Share

Bab 5 - Mual?

Author: Gumi Gula
last update Last Updated: 2025-02-26 14:51:03

Hari-hari di kediaman Irene terasa lambat bagi Sandra. Di rumah itu, Irene selalu memperlakukannya dengan hangat, seolah Sandra adalah bagian dari. Berbeda jauh dari Bram, yang menganggapnya orang asing.

Di mata Irene, mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang menyesuaikan diri. Tapi hanya Sandra yang tahu, pernikahan ini hanyalah kesepakatan tanpa cinta.

Pagi itu, Sandra membantu Irene di dapur. Tangannya sibuk mengaduk adonan, mencoba menepis resah yang terus menghantui.

“San, kamu tidak perlu repot-repot begini,” ujar Irene lembut.

Sandra tersenyum kecil. “Sandra senang membantu, Ma.”

Irene tertawa pelan, matanya penuh kasih. “Kamu itu pengantin baru. Tugas kamu cuma satu, kasih Mama cucu yang lucu.”

Hati Sandra mencelos. Sandra menelan ludah, menyembunyikan luka di balik senyum tipis.

“InsyaAllah, Ma…”

Irene hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Menjelang siang, Sandra memilih naik ke kamar. Kakinya melangkah pelan, menahan rasa mual yang mulai datang tanpa sebab. Sesampainya di kamar, Bram sudah ada di sana, duduk di ranjang, memangku laptop, dengan wajah yang sama dinginnya seperti biasa.

Sandra tak berharap ada sapaan, apalagi perhatian. Ia sudah terbiasa dengan kebisuan di antara mereka.

Namun, rasa mual di perutnya semakin menjadi. Tanpa sempat berkata apa-apa, Sandra berlari ke kamar mandi. Tubuhnya limbung, tangannya mencengkeram wastafel saat muntah mengguncang perutnya.

Bram melirik sekilas, sebelum akhirnya menutup laptop dan berdiri.

“Ikut saya,” ucapnya dingin.

Sandra menoleh, napasnya masih memburu. “Ke mana, Mas?”

“Ke rumah sakit,” nada suaranya tak bisa dibantah.

Sandra menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Mungkin cuma masuk angin.”

Bram mendengus pelan. “Atau kamu sengaja mengulur waktu biar lebih lama terikat dengan saya? Saya cukup tau otak perempuan seperti kamu.”

Sandra menahan napas. Matanya memanas, “Kenapa kamu selalu berprasangka buruk, Mas?” lirihnya.

Bram tak menjawab. Hanya tatapan dingin yang ia berikan sebelum melangkah keluar lebih dulu.

Di dalam mobil, Sandra menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menahan getar di dadanya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru mengedipkan mata.

Sandra menunduk, menahan rasa sakit di dadanya. Ia ingin menangis, tapi sudah terlalu lelah untuk berdebat.

-----

Setibanya mereka di Rumah Sakit, Bram langsung turun dari mobil tanpa menunggu Sandra. Ia berjalan ke meja pendaftaran, sementara Sandra hanya bisa pasrah menunggu.

"Ibu Sandra Adriani, diharap masuk ke klinik satu," suara perawat menyadarkannya.

Dengan langkah ragu, Sandra masuk ke ruangan dokter. Ia terkejut saat melihat Bram sudah duduk di sana, menunggunya.

"Siang, Ibu Sandra," sapa dokter dengan ramah.

"Siang, Dok."

"Apa keluhan yang Ibu rasakan belakangan ini?"

“Keluhan saya pusing, mual, badan cepat lelah, Dok.”

Dokter tersenyum ramah. "Baik, Ibu Sandra, saya akan melakukan pemeriksaan lebih dulu. Silakan berbaring di tempat tidur periksa."

Sandra menurut, berbaring sesuai arahan dokter. Seorang perawat mendekat, membantu memasangkan alat pengukur tekanan darah di lengannya.

"Saya akan cek tekanan darah dulu, ya, Bu," ujar perawat sambil memompa alat tersebut.

Sandra mengangguk pelan. Setelah beberapa detik, perawat mencatat hasilnya dan menyerahkan kembali kepada dokter.

"Tekanan darah Ibu cukup normal, tapi saya juga perlu melakukan pemeriksaan tambahan untuk memastikan kondisi Ibu. Apakah akhir-akhir ini siklus haid Ibu teratur?" tanya dokter.

Sandra berpikir sejenak sebelum menjawab, "Seharusnya bulan ini sudah datang, Dok, tapi sampai sekarang belum juga."

Dokter mengangguk sambil mencatat. "Baik, sekarang saya akan melakukan pemeriksaan USG untuk melihat lebih jelas kondisinya. Silakan naik ke bed dan sedikit turunkan bagian pinggang pakaian Ibu, ya."

Sandra menurut, sementara dokter menyalakan alat USG dan mengoleskan gel dingin di perutnya. Ia sedikit menggigit bibir bawah, merasa gugup. Bram yang duduk di kursi tetap diam tanpa ekspresi, tapi tatapannya sekilas tertuju pada layar.

Dokter mulai menggerakkan alat pemindai di atas perut Sandra, memperhatikan layar dengan seksama. Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya dokter tersenyum.

"Dari hasil USG, terlihat ada kantung kehamilan yang mulai terbentuk. Selamat, Ibu Sandra. Saat ini usia kandungan Ibu sekitar tiga minggu."

Sandra terdiam, matanya membulat tak percaya. "Jadi... saya benar-benar hamil, Dok?"

"Iya, Bu. Tapi karena usia kandungan masih sangat muda, saya sarankan untuk lebih banyak beristirahat, menghindari stres, dan mulai mengonsumsi vitamin kehamilan. Saya akan resepkan beberapa suplemen yang dibutuhkan," jelas dokter dengan nada tenang.

Sandra mengangguk pelan, masih berusaha mencerna kabar yang baru saja ia dengar. Tangannya refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Di dalam sana, ada kehidupan yang sedang tumbuh—sebuah keajaiban kecil yang tak pernah ia sangka akan hadir secepat ini.

Ia menoleh ke arah Bram, berharap melihat sedikit perubahan di wajah pria itu. Mungkin secercah keterkejutan, kebahagiaan, atau setidaknya kepedulian. Namun, yang ia temukan hanyalah ekspresi datar, tanpa emosi. Bram hanya mengangguk kecil, seolah kabar ini tak berarti apa pun baginya.

"Terima kasih, Dok," ucapnya singkat sebelum berdiri.

Sandra menunduk, menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Ia ingin meyakini bahwa kehadiran anak ini akan mengubah segalanya, bahwa Bram akan melihatnya dengan cara yang berbeda. Namun, melihat sikap suaminya sekarang, harapan itu terasa begitu jauh.

Saat melangkah keluar dari ruang pemeriksaan, tangannya masih tetap bertengger di perutnya. Ia mengusapnya lembut, seolah sedang berbicara dengan kehidupan kecil yang baru mulai tumbuh di sana.

Anakku, apakah kamu bisa mendengar Mama? Tolong tumbuhlah dengan baik, ya. Semoga kehadiranmu bisa menyentuh hati Papa...

-----

Setelah mengantar Sandra pulang, Bram tak langsung kembali ke rumah. Alih-alih, pria itu justru melajukan mobilnya ke arah lain, menuju tempat yang selama ini menjadi pelariannya.

Pikirannya berkecamuk. Ia tak menyangka Sandra benar-benar mengandung anaknya. Bukankah ini yang ia inginkan? Semakin cepat Sandra hamil, semakin cepat pula ia terbebas dari pernikahan yang dipaksakan ini. Namun, kini saat itu benar-benar terjadi, hatinya terasa aneh.

Bram mengepalkan setir, rahangnya mengeras. Ia menginginkan seorang anak, penerus yang akan membawa nama keluarganya. Tapi, bukan dari Sandra. Bukan dari wanita yang ia benci.

Sandra, baginya, hanyalah wanita yang menerima perjodohan ini demi harta. Wanita itu merusak segalanya, menghancurkan kebahagiaan yang seharusnya ia miliki bersama Miranti. Jika Sandra memang wanita baik-baik, seharusnya dia menolak perjodohan itu sejak awal, bukan justru menerimanya dengan begitu mudah.

Pikirannya terus berputar, semakin membuat dadanya sesak. Tanpa sadar, kecepatan mobilnya bertambah. Hingga akhirnya, ia tiba di apartemen Miranti.

Apartemen mewah itu berjarak tak terlalu jauh dari mansion-nya. Bukan kebetulan—Bram sendiri yang memilih dan membelikan tempat ini untuk Miranti. Ia ingin selalu bisa menemui wanita itu kapan pun ia mau, tanpa hambatan.

Begitu pintu apartemen terbuka, sosok Miranti langsung menyambutnya dengan pelukan erat. Wanita itu masih mengenakan gaun satin tipis, aroma parfumnya menyapa Bram dengan lembut.

"Kamu lama sekali," gumamnya manja.

Bram menghela napas, membiarkan Miranti menyandarkan kepalanya di dadanya sebelum akhirnya ia mengecup puncak kepala wanita itu.

"Aku harus mengantar Sandra pulang dulu," jawabnya jujur.

Mendengar nama itu, ekspresi Miranti berubah seketika. Ia melepas pelukannya dan menatap Bram dengan mata menyipit.

"Kapan kamu akan menceraikannya?" tuntutnya, kali ini tanpa nada manja.

Bram sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Dengan tenang, ia mengusap pipi Miranti, mencoba menenangkannya. "Sabarlah, Mir. Setelah anak itu lahir, semuanya akan berakhir."

Miranti membelalakkan mata. "Dia hamil?"

Bram mengangguk. "Iya. Dan ini membuat segalanya menjadi lebih mudah. Aku hanya perlu menunggu sampai anak itu lahir, lalu aku akan menceraikannya."

Miranti mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban Bram. "Kenapa harus menunggu? Kenapa tidak sekarang saja?"

Bram menghela napas. "Karena wasiat itu, Mir. Aku terpaksa menikahinya karena ayahku mengancam akan mencabut hak warisku jika aku tidak mengikuti perintahnya. Tapi, setelah anak itu lahir, semuanya akan kembali ke tanganku. Aku bisa menceraikannya, dan kita bisa bersama tanpa ada lagi yang menghalangi." Miranti masih tampak ragu. Ia menatap Bram dalam-dalam, mencari kepastian di mata pria itu. "Aku hanya takut, Bram... Takut kamu malah jatuh cinta padanya."

Bram tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Miranti erat. "Mir, kamu lihat aku." Ia menatap wanita itu dalam-dalam. "Di mataku hanya ada kamu seorang. Sandra tidak ada artinya bagiku. Aku akan selalu mencintai kamu, hanya kamu."

Mendengar itu, Miranti akhirnya tersenyum. Ia memeluk Bram erat, membenamkan wajahnya di dada pria itu.

"Baiklah," bisiknya. "Aku percaya padamu."

Bram membalas pelukannya, mengecup puncak kepala Miranti dengan lembut. Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang tidak bisa ia definisikan—sesuatu yang terasa mengganjal.

Ia ingin percaya bahwa Sandra hanyalah batu sandungan sementara. Tapi kenapa... ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa tidak tenang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 6 - Jejak Kehadiran

    Sandra duduk di ruang tamu, tangannya mengelus perut yang masih rata. Irene, yang duduk di seberangnya, tampak lebih perhatian sejak mengetahui kehamilannya. Wanita itu memastikan Sandra beristirahat cukup, makan teratur, dan tidak terlalu banyak bergerak. “Kalian jadi kembali?” tanya Irene sambil menuangkan teh ke cangkir Sandra. Sandra menunduk, ragu menjawab. Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Bram yang baru saja turun dari lantai atas lebih dulu menimpali. “Iya, Ma. Bram harus kembali bekerja.” Irene mengerutkan kening, meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sedikit keras. “Baru saja tinggal, sudah mau pergi. Setidaknya tinggal beberapa hari lagi.” Bram menarik napas pendek, jelas tidak sependapat. “Tidak bisa, Ma. Kita sudah terlalu lama di sini. Pekerjaan menumpuk banyak di kantor.” “Tapi istrimu sedang hamil, Bram. Siapa yang akan menjaganya di sana?” Nada suara Irene meninggi, sorot matanya tajam. “Apa kamu tega membiarkannya sendirian di mansion?” Sandra

    Last Updated : 2025-03-06
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 7 - Aku Tetap Milikmu

    Malam semakin larut. Jarum jam sudah melewati angka sebelas, tapi Sandra masih duduk di ruang tamu, menunggu.Bram belum pulang.Ia melirik ke luar jendela, berharap ada suara mobil yang memasuki halaman mansion. Namun, yang ia dapatkan hanya kesunyian.Perutnya mulai terasa tidak nyaman. Ia mengusapnya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Rasa khawatir yang sempat ia redam sejak tadi sore kini perlahan menyusup ke dalam hatinya. Namun, ia tak bisa melakukan apa pun. Dia bahkan tidak memiliki nomor suaminya.Betapa menyedihkan.Sandra menghela napas panjang, mencoba berpikir positif. Mungkin Bram sedang sibuk dengan pekerjaan. Mungkin perjalanannya terhambat. Tapi, jika memang ada urusan penting, seharusnya ia diberi tahu, bukan?Langkah ringan terdengar dari arah tangga. Tari, yang baru saja turun, menatapnya dengan ragu sebelum akhirnya mendekat."Nyonya masih belum tidur?" tanyanya lembut.Sandra tersenyum tipis, menyembunyikan kegelisahan yang menggumpal di dadanya. "Aku me

    Last Updated : 2025-03-08
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 8 - Kedatangan Mama

    Sandra duduk gelisah di ruang tamu, tangannya saling meremas di pangkuannya. Sudah beberapa hari sejak Bram pergi, dan seperti biasa, ia tidak memberi kabar. Sandra sudah terbiasa diabaikan, sudah paham betul bahwa Bram tidak menganggapnya sebagai istri. Namun, meskipun Bram tidak peduli padanya, ia tetap peduli. Ia mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa mungkin Bram hanya sibuk. Tapi saat melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan malam, kegelisahannya semakin menjadi. Ia akhirnya mengambil ponselnya dan menghubungi Kelvin, asisten pribadi Bram. Setelah beberapa nada sambung, suara Kelvin terdengar, “Selamat sore, Bu Sandra. Ada yang bisa saya bantu?” Sandra menarik napas dalam sebelum menjawab dengan hati-hati. “Kelvin, aku ingin menanyakan sesuatu. Apa suamiku, masih bersamamu?” Kelvin terdiam sejenak sebelum menjawab, “Seharusnya Pak Bram sudah pulang pagi tadi, Bu. Kami tiba di bandara pagi ini, lalu saya berpisah dengan beliau karena ada urusan kantor. Saya kira

    Last Updated : 2025-03-10
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 9 - Ranjang Sama

    Sandra sudah berada di tempat tidur sejak setengah jam yang lalu, berpura-pura membaca novel yang bahkan tidak benar-benar ia pahami. Ia hanya ingin terlihat sibuk ketika Bram masuk.Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini memang bukan pertama kalinya mereka berbagi ranjang yang sama, tapi, entah kenapa dia tetap saja gugup saat tidur bersama. Bram keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian, hanya mengenakan celana tidur dengan rambut masih basah. Ia mengeringkan rambutnya sekilas dengan handuk sebelum melemparkannya ke kursi terdekat. Sandra menelan ludah tanpa sadar. Tidak peduli seberapa dingin dan tidak pedulinya Bram padanya, ia tidak bisa memungkiri bahwa pria itu sangat tampan.Dada bidangnya, garis rahangnya yang tegas, dan caranya berjalan dengan tenang namun penuh wibawa… semua itu membuat Sandra gugup. Ia berusaha kembali fokus pada novel di tangannya, tetapi huruf-huruf di halaman itu hanya terlihat seperti coretan tanpa makna.Bram menaikkan alis saat mel

    Last Updated : 2025-03-11
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 10 - Bersiap

    Bram merasa bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana. Miranti adalah orang yang keras kepala, tidak mungkin mudah diberikan pengertian.Ia mendesah pelan, menekan pelipisnya. Di satu sisi, ia tahu Miranti akan semakin menuntut jika ia menolak. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa membiarkan Irene tau, semuanya akan kacau. Saat ia masih tenggelam dalam pikirannya, ketukan pelan terdengar di pintu ruangan kerjanya.Tok. Tok.Bram menoleh tepat ketika pintu terbuka, memperlihatkan sosok wanita yang masuk dengan langkah hati-hati.“Mas, aku membawakan kamu teh,” suara Sandra terdengar lembut saat ia membawa nampan ke dekat meja Bram.Bram menatapnya sekilas, lalu mengerutkan dahi. “Siapa yang meminta kamu membawakannya?” tanyanya ketus.Sandra sejenak terdiam, lalu menjawab pelan, “Mama Irene, Mas.”Bram menghela napas pendek, lalu lmenatap Sandra dengan ekspresi datar. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangkat garis bibirnya dengan sedikit senyuman.“Keluar,” ucap Bram dingin

    Last Updated : 2025-03-11
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 11 - Pegang Tanganku

    Sandra menuruni tangga dengan langkah anggun, ditemani Irene yang berjalan di sisinya dengan senyum penuh kepuasan. Gaun putih tulang yang membalut tubuhnya bergerak lembut mengikuti langkahnya, sementara rambutnya yang ditata dengan gelombang ringan berayun pelan. Di bawah, Bram sudah menunggu. Pria itu berdiri dengan tangan terselip di saku celananya, ekspresi wajahnya seperti biasa, datar dan sulit ditebak. Namun, begitu matanya menangkap sosok Sandra yang turun, sekejap sorotannya berubah. Hanya sedetik. Sebelum dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. Irene yang menyadari itu, tersenyum tipis. “Kamu tidak mau bilang sesuatu, Bram?” tanyanya santai. Bram menghela napas pelan. “Bilang apa, Ma?” Irene melirik Sandra sekilas, lalu kembali menatap putranya dengan tatapan penuh harap. “Paling tidak, katakan kalau menantu Mama ini terlihat cantik malam ini.” Sandra ikut menoleh ke Bram, berharap ada sedikit apresiasi dari pria itu. Namun yang dia dapatkan hanyalah tatapan sek

    Last Updated : 2025-03-11
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 12 - Tolong aku

    Di meja restoran, Sandra masih duduk diam, menatap piring makanannya yang hampir tak tersentuh. Suasana di sekelilingnya begitu ramai dengan suara gelak tawa dan percakapan tamu lain, namun ia sendiri justru tenggelam dalam kesunyian.Sesekali, pandangannya melirik ke arah tangga yang mengarah ke lantai atas. Sudah cukup lama Bram pergi, tapi belum juga kembali. Ia menggenggam garpu di tangannya, menunggu dalam diam.Setidaknya, ia ingin percaya bahwa Bram tidak akan terlalu lama. Bahwa setelah pertemuannya selesai, pria itu akan kembali duduk di hadapannya, seperti suami dan istri yang seharusnya.Namun, waktu terus berlalu.Piringnya sudah dingin, lilin-lilin kecil di mejanya mulai meredup, dan orang-orang di sekitarnya mulai bergantian datang dan pergi. Tapi Bram tetap tak kunjung muncul.Sandra menggigit bibirnya.Mungkin, ia seharusnya menelepon Bram? Tapi entah kenapa, ada rasa enggan untuk melakukannya. Ia tak ingin terdengar seperti istri yang terlalu bergantung atau menggangg

    Last Updated : 2025-03-13
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 13 - Berharap bertemu kembali

    Mata perempuan itu mengejap, tidak percaya, bagaimana dia mengenal suaminya? “Bagaimana mengenalnya?” “Tentu saja, karena kami berteman. Ah sebelumnya perkenalkan, namaku Joshua.” Sandra masih menatap Joshua dengan ragu. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa bisa dipercaya, tapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa langsung menerima begitu saja. “Teman Mas Bram?” Sandra mengulang kata-kata itu pelan. Joshua mengangguk. “Ya. Aku dan Bram sudah lama saling kenal.” Sandra mengerutkan kening. “Tapi… aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya.” Joshua tersenyum tipis. “Itu wajar. Aku memang baru pulang dari Belanda” Ia menyesuaikan posisi duduknya, lalu menambahkan, “Mungkin karena itu kau tidak pernah melihatku.” Sandra masih menatapnya dengan penuh pertimbangan. Napasnya lebih tenang sekarang, meskipun sisa ketakutan masih mengendap di dadanya. “Jadi, kau yang bernama Sandra? Aku tidak percaya aku bertemu denganmu sekarang. Selamat atas pernikah

    Last Updated : 2025-03-14

Latest chapter

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 21 - Rasa marah

    Pintu apartemen terbuka dengan kasar. Mira masuk tanpa melepas sepatu, melempar tasnya ke sofa dengan gerakan penuh emosi. Nafasnya masih berat, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang seolah siap meledak kapan saja.Brak!Tanpa pikir panjang, ia menyapu bersih semua barang di meja riasnya. Botol parfum pecah, bedak berhamburan, perhiasan berjatuhan ke lantai. Cermin hampir jatuh, tapi Mira tidak peduli.Sialan Irene!Suara pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah santai yang familiar.Aro berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja satin dengan motif mencolok, alisnya terangkat melihat kekacauan di ruangan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, ekspresinya antara bosan dan terhibur.“Aku baru pergi beberapa jam, dan apartemen ini sudah jadi kapal pecah.” Aro berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu lantai sebelum akhirnya menatap Mira dengan senyum tipis. “Jangan bilang Irene yang membuatmu begini? Apa dia meludahimu sampai kamu semarah ini?”Mira tidak menjawab, hany

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 20 - Peringatan

    Setelah beberapa hari menjalani perawatan, akhirnya dokter mengizinkan Irene pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.Sandra datang menjemputnya. Tidak ada pembicaraan berarti saat mereka berjalan menuju mobil, hanya sapaan singkat dari perawat yang mengantar mereka sampai di lobi.Begitu duduk di dalam mobil, Irene melirik Sandra sekilas. “Kenapa kamu yang jemput?”Sandra tetap menatap ke depan, menyalakan mesin mobil sebelum menjawab, “Kebetulan Sandra sedang senggang, jadi bisa jemput Mama.”Irene mendengus pelan, matanya menyipit. “Bram kemana?”“Mas Bram sedikit sibuk belakangan ini. Sandra tidak enak mau mengganggu, jadi Sandra lebih baik datang sendirian, Ma.”Irene terdiam. Apa yang Sandra katakan tak membuatnya terkejut, dia malah sudah menduga cepat lambat pasti terjadi. Jadi seperti ini sekarang? Bahkan untuk sekadar menjemput dirinya boleh pulang, Bram pun tidak peduli. Perjalanan menuju mansion terasa panjang dalam kesunyian. Iren

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 19 - Tinggal disisiku

    Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan suara alat medis yang berdenyut pelan. Aroma khas rumah sakit masih tercium, bercampur dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Sandra berdiri di depan pintu kamar rawat VIP, menatap gagangnya dengan perasaan bercampur aduk. Tangannya masih sedikit gemetar, bekas cengkeraman Bram masih terasa perih. Namun, bukan itu yang membuatnya ragu untuk masuk.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.”Suara itu terdengar lebih tegas dari yang ia bayangkan. Tidak terdengar lemah, bahkan masih membawa kesan berwibawa.Sandra mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Irene, Ibu mertuanya duduk di ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar pada bantal. Meski wajahnya sedikit pucat, ia masih tampak menawan—rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatap Sandra dengan ekspresi sulit ditebak.“Selamat malam, Ma,” Sandra menyapa dengan su

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 18 - Jalang murahan

    Langit sore mulai meredup. Angin berembus lembut, membawa aroma khas rumah sakit yang samar-samar bercampur dengan wangi rumput basah.Di bangku taman rumah sakit, Sandra duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, bahunya naik turun pelan. Sesekali, ia menarik napas dalam, seolah berusaha menenangkan diri. Namun, matanya tetap sembab. Pipinya masih basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.Ia menyeka wajahnya dengan telapak tangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia sudah berusaha menahan tangis, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata untuk diabaikan.Tiba-tiba, selembar sapu tangan putih terulur ke arahnya.Sandra menoleh pelan. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jas putih khas dokter. Tubuhnya tinggi tegap, dan sorot matanya hangat.“Saya boleh duduk?” tanyanya dengan suara tenang, sambil melirik bangku kosong di sebelah Sandra.Sandra terdiam sejenak sebelum akhirnya bergeser sedikit, memberikan ruang. “Silakan

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 17 - Bukan Pilihan

    Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Suara detak mesin pemantau jantung terdengar pelan, berpadu dengan aroma antiseptik yang memenuhi udara. Irene perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas.Bram yang sejak tadi duduk di kursi di samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya begitu melihat Irene sadar. Matanya menatap ibunya tanpa ekspresi yang jelas.“Ma…” suaranya dalam, tapi terdengar lega.Irene mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum menatap Bram dengan mata yang masih sedikit sayu. “Di mana ini?”“Rumah sakit,” jawab Bram singkat. “Mama pingsan tadi.”Irene mengembuskan napas perlahan, lalu melirik ke arah infus yang tertanam di punggung tangannya. “Hanya kecapekan,” gumamnya. “Seharusnya tidak perlu dibawa ke sini.”Bram menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Ma. Mama harus istirahat.”Irene tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu berani bilang begitu ke Mama?” Tatapannya menajam. “Padahal kamu sendiri keras kepa

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 16 - Tidak pernah mencintainya

    Bram sudah rapi, mengenakan kemeja hitam yang tertata sempurna di tubuhnya. Lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangan berkilat di pergelangan tangannya. Ia berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap, siap pergi. Namun, begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Irene berdiri di sana, tangan bersedekap, menatapnya dengan dingin. “Jadi, mau ke mana?” suara Irene terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik. Bram tetap tenang. “Ada sedikit urusan masalah pekerjaan, Ma.” Irene tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. Ia menghela napas, menatap putranya seakan heran. “Kerja?” ulangnya, seolah mengejek. “Di saat jadwal kamu kosong, kamu masih bisa mengatakan mengenai pekerjaan? Mustahil Bram.” Bram menegang. Matanya menatap ibunya dengan hati-hati. Perasaannya mengatakan Irene seakan tahu sesuatu. Irene menggeleng pelan, seolah tidak habis pikir. “Mau ngapain? Mau bakti sosial?” ejeknya. Hening. Bram mencoba tetap tenang. “Mama bilang apa? Bram s

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 15 - Perhatian kecil

    Malam turun dengan sunyi, menyelimuti rumah dengan hawa dingin yang lebih menusuk dari biasanya.Bram baru saja masuk ke kamar setelah menyelesaikan beberapa urusan di kantor. Kali ini, ia pulang lebih awal—entah karena lelah atau karena alasan lain yang tidak ingin ia akui.Seperti biasa, laptopnya menyala di atas pangkuan. Jemarinya bergerak di atas keyboard, mengetik beberapa dokumen yang harus ia selesaikan. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus.Dari sudut matanya, ia melihat Sandra.Wanita itu sudah bersiap untuk tidur, mengenakan pakaian tidurnya, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi. Tanpa sepatah kata pun, Sandra naik ke ranjang dan menarik selimut, membelakanginya.Bram mengabaikan. Atau setidaknya, mencoba mengabaikan.Gengsinya terlalu besar untuk membuka pembicaraan lebih dulu. Jika Sandra memilih diam, maka ia juga akan diam.Namun, ketenangan kamar itu tak bertahan lama.Tiba-tiba, Sandra bangkit dari tempat tidur dengan tergesa, tangannya menekan perut.Br

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 14 - Perasaan bersalah

    Bram duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Udara di kamar terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Ia benar-benar lupa. Dia terlalu fokus bersama Mira, hingga dia tidak sadar, datang membawa wanita itu bersamanya. Sial. Bram mengepalkan jemarinya, rahangnya mengeras. Ia tidak berniat meninggalkan Sandra, tapi sejak bertemu Mira tadi, dia tak mengingat wanita itu. Percakapan mereka berlarut-larut tanpa ia sadari. Waktu terus berjalan, dan ia bahkan tidak terlintas sedikit pun untuk memastikan Sandra baik-baik saja. Baru sekarang, setelah wanita itu kembali ke rumah dengan wajah lelah dan pucat, ia menyadari betapa cerobohnya ia. Terbesit rasa bersalah. Anggaplah dia memang sedikit keterlaluan, tapi bukan sepenuhnya salah Bram. Bram tetap berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Ia mencoba mengabaikan pikirannya sendiri, tapi bayangan Sandra yang kelelahan tak bisa diusir begitu saja. Bagaimana jika

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 13 - Berharap bertemu kembali

    Mata perempuan itu mengejap, tidak percaya, bagaimana dia mengenal suaminya? “Bagaimana mengenalnya?” “Tentu saja, karena kami berteman. Ah sebelumnya perkenalkan, namaku Joshua.” Sandra masih menatap Joshua dengan ragu. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa bisa dipercaya, tapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa langsung menerima begitu saja. “Teman Mas Bram?” Sandra mengulang kata-kata itu pelan. Joshua mengangguk. “Ya. Aku dan Bram sudah lama saling kenal.” Sandra mengerutkan kening. “Tapi… aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya.” Joshua tersenyum tipis. “Itu wajar. Aku memang baru pulang dari Belanda” Ia menyesuaikan posisi duduknya, lalu menambahkan, “Mungkin karena itu kau tidak pernah melihatku.” Sandra masih menatapnya dengan penuh pertimbangan. Napasnya lebih tenang sekarang, meskipun sisa ketakutan masih mengendap di dadanya. “Jadi, kau yang bernama Sandra? Aku tidak percaya aku bertemu denganmu sekarang. Selamat atas pernikah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status