Ketika matahari mulai bergerak turun dan perlahan berjalan meninggalkan langit yang terang. Alvan duduk seorang diri di salah satu bangku toko tempatnya bekerja, sambil menatap semburat warna jingga yang memenuhi langit.
Waktu jam kerjanya sudah berakhir dan dari jarum jam yang tertera di jam tangannya, ia tahu, wanita yang sedang ditunggunya itu akan segera tiba. Namun apakah ini sudah merupakan keputusan finalnya? Apakah ia tidak akan mencoba mengubahnya pemikirannya lagi?
Dalam kebimbangan yang tiada akhir, Alvan mengusapkan jarinya pada layar ponsel dan membiarkan potret keluarganya membantu dirinya menyelesaikan pergumulan hatinya yang terasa melampaui berat. Namun bukannya merasa lebih tercerahkan, Alvan justru makin dibuat kalut oleh pikiran-pikirannya dan sekarang ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Di tengah pikiran yang sudah terlanjur goyah itu, wanita tersebut hadir dan duduk di hadapannya dengan senyum lebar. "Kau sudah selesai bekerja?"
Harusnya dia datang lima belas menit atau sepuluh menit lebih cepat, di saat ia kehilangan akalnya untuk sesaat. Dengan begitu ia dapat berani dan nekat mengambil keputusan 'gila' yang tak akan diambil oleh sisi dirinya yang 'waras'. Namun karena dia datang terlambat dan pikiran 'sehat'nya berhasil mengolah kondisi ini dengan baik, ia merasa memiliki seribu alasan untuk kembali mundur dan menolak tawaran wanita tersebut.
"Ya." jawabnya dengan suara muram yang menginterpretasikan seberapa besar keraguan yang mulai mempengaruhi dirinya.
"Meskipun aku sudah tahu kau akan menghubungiku suatu hari, aku tetap terkejut." Elsie terkekeh dan melemparkan senyum bangga. "Kau sudah memutuskan hal yang benar."
Entahlah. Apakah ia sudah melakukan keputusan yang benar atau yang benar-benar salah? Ia tak mengerti.
Dari dalam tasnya, wanita itu mengeluarkan beberapa lembar kertas —yang dipenuhi oleh tulisan dan hanya menyisakan sedikit ruang dibagian bawah yang digunakan untuk merekatkan meterai— lalu menaruhnya di antara mereka.
Tanpa perlu membacanya benar-benar, Alvan sudah tahu —kurang lebih— apa yang tertera di kertas itu, yang antara lain adalah kontrak hubungan mereka yang panjang dan penuh syarat. Apakah ia kecewa? Tidak. Perlu digaris bawahi, sejak awal Alvan tidak mengharapkan banyak hal muluk-muluk mengenai hubungan ini. Kenapa? Karena yang mendatangi dan mendatanginya adalah wanita dengan beraksesoris mahal, yang jelas-jelas tak cocok dengan konsep rumah makan ini dan juga dengan dirinya. Untuk apa seorang wanita kaya, pintar dan cantik, menginginkannya menjadi suaminya, jika bukan karena semua syarat dan tuntutan yang tertulis di kertas perjanjian ini.
Ini tidak lebih dari hanya sekedar hubungan simbiosis mutualisme.
Jadi dengan wajah datar, dagunya yang tajam menunjuk lembar perjanjian tersebut. "Haruskah aku menandatanganinya, agar kita dapat mengesahkan perjanjian ini?"
"Tidak. Tidak perlu." Setelah meletakkan kertas itu di depannya, kini Elsie menggeser benda tersebut ke samping meja dan menyodorkan uluran tangan sebagai gantinya. "Walaupun awalnya aku ingin menggunakan surat tertulis itu untuk membuat janji kita, tapi di perjalan aku berubah pikiran. Alih-alih mencurigai komitmen kita satu sama lain, aku ingin mengawali hubungan ini dengan kepercayaan. Bagaimana jika kita saling mengucapkan janji kesetiaan kita sambil berjabat tangan? Kudengar semua pasangan lain melakukan hal serupa di pernikahan."
Seharusnya bergandengan tangan, bukan berjabat tangan. Alvan mencoba meluruskannya dalam hati.
Sedari awal hubungan ini sudah dimulai dengan sesuatu yang aneh dan salah.
Dengan permulaan yang kelam ini, akan jadi seperti apa masa depan mereka? Mungkin akan menjadi sangat suram, atau menjadi lebih dari sekedar suram. Entahlah, ia tak tahu.
"Kenapa diam saja? Tanganku sudah pegal menunggu." keluh Elsie padanya yang terdiam mematung.
Alvan terperanjat dan —dengan laju yang perlahan tapi pasti— ia menyambut uluran tangan itu.
"Aku yang akan memulai perjanjian ini." Tanpa menunggunya menyetujui usulan tersebut, Elsie segera memulai janjinya tanpa ragu, "Seperti yang kujanjikan, aku akan membiayaimu."
Berhenti.
"Aku akan menikahimu." Sahut Alvan untuk melengkapi poin pertama perjanjian pernikahan mereka.
Lalu Fio melanjutkan perjanjiannya yang lain. "Aku akan membantu perekonomian keluargamu."
Ia harus berhenti.
Alvan menarik napas dalam-dalam, lalu menyebutkan ikrarnya yang lain. "Aku akan membantumu mendapatkan warisan kakekmu."
"Aku akan bertanggung jawab untuk pendidikan adikmu."
Sesuatu di dalam hatinya menggedor pintu akalnya dan berusaha untuk menyadarkannya.
"Aku akan bertanggung jawab atas diriku sendiri dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak mencoreng ataupun memburukkan namamu." Ia tetap melanjutkan perjanjian ini meskipun perasaan ragu menggelisahkan dirinya.
"Aku akan memprioritaskan keluargamu."
"Aku akan memprioritaskan kepentinganmu dan perusahaanmu."
"Aku akan setia padamu."
Berhenti! Berhenti! Berhenti!
Namun sekeras apa hatinya berteriak, Alvan sudah memutuskan untuk menutup hati nuraninya dan akal sehatnya. Ini semua demi keluarganya. Ini demi dirinya dan kehidupannya.
"Aku akan setia padamu."
'Penyesalan. Dirinya di masa depan pasti akan menyesal!' ujar hatinya yang terdengar sangat kecewa pada keputusannya yang gegabah.
Namun sebuah pertanyaan lain menguatkan dirinya, 'Dengan dia menolak, apakah ia juga akan terhindar dari sebuah perasaan penyesalan?'
Jika pada akhirnya dia akan menyesal juga, lantas ia harus mengambil jalur yang akan lebih memberinya keuntungan, dan inilah pilihan itu.
"Terakhir." Kali ini genggamannya lebih erat dari sebelumnya dan Elsie memberikan sorot mata penekanan yang membuat perjanjian ini lebih unggul dibandingkan perjanjian lainnya. Perjanjian yang diambil wanita itu pada dirinya sendiri dengan sepenuh hati, "Aku, aku tidak akan satu kali pun mencintaimu."
Setelah ia melewati apa yang disebut 'penyesalan' itu, kini ia tahu apa pentingnya mendengar suara hati. Selagi menelan air ludahnya, diam-diam Alvan menyesali keputusannya yang sudah ia ambil satu detik yang lalu. Andai saja ia merasa goyah dan menghentikan kegilaannya ...! Namun bagaimana lagi, semua sudah terjadi dan tak ada jalan baginya untuk mundur.
Kini kisah cinta 'tiada harapan' akan segera dimulai. Hanya saja, membayangkan jalan berduri yang akan dilewatinya membuat dirinya gemetar. Bahkan dengan tangan yang masih menjabat tangan wanita itu, ia bisa merasakan kerapuhan dari perjanjian yang sudah diikrarkan mereka. Sekarang ia bukan lagi bertanya dalam hati, 'apakah hubungan ini akan hancur?', melainkan ia bertanya 'kapan hubungan ini akan hancur' seolah ia sudah merasa yakin bahwa aliansi berselubung pernikahan ini akan hancur dalam sekejap. Entah kehancuran ini akan berwujud perpisahan di persidangan atau menjadi sebuah pernikahan abadi tanpa cinta.
Apapun itu, ia sudah terlanjur menginjakkan kakinya ke dalam kehidupan mempelai wanita gila ini, dan tidak ada lagi yang dapat dilakukan sang mempelai pria selain menjalani perjanjian ini, selagi menunggu kapan 'akhir' dari hubungan itu akan diputuskan. Lagipula mereka sangat cocok, karena kedua mempelai itu sama-sama gila.
...****************...
Baru berselang semalam semenjak kakeknya meninggal, kini semua orang terus mempertanyakan siapa penerus perusahaan kakeknya. Tentu hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan, mengingat perusahaan kakeknya merupakan perusahaan grup besar yang menguasai berbagai bidang. Namun perlukah mereka seheboh itu mempeributkan mengenai siapa pewarisnya, ketika dihadapan mereka sudah berdiri seorang kandidat yang kuat?Jujur saja, apa yang masih kurang darinya? Ia seorang wanita cantik, kompeten, perusahaan kakeknya selalu mendapatkan keuntungan semenjak ia memegang jabatan sebagai direktur, dan yang tak kalah penting, ia adalah satu-satunya keluarga sedarah kakeknya."Semuanya karena wasiat sialan itu!" umpatnya ketika tak kuasa menahan dirinya. Elsie melihat pantulan dirinya di kaca dan menepis tangan orang yang mendandaninya, "Cukup. Riasan yang tebal hanya akan membuat mereka memiliki bahan untuk bergosip. Aku akan menggunakan riasan sederhana saja. Setidaknya aku harus tampak berkab
"Selesai." gumam Alvan puas, selagi ia menumpuk pekerjaan terakhirnya di ujung meja.Sejenak ia merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku, lalu menatap tugas hariannya yang menyerupai Gunung Everest, yang semakin menjulang tinggi seiring berjalannya waktu.'Haruskah ia mengundurkan diri saja? Ini bukan pekerjaan, melainkan perbudakan.'Cepat-cepat ia menyingkirkan pemikiran itu dan memperingatkan dirinya akan gaji besar yang ia terima dari dosen wanita tersebut, yang mungkin tidak akan ia dapatkan dipekerjaan lainnya.Mungkin karena terlalu lelah, ia rasa dirinya menjadi banyak memikirkan hal-hal yang tidak logis.Cepat-cepat Alvan membereskan meja serta akal sehat sehatnya, lalu ia bersiap untuk pergi ke lokasi pekerjaan sambilannya yang lain.Sebelum meninggalkan ruangan, sesaat ia melirik ke arah meja dosennya yang kosong sedari siang tadi, sambil menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan saat ini.Perlukah ia menunggu hingga dia k
"Apakah tadi itu tidak terlalu gegabah? Kita masih belum mencari seorang pria yang cocok untuk Anda." Sekretarisnya mencoba mengingatkannya ketika semua prosesi pemakaman kakeknya selesai."Tenang saja, aku tidak membutuhkan seorang suami yang cocok." ujarnya santai sambil berjalan memasuki ruang duka yang sudah mulai kosong. "Aku hanya membutuhkan seorang pria dengan beberapa kriteria."Anna adalah sekretaris yang andal. Hingga dengan kalimatnya singkatnya saja, dia langsung membuka buku dan bersiap menulis catatannya. "Aku akan mencarikannya untuk Anda. Mungkin kita bisa menemukan satu orang yang sesuai kriteria Anda, di antara para putra direktur perusahaan lain.""Tidak, tidak. Aku tidak mau menikahi satu orang pun pria mata duitan itu. Sebaliknya, aku akan menikahi seorang pria dari latar belakang miskin." ucap gila Elsie yang membuat Anna menatapnya dengan mata terbelalak. "Ide bagus. Aku seharusnya memikirkan ini dari awal!""Eh?!""Tulis se
"Dasar pria kurang ajar!" pekik keras Elsie selagi terperanjat dari tidurnya.Sontak karena lengkingan suaranya itu, semua orang mendelik ke arahnya, terlebih Anna yang duduk tepat di sampingnya."Direktur, Anda baik-baik saja? Apakah Anda bermimpi buruk?"Sambil memegang kepalanya yang terasa pusing, ia mengangguk malu. "Aku baik-baik saja. Tenggorokanku kering, ambilkan aku minum."Sementara Anna sibuk mengambilkan dan membukakan minum untuknya. Elsie mencoba untuk mengatur kembali perasaannya yang mulai memburuk.'Semua ini karena pria itu!'Sudah beberapa hari berlalu sejak insiden memalukan itu. Meskipun begitu, Elsie masih tetap menyimpan dendam untuk asisten Nia. Bukannya karena ia tak mau melupakan kejadian itu, tapi karena ia tak bisa menghapus kenangan buruk itu dari kepalanya. Hingga dari hari ke hari ia hanya dapat terus merasa kesal, dan pada puncaknya ia mulai mengumpatnya di tengah tidur seperti yang terjadi barusan.
Semenjak kejadian di pemakaman itu, Nia merasa takut untuk bertemu dengan Elsie. Meskipun hubungannya dengan sangat dekat sedari kecil ..., tidak, justru karena hubungannya dekat sejak kecil, Nia menjadi tahu —dengan sangat jelas— seperti apa sifat pemarah Elsie.Tak perlu Elsie, Nia pun juga akan kesal jika berada di posisi temannya saat itu. Terlebih temannya memiliki harga diri yang cukup tinggi, dan ketika dia menjadikan Alvan sebagai kekasih palsunya, sebenarnya dia sedang melindungi harga dirinya dari Eizel yang merupakan pesaingnya. Namun sayang sekali, Alvan mengacaukan segalanya. Bahkan Nia —yang melihat kejadian itu secara langsung— tidak berhenti-hentinya mengangakan mulutnya, lantaran peristiwa itu lebih menyerupai tragedi, alih-alih hanya kesalahan semata."Bagaimana ini? Haruskah aku menghubunginya? Namun bagaimana jika dia meneriakiku sebagai gantinya?" gumamnya.Lalu selagi matanya melirik ke arah meja asistennya, ia
Semenjak pertemuannya dengan wanita itu, Alvan merasa ada yang janggal dalam kehidupannya.Manajer toko yang sebelumnya berjanji hendak memperpanjang kontrak kerjanya, mendadak berubah pikiran dan membatalkan perpanjangannya.Lalu ditengah persoalan itu, Profesor Nia memperlakukannya dengan baik, bahkan sangat baik. Seolah dia hendak memberikan kesan baik sebelum mengucapkan salam perpisahan dan memecatnya.Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kenapa mendadak kehidupannya yang stabil berubah menjadi seperti ini?Alvan yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, pada akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada Profesor Nia yang mungkin mengetahui penyebab kondisi ini melebihi dirinya."Profesor, apakah aku akan segera dipecat?" tanyanya di tengah mereka menyantap makan siang bersama.Profesor Nia nyaris tersedak ketika mendengar pertanyaannya, lalu menatap makanannya dan bergumam, "Maaf.""Kenapa? Apakah kinerja saya kurang bai
Tanpa diduga, ternyata peristiwa meninggalnya kakeknya tidak membawa dampak yang sangat besar seperti perkiraannya selama ini. Rupanya minimnya tugas direktur utamalah yang menjadi salah satu alasan mengapa kondisi perusahaan tak banyak berubah sepeninggalannya.Namun meskipun begitu, Elsie tidak menyangkal kalau topik 'penerus' saat ini masih gencar terdengar di antara karyawannya. Bahkan di antara para petinggi, ia bisa merasakan kebimbangan mereka yang terus merubah suara dukungan mereka. Hingga Elsie tidak bisa lagi menghitung seberapa banyak pendukungnya."Jika begini, warisan itu akan jatuh ke tangan Eizel." ucapnya dengan menyebutkan nama, lantaran ia tak ingin menganggapnya sebagai saudaranya. Baginya pria itu hanyalah lintah penghisap."Tak perlu khawatir. Kita bisa masih bisa menahan rapat pemegang saham, hingga pria itu menghubungi Anda." Sekretarisnya mencoba meyakinkannya."Sudah berapa lama? Sudah berapa lama sejak ke
Setelah kedua pihak menyetujui perjanjian mereka dan bersumpah akan menepatinya, Elsie langsung memboyong Alvan ke sebuah butik pakaian yang tampak megah. Di sana, seperti anak hilang, tiba-tiba saja Alvan diarahkan ke ruangan ganti yang besar dan di sodorkan dengan banyak setelan pakaian, hingga ia tak ingat berapa banyak pakaian yang ia coba. Hanya kata "tidak", yang menjadi satu-satunya ingatannya, lantaran terus-menerus diucapkan Elsie sebagai tanda ia harus kembali ke ruang ganti."Bagaimana jika kita pilih saja satu dari semua yang sudah kita coba?" bantah Alvan ketika ia sudah merasa teralu lelah untuk harus bolak-balik dari ruang ganti ke ruang tunggu.Namun dengan wajah yang dingin, Elsie menunjukkan ketidaksetujuannya. "Sepanjang aku melihat, aku belum menemukan satu pun yang bagus."Alvan mengambil satu setelan berwarna merah tua yang berada di gantungan, lalu menunjukkannya pada Elsie. "Ini bagus.""Tidak. Menurutku itu kurang terlihat menonjol."
Nia, Elsie dan Alvan naik ke panggung untuk foto bersama kedua mempelai.Namun entah hanya perasaanya saja atau memang seperti itu adanya, Nia merasakan ada yang ganjal dengan hubungan Nia dan Alvan. Memang ia tahu kalau mereka berdua berpandangan dengan tidak ramah di ruang pengantin, tapi ia tidak menyangka kalau masalah itu akan bertahan hingga acara pernikahan hampir selesai.Kini acara yang tersisa adalah pelemparan bunga.Semua orang bersiap di posisi dan Nia pun sedikit menyingkir ke sisi panggung untuk memberi Elsie ruang untuk dapat menangkap bunga.Satu. Dua. Tiga.Bunga pun terlempar dengan sangat anggun, tapi semakin dilihat, ada yang aneh dengan arah pelemparan bunga. Hingga tiba-tiba bunga itu mendekatinya dan jatuh di tangannya.Sontak hal tidak terduga itu membuat semua orang gempar dan bingung.Merasa dia bukan seharusnya yang berhak menerima bunga itu, Nia menatap Elsie yang seharusnya m
Ketika matahari mulai bergerak turun dan perlahan berjalan meninggalkan langit yang terang. Elsie duduk seorang diri di salah satu bangku rumah makan yang dibawah naungan perusahaannya, sambil menatap semburat warna jingga yang memenuhi langit. Sudah beberapa hari ia menetapkan untuk lembur beberapa hari di kantornya dan kini ia akhirnya keluar dari persembunyian setelah ia mengurung diri di dalam tembok kantornya. Semua ini karena bunga itu. Sungguh bunga yang sial. Bersamaan dengan kemarahannya yang kembali bangkit dari dalam hatinya, seorang pria yang ia benci selama beberapa hari ini malah muncul di depan wajahnya. Tidak perlu ditanya, Elsie pasti merasa marah. Dia sangat kesal hingga ketika Alvan mengambil duduk di depannya, ia berpaling ke arah lain seperti anak kecil. Namun masalahnya, ia tidak bisa menerima kekalahannya. Terlebih itu lantaran sebuah bunga sial yang malah terbang ke tempat yang salah. "Kenapa tidak pulang se
Di tengah hiruk pikuk pernikahan yang meriah, Alvan dan Elsie duduk berdampingan dengan suasana kesenyapan yang mencekam layaknya yang terjadi pada pasangan yang sedang bertengkar.Hal ini dimulai lantaran Elsie melihat bagaimana Eizel sangat menyukai Anna dan tidak ragu-ragu dalam melangsungkan pernikahannya. Perasaan irinya itu pun ia sampaikan kepada Alvan, yang meskipun tampak tidak tergerak sedikitpun setelah mendengarkannya, tapi sejak mendengar Elsie menceritakannya, perlahan ia mulai mempertimbangkannya hal disebut dengan pernikahan.Namun Elsie yang tidak sabaran, merasa kode halusnya itu tidak akan mempan untu Alvan yang pada pandangannya tidak sensitif, sehingga Elsie dengan memberanikan diri mengatakan secara gamblang pada Alvan tentang keinginannya untuk menikah.Apakah itu salah? Tentu tidak. Terlebih Alvan tahu seberapa sulitnya bagi Elsie untuk memulai pembicaraan tentang pernikahan lebih dulu, dengan posisinya sebagai wanita. Itu adalah ke
Alih-alih menunggu Anna di pelaminan dan melihat dari kejauhan calon istrinya yang berjalan seorang diri menghampirinya, Eizel memilih untuk berjalan bersama istrinya menuju ke pelaminan.Dengan menggandeng wanita yang dicintainya, ia mengumbar senyum yang sangat lebar nan bahagia. Lalu dengan mata yang saling berkaitan dengan Anna, ia menunjukkan kepada semua orang kalau dirinya sangat beruntung memiliki wanita ini sebagai teman hidupnya.Hingga setiba mereka di pelaminan, mereka menjalani seluruh prosesi pernikahan dan dipenghujung acara, sang pembawa acara menyatakan bahwa mereka sudah resmi menjadi suami istri.Seketika ruang pernikahan itu menjadi amat riuh. Para tamu bertepuk tangan dan tak sedikit yang memberi sorakan atas status baru mereka.Di tengah kebahagiaan yang bertaburan seperti confetti, Eizel menatap langit-langit dengan tercengang.Hidup itu sebuah misteri...****************...~Du
Dengan gaun yang indah yang Nia kenakan di acara pernikahan, ia berjalan tergopoh-gopoh menuju ruang tunggu pengantin. Semua ini adalah salah dari dirinya yang bangun terlambat.Kemarin malam, usai mengatakan salam tidurnya, Nia lupa menyalakan alarm. Hingga, akibat dari perbuatannya, mereka pun jadi bangun terlambat. Hanya untung saja, pengantin wanita sudah bangun lebih dulu dan langsung pergi ke tempat di mana dia akan di rias.Namun di mana kawannya yang satu lagi, kalau tidak salah dia yang bertanggung jawwab dengan bunga buketnya. Lantaran dia menyekap bunga itu sejak pagi, yang katanya itu dia lakukan untuk dapat terhubung dengan bunga. Sehingga ketika pengantin wanita melemparkan bunganya nanti, dia dapat menangkapnya dan segera menikah.Baru dia pikirkan, suara temannya itu sudah terdengar dari kejauhan, meskipun di lobi itu sudah dipenuhi oleh tamu yang berbicara sendiri layaknya suara lebah."Nia."Dengan gaun merah men
~Lima bulan Kemudian."Untuk pernikahan besok. Bersulang.""Bersulang.""Bersulang."Tiga wanita itu pun saling menyatukan kaleng soda mereka, hingga berbunyi suara 'ting' dari permukaan kaleng mereka yang saling bersentuhan.Namun ketika mereka hendak meminumnya bersama, Elsie langsung mengurungkan niatnya dan meletakkan soda itu dengan tatapan sia-sia."Kenapa?" tanya Nia pada Elsie yang tampak kesal lantaran tidak dapat meminum sodanya.Selagi melihat tubuhnya, ia pun mengeluhkan lemaknya yang bertumbuh pesat. "Akhir-akhir ini berat badanku banyak naik. Jadi aku tidak bisa meminum ini dan membuat gaunku kekecilan."Mendengar alasan Elsie, membuat Anna dan Nia menghentikan aktivitas mereka. Hingga satu per satu mulai meletakkan kaleng sodanya."Benar juga." gumam Anna dengan menatap sedih minuman soda itu.Seusai kaleng soda, kini mata mereka tertuju pada makanan melimpah yang ditaruh di
"Kau sudah sampai kantor?" tanya Eizel pada Anna, setelah mereka berhasil masuk ke dalam kantor Direktur Eizel yang berdekatan dengan kantor direktur utama. "Kapan? Aku tidak melihat tasmu ketika datang ke kantor Elsie?""Sudah dari tadi." Anna tersenyum getir dan dia mengungkapkan fakta yang terjadi tadi pagi saat ia datang ke kantor. "Sebenarnya aku sudah sampai di kantor satu jam yang lalu."Mendengar kata satu jam, membuat Direktur Eizel mendelik tidak percaya. Namun memang begitulah faktanya, ia sama sekali tidak mengubah kebenaran yang ada. "Jika memang satu jam yang lalu, kenapa aku tidak melihatmu saat datang tadi? Bahkan aku tidak melihat tasmu di meja.""Itu, itu." Dengan terbata-bata Anna mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya tadi terjadi. "Saat aku datang, ternyata di dalam sudah ada Direktur Elsie dan Alvan di ruangan. Lalu karena tak ingin aku mengganggu mereka, Direktur Elsie menyuruhku untuk pergi berjalan-jalan selama beberapa menit. Jadi itul
Kenapa dari semua hal, peribahasa menggambarkan keterkejutan dengan 'sambaran petir'? Dulu Eizel sering mempertanyakannya. Namun pagi ini akhirnya ia pun tahu dengan sendirinya, betapa sangat mengejutkannya petir.Dari awal ke kantor, Eizel tidak mendapatkan firasat apapun. Hingga ketika ia hendak menyerahkan beberapa dokumen untuk di tinjau ulang oleh Elsie, ia merasa baru saja melihat adegan yang tidak pantas di ruangan wanita itu.Eizel melihat sepasang kekasih yang sedang menjalin asmara dengan berbicara manja satu sama lain. Ada kalanya Elsie mendadak mejaruk dan bersikap seolah akan mengakhiri hubungan, tapi dengan sikap yang sama kekanak-kanakannya, Alvan meredakan kekesalannya dan dua orang yang sedang kasmaran itu kembali mesra dengan berpelukan satu sama lain.Hingga karena ia berdiri mematung di depan pintu dalam jangka waktu yang cukup lama, pria dan wanita itu pun menyadari kehadirannya dan tersenyum lebar."Selamat pagi."
Sesuai janjinya, Alvan akan mendatangi Elsie untuk menyatakan perasaannya untuk terakhir kalinya. Namun lantaran selama beberapa hari ini Elsie tidak datang ke kantornya, Eizel —selaku orang yang membantunya—, dia memberikan alamat rumah Elsie padanya.Ternyata lokasi rumah Elsie tidak jauh dari kantor, dan begitu sampai di sana, Alvan tidak melihat tempat tinggal Elsie sebagai sebuah rumah, melainkan sebuah istana. Sangat besar dan megah. Namun apakah wanita itu tidak kesepian, tinggal di rumah sebesar itu untuk dirinya.Setelah membunyikan bel berkali-kali dan tidak mendapat tanggapan, serta menyadari tidak adanya satu mobil kesukaan wanita itu di halaman parkirannya. Alvan pun mengerti kalau wanita itu kini sedang tidak ada di rumah.Jadi dengan sabar dan jantung berdebar, Alvan menunggu wanita itu di depan rumahnya yang ternyata memakan waktu yang cukup lama.Hingga perlahan hari menjadi semakin malam, dan ketika jam menunjukkan bahwa hari