dengan ekspresi yang tak bisa dia baca. “Ah, maksudku sup jagungnya. Aku yang masak,” tambahnya pelan. Alih-alih menjawab, Bram meletakkan sendoknya dengan suara keras. Suasana berubah tegang. “Tari!” panggilnya tajam. Tari mendekat dengan ragu. “Ya, Tuan?” “Saya sudah bilang, jangan biarkan wanita ini menyentuh dapur. Kenapa kamu membiarkan dia membuat makanan untuk saya?” Sandra menoleh pada Tari, hatinya mencelos. “Tapi, Tuan, saya—” “Kamu saya pecat.” Suara Bram dingin, kedua tangannya mengepal di atas meja. Sandra terbelalak. “Mas, ini bukan salah Tari!” sergahnya. “Aku yang ingin memasak untukmu. Aku ini istrimu, Mas! Wajar kalau aku ingin melayanimu.” Bram tertawa kecil, sarkas. Matanya menatap Sandra tajam, seolah kata-katanya adalah sesuatu yang naif. “Cukup,” ucapnya, suaranya lebih rendah namun mengandung ketegasan yang membuat Sandra menegang. “Dengar baik-baik, saya menikahi kamu karena keinginan orang tua saya. Bukan karena keinginan saya sendiri. Jadi, jangan pernah berpikir kalau kita akan menjalani pernikahan yang indah seperti di dalam kepala kamu.” Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang Sandra bayangkan. Dia menatap Bram dengan mata berkaca-kaca, tetapi pria itu sudah lebih dulu berdiri dan berjalan pergi, meninggalkannya dalam diam. Sandra menggigit bibirnya, mencoba menahan guncangan di dadanya. Untuk sesaat, dia hanya berdiri di sana, merasakan perih yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Lalu, apa arti pernikahan ini buat kamu, Mas?
Perkataan Bram masih terngiang di kepala Sandra. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada yang dia kira. Jadi, selama ini, pernikahan ini tak berarti apa-apa baginya?Sandra menggeleng, menepis pikiran buruk yang mulai menguasai benaknya. Dia menatap sekeliling, menyadari betapa sunyinya rumah ini. Para asisten rumah tangga sibuk dengan tugas masing-masing, sementara suaminya tak ada. Hanya dia yang tak melakukan apa pun.Sandra bukan tipe yang betah berdiam diri. Bosan mulai merayapi dirinya. Entah dorongan dari mana, langkahnya membawanya ke depan pintu kamar Bram. Tatapannya tertuju pada gagang pintu. Apakah dia harus masuk?Dia ragu sejenak, tetapi begitu menyadari pintu tak dikunci, rasa penasaran menguasainya. Perlahan, Sandra mendorong pintu dan melangkah masuk.Ruangan itu didominasi warna gold dan silver, tampak elegan dan dingin. Tidak seperti kamarnya yang terang dan hangat, kamar ini terasa begitu asing.Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berhenti pada sebuah pigur
Malamitu, Sandra hanya bisa menatap kosong ke arah jendela, pikirannya sibukmengurai ucapan-ucapan dari suami barunya yang dingin itu. Iasudah tahu sejak awal bahwa pernikahan ini bukan berdasarkan cinta. Brammemaksanya menandatangani kontrak dengan ancaman, membuatnya terjebak dalam pernikahanini. Meski begitu, ia berusaha menerima. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa iabisa menjalani semuanya dengan baik.Namun,sikap Bram membuktikan bahwa semua usahanya sia-sia.Tatapandingin, ucapan tajam, seolah keberadaannya hanya gangguan. Setiap pertemuanhanya mengingatkannya bahwa ia tak lebih dari orang asing di rumah ini. Brak!TubuhSandra seketika menegang ketika tersadar, seseorang telah membuka pintu kamarnyadan memaksa masuk. "MasBram …" Sandramenelan ludah. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat sang suami berdiritepat di depan ranjangnya, deru napasnya memburu, dan wajahnya terlihat memerah.“Mas… kamu mabuk?” tanya Sandra pelan, dalam hati merasa khawatir jika
Sandra duduk di meja makan, menatap piring di depannya tanpa selera. Suasana pagi itu hening, tak ada satu kata pun yang keluar dari mereka. Hanya suara sendok yang sesekali berbenturan dengan piring.Sejak semalam, ia berharap ada perubahan di antara mereka. Harapan kecil bahwa hubungan ini bisa lebih baik meski tanpa cinta. Tapi ternyata, semuanya tetap sama. Dingin, seperti tak pernah ada yang berarti.Sandra menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. Ia tahu, pernikahan ini bukan tempatnya menggantungkan impian.Tiba-tiba, suara Bram memecah kesunyian.“Sore nanti, Mama ingin kamu datang ke rumah.”Sandra menoleh, sedikit terkejut. “Kenapa tiba-tiba, Mas?” tanyanya hati-hati.“Saya juga tidak tidak tau.”Tidak biasanya Mama Irene meminta kami datang. Aku menepis pikiran buruk, dan mulai menyuap makananku. “Saya jemput sepulang kerja, saya harap kamu sudah siap.”----- Senja mulai turun ketika Sandra selesai mematut diri di depan cermin. Penampilannya sederhana, hanya blus putih ber
Hari-hari di kediaman Irene terasa lambat bagi Sandra. Di rumah itu, Irene selalu memperlakukannya dengan hangat, seolah Sandra adalah bagian dari. Berbeda jauh dari Bram, yang menganggapnya orang asing. Di mata Irene, mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang menyesuaikan diri. Tapi hanya Sandra yang tahu, pernikahan ini hanyalah kesepakatan tanpa cinta.Pagi itu, Sandra membantu Irene di dapur. Tangannya sibuk mengaduk adonan, mencoba menepis resah yang terus menghantui.“San, kamu tidak perlu repot-repot begini,” ujar Irene lembut.Sandra tersenyum kecil. “Sandra senang membantu, Ma.”Irene tertawa pelan, matanya penuh kasih. “Kamu itu pengantin baru. Tugas kamu cuma satu, kasih Mama cucu yang lucu.”Hati Sandra mencelos. Sandra menelan ludah, menyembunyikan luka di balik senyum tipis.“InsyaAllah, Ma…”Irene hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya. Menjelang siang, Sandra memilih naik ke kamar. Kakinya melangkah pelan, menahan rasa mual yang mulai datang tanpa seb
Sandra duduk di ruang tamu, tangannya mengelus perut yang masih rata. Irene, yang duduk di seberangnya, tampak lebih perhatian sejak mengetahui kehamilannya. Wanita itu memastikan Sandra beristirahat cukup, makan teratur, dan tidak terlalu banyak bergerak. “Kalian jadi kembali?” tanya Irene sambil menuangkan teh ke cangkir Sandra. Sandra menunduk, ragu menjawab. Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Bram yang baru saja turun dari lantai atas lebih dulu menimpali. “Iya, Ma. Bram harus kembali bekerja.” Irene mengerutkan kening, meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sedikit keras. “Baru saja tinggal, sudah mau pergi. Setidaknya tinggal beberapa hari lagi.” Bram menarik napas pendek, jelas tidak sependapat. “Tidak bisa, Ma. Kita sudah terlalu lama di sini. Pekerjaan menumpuk banyak di kantor.” “Tapi istrimu sedang hamil, Bram. Siapa yang akan menjaganya di sana?” Nada suara Irene meninggi, sorot matanya tajam. “Apa kamu tega membiarkannya sendirian di mansion?” Sandra
Malam semakin larut. Jarum jam sudah melewati angka sebelas, tapi Sandra masih duduk di ruang tamu, menunggu.Bram belum pulang.Ia melirik ke luar jendela, berharap ada suara mobil yang memasuki halaman mansion. Namun, yang ia dapatkan hanya kesunyian.Perutnya mulai terasa tidak nyaman. Ia mengusapnya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Rasa khawatir yang sempat ia redam sejak tadi sore kini perlahan menyusup ke dalam hatinya. Namun, ia tak bisa melakukan apa pun. Dia bahkan tidak memiliki nomor suaminya.Betapa menyedihkan.Sandra menghela napas panjang, mencoba berpikir positif. Mungkin Bram sedang sibuk dengan pekerjaan. Mungkin perjalanannya terhambat. Tapi, jika memang ada urusan penting, seharusnya ia diberi tahu, bukan?Langkah ringan terdengar dari arah tangga. Tari, yang baru saja turun, menatapnya dengan ragu sebelum akhirnya mendekat."Nyonya masih belum tidur?" tanyanya lembut.Sandra tersenyum tipis, menyembunyikan kegelisahan yang menggumpal di dadanya. "Aku me
Sandra duduk gelisah di ruang tamu, tangannya saling meremas di pangkuannya. Sudah beberapa hari sejak Bram pergi, dan seperti biasa, ia tidak memberi kabar. Sandra sudah terbiasa diabaikan, sudah paham betul bahwa Bram tidak menganggapnya sebagai istri. Namun, meskipun Bram tidak peduli padanya, ia tetap peduli. Ia mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa mungkin Bram hanya sibuk. Tapi saat melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan malam, kegelisahannya semakin menjadi. Ia akhirnya mengambil ponselnya dan menghubungi Kelvin, asisten pribadi Bram. Setelah beberapa nada sambung, suara Kelvin terdengar, “Selamat sore, Bu Sandra. Ada yang bisa saya bantu?” Sandra menarik napas dalam sebelum menjawab dengan hati-hati. “Kelvin, aku ingin menanyakan sesuatu. Apa suamiku, masih bersamamu?” Kelvin terdiam sejenak sebelum menjawab, “Seharusnya Pak Bram sudah pulang pagi tadi, Bu. Kami tiba di bandara pagi ini, lalu saya berpisah dengan beliau karena ada urusan kantor. Saya kira
Sandra sudah berada di tempat tidur sejak setengah jam yang lalu, berpura-pura membaca novel yang bahkan tidak benar-benar ia pahami. Ia hanya ingin terlihat sibuk ketika Bram masuk.Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini memang bukan pertama kalinya mereka berbagi ranjang yang sama, tapi, entah kenapa dia tetap saja gugup saat tidur bersama. Bram keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian, hanya mengenakan celana tidur dengan rambut masih basah. Ia mengeringkan rambutnya sekilas dengan handuk sebelum melemparkannya ke kursi terdekat. Sandra menelan ludah tanpa sadar. Tidak peduli seberapa dingin dan tidak pedulinya Bram padanya, ia tidak bisa memungkiri bahwa pria itu sangat tampan.Dada bidangnya, garis rahangnya yang tegas, dan caranya berjalan dengan tenang namun penuh wibawa… semua itu membuat Sandra gugup. Ia berusaha kembali fokus pada novel di tangannya, tetapi huruf-huruf di halaman itu hanya terlihat seperti coretan tanpa makna.Bram menaikkan alis saat mel
Pintu apartemen terbuka dengan kasar. Mira masuk tanpa melepas sepatu, melempar tasnya ke sofa dengan gerakan penuh emosi. Nafasnya masih berat, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang seolah siap meledak kapan saja.Brak!Tanpa pikir panjang, ia menyapu bersih semua barang di meja riasnya. Botol parfum pecah, bedak berhamburan, perhiasan berjatuhan ke lantai. Cermin hampir jatuh, tapi Mira tidak peduli.Sialan Irene!Suara pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah santai yang familiar.Aro berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja satin dengan motif mencolok, alisnya terangkat melihat kekacauan di ruangan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, ekspresinya antara bosan dan terhibur.“Aku baru pergi beberapa jam, dan apartemen ini sudah jadi kapal pecah.” Aro berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu lantai sebelum akhirnya menatap Mira dengan senyum tipis. “Jangan bilang Irene yang membuatmu begini? Apa dia meludahimu sampai kamu semarah ini?”Mira tidak menjawab, hany
Setelah beberapa hari menjalani perawatan, akhirnya dokter mengizinkan Irene pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.Sandra datang menjemputnya. Tidak ada pembicaraan berarti saat mereka berjalan menuju mobil, hanya sapaan singkat dari perawat yang mengantar mereka sampai di lobi.Begitu duduk di dalam mobil, Irene melirik Sandra sekilas. “Kenapa kamu yang jemput?”Sandra tetap menatap ke depan, menyalakan mesin mobil sebelum menjawab, “Kebetulan Sandra sedang senggang, jadi bisa jemput Mama.”Irene mendengus pelan, matanya menyipit. “Bram kemana?”“Mas Bram sedikit sibuk belakangan ini. Sandra tidak enak mau mengganggu, jadi Sandra lebih baik datang sendirian, Ma.”Irene terdiam. Apa yang Sandra katakan tak membuatnya terkejut, dia malah sudah menduga cepat lambat pasti terjadi. Jadi seperti ini sekarang? Bahkan untuk sekadar menjemput dirinya boleh pulang, Bram pun tidak peduli. Perjalanan menuju mansion terasa panjang dalam kesunyian. Iren
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan suara alat medis yang berdenyut pelan. Aroma khas rumah sakit masih tercium, bercampur dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Sandra berdiri di depan pintu kamar rawat VIP, menatap gagangnya dengan perasaan bercampur aduk. Tangannya masih sedikit gemetar, bekas cengkeraman Bram masih terasa perih. Namun, bukan itu yang membuatnya ragu untuk masuk.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.”Suara itu terdengar lebih tegas dari yang ia bayangkan. Tidak terdengar lemah, bahkan masih membawa kesan berwibawa.Sandra mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Irene, Ibu mertuanya duduk di ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar pada bantal. Meski wajahnya sedikit pucat, ia masih tampak menawan—rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatap Sandra dengan ekspresi sulit ditebak.“Selamat malam, Ma,” Sandra menyapa dengan su
Langit sore mulai meredup. Angin berembus lembut, membawa aroma khas rumah sakit yang samar-samar bercampur dengan wangi rumput basah.Di bangku taman rumah sakit, Sandra duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, bahunya naik turun pelan. Sesekali, ia menarik napas dalam, seolah berusaha menenangkan diri. Namun, matanya tetap sembab. Pipinya masih basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.Ia menyeka wajahnya dengan telapak tangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia sudah berusaha menahan tangis, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata untuk diabaikan.Tiba-tiba, selembar sapu tangan putih terulur ke arahnya.Sandra menoleh pelan. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jas putih khas dokter. Tubuhnya tinggi tegap, dan sorot matanya hangat.“Saya boleh duduk?” tanyanya dengan suara tenang, sambil melirik bangku kosong di sebelah Sandra.Sandra terdiam sejenak sebelum akhirnya bergeser sedikit, memberikan ruang. “Silakan
Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Suara detak mesin pemantau jantung terdengar pelan, berpadu dengan aroma antiseptik yang memenuhi udara. Irene perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas.Bram yang sejak tadi duduk di kursi di samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya begitu melihat Irene sadar. Matanya menatap ibunya tanpa ekspresi yang jelas.“Ma…” suaranya dalam, tapi terdengar lega.Irene mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum menatap Bram dengan mata yang masih sedikit sayu. “Di mana ini?”“Rumah sakit,” jawab Bram singkat. “Mama pingsan tadi.”Irene mengembuskan napas perlahan, lalu melirik ke arah infus yang tertanam di punggung tangannya. “Hanya kecapekan,” gumamnya. “Seharusnya tidak perlu dibawa ke sini.”Bram menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Ma. Mama harus istirahat.”Irene tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu berani bilang begitu ke Mama?” Tatapannya menajam. “Padahal kamu sendiri keras kepa
Bram sudah rapi, mengenakan kemeja hitam yang tertata sempurna di tubuhnya. Lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangan berkilat di pergelangan tangannya. Ia berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap, siap pergi. Namun, begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Irene berdiri di sana, tangan bersedekap, menatapnya dengan dingin. “Jadi, mau ke mana?” suara Irene terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik. Bram tetap tenang. “Ada sedikit urusan masalah pekerjaan, Ma.” Irene tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. Ia menghela napas, menatap putranya seakan heran. “Kerja?” ulangnya, seolah mengejek. “Di saat jadwal kamu kosong, kamu masih bisa mengatakan mengenai pekerjaan? Mustahil Bram.” Bram menegang. Matanya menatap ibunya dengan hati-hati. Perasaannya mengatakan Irene seakan tahu sesuatu. Irene menggeleng pelan, seolah tidak habis pikir. “Mau ngapain? Mau bakti sosial?” ejeknya. Hening. Bram mencoba tetap tenang. “Mama bilang apa? Bram s
Malam turun dengan sunyi, menyelimuti rumah dengan hawa dingin yang lebih menusuk dari biasanya.Bram baru saja masuk ke kamar setelah menyelesaikan beberapa urusan di kantor. Kali ini, ia pulang lebih awal—entah karena lelah atau karena alasan lain yang tidak ingin ia akui.Seperti biasa, laptopnya menyala di atas pangkuan. Jemarinya bergerak di atas keyboard, mengetik beberapa dokumen yang harus ia selesaikan. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus.Dari sudut matanya, ia melihat Sandra.Wanita itu sudah bersiap untuk tidur, mengenakan pakaian tidurnya, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi. Tanpa sepatah kata pun, Sandra naik ke ranjang dan menarik selimut, membelakanginya.Bram mengabaikan. Atau setidaknya, mencoba mengabaikan.Gengsinya terlalu besar untuk membuka pembicaraan lebih dulu. Jika Sandra memilih diam, maka ia juga akan diam.Namun, ketenangan kamar itu tak bertahan lama.Tiba-tiba, Sandra bangkit dari tempat tidur dengan tergesa, tangannya menekan perut.Br
Bram duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Udara di kamar terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Ia benar-benar lupa. Dia terlalu fokus bersama Mira, hingga dia tidak sadar, datang membawa wanita itu bersamanya. Sial. Bram mengepalkan jemarinya, rahangnya mengeras. Ia tidak berniat meninggalkan Sandra, tapi sejak bertemu Mira tadi, dia tak mengingat wanita itu. Percakapan mereka berlarut-larut tanpa ia sadari. Waktu terus berjalan, dan ia bahkan tidak terlintas sedikit pun untuk memastikan Sandra baik-baik saja. Baru sekarang, setelah wanita itu kembali ke rumah dengan wajah lelah dan pucat, ia menyadari betapa cerobohnya ia. Terbesit rasa bersalah. Anggaplah dia memang sedikit keterlaluan, tapi bukan sepenuhnya salah Bram. Bram tetap berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Ia mencoba mengabaikan pikirannya sendiri, tapi bayangan Sandra yang kelelahan tak bisa diusir begitu saja. Bagaimana jika
Mata perempuan itu mengejap, tidak percaya, bagaimana dia mengenal suaminya? “Bagaimana mengenalnya?” “Tentu saja, karena kami berteman. Ah sebelumnya perkenalkan, namaku Joshua.” Sandra masih menatap Joshua dengan ragu. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa bisa dipercaya, tapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa langsung menerima begitu saja. “Teman Mas Bram?” Sandra mengulang kata-kata itu pelan. Joshua mengangguk. “Ya. Aku dan Bram sudah lama saling kenal.” Sandra mengerutkan kening. “Tapi… aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya.” Joshua tersenyum tipis. “Itu wajar. Aku memang baru pulang dari Belanda” Ia menyesuaikan posisi duduknya, lalu menambahkan, “Mungkin karena itu kau tidak pernah melihatku.” Sandra masih menatapnya dengan penuh pertimbangan. Napasnya lebih tenang sekarang, meskipun sisa ketakutan masih mengendap di dadanya. “Jadi, kau yang bernama Sandra? Aku tidak percaya aku bertemu denganmu sekarang. Selamat atas pernikah