Satu bulan telah berlalu, selama itu pula Aisa terus mengajak Alan untuk berjalan-jalan keluar rumah. Berinteraksi langsung dengan masyarakat sekitar.Alan mulai perlahan bisa merasakan perubahan dalam dirinya. Rasa takut yang sejak dulu membelenggunya, sedikit demi sedikit mulai bisa diatasinya, meskipun dirinya belum bisa berinteraksi langsung dengan lawan jenisnya. Tapi, Alan mulai menghilangkan kebiasaannya yang keluar rumah dengan memakai sarung tangan.Merlin begitu bahagia dengan perubahan anaknya, tapi dia juga masih merasa cemas, jika itu hanya bersifat sementara saja. Dia takut, kalau Alan akan kembali seperti dulu lagi saat Aisa pergi meninggalkannya.“Apa yang sedang Mama pikirkan? Apa Mama tidak senang melihat perubahan dalam diri Alan?” tanya Alan sambil mengernyitkan dahinya saat melihat wajah murung wanita yang sudah melahirkan nya ke dunia ini.Merlin menggelengkan kepalanya. “Mama sangat bahagia, Sayang. Mama bersyukur kamu sudah mulai bisa mengatasi ketakutan kamu i
“Jadi benar dugaan aku. Aisa melakukan semua ini hanya untuk segera terbebas dari perjanjian yang telah disepakatinya dengan Mama. Tapi, aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku tidak akan pernah melepaskan kamu Aisa. Kamu harus bertanggung jawab dengan apa yang telah terjadi padaku akhir-akhir ini,” ucap Alan pelan, karena tak ingin sampai Aisa mendengar apa yang dirinya ucapkan tadi.Setelah lebih dari 3 bulan hidup bersama dengan Aisa, Alan mulai merasakan sesuatu yang belum bisa dipahaminya secara nalar. Detak jantung yang selalu berdegup dengan kencang saat sedang bersama dengan Aisa.Bahkan dia juga merasa rindu saat tidak melihat wajah cantik Aisa, tatapan yang sangat meneduhkan hatinya, menenangkan pikirannya. Membuatnya ingin segera sembuh dari trauma masa lalunya karena dia ingin membuka lembaran yang baru dengan Aisa.Alan berdehem, sehingga membuat Aisa membalikkan tubuhnya dan menatapnya. Dia lalu melangkah mendekati Aisa.“Sekarang, apa yang harus aku lakukan agar aku
Aisa saat ini sedang berada di dalam kamar. Sudah berbulan-bulan dirinya tidak pernah pulang ke kampung halamannya, membuatnya semakin merindukan keluarganya yang ada di kampung.“Aku ingin pulang. Aku ingin bertemu dengan keluargaku. Tapi, apa Mama dan Alan akan mengizinkan aku untuk pulang kampung?”Aisa menatap wajahnya dari balik cermin riasnya. “Apa yang akan aku katakan jika Alan bertanya tentang keluargaku dan ingin mengenal keluargaku? Padahal keluargaku tidak tahu tentang pernikahan ku dengannya.”Aisa juga tidak mungkin memberitahu keluarganya tentang dirinya yang sudah menikah dengan Alan. Kalau dirinya sampai memberitahu keluarganya tentang pernikahannya, dia yakin keluarganya akan kecewa padanya.Alan yang sudah selesai mandi, keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang dikalungkan di lehernya.Alan mengernyitkan dahinya saat melihat wajah murung Aisa. “Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa kamu sedang ada masalah?” tanyanya saat sudah berd
“Karena keluarga aku tidak tahu kalau aku sudah menikah,” potong Aisa.“Kenapa?” Alan mencoba untuk mengorek informasi dari Aisa. Dia ingin Aisa mengatakan yang sebenarnya.“Karena saat kita menikah, Ayah aku sedang sakit. Beliau juga tidak mungkin bisa datang ke Jakarta.” Aisa berharap Alan akan percaya dengan apa yang dikatakannya.“Sudah-sudah, sekarang yang terpenting adalah kamu temani Aisa untuk menemui keluarganya,” ucap Merlin mencoba untuk melerai perdebatan Aisa dan Alan.Kedua mata Aisa membulat dengan sempurna. “Tapi, Ma!” protesnya.Aisa tak mungkin mengajak Alan pulang ke kampung halamannya, karena keluarganya tidak tahu tentang siapa Alan sebenarnya. Bagaimana kalau nanti Alan membongkar semuanya di depan keluarganya? Itu yang Aisa takutkan.“Ok. Alan akan menemani Aisa untuk bertemu dengan keluarganya,” ucap Alan sambil menatap Aisa tajam.‘Aku ingin tau. Apa dia akan mengenalkan aku sebagai suaminya kepada keluarganya?’ gumam Alan dalam hati.“Ma. Aisa bisa pulang sen
Alan dan Aisa sudah bersiap-siap untuk pergi ke Semarang—kampung halaman Aisa, tentu saja untuk menemui keluarga Aisa.Aisa dan Alan mencium punggung tangan Merlin sebelum mereka pergi, karena bagaimanapun mereka juga harus berpamitan dengan Merlin.“Kami berangkat dulu, Ma,” ucap mereka secara bersamaan.Merlin menganggukkan kepalanya. Sebenarnya dirinya berat membiarkan Aisa dan Alan pergi, tapi dia juga tak ingin membuat Aisa semakin sedih karena merindukan keluarganya.“Hati-hati ya, Sayang. Salam untuk keluarga kamu dari Mama. Suatu saat nanti Mama juga ingin bertemu dengan keluargamu, karena bagaimanapun kamu sekarang adalah bagian dari keluarga Mama,” ucap Merlin dan ditanggapi anggukkan kepala oleh Aisa.Aisa juga tak mungkin mengatakan kalau mama mertuanya tidak perlu menemui keluarganya, karena bagaimanapun pernikahannya dengan Alan akan berakhir setelah Alan sembuh.“Kami berangkat dulu, Ma,” ucap Alan lagi.Setelah mendapat anggukkan kepala dari Merlin, mereka lalu melangk
“Aku memang setuju, tapi aku juga bisa berubah pikiran kan?”“Terserah kamu! tapi, aku juga tidak akan menyerah untuk bisa membuat kamu sembuh sepenuhnya.” Aisa tak akan menyerah sebelum Alan benar-benar sembuh, karena dia juga berharap Alan bisa hidup seperti orang-orang tanpa perlu takut berinteraksi dengan orang lain.Aisa percaya, kalau sebenarnya Alan pria yang baik. Tapi dia juga tak bisa berharap banyak dengan pernikahannya, karena dirinya merasa tak pantas untuk Alan. Apalagi keluarganya berasal dari keluarga yang tidak mampu, sangat berbanding terbalik dengan keluarga Alan yang kaya raya.Setelah menempuh perjalanan berjam-jam, akhirnya Aisa dan Alan sampai di desa Krobokan, Semarang Selatan. Kampung halaman Aisa.“Dimana rumah kamu?” tanya Alan sambil memperlambat laju mobilnya.“Setelah tikungan, kamu belok kiri.”“Kamu tidak lupa dengan apa yang aku katakan tadi pagi kan?” tanya Aisa memastikan kalau Alan tak akan ingkar janji.“Ya, kamu tenang saja. Aku tidak akan bicara
Kedua orang tua Aisa sangat senang saat melihat kedatangan putri yang sangat mereka rindukan. Mereka saling memeluk satu sama lain untuk meluapkan rasa rindu mereka.Aisa duduk berjongkok di depan kursi roda ayahnya. Dia merasa bersalah kepada ayahnya, karena dirinya tidak tau kalau ternyata ayahnya mengalami kelumpuhan. Padahal waktu itu dokter mengatakan kalau operasi berjalan dengan lancar.“Ayah, maafkan Aisa. Aisa tidak tau kalau Ayah...”Arya tersenyum sambil mengusap lembut pipi putrinya, melihat kedua mata Aisa yang berkaca-kaca membuatnya ikut sedih. Inilah yang dirinya takutkan kalau dirinya memberitahu Aisa tentang keadaan dirinya yang sebenarnya.Arya tidak ingin melihat putrinya bersedih seperti sekarang ini. Tapi sekarang putrinya sudah tahu tentang kondisi kedua kakinya, sehingga dirinya sudah tak bisa menutupinya lagi.“Kenapa kamu harus minta maaf sama Ayah? Justru Ayah yang seharusnya minta maaf sama kamu, karena gara-gara Ayah, kamu harus bekerja keras di Jakarta un
Aisa menganggukkan kepalanya, karena dirinya tidak mungkin menemani Alan tidur di kamar itu. Bisa-bisa kedua orang tuanya akan curiga dan banyak bertanya padanya.Aisa belum siap menceritakan semuanya kepada kedua orang tuanya. Dia juga belum siap melihat kekecewaan di wajah kedua orang tuanya tentang keputusan yang sudah diambilnya tanpa memberitahu kedua orang tuanya.“Kita tidak bisa tidur dalam satu kamar. Apa kamu lupa kalau kita sekarang ada di rumahku? Sekarang kamu bukan suami aku, melainkan anak dari majikan aku.”“No! I don’t agree!” tolak Alan.“Jangan bicara pakai bahasa yang tidak mudah aku pahami.” Aisa memang tidak paham Bahasa Inggris, karena waktu sekolah nilah Bahasa Inggrisnya sangat jelek.“Aku tidak setuju. Aku tidak mau tidur di kamar ini sendirian. Selain itu, aku juga tidak yakin akan bisa tidur dengan nyenyak nantinya,” tolak Alan yang jelas-jelas tidak merasa nyaman tidur di kamar itu. Bahkan di kamar itu rasanya sangat panas, tidak ada pendingin udara di kam