Setelah berkutik dengan rumus-rumus selama hampir dua jam. Rava menyelesaikan yang pertama, Rava bangkit memberikan soal itu pada pak Harjo dan keluar kelas. Jam istirahat lima menit lagi berbunyi, tujuannya saat ini pergi ke kantin dan menemui bu Ceci untuk membantu mencuci piring.
Saat ulangan tadi Rava sangat serius dan teliti. Ia sudah tiga kali mengerjakan soal itu hingga semua jawaban ia anggap benar. Semoga saja pengumuman nanti di grub kelas Rava mendapat nilai tinggi ia tidak ingin mengecewakan Regina dan Melinda.
Langkahnya terhenti di kantin, ia melihat Gina sedang berbicara pada bu Ceci, Rava mendekati keduanya. Gina tidak melirik Laki-laki itu sama sekali, berbeda dengan Rava yang sudah menebar senyum pada Gina maupun Bu Ceci.
"Gimana ulangan pagi ini? Dibolehin sama pak Harjo?" tanya Bu Ceci menggoda Rava yang tersenyum malu.
"Dibantuin sama Gina juga bu, kalau nggak yah udah daritadi aku kesini. Rava langsung cuci piring aja yah ke belakang."
"Ehh nggak usah, udah di cuci semua kok sama Gina. Ibu tadi dibantu sama dia, kata Gina dia jamkos makanya langsung kesini," jawab bu Ceci menjelaskan. Rava mengangguk paham duduk di depan Gina yang sibuk bermain ponsel.
Sedangkan bu Ceci izin melayani siswi yang membeli cireng kuahnya. Rava menghela napas berat, ia masih tidak mengerti kenapa dari tadi pagi Gina mendiamkan Rava. Apa karena Rava yang meminta bantuan pada Gina soal ulangan itu atau memang ada masalah lain dengan gadisnya?
"Re, kamu kenapa? Kok dari tadi pagi aku dicuekin sih? Nggak enak tau,"
Bapak penjual bubur ayam meletakan pesanan Gina di meja, setelah pergi Gina makan tanpa memandang Rava yang sudah diam karena tidak mendapat respon apapun dari Gina. Perempuan itu menyodorkan mangkuk buburnya yang satu, Rava hanya meliriknya saja.
Mengerti kondisi Rava yang sudah marah, baru Gina berbicara tentang masalah semalam pada laki-laki itu. Hingga Rava cukup terkejut, dan berpikiran Gina akan menerima perjodohannya dengan Bara.
"Semalam aku mau dijodohin,"
"Kamu serius?" tanya Rava menatap manik mata Gina dengan lekat, seakan mencari kebohongan yang disembunyikan Gina tetapi tidak ada. Gina mengatakan hal iti benar, jika kedua orang tuanya memaksa Gina akan menolaknya keras. Bahwa ia tidak sudi tunangan dengan Bara. Yang statusnya tidak Gina kenal.
"Iyah, tapi aku nggak mau, aku nggak kenal dia, jadi aku bilang sama Papa buat nolak perjodohan itu," ujar Gina masih santai memakan sarapan . Ia menyeruput es teh yang baru saja dibuatkan. Tatapan Rava terlihat terluka saat Gina mengatakan hal yang sebenarnya.
"Kalau kedua orang tua kamu maksa gimana? Kamu nggak ada hak buat nolak kan? Jadi aku harus apa?" tanya Rava menggenggam tangan mungil milik Gina. Gina menghela napas, yang dikatakan Rava juga benar kalau kedua orang tuanya memaksa ia tidak bisa menolak.
Tapi Gina juga tidak ingin menikah tanpa rasa sayang dan cinta, ia hanya mencintai Rava. Untuk Bara calon tunanganya ia tidak menyukai, jika mereka nanti menikah pasti banyak ketidak cocokan. Karena pernikahan itu atas dasar paksaan, bukan murni karena keduanya saling cinta ataupun sayang.
Berbeda dengan Rava dan Gina, justru mereka sudah saling terbuka. Sepertinya takdir tidak mendukung, Rava berada di kalangan orang biasa saja sedangkan Gina sudah tentu kaya. Mana mungkin kedua orang tuanya mensetujui hubungan mereka. Terlalu mustahil untuk mendapatkan restu.
"Aku usahain hal itu nggak akan sampai terjadi. Kalaupun iyah aku bisa nolak Rav, aku punya hak. Mereka maksa aku juga nggak akan baik buat kedepannya,"
"Kamu harus bisa yah, aku selalu dukung kok. Kalau kita nggak ditakdirin buat bareng, aku ikhlas kamu sama yang lain," balas Rava tersenyum kecut, ia sudah sangat mencintai gadis itu. Bagaimana bisa melupakanya secepat itu, dan Gina juga pasti tidak diperbolehkan berinteraksi dengan keduanya.
Seorang gadis duduk di samping Rava, Gina melirik heran menatap cewek yang tiba-tiba berada disamping Rava. Rava menoleh ia tersenyum pada Gevania, murid baru di kelas Rava. Sosok gadis yang tadi pagi di jalan bertemu dengan Rava dan cowok itu memberinya jaket.
"Hay Rav, nilai ulangan lo paling tinggi. Congras yah," ujar Gevania tersenyum tipis pada Rava, Rava yang mendengar itu mengecek ponselnya. Ia membuka whatsAap, alangkah terkejutnya saat ia melihat nama nya berada di paling atas. Dengan skors 100 persen.
"Alhamdulillah Re nilai ku 100. Ibu pasti seneng kalau denger aku dapet nilai tinggi," ujar Rava menatap Gina yang mematung sejak tadi. Merasakan hatinya berdesir hebat. Sosok Rava ada yang mendekati dan dia perempuan yang cantik, sebelumnya Gina tidak pernah melihatnya.
"Makasih yah Van, kalau lo nggak bilang. Gue nggak bakalan tauh," ujar Rava menatap Gevania dengan antusias. Gina berkedip, ia tersadar dari lamunanya. Buru-buru merebut ponsel Rava dan melotot tajam.
Dia berhasil membuat Rava mendapat nilai tinggi, selanjutnya Gina akan melatih cowok itu sampai ikut olimpiade. Bergilir sampai semua rencananya selesai dan ia akan melepas Rava saat itu juga.
"Nanti aku ajarin lagi buat materi selanjutnya. Pulang sekolah ini kamu mau kemana?" tanya Gina melirik gadis di sebelah cowoknya. Rava memutuskan topik pembicaraanya dari Gevania dan kembali fokus pada Gina yang berada di depannya.
Gina geram mendengar balasan dari gadis di depannya. Ia bangkit meninggalkan keduanya yang terdiam, tanpa berpamitan pada Rava Gina keluar dari kantin. Hanya meninggalkan uang untuk membayar bubur dimeja.Rava berganti menatap Gevania yang tersenyum lebar tanpa dosa. Rava memutar bola matanya malas, sepulang sekolah nanti ia akan membujuk Gina agar memaafkanya lagi."Sorry yah Van, gue males lagi ngomong sama lo. Gina marah karena ucapan lo tadi, sama aja lo ngerusak hubungan gue sama dia. Dan inget dia senior lo! Jaga sopan santun," Setelah mengatakan hal itu Rava bangkit ia sudah mengatakan pada bu Ceci untuk membayarkan bubur ayam. Rava berjalan keluar dari kantin, Gevania masih mengekorinya dari belakang.Tanganya di cekal oleh gadis itu hingga berhenti, dari arah berlawanan ia melihat Dion dan segerombol temanya. Rava meneguk salivanya berulang kali, dengan cepat ia menepis tangan Vania."Pergi sana jangan gangu gue," ujar Rava hendak berbelok
Gina duduk di halte ia menunggu Rava yang sedang mengambil motor di parkiran. Lima menit kemudian Rava keluar dari pekarangan dan Gina segera duduk di atas motor milik cowok itu. Saat hendak pergi mereka mendengar suara cempreng seseorang cewek yang berlari mengejar keduanya. "RAVA! TUNGGUIN GUE," suara Vania terputus-putus karena mengejar Rava dari parkiran. Saat ia baru saja keluar dari toilet justru melihat sosok Rava yang menaiki motornya keluar kelas. Dengan cepat Vania mengejar sampai di luar gerbang. Beruntung cowok itu belum pergi jauh. "Gue mau ikut bolehin yah?" rengek Vania menatap Rava dengan memohon. Gina yang melihat itu memutar bola matanya malas. Ia menepuk pundak Rava agar menjalankan motornya. Namun respon cowok itu justru terdiam, seakan bingung dengan kondisinya sekarang. Memilih antara pergi dengan Gina atau meninggalkan Vania di sekolahan sendirian. Sebenarnya ia bisa saja pergi dengan Gina tanpa memperdulikan Vania, yang setatusny
Pagi ini Regina di panggil oleh Bu Karen untuk ke UKS karena salah satu adik kelasnya bertengkar. Ia menyimpan buku diary nya di tas, setelah itu bangkit dan berjalan keluar kelas. Di koridor Regina menjadi pusat perhatian, selalu saat ia keluar dari kelas menjadi atensi mereka.Rambut pendek sebahu, kulit putih dan mulus, cantik dan pintar, berhati bak malaikat yang selalu menolong. Tapi sayang Regina terlalu cuek di lingkungan sekitar, ia tidak memiliki teman karena terlalu memilih. Hingga satu cewek di kelasnya pun menjauh tidak ada yang mau berteman dengan Regina.Langkah perempuan itu masuk dalam UKS. Selalu dia melihat korbannya adalah laki-laki berkacamata ini. Gina duduk di kursi ia menarik paksa tangan laki-laki itu untuk mengobatinya. Terdengar ringisan keluar dari bibir cowok itu."Mau sampe kapan hidup lo kaya gitu? jadi orang jangan pengecut, bangun jangan jadi pecundang, hadapi semua orang yang udah pernah buly lo! Buat mereka bertekuk lutut di had
Guru Biologi itu menatap Rava dari atas sampai bawah. Rambut acak-acakan pakaian penuh dengan noda, bau busuk tercium dari seluruh tubuh cowok itu. Rava hendak berjalan duduk di bangku suara Pak Edy memperhentikan langkahnya."Jangan ikut pelajaran saya, keluar kamu Rava. Nanti yang ada semua teman-teman kamu tidak ada yang betah. Karena satu ruangan dengan kamu. Sebagai gantinya kamu berjemur sampai jam pelajaran saya habis.""Tapi kan pak--?" ujarnya dengan nada tak rela. Rava berbalik melangkah keluar kelas. Saat memasuki lapangan indor. Semua siswi maupun siswa menyorakinya karena bauh dari tubuh Rava yang menyengat.Rava tidak memperdulikan, ia melanjutkan langkahnya hingga sampai di tiang bendera. Melepaskan kaca mata lalu membersihkan dengan seragam putihnya. Rava memakai kembali kaca mata itu, pandangannya sudah jelas.Ia mengangkat tangan untuk hormat ke bendera merah-putih yang berkibar di atas sana. Segerombol cowok yang sedang bermain basket t
Siang ini Gina duduk di kantin sendirian. Matanya terus menatap pintu kantin, menunggu kedatangan sosok Ravangga yang tak kunjung datang. Ia melirik arlojinya yang menujukan pukul 10:5 menit artinya lima menit lagi bel istirahat berakhir dan sosok laki-laki itu belum datang menemuinya.Gina bangkit saat beberapa siswa berlarian menuju lapangan untuk melihat sesuatu yang terjadi. Pikirannya tidak enak, ia berjalan tergesa-gesa keluar kantin, langkahnya mematung saat di lapangan. Sosok yang sedaritadi ia tunggu sudah terkapar tak berdaya di lantai lapangan."RAVA!" Gina berlari membela kerumunan, ia berjongkok mengusap darah yang keluar dari hidung cowok itu. Mata Rava terpejam erat, Gina mengepalkan tanganya kuat, memandang seluruh murid yang hanya menyaksikan Rava yang pingsan."PAK ADRIAN! ADA SISWA YANG PINGSAN PAK, TOLONGIN SAYA!" teriak Gina menatap salah satu guru yang lewat, ia sangat berharap guru baik itu mau menolongnya. Dan benar, langkah Pak Adrian be
Malam ini Regina siap akan pergi kerumah Rava. Setelah makan malam dengan keluarganya selesai gadis itu bergegas mengganti pakaian di kamar. Memasukan buku-buku penting dan keperluan lainnya. Gina bangkit berjalan menuruni tangga, berpamitan kepada kedua orang tuanya."Ance pergi dulu yah Ma, nanti pulang jam 10," ujar Gina dengan menyebutkan Ance. Karena kedua orang tuanya memanggil Gina dengan sebutan Ance. Mau tak mau Gina menurut, ia juga tidak terlalu memperdulikan."Mau kemana lagi Ance? Kenapa tidak belajar dirumah saja?"Gina menatap Mamanya dengan malas, sekali bilang ia akan pergi Gina tidak mendengarkan larangan kedua orang tuanya. Gadis tetap berjalan tanpa berbalik untuk masuk kamar.Setelah masuk kedalam mobil. Regina duduk, ia mengambil ponselnya untuk mengabari Rava bahwa dirinya sebentar lagi akan sampai.Dirumah Rava terdiam sembari memegang buku paket fisika di tanganya. Besok ia ulangan fisika, jika pak Harjo tidak memperbolehkan
Sinar mentari menerobos jendela di kamar Rava yang semalam tidak dikunci. Rava terbangun karena pantulan sinar matahari. Ia bangkit untuk segera mandi, pagi ini Rava akan menjemput Gina untuk berangkat sekolah bersama.Selesai mandi Rava memakai seragam sekolah, menyisir rambut dan memakai kaca mata yang baru semalam di berikan oleh Melinda. Rava keluar kamar ibunya yang sedang menyiapkan sarapan untuk pagi ini."Selamat pagi bu, mau Rava bantuin?" tanya Rava hendak membantu Melinda yang sedang menumis kangkung dan tempe goreng. Menu sederhana Rava pagi ini sangat menggiurkan. Setelah matang ia dan Melinda makan dengan khidmat hanya berdua, Jiyo Ayahnya sedang bekerja di pabrik. Satu minggu sekali akan pulang.Rava cukup kangen dengan Ayahnya yang lama tidak pulang. Biasanya mereka akan makan bersama kadang juga berkebun ketika sore hari. Ia sangat merindukan sosok pahlawan itu."Nanti kalau kamu dapet nilai 100 ibu kasih uang lebih buat jajan hari
Gina duduk di halte ia menunggu Rava yang sedang mengambil motor di parkiran. Lima menit kemudian Rava keluar dari pekarangan dan Gina segera duduk di atas motor milik cowok itu. Saat hendak pergi mereka mendengar suara cempreng seseorang cewek yang berlari mengejar keduanya. "RAVA! TUNGGUIN GUE," suara Vania terputus-putus karena mengejar Rava dari parkiran. Saat ia baru saja keluar dari toilet justru melihat sosok Rava yang menaiki motornya keluar kelas. Dengan cepat Vania mengejar sampai di luar gerbang. Beruntung cowok itu belum pergi jauh. "Gue mau ikut bolehin yah?" rengek Vania menatap Rava dengan memohon. Gina yang melihat itu memutar bola matanya malas. Ia menepuk pundak Rava agar menjalankan motornya. Namun respon cowok itu justru terdiam, seakan bingung dengan kondisinya sekarang. Memilih antara pergi dengan Gina atau meninggalkan Vania di sekolahan sendirian. Sebenarnya ia bisa saja pergi dengan Gina tanpa memperdulikan Vania, yang setatusny
Gina geram mendengar balasan dari gadis di depannya. Ia bangkit meninggalkan keduanya yang terdiam, tanpa berpamitan pada Rava Gina keluar dari kantin. Hanya meninggalkan uang untuk membayar bubur dimeja.Rava berganti menatap Gevania yang tersenyum lebar tanpa dosa. Rava memutar bola matanya malas, sepulang sekolah nanti ia akan membujuk Gina agar memaafkanya lagi."Sorry yah Van, gue males lagi ngomong sama lo. Gina marah karena ucapan lo tadi, sama aja lo ngerusak hubungan gue sama dia. Dan inget dia senior lo! Jaga sopan santun," Setelah mengatakan hal itu Rava bangkit ia sudah mengatakan pada bu Ceci untuk membayarkan bubur ayam. Rava berjalan keluar dari kantin, Gevania masih mengekorinya dari belakang.Tanganya di cekal oleh gadis itu hingga berhenti, dari arah berlawanan ia melihat Dion dan segerombol temanya. Rava meneguk salivanya berulang kali, dengan cepat ia menepis tangan Vania."Pergi sana jangan gangu gue," ujar Rava hendak berbelok
Setelah berkutik dengan rumus-rumus selama hampir dua jam. Rava menyelesaikan yang pertama, Rava bangkit memberikan soal itu pada pak Harjo dan keluar kelas. Jam istirahat lima menit lagi berbunyi, tujuannya saat ini pergi ke kantin dan menemui bu Ceci untuk membantu mencuci piring.Saat ulangan tadi Rava sangat serius dan teliti. Ia sudah tiga kali mengerjakan soal itu hingga semua jawaban ia anggap benar. Semoga saja pengumuman nanti di grub kelas Rava mendapat nilai tinggi ia tidak ingin mengecewakan Regina dan Melinda.Langkahnya terhenti di kantin, ia melihat Gina sedang berbicara pada bu Ceci, Rava mendekati keduanya. Gina tidak melirik Laki-laki itu sama sekali, berbeda dengan Rava yang sudah menebar senyum pada Gina maupun Bu Ceci."Gimana ulangan pagi ini? Dibolehin sama pak Harjo?" tanya Bu Ceci menggoda Rava yang tersenyum malu."Dibantuin sama Gina juga bu, kalau nggak yah udah daritadi aku kesini. Rava langsung cuci piring aja yah ke belakang
Sinar mentari menerobos jendela di kamar Rava yang semalam tidak dikunci. Rava terbangun karena pantulan sinar matahari. Ia bangkit untuk segera mandi, pagi ini Rava akan menjemput Gina untuk berangkat sekolah bersama.Selesai mandi Rava memakai seragam sekolah, menyisir rambut dan memakai kaca mata yang baru semalam di berikan oleh Melinda. Rava keluar kamar ibunya yang sedang menyiapkan sarapan untuk pagi ini."Selamat pagi bu, mau Rava bantuin?" tanya Rava hendak membantu Melinda yang sedang menumis kangkung dan tempe goreng. Menu sederhana Rava pagi ini sangat menggiurkan. Setelah matang ia dan Melinda makan dengan khidmat hanya berdua, Jiyo Ayahnya sedang bekerja di pabrik. Satu minggu sekali akan pulang.Rava cukup kangen dengan Ayahnya yang lama tidak pulang. Biasanya mereka akan makan bersama kadang juga berkebun ketika sore hari. Ia sangat merindukan sosok pahlawan itu."Nanti kalau kamu dapet nilai 100 ibu kasih uang lebih buat jajan hari
Malam ini Regina siap akan pergi kerumah Rava. Setelah makan malam dengan keluarganya selesai gadis itu bergegas mengganti pakaian di kamar. Memasukan buku-buku penting dan keperluan lainnya. Gina bangkit berjalan menuruni tangga, berpamitan kepada kedua orang tuanya."Ance pergi dulu yah Ma, nanti pulang jam 10," ujar Gina dengan menyebutkan Ance. Karena kedua orang tuanya memanggil Gina dengan sebutan Ance. Mau tak mau Gina menurut, ia juga tidak terlalu memperdulikan."Mau kemana lagi Ance? Kenapa tidak belajar dirumah saja?"Gina menatap Mamanya dengan malas, sekali bilang ia akan pergi Gina tidak mendengarkan larangan kedua orang tuanya. Gadis tetap berjalan tanpa berbalik untuk masuk kamar.Setelah masuk kedalam mobil. Regina duduk, ia mengambil ponselnya untuk mengabari Rava bahwa dirinya sebentar lagi akan sampai.Dirumah Rava terdiam sembari memegang buku paket fisika di tanganya. Besok ia ulangan fisika, jika pak Harjo tidak memperbolehkan
Siang ini Gina duduk di kantin sendirian. Matanya terus menatap pintu kantin, menunggu kedatangan sosok Ravangga yang tak kunjung datang. Ia melirik arlojinya yang menujukan pukul 10:5 menit artinya lima menit lagi bel istirahat berakhir dan sosok laki-laki itu belum datang menemuinya.Gina bangkit saat beberapa siswa berlarian menuju lapangan untuk melihat sesuatu yang terjadi. Pikirannya tidak enak, ia berjalan tergesa-gesa keluar kantin, langkahnya mematung saat di lapangan. Sosok yang sedaritadi ia tunggu sudah terkapar tak berdaya di lantai lapangan."RAVA!" Gina berlari membela kerumunan, ia berjongkok mengusap darah yang keluar dari hidung cowok itu. Mata Rava terpejam erat, Gina mengepalkan tanganya kuat, memandang seluruh murid yang hanya menyaksikan Rava yang pingsan."PAK ADRIAN! ADA SISWA YANG PINGSAN PAK, TOLONGIN SAYA!" teriak Gina menatap salah satu guru yang lewat, ia sangat berharap guru baik itu mau menolongnya. Dan benar, langkah Pak Adrian be
Guru Biologi itu menatap Rava dari atas sampai bawah. Rambut acak-acakan pakaian penuh dengan noda, bau busuk tercium dari seluruh tubuh cowok itu. Rava hendak berjalan duduk di bangku suara Pak Edy memperhentikan langkahnya."Jangan ikut pelajaran saya, keluar kamu Rava. Nanti yang ada semua teman-teman kamu tidak ada yang betah. Karena satu ruangan dengan kamu. Sebagai gantinya kamu berjemur sampai jam pelajaran saya habis.""Tapi kan pak--?" ujarnya dengan nada tak rela. Rava berbalik melangkah keluar kelas. Saat memasuki lapangan indor. Semua siswi maupun siswa menyorakinya karena bauh dari tubuh Rava yang menyengat.Rava tidak memperdulikan, ia melanjutkan langkahnya hingga sampai di tiang bendera. Melepaskan kaca mata lalu membersihkan dengan seragam putihnya. Rava memakai kembali kaca mata itu, pandangannya sudah jelas.Ia mengangkat tangan untuk hormat ke bendera merah-putih yang berkibar di atas sana. Segerombol cowok yang sedang bermain basket t
Pagi ini Regina di panggil oleh Bu Karen untuk ke UKS karena salah satu adik kelasnya bertengkar. Ia menyimpan buku diary nya di tas, setelah itu bangkit dan berjalan keluar kelas. Di koridor Regina menjadi pusat perhatian, selalu saat ia keluar dari kelas menjadi atensi mereka.Rambut pendek sebahu, kulit putih dan mulus, cantik dan pintar, berhati bak malaikat yang selalu menolong. Tapi sayang Regina terlalu cuek di lingkungan sekitar, ia tidak memiliki teman karena terlalu memilih. Hingga satu cewek di kelasnya pun menjauh tidak ada yang mau berteman dengan Regina.Langkah perempuan itu masuk dalam UKS. Selalu dia melihat korbannya adalah laki-laki berkacamata ini. Gina duduk di kursi ia menarik paksa tangan laki-laki itu untuk mengobatinya. Terdengar ringisan keluar dari bibir cowok itu."Mau sampe kapan hidup lo kaya gitu? jadi orang jangan pengecut, bangun jangan jadi pecundang, hadapi semua orang yang udah pernah buly lo! Buat mereka bertekuk lutut di had