Share

Bab 6 - Jejak Kehadiran

Author: Gumi Gula
last update Huling Na-update: 2025-03-06 22:30:43

Sandra duduk di ruang tamu, tangannya mengelus perut yang masih rata. Irene, yang duduk di seberangnya, tampak lebih perhatian sejak mengetahui kehamilannya. Wanita itu memastikan Sandra beristirahat cukup, makan teratur, dan tidak terlalu banyak bergerak.

“Kalian jadi kembali?” tanya Irene sambil menuangkan teh ke cangkir Sandra.

Sandra menunduk, ragu menjawab. Namun, sebelum ia sempat membuka suara, Bram yang baru saja turun dari lantai atas lebih dulu menimpali.

“Iya, Ma. Bram harus kembali bekerja.”

Irene mengerutkan kening, meletakkan cangkirnya di atas meja dengan sedikit keras. “Baru saja tinggal, sudah mau pergi. Setidaknya tinggal beberapa hari lagi.”

Bram menarik napas pendek, jelas tidak sependapat. “Tidak bisa, Ma. Kita sudah terlalu lama di sini. Pekerjaan menumpuk banyak di kantor.”

“Tapi istrimu sedang hamil, Bram. Siapa yang akan menjaganya di sana?” Nada suara Irene meninggi, sorot matanya tajam. “Apa kamu tega membiarkannya sendirian di mansion?”

Sandra menoleh, hatinya sedikit hangat oleh pembelaan Irene. Namun, ia tahu Bram bukan tipe yang bisa dibujuk.

“Ada pelayan di sana. Dia tidak akan kekurangan apa pun,” jawab Bram datar.

Irene mendengus pelan, seolah menahan geram. Ia menoleh ke Sandra, menggenggam tangannya lembut. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi Mama, ya?”

Sandra tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan canggung. “Terima kasih, Ma.”

Meski berat hati, Irene akhirnya melepas mereka. Perjalanan menuju mansion diisi keheningan. Bram fokus menyetir, sementara Sandra menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang.

Sesampainya di mansion, Bram turun lebih dulu tanpa menunggu Sandra. Ia menyerahkan kunci mobil pada pelayan, lalu masuk ke dalam tanpa berkata apa pun. Sandra menghela napas, melangkah menyusul.

Tari mendekat begitu melihat Sandra melangkah masuk. Dia menarik senyum tipis, seolah menyapa.

“Sudah pulang, Nyonya?” sapanya ramah.

Sandra mengangguk kecil. “Baru saja sampai, Tar.”

Tari melirik ke arah Bram yang sudah lebih dulu menghilang ke ruang kerjanya, lalu kembali menatap Sandra.

“Mau saya buatkan makan malam, Nyonya?”

Sandra tersenyum tipis, meski lelah jelas tergambar di wajahnya. “Tidak usah, Tar. Tadi sudah makan di rumah Mama.”

Tari mengangguk patuh. “Baik, Nyonya. Kalau butuh apa-apa, silakan panggil saya.”

“Terima kasih.”

Sandra melangkah menuju kamar, menutup pintu perlahan. Begitu berada di dalam, ia menghela napas panjang.

Ia duduk di tepi ranjang, kembali mengusap perutnya yang masih rata. Entah kenapa, dia merasa bahagia. Dia tidak pernah menyangka bahwa didalam perutnya, tumbuh nyawa lain disana. Setidaknya jika bukan pernikahannya, dia akan bertahan untuk anaknya.

————-

Pagi itu, Sandra terbangun lebih awal. Cahaya matahari masih samar menyelinap di balik tirai. Udara dingin menyelimuti kamar, menyisakan keheningan yang menyesakkan.

Dengan langkah pelan, ia menuju dapur. Tari yang sedang merapikan bahan masakan menoleh, wajahnya sedikit terkejut.

“Nyonya? Kenapa tidak istirahat saja?”

Sandra tersenyum tipis, menyembunyikan kelelahan yang terasa menumpuk. “Saya cuma ingin membantu menyiapkan sarapan. Sekalian menyiapkan kopi untuk Mas Bram.”

Tari tampak ragu. “Maaf, Nyonya, tapi Tuan tidak mengizinkan Nyonya untuk menyentuh dapur. Saya tidak mau dipecat. Biar saya saja yang memasak, Nyonya.”

Sandra diam sejenak. Ia tahu kekhawatiran Tari beralasan. Bram memang tak pernah suka jika ia ikut campur. Namun, ada sisi kecil dalam dirinya yang ingin melakukan sesuatu layaknya istri.

“Baiklah, kalau begitu… Saya tidak akan menyentuh dapur, tapi, saya yang akan atur menunya. Bagaimana?”

Tari terlihat lega. “Tentu, Nyonya bisa katakan masakan apa yang Nyonya inginkan.”

Ia memilih menu sederhana—sayur bening bayam, tempe goreng, tahu, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan. Makanan hangat seperti yang biasa dibuat Ibunya.

Di sela-sela itu, ia menyiapkan kopi untuk Bram. Tangannya gemetar halus, menakar bubuk kopi dengan hati-hati. Dia mulai terbiasa, mengingat apa yang disukai dan tidak disukai suaminya.

Setelah semua siap, Sandra membawa secangkir kopi ke meja makan. Dia merapikannya, lalu dia naik ke lantai atas, untuk memberitahu suaminya.

Jantungnya berdegup pelan saat ia berdiri di depan pintu kamar Bram. Saat hendak mengetuk, suara lirih terdengar dari celah pintu yang sedikit terbuka.

“Ya, aku juga merindukanmu…”

Langkah Sandra terhenti. Dada yang tadinya terasa sesak kini seperti diremas. Napasnya tertahan di tenggorokan.

Siapa yang sedang suaminya telepon pagi-pagi begini?

Sandra berdiri terpaku, perasaan asing menjalari hatinya. Ia ingin pergi, tapi kakinya seakan menancap di lantai.

Pintu mendadak terbuka. Bram berdiri di ambang pintu, wajahnya dingin seperti biasa.

“Ngapain di sini?”

Sandra mengerjap, buru-buru menata ekspresi. Ia berusaha tersenyum meski suaranya nyaris bergetar.

“Aku ingin memberitahu, sarapannya sudah siap, Mas.”

Bram hanya menatapnya sekilas, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata.

Sandra tetap berdiri di sana, memandangi punggung suaminya yang menjauh. Hatinya terasa kosong, tapi ia menelan semua perasaan itu dalam diam.

Di rumah ini, tak akan ada cinta. Dia tidak akan pernah bisa membuat pria itu mencintainya, sampai kapan pun. Dia tak ambil pusing, lalu segera menyusul suaminya turun.

Sarapan pagi itu berlangsung dalam keheningan. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang sesekali terdengar.

Sandra duduk di ujung meja, menikmati makanannya dalam diam. Bram di seberang, sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menyuap makanan. Tidak ada percakapan— seperti biasa.

Tari berdiri di sudut ruangan, siap siaga jika ada yang dibutuhkan.

Hampir selesai makan, Bram tiba-tiba membuka suara. “Tari… Tumben masakanmu seperti ini.”

“Masakan saya kenapa, Tuan?” tanyanya dengan khawatir.

Suara datarnya terdengar tanpa maksud memuji, tapi cukup untuk membuat Tari terkejut.

Bram melirik piringnya sekilas. “Sayur bening seperti ini… sudah lama sekali saya tidak makan. Mungkin terakhir, Oma yang buat.”

Sandra menunduk, menekan perasaan hangat yang merayap di dadanya. Setidaknya, usahanya tidak sia-sia.

Tari melirik ke arah Sandra, menunggu isyarat. Sandra buru-buru menggeleng halus, memberi kode agar Tari diam saja.

Tari menelan ludah, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih, Tuan.”

Bram tidak menanggapi lagi. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. Sementara Sandra hanya menatap piringnya, berusaha menahan senyum tipis. Sekalipun Bram tak tahu, ia tetap merasa puas.

Setidaknya… ada sedikit jejak kehadirannya di hidup pria itu, meski dalam diam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 7 - Aku Tetap Milikmu

    Malam semakin larut. Jarum jam sudah melewati angka sebelas, tapi Sandra masih duduk di ruang tamu, menunggu.Bram belum pulang.Ia melirik ke luar jendela, berharap ada suara mobil yang memasuki halaman mansion. Namun, yang ia dapatkan hanya kesunyian.Perutnya mulai terasa tidak nyaman. Ia mengusapnya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Rasa khawatir yang sempat ia redam sejak tadi sore kini perlahan menyusup ke dalam hatinya. Namun, ia tak bisa melakukan apa pun. Dia bahkan tidak memiliki nomor suaminya.Betapa menyedihkan.Sandra menghela napas panjang, mencoba berpikir positif. Mungkin Bram sedang sibuk dengan pekerjaan. Mungkin perjalanannya terhambat. Tapi, jika memang ada urusan penting, seharusnya ia diberi tahu, bukan?Langkah ringan terdengar dari arah tangga. Tari, yang baru saja turun, menatapnya dengan ragu sebelum akhirnya mendekat."Nyonya masih belum tidur?" tanyanya lembut.Sandra tersenyum tipis, menyembunyikan kegelisahan yang menggumpal di dadanya. "Aku me

    Huling Na-update : 2025-03-08
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 8 - Kedatangan Mama

    Sandra duduk gelisah di ruang tamu, tangannya saling meremas di pangkuannya. Sudah beberapa hari sejak Bram pergi, dan seperti biasa, ia tidak memberi kabar. Sandra sudah terbiasa diabaikan, sudah paham betul bahwa Bram tidak menganggapnya sebagai istri. Namun, meskipun Bram tidak peduli padanya, ia tetap peduli. Ia mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan bahwa mungkin Bram hanya sibuk. Tapi saat melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan malam, kegelisahannya semakin menjadi. Ia akhirnya mengambil ponselnya dan menghubungi Kelvin, asisten pribadi Bram. Setelah beberapa nada sambung, suara Kelvin terdengar, “Selamat sore, Bu Sandra. Ada yang bisa saya bantu?” Sandra menarik napas dalam sebelum menjawab dengan hati-hati. “Kelvin, aku ingin menanyakan sesuatu. Apa suamiku, masih bersamamu?” Kelvin terdiam sejenak sebelum menjawab, “Seharusnya Pak Bram sudah pulang pagi tadi, Bu. Kami tiba di bandara pagi ini, lalu saya berpisah dengan beliau karena ada urusan kantor. Saya kira

    Huling Na-update : 2025-03-10
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 9 - Ranjang Sama

    Sandra sudah berada di tempat tidur sejak setengah jam yang lalu, berpura-pura membaca novel yang bahkan tidak benar-benar ia pahami. Ia hanya ingin terlihat sibuk ketika Bram masuk.Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini memang bukan pertama kalinya mereka berbagi ranjang yang sama, tapi, entah kenapa dia tetap saja gugup saat tidur bersama. Bram keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian, hanya mengenakan celana tidur dengan rambut masih basah. Ia mengeringkan rambutnya sekilas dengan handuk sebelum melemparkannya ke kursi terdekat. Sandra menelan ludah tanpa sadar. Tidak peduli seberapa dingin dan tidak pedulinya Bram padanya, ia tidak bisa memungkiri bahwa pria itu sangat tampan.Dada bidangnya, garis rahangnya yang tegas, dan caranya berjalan dengan tenang namun penuh wibawa… semua itu membuat Sandra gugup. Ia berusaha kembali fokus pada novel di tangannya, tetapi huruf-huruf di halaman itu hanya terlihat seperti coretan tanpa makna.Bram menaikkan alis saat mel

    Huling Na-update : 2025-03-11
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 10 - Bersiap

    Bram merasa bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana. Miranti adalah orang yang keras kepala, tidak mungkin mudah diberikan pengertian.Ia mendesah pelan, menekan pelipisnya. Di satu sisi, ia tahu Miranti akan semakin menuntut jika ia menolak. Tapi di sisi lain, ia juga tidak bisa membiarkan Irene tau, semuanya akan kacau. Saat ia masih tenggelam dalam pikirannya, ketukan pelan terdengar di pintu ruangan kerjanya.Tok. Tok.Bram menoleh tepat ketika pintu terbuka, memperlihatkan sosok wanita yang masuk dengan langkah hati-hati.“Mas, aku membawakan kamu teh,” suara Sandra terdengar lembut saat ia membawa nampan ke dekat meja Bram.Bram menatapnya sekilas, lalu mengerutkan dahi. “Siapa yang meminta kamu membawakannya?” tanyanya ketus.Sandra sejenak terdiam, lalu menjawab pelan, “Mama Irene, Mas.”Bram menghela napas pendek, lalu lmenatap Sandra dengan ekspresi datar. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangkat garis bibirnya dengan sedikit senyuman.“Keluar,” ucap Bram dingin

    Huling Na-update : 2025-03-11
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 11 - Pegang Tanganku

    Sandra menuruni tangga dengan langkah anggun, ditemani Irene yang berjalan di sisinya dengan senyum penuh kepuasan. Gaun putih tulang yang membalut tubuhnya bergerak lembut mengikuti langkahnya, sementara rambutnya yang ditata dengan gelombang ringan berayun pelan. Di bawah, Bram sudah menunggu. Pria itu berdiri dengan tangan terselip di saku celananya, ekspresi wajahnya seperti biasa, datar dan sulit ditebak. Namun, begitu matanya menangkap sosok Sandra yang turun, sekejap sorotannya berubah. Hanya sedetik. Sebelum dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. Irene yang menyadari itu, tersenyum tipis. “Kamu tidak mau bilang sesuatu, Bram?” tanyanya santai. Bram menghela napas pelan. “Bilang apa, Ma?” Irene melirik Sandra sekilas, lalu kembali menatap putranya dengan tatapan penuh harap. “Paling tidak, katakan kalau menantu Mama ini terlihat cantik malam ini.” Sandra ikut menoleh ke Bram, berharap ada sedikit apresiasi dari pria itu. Namun yang dia dapatkan hanyalah tatapan sek

    Huling Na-update : 2025-03-11
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 12 - Tolong aku

    Di meja restoran, Sandra masih duduk diam, menatap piring makanannya yang hampir tak tersentuh. Suasana di sekelilingnya begitu ramai dengan suara gelak tawa dan percakapan tamu lain, namun ia sendiri justru tenggelam dalam kesunyian.Sesekali, pandangannya melirik ke arah tangga yang mengarah ke lantai atas. Sudah cukup lama Bram pergi, tapi belum juga kembali. Ia menggenggam garpu di tangannya, menunggu dalam diam.Setidaknya, ia ingin percaya bahwa Bram tidak akan terlalu lama. Bahwa setelah pertemuannya selesai, pria itu akan kembali duduk di hadapannya, seperti suami dan istri yang seharusnya.Namun, waktu terus berlalu.Piringnya sudah dingin, lilin-lilin kecil di mejanya mulai meredup, dan orang-orang di sekitarnya mulai bergantian datang dan pergi. Tapi Bram tetap tak kunjung muncul.Sandra menggigit bibirnya.Mungkin, ia seharusnya menelepon Bram? Tapi entah kenapa, ada rasa enggan untuk melakukannya. Ia tak ingin terdengar seperti istri yang terlalu bergantung atau menggangg

    Huling Na-update : 2025-03-13
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 13 - Berharap bertemu kembali

    Mata perempuan itu mengejap, tidak percaya, bagaimana dia mengenal suaminya? “Bagaimana mengenalnya?” “Tentu saja, karena kami berteman. Ah sebelumnya perkenalkan, namaku Joshua.” Sandra masih menatap Joshua dengan ragu. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa bisa dipercaya, tapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa langsung menerima begitu saja. “Teman Mas Bram?” Sandra mengulang kata-kata itu pelan. Joshua mengangguk. “Ya. Aku dan Bram sudah lama saling kenal.” Sandra mengerutkan kening. “Tapi… aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya.” Joshua tersenyum tipis. “Itu wajar. Aku memang baru pulang dari Belanda” Ia menyesuaikan posisi duduknya, lalu menambahkan, “Mungkin karena itu kau tidak pernah melihatku.” Sandra masih menatapnya dengan penuh pertimbangan. Napasnya lebih tenang sekarang, meskipun sisa ketakutan masih mengendap di dadanya. “Jadi, kau yang bernama Sandra? Aku tidak percaya aku bertemu denganmu sekarang. Selamat atas pernikah

    Huling Na-update : 2025-03-14
  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 14 - Perasaan bersalah

    Bram duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Udara di kamar terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Ia benar-benar lupa. Dia terlalu fokus bersama Mira, hingga dia tidak sadar, datang membawa wanita itu bersamanya. Sial. Bram mengepalkan jemarinya, rahangnya mengeras. Ia tidak berniat meninggalkan Sandra, tapi sejak bertemu Mira tadi, dia tak mengingat wanita itu. Percakapan mereka berlarut-larut tanpa ia sadari. Waktu terus berjalan, dan ia bahkan tidak terlintas sedikit pun untuk memastikan Sandra baik-baik saja. Baru sekarang, setelah wanita itu kembali ke rumah dengan wajah lelah dan pucat, ia menyadari betapa cerobohnya ia. Terbesit rasa bersalah. Anggaplah dia memang sedikit keterlaluan, tapi bukan sepenuhnya salah Bram. Bram tetap berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Ia mencoba mengabaikan pikirannya sendiri, tapi bayangan Sandra yang kelelahan tak bisa diusir begitu saja. Bagaimana jika

    Huling Na-update : 2025-03-15

Pinakabagong kabanata

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 21 - Rasa marah

    Pintu apartemen terbuka dengan kasar. Mira masuk tanpa melepas sepatu, melempar tasnya ke sofa dengan gerakan penuh emosi. Nafasnya masih berat, dadanya naik-turun menahan kemarahan yang seolah siap meledak kapan saja.Brak!Tanpa pikir panjang, ia menyapu bersih semua barang di meja riasnya. Botol parfum pecah, bedak berhamburan, perhiasan berjatuhan ke lantai. Cermin hampir jatuh, tapi Mira tidak peduli.Sialan Irene!Suara pintu apartemen terbuka, disusul suara langkah santai yang familiar.Aro berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja satin dengan motif mencolok, alisnya terangkat melihat kekacauan di ruangan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, ekspresinya antara bosan dan terhibur.“Aku baru pergi beberapa jam, dan apartemen ini sudah jadi kapal pecah.” Aro berjalan masuk dengan anggun, matanya menyapu lantai sebelum akhirnya menatap Mira dengan senyum tipis. “Jangan bilang Irene yang membuatmu begini? Apa dia meludahimu sampai kamu semarah ini?”Mira tidak menjawab, hany

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 20 - Peringatan

    Setelah beberapa hari menjalani perawatan, akhirnya dokter mengizinkan Irene pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik, meskipun tubuhnya masih sedikit lelah.Sandra datang menjemputnya. Tidak ada pembicaraan berarti saat mereka berjalan menuju mobil, hanya sapaan singkat dari perawat yang mengantar mereka sampai di lobi.Begitu duduk di dalam mobil, Irene melirik Sandra sekilas. “Kenapa kamu yang jemput?”Sandra tetap menatap ke depan, menyalakan mesin mobil sebelum menjawab, “Kebetulan Sandra sedang senggang, jadi bisa jemput Mama.”Irene mendengus pelan, matanya menyipit. “Bram kemana?”“Mas Bram sedikit sibuk belakangan ini. Sandra tidak enak mau mengganggu, jadi Sandra lebih baik datang sendirian, Ma.”Irene terdiam. Apa yang Sandra katakan tak membuatnya terkejut, dia malah sudah menduga cepat lambat pasti terjadi. Jadi seperti ini sekarang? Bahkan untuk sekadar menjemput dirinya boleh pulang, Bram pun tidak peduli. Perjalanan menuju mansion terasa panjang dalam kesunyian. Iren

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 19 - Tinggal disisiku

    Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi detak jarum jam dan suara alat medis yang berdenyut pelan. Aroma khas rumah sakit masih tercium, bercampur dengan udara dingin yang keluar dari pendingin ruangan.Sandra berdiri di depan pintu kamar rawat VIP, menatap gagangnya dengan perasaan bercampur aduk. Tangannya masih sedikit gemetar, bekas cengkeraman Bram masih terasa perih. Namun, bukan itu yang membuatnya ragu untuk masuk.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, lalu mengetuk pintu dengan lembut.“Masuk.”Suara itu terdengar lebih tegas dari yang ia bayangkan. Tidak terdengar lemah, bahkan masih membawa kesan berwibawa.Sandra mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk. Irene, Ibu mertuanya duduk di ranjang rumah sakit dengan punggung bersandar pada bantal. Meski wajahnya sedikit pucat, ia masih tampak menawan—rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, dan matanya yang tajam menatap Sandra dengan ekspresi sulit ditebak.“Selamat malam, Ma,” Sandra menyapa dengan su

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 18 - Jalang murahan

    Langit sore mulai meredup. Angin berembus lembut, membawa aroma khas rumah sakit yang samar-samar bercampur dengan wangi rumput basah.Di bangku taman rumah sakit, Sandra duduk dengan tubuh sedikit membungkuk. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, bahunya naik turun pelan. Sesekali, ia menarik napas dalam, seolah berusaha menenangkan diri. Namun, matanya tetap sembab. Pipinya masih basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.Ia menyeka wajahnya dengan telapak tangan, lalu mengembuskan napas berat. Ia sudah berusaha menahan tangis, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata untuk diabaikan.Tiba-tiba, selembar sapu tangan putih terulur ke arahnya.Sandra menoleh pelan. Seorang pria berdiri di sampingnya, mengenakan jas putih khas dokter. Tubuhnya tinggi tegap, dan sorot matanya hangat.“Saya boleh duduk?” tanyanya dengan suara tenang, sambil melirik bangku kosong di sebelah Sandra.Sandra terdiam sejenak sebelum akhirnya bergeser sedikit, memberikan ruang. “Silakan

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 17 - Bukan Pilihan

    Ruangan rumah sakit terasa sunyi. Suara detak mesin pemantau jantung terdengar pelan, berpadu dengan aroma antiseptik yang memenuhi udara. Irene perlahan membuka matanya, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemas.Bram yang sejak tadi duduk di kursi di samping tempat tidur langsung menegakkan punggungnya begitu melihat Irene sadar. Matanya menatap ibunya tanpa ekspresi yang jelas.“Ma…” suaranya dalam, tapi terdengar lega.Irene mengedarkan pandangannya ke sekitar sebelum menatap Bram dengan mata yang masih sedikit sayu. “Di mana ini?”“Rumah sakit,” jawab Bram singkat. “Mama pingsan tadi.”Irene mengembuskan napas perlahan, lalu melirik ke arah infus yang tertanam di punggung tangannya. “Hanya kecapekan,” gumamnya. “Seharusnya tidak perlu dibawa ke sini.”Bram menggeleng pelan. “Jangan keras kepala, Ma. Mama harus istirahat.”Irene tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat lelah. “Kamu berani bilang begitu ke Mama?” Tatapannya menajam. “Padahal kamu sendiri keras kepa

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 16 - Tidak pernah mencintainya

    Bram sudah rapi, mengenakan kemeja hitam yang tertata sempurna di tubuhnya. Lengan bajunya tergulung hingga siku, jam tangan berkilat di pergelangan tangannya. Ia berjalan menuruni tangga dengan langkah mantap, siap pergi. Namun, begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Irene berdiri di sana, tangan bersedekap, menatapnya dengan dingin. “Jadi, mau ke mana?” suara Irene terdengar tajam, matanya menyipit penuh selidik. Bram tetap tenang. “Ada sedikit urusan masalah pekerjaan, Ma.” Irene tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam suaranya. Ia menghela napas, menatap putranya seakan heran. “Kerja?” ulangnya, seolah mengejek. “Di saat jadwal kamu kosong, kamu masih bisa mengatakan mengenai pekerjaan? Mustahil Bram.” Bram menegang. Matanya menatap ibunya dengan hati-hati. Perasaannya mengatakan Irene seakan tahu sesuatu. Irene menggeleng pelan, seolah tidak habis pikir. “Mau ngapain? Mau bakti sosial?” ejeknya. Hening. Bram mencoba tetap tenang. “Mama bilang apa? Bram s

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 15 - Perhatian kecil

    Malam turun dengan sunyi, menyelimuti rumah dengan hawa dingin yang lebih menusuk dari biasanya.Bram baru saja masuk ke kamar setelah menyelesaikan beberapa urusan di kantor. Kali ini, ia pulang lebih awal—entah karena lelah atau karena alasan lain yang tidak ingin ia akui.Seperti biasa, laptopnya menyala di atas pangkuan. Jemarinya bergerak di atas keyboard, mengetik beberapa dokumen yang harus ia selesaikan. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya terfokus.Dari sudut matanya, ia melihat Sandra.Wanita itu sudah bersiap untuk tidur, mengenakan pakaian tidurnya, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi. Tanpa sepatah kata pun, Sandra naik ke ranjang dan menarik selimut, membelakanginya.Bram mengabaikan. Atau setidaknya, mencoba mengabaikan.Gengsinya terlalu besar untuk membuka pembicaraan lebih dulu. Jika Sandra memilih diam, maka ia juga akan diam.Namun, ketenangan kamar itu tak bertahan lama.Tiba-tiba, Sandra bangkit dari tempat tidur dengan tergesa, tangannya menekan perut.Br

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 14 - Perasaan bersalah

    Bram duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Udara di kamar terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Ia benar-benar lupa. Dia terlalu fokus bersama Mira, hingga dia tidak sadar, datang membawa wanita itu bersamanya. Sial. Bram mengepalkan jemarinya, rahangnya mengeras. Ia tidak berniat meninggalkan Sandra, tapi sejak bertemu Mira tadi, dia tak mengingat wanita itu. Percakapan mereka berlarut-larut tanpa ia sadari. Waktu terus berjalan, dan ia bahkan tidak terlintas sedikit pun untuk memastikan Sandra baik-baik saja. Baru sekarang, setelah wanita itu kembali ke rumah dengan wajah lelah dan pucat, ia menyadari betapa cerobohnya ia. Terbesit rasa bersalah. Anggaplah dia memang sedikit keterlaluan, tapi bukan sepenuhnya salah Bram. Bram tetap berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Ia mencoba mengabaikan pikirannya sendiri, tapi bayangan Sandra yang kelelahan tak bisa diusir begitu saja. Bagaimana jika

  • Sebatas Istri Kontrak yang Tak Diinginkan   Bab 13 - Berharap bertemu kembali

    Mata perempuan itu mengejap, tidak percaya, bagaimana dia mengenal suaminya? “Bagaimana mengenalnya?” “Tentu saja, karena kami berteman. Ah sebelumnya perkenalkan, namaku Joshua.” Sandra masih menatap Joshua dengan ragu. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merasa bisa dipercaya, tapi di saat yang sama, ia juga tidak bisa langsung menerima begitu saja. “Teman Mas Bram?” Sandra mengulang kata-kata itu pelan. Joshua mengangguk. “Ya. Aku dan Bram sudah lama saling kenal.” Sandra mengerutkan kening. “Tapi… aku belum pernah bertemu denganmu sebelumnya.” Joshua tersenyum tipis. “Itu wajar. Aku memang baru pulang dari Belanda” Ia menyesuaikan posisi duduknya, lalu menambahkan, “Mungkin karena itu kau tidak pernah melihatku.” Sandra masih menatapnya dengan penuh pertimbangan. Napasnya lebih tenang sekarang, meskipun sisa ketakutan masih mengendap di dadanya. “Jadi, kau yang bernama Sandra? Aku tidak percaya aku bertemu denganmu sekarang. Selamat atas pernikah

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status