Sandra duduk di ruang tamu, tangannya mengelus perut yang masih rata. Irene, yang duduk di seberangnya, tampak lebih perhatian sejak mengetahui kehamilannya. Wanita itu memastikan Sandra beristirahat cukup, makan teratur, dan tidak terlalu banyak bergerak.
“Kalian jadi kembali?” tanya Irene sambil menuangkan teh ke cangkir Sandra. Sandra menunduk, ragu menjawab. Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Bram yang baru saja turun dari lantai atas lebih dulu menimpali. “Iya, Ma. Bram harus kembali bekerja.” Irene mengerutkan kening, meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sedikit keras. “Baru saja tinggal, sudah mau pergi. Setidaknya tinggal beberapa hari lagi.” Bram menarik napas pendek, jelas tidak sependapat. “Tidak bisa, Ma. Kita sudah terlalu lama di sini. Pekerjaan menumpuk banyak di kantor.” “Tapi istrimu sedang hamil, Bram. Siapa yang akan menjaganya di sana?” Nada suara Irene meninggi, sorot matanya tajam. “Apa kamu tega membiarkannya sendirian di mansion?” Sandra menoleh, hatinya sedikit hangat oleh pembelaan Irene. Namun, ia tahu Bram bukan tipe yang bisa dibujuk. “Ada pelayan di sana. Dia tidak akan kekurangan apa pun,” jawab Bram datar. Irene mendengus pelan, seolah menahan geram. Ia menoleh ke Sandra, menggenggam tangannya lembut. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Mama, ya?” Sandra tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan canggung. “Terima kasih, Ma.” Meski berat hati, Irene akhirnya melepas mereka. Perjalanan menuju mansion diisi keheningan. Bram fokus menyetir, sementara Sandra menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Sesampainya di mansion, Bram turun lebih dulu tanpa menunggu Sandra. Ia menyerahkan kunci mobil pada pelayan, lalu masuk ke dalam tanpa berkata apa pun. Sandra menghela napas, melangkah menyusul. Tari mendekat begitu melihat Sandra melangkah masuk. Dia menarik senyum tipis, seolah menyapa. “Sudah pulang, Nyonya?” sapanya ramah. Sandra mengangguk kecil. “Baru saja sampai, Tar.” Tari melirik ke arah Bram yang sudah lebih dulu menghilang ke ruang kerjanya, lalu kembali menatap Sandra. “Mau saya buatkan makan malam, Nyonya?” Sandra tersenyum tipis, meski lelah jelas tergambar di wajahnya. “Tidak usah, Tar. Tadi sudah makan di rumah Mama.” Tari mengangguk patuh. “Baik, Nyonya. Kalau butuh apa-apa, silakan panggil saya.” “Terima kasih.” Sandra melangkah menuju kamar, menutup pintu perlahan. Begitu berada di dalam, ia menghela napas panjang. Ia duduk di tepi ranjang, kembali mengusap perutnya yang masih rata. Entah kenapa, dia merasa bahagia. Dia tidak pernah menyangka bahwa didalam perutnya, tumbuh nyawa lain disana. Setidaknya jika bukan pernikahannya, dia akan bertahan untuk anaknya. ————- Pagi itu, Sandra terbangun lebih awal. Cahaya matahari masih samar menyelinap di balik tirai. Udara dingin menyelimuti kamar, menyisakan keheningan yang menyesakkan. Dengan langkah pelan, ia menuju dapur. Tari yang sedang merapikan bahan masakan menoleh, wajahnya sedikit terkejut. “Nyonya? Kenapa tidak istirahat saja?” Sandra tersenyum tipis, menyembunyikan kelelahan yang terasa menumpuk. “Saya cuma ingin membantu menyiapkan sarapan. Sekalian menyiapkan kopi untuk Mas Bram.” Tari tampak ragu. “Maaf, Nyonya, tapi Tuan tidak Nyonya untuk menyentuh dapur. Saya tidak mau dipecat. Biar saya saja yang memasak, Nyonya.” Sandra diam sejenak. Ia tahu kekhawatiran Tari beralasan. Bram memang tak pernah suka jika ia ikut campur. Namun, ada sisi kecil dalam dirinya yang ingin melakukan sesuatu layaknya istri. “Baiklah, kalau begitu… Saya tidak akan menyentuh dapur, tapi, saya yang akan atur menunya. Bagaimana?” Tari terlihat lega. “Tentu, Nyonya bisa katakan masakan apa yang Nyonya inginkan.” Ia memilih menu sederhana—sayur bening bayam, tempe goreng, tahu, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan. Makanan hangat seperti yang biasa dibuat Ibunya. Di sela-sela itu, ia menyiapkan kopi untuk Bram. Tangannya gemetar halus, menakar bubuk kopi dengan hati-hati. Dia mulai terbiasa, mengingat apa yang disukai dan tidak disukai suaminya. Setelah semua siap, Sandra membawa secangkir kopi ke meja makan. Dia merapikannya, lalu dia naik ke lantai atas, untuk memberitahu suaminya. Jantungnya berdegup pelan saat ia berdiri di depan pintu kamar Bram. Saat hendak mengetuk, suara lirih terdengar dari celah pintu yang sedikit terbuka. “Ya, aku juga merindukanmu…” Langkah Sandra terhenti. Dada yang tadinya terasa sesak kini seperti diremas. Napasnya tertahan di tenggorokan. Siapa yang sedang suaminya telepon pagi-pagi begini? Sandra berdiri terpaku, perasaan asing menjalari hatinya. Ia ingin pergi, tapi kakinya seakan menancap di lantai. Pintu mendadak terbuka. Bram berdiri di ambang pintu, wajahnya dingin seperti biasa. “Ngapain di sini?” Sandra mengerjap, buru-buru menata ekspresi. Ia berusaha tersenyum meski suaranya nyaris bergetar. “Aku ingin memberitahu, sarapannya sudah siap, Mas.” Bram hanya menatapnya sekilas, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata. Sandra tetap berdiri di sana, memandangi punggung suaminya yang menjauh. Hatinya terasa kosong, tapi ia menelan semua perasaan itu dalam diam. Di rumah ini, tak akan ada cinta. Dia tidak akan pernah bisa membuat pria itu mencintainya, sampai kapan pun. Dia tak ambil pusing, lalu segera menyusul suaminya turun. Sarapan pagi itu berlangsung dalam keheningan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang sesekali terdengar. Sandra duduk di ujung meja, menikmati makanannya dalam diam. Bram di seberang, sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menyuap makanan. Tidak ada percakapan— seperti biasa. Tari berdiri di sudut ruangan, siap siaga jika ada yang dibutuhkan. Hampir selesai makan, Bram tiba-tiba membuka suara. “Tari… Tumben masakanmu seperti ini.” “Masakan saya kenapa, Tuan?” tanyanya dengan khawatir.” Suara datarnya terdengar tanpa maksud memuji, tapi cukup untuk membuat Tari terkejut. Bram melirik piringnya sekilas. “Sayur bening seperti ini… sudah lama sekali aku tidak makan. Mungkin terakhir, Oma yang buat.” Sandra menunduk, menekan perasaan hangat yang merayap di dadanya. Setidaknya, usahanya tidak sia-sia. Tari melirik ke arah Sandra, menunggu isyarat. Sandra buru-buru menggeleng halus, memberi kode agar Tari diam saja. Tari menelan ludah, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Tuan.” Bram tidak menanggapi lagi. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara Sandra hanya menatap piringnya, berusaha menahan senyum tipis. Sekalipun Bram tak tahu, ia tetap merasa puas. Setidaknya… ada sedikit jejak kehadirannya di hidup pria itu, meski dalam diam."Saya terima nikah dan kawinnya SandraAdriani binti Abdullah dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."Ruangan tempat para pria berkumpul hening sejenak.Lalu, seruan saksi menggema."Sah! Sah!"Di ruangan berbeda, Sandra meremas ujung kebayanya. Tangannya sedingin es,kakinya lemas, tapi dia tetap duduk dengan punggung lurus. Matanya terpejamsaat suara itu menusuk telinganya.Sah…Waktu tak bisa diputar kembali. Sekarang, dia telah menjadi seorang istri.“Nduk, ayo temui suamimu.”Suara Amina membuyarkan lamunannya. Sang ibu menggenggam tangannya erat, seolahmemberinya kekuatan. Dengan langkah gemetar, Sandra mengikuti langkah ibunyamenuju ruang utama, di mana suaminya menunggu.Begitu tiba, suasana mendadak terasa asing bagi Sandra. Semua mata tertujupadanya.Di sana, seorang pria berdiri dengan postur tegap, mengenakan setelan rapi,wajahnya tampan—tapi ekspresinya sulit ditebak.Itukah suaminya?“Sandra, ini Nak Bram, suamimu,” kata Amina dengan lembut.Sandra mengangkat waj
Perkataan Bram masih terngiang di kepala Sandra. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada yang dia kira. Jadi, selama ini, pernikahan ini tak berarti apa-apa baginya?Sandra menggeleng, menepis pikiran buruk yang mulai menguasai benaknya. Dia menatap sekeliling, menyadari betapa sunyinya rumah ini. Para asisten rumah tangga sibuk dengan tugas masing-masing, sementara suaminya tak ada. Hanya dia yang tak melakukan apa pun.Sandra bukan tipe yang betah berdiam diri. Bosan mulai merayapi dirinya. Entah dorongan dari mana, langkahnya membawanya ke depan pintu kamar Bram. Tatapannya tertuju pada gagang pintu. Apakah dia harus masuk?Dia ragu sejenak, tetapi begitu menyadari pintu tak dikunci, rasa penasaran menguasainya. Perlahan, Sandra mendorong pintu dan melangkah masuk.Ruangan itu didominasi warna gold dan silver, tampak elegan dan dingin. Tidak seperti kamarnya yang terang dan hangat, kamar ini terasa begitu asing.Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berhenti pada sebuah pigur
Malamitu, Sandra hanya bisa menatap kosong ke arah jendela, pikirannya sibukmengurai ucapan-ucapan dari suami barunya yang dingin itu. Iasudah tahu sejak awal bahwa pernikahan ini bukan berdasarkan cinta. Brammemaksanya menandatangani kontrak dengan ancaman, membuatnya terjebak dalam pernikahanini. Meski begitu, ia berusaha menerima. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa iabisa menjalani semuanya dengan baik.Namun,sikap Bram membuktikan bahwa semua usahanya sia-sia.Tatapandingin, ucapan tajam, seolah keberadaannya hanya gangguan. Setiap pertemuanhanya mengingatkannya bahwa ia tak lebih dari orang asing di rumah ini. Brak!TubuhSandra seketika menegang ketika tersadar, seseorang telah membuka pintu kamarnyadan memaksa masuk. "MasBram …" Sandramenelan ludah. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat sang suami berdiritepat di depan ranjangnya, deru napasnya memburu, dan wajahnya terlihat memerah.“Mas… kamu mabuk?” tanya Sandra pelan, dalam hati merasa khawatir jika
Sandra duduk di meja makan, menatap piring di depannya tanpa selera. Suasana pagi itu hening, tak ada satu kata pun yang keluar dari mereka. Hanya suara sendok yang sesekali berbenturan dengan piring.Sejak semalam, ia berharap ada perubahan di antara mereka. Harapan kecil bahwa hubungan ini bisa lebih baik meski tanpa cinta. Tapi ternyata, semuanya tetap sama. Dingin, seperti tak pernah ada yang berarti.Sandra menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. Ia tahu, pernikahan ini bukan tempatnya menggantungkan impian.Tiba-tiba, suara Bram memecah kesunyian.“Sore nanti, Mama ingin kamu datang ke rumah.”Sandra menoleh, sedikit terkejut. “Kenapa tiba-tiba, Mas?” tanyanya hati-hati.“Saya juga tidak tidak tau.”Tidak biasanya Mama Irene meminta kami datang. Aku menepis pikiran buruk, dan mulai menyuap makananku. “Saya jemput sepulang kerja, saya harap kamu sudah siap.”----- Senja mulai turun ketika Sandra selesai mematut diri di depan cermin. Penampilannya sederhana, hanya blus putih ber
Hari-hari di kediaman Irene terasa lambat bagi Sandra. Di rumah itu, Irene selalu memperlakukannya dengan hangat, seolah Sandra adalah bagian dari. Berbeda jauh dari Bram, yang menganggapnya orang asing. Di mata Irene, mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang menyesuaikan diri. Tapi hanya Sandra yang tahu, pernikahan ini hanyalah kesepakatan tanpa cinta.Pagi itu, Sandra membantu Irene di dapur. Tangannya sibuk mengaduk adonan, mencoba menepis resah yang terus menghantui.“San, kamu tidak perlu repot-repot begini,” ujar Irene lembut.Sandra tersenyum kecil. “Sandra senang membantu, Ma.”Irene tertawa pelan, matanya penuh kasih. “Kamu itu pengantin baru. Tugas kamu cuma satu, kasih Mama cucu yang lucu.”Hati Sandra mencelos. Sandra menelan ludah, menyembunyikan luka di balik senyum tipis.“InsyaAllah, Ma…”Irene hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya. Menjelang siang, Sandra memilih naik ke kamar. Kakinya melangkah pelan, menahan rasa mual yang mulai datang tanpa seb
Sandra duduk di ruang tamu, tangannya mengelus perut yang masih rata. Irene, yang duduk di seberangnya, tampak lebih perhatian sejak mengetahui kehamilannya. Wanita itu memastikan Sandra beristirahat cukup, makan teratur, dan tidak terlalu banyak bergerak. “Kalian jadi kembali?” tanya Irene sambil menuangkan teh ke cangkir Sandra. Sandra menunduk, ragu menjawab. Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Bram yang baru saja turun dari lantai atas lebih dulu menimpali. “Iya, Ma. Bram harus kembali bekerja.” Irene mengerutkan kening, meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sedikit keras. “Baru saja tinggal, sudah mau pergi. Setidaknya tinggal beberapa hari lagi.” Bram menarik napas pendek, jelas tidak sependapat. “Tidak bisa, Ma. Kita sudah terlalu lama di sini. Pekerjaan menumpuk banyak di kantor.” “Tapi istrimu sedang hamil, Bram. Siapa yang akan menjaganya di sana?” Nada suara Irene meninggi, sorot matanya tajam. “Apa kamu tega membiarkannya sendirian di mansion?” Sandra
Hari-hari di kediaman Irene terasa lambat bagi Sandra. Di rumah itu, Irene selalu memperlakukannya dengan hangat, seolah Sandra adalah bagian dari. Berbeda jauh dari Bram, yang menganggapnya orang asing. Di mata Irene, mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang menyesuaikan diri. Tapi hanya Sandra yang tahu, pernikahan ini hanyalah kesepakatan tanpa cinta.Pagi itu, Sandra membantu Irene di dapur. Tangannya sibuk mengaduk adonan, mencoba menepis resah yang terus menghantui.“San, kamu tidak perlu repot-repot begini,” ujar Irene lembut.Sandra tersenyum kecil. “Sandra senang membantu, Ma.”Irene tertawa pelan, matanya penuh kasih. “Kamu itu pengantin baru. Tugas kamu cuma satu, kasih Mama cucu yang lucu.”Hati Sandra mencelos. Sandra menelan ludah, menyembunyikan luka di balik senyum tipis.“InsyaAllah, Ma…”Irene hanya tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya. Menjelang siang, Sandra memilih naik ke kamar. Kakinya melangkah pelan, menahan rasa mual yang mulai datang tanpa seb
Sandra duduk di meja makan, menatap piring di depannya tanpa selera. Suasana pagi itu hening, tak ada satu kata pun yang keluar dari mereka. Hanya suara sendok yang sesekali berbenturan dengan piring.Sejak semalam, ia berharap ada perubahan di antara mereka. Harapan kecil bahwa hubungan ini bisa lebih baik meski tanpa cinta. Tapi ternyata, semuanya tetap sama. Dingin, seperti tak pernah ada yang berarti.Sandra menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. Ia tahu, pernikahan ini bukan tempatnya menggantungkan impian.Tiba-tiba, suara Bram memecah kesunyian.“Sore nanti, Mama ingin kamu datang ke rumah.”Sandra menoleh, sedikit terkejut. “Kenapa tiba-tiba, Mas?” tanyanya hati-hati.“Saya juga tidak tidak tau.”Tidak biasanya Mama Irene meminta kami datang. Aku menepis pikiran buruk, dan mulai menyuap makananku. “Saya jemput sepulang kerja, saya harap kamu sudah siap.”----- Senja mulai turun ketika Sandra selesai mematut diri di depan cermin. Penampilannya sederhana, hanya blus putih ber
Malamitu, Sandra hanya bisa menatap kosong ke arah jendela, pikirannya sibukmengurai ucapan-ucapan dari suami barunya yang dingin itu. Iasudah tahu sejak awal bahwa pernikahan ini bukan berdasarkan cinta. Brammemaksanya menandatangani kontrak dengan ancaman, membuatnya terjebak dalam pernikahanini. Meski begitu, ia berusaha menerima. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa iabisa menjalani semuanya dengan baik.Namun,sikap Bram membuktikan bahwa semua usahanya sia-sia.Tatapandingin, ucapan tajam, seolah keberadaannya hanya gangguan. Setiap pertemuanhanya mengingatkannya bahwa ia tak lebih dari orang asing di rumah ini. Brak!TubuhSandra seketika menegang ketika tersadar, seseorang telah membuka pintu kamarnyadan memaksa masuk. "MasBram …" Sandramenelan ludah. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat sang suami berdiritepat di depan ranjangnya, deru napasnya memburu, dan wajahnya terlihat memerah.“Mas… kamu mabuk?” tanya Sandra pelan, dalam hati merasa khawatir jika
Perkataan Bram masih terngiang di kepala Sandra. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada yang dia kira. Jadi, selama ini, pernikahan ini tak berarti apa-apa baginya?Sandra menggeleng, menepis pikiran buruk yang mulai menguasai benaknya. Dia menatap sekeliling, menyadari betapa sunyinya rumah ini. Para asisten rumah tangga sibuk dengan tugas masing-masing, sementara suaminya tak ada. Hanya dia yang tak melakukan apa pun.Sandra bukan tipe yang betah berdiam diri. Bosan mulai merayapi dirinya. Entah dorongan dari mana, langkahnya membawanya ke depan pintu kamar Bram. Tatapannya tertuju pada gagang pintu. Apakah dia harus masuk?Dia ragu sejenak, tetapi begitu menyadari pintu tak dikunci, rasa penasaran menguasainya. Perlahan, Sandra mendorong pintu dan melangkah masuk.Ruangan itu didominasi warna gold dan silver, tampak elegan dan dingin. Tidak seperti kamarnya yang terang dan hangat, kamar ini terasa begitu asing.Matanya menyapu seluruh ruangan, lalu berhenti pada sebuah pigur
"Saya terima nikah dan kawinnya SandraAdriani binti Abdullah dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."Ruangan tempat para pria berkumpul hening sejenak.Lalu, seruan saksi menggema."Sah! Sah!"Di ruangan berbeda, Sandra meremas ujung kebayanya. Tangannya sedingin es,kakinya lemas, tapi dia tetap duduk dengan punggung lurus. Matanya terpejamsaat suara itu menusuk telinganya.Sah…Waktu tak bisa diputar kembali. Sekarang, dia telah menjadi seorang istri.“Nduk, ayo temui suamimu.”Suara Amina membuyarkan lamunannya. Sang ibu menggenggam tangannya erat, seolahmemberinya kekuatan. Dengan langkah gemetar, Sandra mengikuti langkah ibunyamenuju ruang utama, di mana suaminya menunggu.Begitu tiba, suasana mendadak terasa asing bagi Sandra. Semua mata tertujupadanya.Di sana, seorang pria berdiri dengan postur tegap, mengenakan setelan rapi,wajahnya tampan—tapi ekspresinya sulit ditebak.Itukah suaminya?“Sandra, ini Nak Bram, suamimu,” kata Amina dengan lembut.Sandra mengangkat waj