Pagi ini Regina di panggil oleh Bu Karen untuk ke UKS karena salah satu adik kelasnya bertengkar. Ia menyimpan buku diary nya di tas, setelah itu bangkit dan berjalan keluar kelas. Di koridor Regina menjadi pusat perhatian, selalu saat ia keluar dari kelas menjadi atensi mereka.
Rambut pendek sebahu, kulit putih dan mulus, cantik dan pintar, berhati bak malaikat yang selalu menolong. Tapi sayang Regina terlalu cuek di lingkungan sekitar, ia tidak memiliki teman karena terlalu memilih. Hingga satu cewek di kelasnya pun menjauh tidak ada yang mau berteman dengan Regina.
Langkah perempuan itu masuk dalam UKS. Selalu dia melihat korbannya adalah laki-laki berkacamata ini. Gina duduk di kursi ia menarik paksa tangan laki-laki itu untuk mengobatinya. Terdengar ringisan keluar dari bibir cowok itu.
"Mau sampe kapan hidup lo kaya gitu? jadi orang jangan pengecut, bangun jangan jadi pecundang, hadapi semua orang yang udah pernah buly lo! Buat mereka bertekuk lutut di hadapan lo. gue yakin cowok banci kaya lo bisa berubah," ujar Gina menatap dalam Rava yang sedang menatapnya juga. Gina menekan luka itu semakin kuat, emosinya selalu tinggi jika melihat adik kelasnya yang satu ini.
Terlalu lemah? Atau memang tidak bisa menjaga dirinya sendiri? Hingga empuk untuk menjadi sasaran buly dengan murid SMA Melorine. Ataupun memang sudah lelah dengan keadaan hidupnya yang hanya di permainkan begitu saja oleh orang lain? Entah Gina sendiri juga tidak mengerti kenapa dia sepeduli itu denganya.
"Nggak ada hak buat gue bales dendam sama mereka. Gue bikin satu kesalahan, siap untuk keluar dari sekolah ini. Selagi gue baik-baik aja, it's okey," balas Rava tersenyum manis menatap Gina yang melongo.
Bagaimana bisa cowok itu berkata akan baik-baik saja. Setiap hari selalu di buly, tidak diperbolehkan ikut pelajaran. Tidak bisa hidup dengan tenang, selalau terbayang-bayang dengan kejadian yang membuat dirinya trauma. Dan dengan gampangnya laki-laki itu berbicara baik-baik saja? Gina pikir Rava harus berobat ke psikater untuk menyembuhkan ketololannya itu.
"Gila ya lo? Kena mental kan tuh kelihatan. Dibuly tiap detika aja masih bilang baik-baik aja," decak Gina menyentuh kening Rava yang lebam. Ia memasang ekspresi ngeri dan tak terbayangkan. Sedangkan Rava melihatnya hanya tersenyum, mungkin saja yang dikatakan oleh Perempuan di depannya memang benar kalau Rava sudah gila karena kasus pembulyan itu.
"Ravangga Megantara," ujar Rava menyodorkan tanganya di hadapan Gina yang telah selesai di obati. Gina menatap uluran tangan itu tanpa berkedip.
"Regina Ancella, inget gue senior lo! Mana sopan santunya?" balas Gina berjabat tangan dengan Rava yang memasang wajah datar, sepertinya Rava mengerti kenapa Gina ini tidak pernah memiliki teman. Gadis ini terlalu memilih, hingga tidak menemukan yang cocok denganya. Rava bisa menebak dengan baik.
Rava tersadar dari lamunanya, Regina sudah melepaskan jabatan tangan itu. Ia melirik ke cewek itu yang sedang meletakan obat-obatan di laci. Rava mengangguk mantap, ia menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan.
"Regina Ancella, pacaran yuk?" ajak Rava dengan muka konyol. Ia langsung memejamkan mata lalu menggigit bibir bawahnya. Satu tanganya lagi menutup kedua matanya.
Regina mematung ia membalikan badan menghadap ke arah juniornya ini. Tanganya terulur menyentuh tangan Rava yang menutupi matanya. Regina berhasil menyingkirkan tangan yang menghalangi wajah Rava. Wajah gadis itu semakin mendekat dan.
Cup
Regina mencium pipi Rava yang mulus. Tubuh Rava menegang, ia hampir kehabisan nafas karena kecupan di pipinya. Dengan tangan yang gemetar, ia perlahan membuka kedua matanya. Wajah cantik Regina yang pertama kali Rava lihat.
"Jadi gimana Ravangga Megantara? Lo serius nembak gue? Tapi sayang cara lo nggak aestehtic," cibir Regina merapikan rambut cowok itu dan memakaikan kaca mata hitamnya kembali.
"Kenapa? Gue tauh jawaban lo pasti nggak mau. Mana mungkin cewek secantik lo pacaran sama gue." timpal Rava memajukan wajahnya ke hadapan Regina, gadis itu membeku kali ini dia yang mendapat perlakuan meneggangkan dari Rava.
Apa Regina tidak salah mendengar kalau Rava mengajaknya untuk berpacaran? Baru beberapa menit yang lalu mereka saling kenal. Dengan tidak malunya Rava mengajak dirinya untuk berpacaran. Regina hanya syok mendengar penuturan dari cowok itu, selebihnya lihat saja nanti
"Kalau gue mau, apa lo mau berhenti buat diem aja saat dibuly? Dan merubah kehidupan lo buat gue?" tanya Regina masih menatap Rava yang kali ini diam. Sepersekian detik cowok itu mengangguk, Rava menangkup wajah Regina dan mencium sekilas pada bibirnya.
Cup
"Apapun gue lakuin buat lo Regina Ancella," Rava bangkit dari ranjang UKS, ia mengacak rambut Regina dan berlari dari tempat itu sebelum perempuan itu marah dan mengamuk. Regina tersadar, ia menyentuh bibirnya merasakan sesuatu benda sempat menempel pada bibir Gina. Rava cowok itu yang sudah mencium Regina dalam hitungan detik.
"RAVANGGA MENGANTARA GUE BUNUH LO KALAU KETEMU!" ujar Regina dengan keras, ia membayangkan kejadian tadi refleks menahan senyuman. Bagaimana tidak tersenyum sosok seperti Rava mampu membuat detak jantungya menggila. Sebelumnya Regina tidak pernah merasakan hal seperti ini. Baru sekarang dan penyebapnya karena Ravangga Megantara.
Regina bangkit meraih ponselnya dan keluar dari UKS. Gina berjalan dikoridor dengan perasaan bahagianya ia memasuki kelas, bel pulang sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Kelas juga sudah sepi, beruntung supirnya sudah menjemput sedaritadi.
Setelah berlari dari UKS menuju kantin, akhirnya ia selesai. Bu Ceci sudah menutup pintu kantin. Rava telat untuk membantu perempuan itu. Ia berbalik memutuskan untuk segera pulang kerumahnya.
Guru Biologi itu menatap Rava dari atas sampai bawah. Rambut acak-acakan pakaian penuh dengan noda, bau busuk tercium dari seluruh tubuh cowok itu. Rava hendak berjalan duduk di bangku suara Pak Edy memperhentikan langkahnya."Jangan ikut pelajaran saya, keluar kamu Rava. Nanti yang ada semua teman-teman kamu tidak ada yang betah. Karena satu ruangan dengan kamu. Sebagai gantinya kamu berjemur sampai jam pelajaran saya habis.""Tapi kan pak--?" ujarnya dengan nada tak rela. Rava berbalik melangkah keluar kelas. Saat memasuki lapangan indor. Semua siswi maupun siswa menyorakinya karena bauh dari tubuh Rava yang menyengat.Rava tidak memperdulikan, ia melanjutkan langkahnya hingga sampai di tiang bendera. Melepaskan kaca mata lalu membersihkan dengan seragam putihnya. Rava memakai kembali kaca mata itu, pandangannya sudah jelas.Ia mengangkat tangan untuk hormat ke bendera merah-putih yang berkibar di atas sana. Segerombol cowok yang sedang bermain basket t
Siang ini Gina duduk di kantin sendirian. Matanya terus menatap pintu kantin, menunggu kedatangan sosok Ravangga yang tak kunjung datang. Ia melirik arlojinya yang menujukan pukul 10:5 menit artinya lima menit lagi bel istirahat berakhir dan sosok laki-laki itu belum datang menemuinya.Gina bangkit saat beberapa siswa berlarian menuju lapangan untuk melihat sesuatu yang terjadi. Pikirannya tidak enak, ia berjalan tergesa-gesa keluar kantin, langkahnya mematung saat di lapangan. Sosok yang sedaritadi ia tunggu sudah terkapar tak berdaya di lantai lapangan."RAVA!" Gina berlari membela kerumunan, ia berjongkok mengusap darah yang keluar dari hidung cowok itu. Mata Rava terpejam erat, Gina mengepalkan tanganya kuat, memandang seluruh murid yang hanya menyaksikan Rava yang pingsan."PAK ADRIAN! ADA SISWA YANG PINGSAN PAK, TOLONGIN SAYA!" teriak Gina menatap salah satu guru yang lewat, ia sangat berharap guru baik itu mau menolongnya. Dan benar, langkah Pak Adrian be
Malam ini Regina siap akan pergi kerumah Rava. Setelah makan malam dengan keluarganya selesai gadis itu bergegas mengganti pakaian di kamar. Memasukan buku-buku penting dan keperluan lainnya. Gina bangkit berjalan menuruni tangga, berpamitan kepada kedua orang tuanya."Ance pergi dulu yah Ma, nanti pulang jam 10," ujar Gina dengan menyebutkan Ance. Karena kedua orang tuanya memanggil Gina dengan sebutan Ance. Mau tak mau Gina menurut, ia juga tidak terlalu memperdulikan."Mau kemana lagi Ance? Kenapa tidak belajar dirumah saja?"Gina menatap Mamanya dengan malas, sekali bilang ia akan pergi Gina tidak mendengarkan larangan kedua orang tuanya. Gadis tetap berjalan tanpa berbalik untuk masuk kamar.Setelah masuk kedalam mobil. Regina duduk, ia mengambil ponselnya untuk mengabari Rava bahwa dirinya sebentar lagi akan sampai.Dirumah Rava terdiam sembari memegang buku paket fisika di tanganya. Besok ia ulangan fisika, jika pak Harjo tidak memperbolehkan
Sinar mentari menerobos jendela di kamar Rava yang semalam tidak dikunci. Rava terbangun karena pantulan sinar matahari. Ia bangkit untuk segera mandi, pagi ini Rava akan menjemput Gina untuk berangkat sekolah bersama.Selesai mandi Rava memakai seragam sekolah, menyisir rambut dan memakai kaca mata yang baru semalam di berikan oleh Melinda. Rava keluar kamar ibunya yang sedang menyiapkan sarapan untuk pagi ini."Selamat pagi bu, mau Rava bantuin?" tanya Rava hendak membantu Melinda yang sedang menumis kangkung dan tempe goreng. Menu sederhana Rava pagi ini sangat menggiurkan. Setelah matang ia dan Melinda makan dengan khidmat hanya berdua, Jiyo Ayahnya sedang bekerja di pabrik. Satu minggu sekali akan pulang.Rava cukup kangen dengan Ayahnya yang lama tidak pulang. Biasanya mereka akan makan bersama kadang juga berkebun ketika sore hari. Ia sangat merindukan sosok pahlawan itu."Nanti kalau kamu dapet nilai 100 ibu kasih uang lebih buat jajan hari
Setelah berkutik dengan rumus-rumus selama hampir dua jam. Rava menyelesaikan yang pertama, Rava bangkit memberikan soal itu pada pak Harjo dan keluar kelas. Jam istirahat lima menit lagi berbunyi, tujuannya saat ini pergi ke kantin dan menemui bu Ceci untuk membantu mencuci piring.Saat ulangan tadi Rava sangat serius dan teliti. Ia sudah tiga kali mengerjakan soal itu hingga semua jawaban ia anggap benar. Semoga saja pengumuman nanti di grub kelas Rava mendapat nilai tinggi ia tidak ingin mengecewakan Regina dan Melinda.Langkahnya terhenti di kantin, ia melihat Gina sedang berbicara pada bu Ceci, Rava mendekati keduanya. Gina tidak melirik Laki-laki itu sama sekali, berbeda dengan Rava yang sudah menebar senyum pada Gina maupun Bu Ceci."Gimana ulangan pagi ini? Dibolehin sama pak Harjo?" tanya Bu Ceci menggoda Rava yang tersenyum malu."Dibantuin sama Gina juga bu, kalau nggak yah udah daritadi aku kesini. Rava langsung cuci piring aja yah ke belakang
Gina geram mendengar balasan dari gadis di depannya. Ia bangkit meninggalkan keduanya yang terdiam, tanpa berpamitan pada Rava Gina keluar dari kantin. Hanya meninggalkan uang untuk membayar bubur dimeja.Rava berganti menatap Gevania yang tersenyum lebar tanpa dosa. Rava memutar bola matanya malas, sepulang sekolah nanti ia akan membujuk Gina agar memaafkanya lagi."Sorry yah Van, gue males lagi ngomong sama lo. Gina marah karena ucapan lo tadi, sama aja lo ngerusak hubungan gue sama dia. Dan inget dia senior lo! Jaga sopan santun," Setelah mengatakan hal itu Rava bangkit ia sudah mengatakan pada bu Ceci untuk membayarkan bubur ayam. Rava berjalan keluar dari kantin, Gevania masih mengekorinya dari belakang.Tanganya di cekal oleh gadis itu hingga berhenti, dari arah berlawanan ia melihat Dion dan segerombol temanya. Rava meneguk salivanya berulang kali, dengan cepat ia menepis tangan Vania."Pergi sana jangan gangu gue," ujar Rava hendak berbelok
Gina duduk di halte ia menunggu Rava yang sedang mengambil motor di parkiran. Lima menit kemudian Rava keluar dari pekarangan dan Gina segera duduk di atas motor milik cowok itu. Saat hendak pergi mereka mendengar suara cempreng seseorang cewek yang berlari mengejar keduanya. "RAVA! TUNGGUIN GUE," suara Vania terputus-putus karena mengejar Rava dari parkiran. Saat ia baru saja keluar dari toilet justru melihat sosok Rava yang menaiki motornya keluar kelas. Dengan cepat Vania mengejar sampai di luar gerbang. Beruntung cowok itu belum pergi jauh. "Gue mau ikut bolehin yah?" rengek Vania menatap Rava dengan memohon. Gina yang melihat itu memutar bola matanya malas. Ia menepuk pundak Rava agar menjalankan motornya. Namun respon cowok itu justru terdiam, seakan bingung dengan kondisinya sekarang. Memilih antara pergi dengan Gina atau meninggalkan Vania di sekolahan sendirian. Sebenarnya ia bisa saja pergi dengan Gina tanpa memperdulikan Vania, yang setatusny
Gina duduk di halte ia menunggu Rava yang sedang mengambil motor di parkiran. Lima menit kemudian Rava keluar dari pekarangan dan Gina segera duduk di atas motor milik cowok itu. Saat hendak pergi mereka mendengar suara cempreng seseorang cewek yang berlari mengejar keduanya. "RAVA! TUNGGUIN GUE," suara Vania terputus-putus karena mengejar Rava dari parkiran. Saat ia baru saja keluar dari toilet justru melihat sosok Rava yang menaiki motornya keluar kelas. Dengan cepat Vania mengejar sampai di luar gerbang. Beruntung cowok itu belum pergi jauh. "Gue mau ikut bolehin yah?" rengek Vania menatap Rava dengan memohon. Gina yang melihat itu memutar bola matanya malas. Ia menepuk pundak Rava agar menjalankan motornya. Namun respon cowok itu justru terdiam, seakan bingung dengan kondisinya sekarang. Memilih antara pergi dengan Gina atau meninggalkan Vania di sekolahan sendirian. Sebenarnya ia bisa saja pergi dengan Gina tanpa memperdulikan Vania, yang setatusny
Gina geram mendengar balasan dari gadis di depannya. Ia bangkit meninggalkan keduanya yang terdiam, tanpa berpamitan pada Rava Gina keluar dari kantin. Hanya meninggalkan uang untuk membayar bubur dimeja.Rava berganti menatap Gevania yang tersenyum lebar tanpa dosa. Rava memutar bola matanya malas, sepulang sekolah nanti ia akan membujuk Gina agar memaafkanya lagi."Sorry yah Van, gue males lagi ngomong sama lo. Gina marah karena ucapan lo tadi, sama aja lo ngerusak hubungan gue sama dia. Dan inget dia senior lo! Jaga sopan santun," Setelah mengatakan hal itu Rava bangkit ia sudah mengatakan pada bu Ceci untuk membayarkan bubur ayam. Rava berjalan keluar dari kantin, Gevania masih mengekorinya dari belakang.Tanganya di cekal oleh gadis itu hingga berhenti, dari arah berlawanan ia melihat Dion dan segerombol temanya. Rava meneguk salivanya berulang kali, dengan cepat ia menepis tangan Vania."Pergi sana jangan gangu gue," ujar Rava hendak berbelok
Setelah berkutik dengan rumus-rumus selama hampir dua jam. Rava menyelesaikan yang pertama, Rava bangkit memberikan soal itu pada pak Harjo dan keluar kelas. Jam istirahat lima menit lagi berbunyi, tujuannya saat ini pergi ke kantin dan menemui bu Ceci untuk membantu mencuci piring.Saat ulangan tadi Rava sangat serius dan teliti. Ia sudah tiga kali mengerjakan soal itu hingga semua jawaban ia anggap benar. Semoga saja pengumuman nanti di grub kelas Rava mendapat nilai tinggi ia tidak ingin mengecewakan Regina dan Melinda.Langkahnya terhenti di kantin, ia melihat Gina sedang berbicara pada bu Ceci, Rava mendekati keduanya. Gina tidak melirik Laki-laki itu sama sekali, berbeda dengan Rava yang sudah menebar senyum pada Gina maupun Bu Ceci."Gimana ulangan pagi ini? Dibolehin sama pak Harjo?" tanya Bu Ceci menggoda Rava yang tersenyum malu."Dibantuin sama Gina juga bu, kalau nggak yah udah daritadi aku kesini. Rava langsung cuci piring aja yah ke belakang
Sinar mentari menerobos jendela di kamar Rava yang semalam tidak dikunci. Rava terbangun karena pantulan sinar matahari. Ia bangkit untuk segera mandi, pagi ini Rava akan menjemput Gina untuk berangkat sekolah bersama.Selesai mandi Rava memakai seragam sekolah, menyisir rambut dan memakai kaca mata yang baru semalam di berikan oleh Melinda. Rava keluar kamar ibunya yang sedang menyiapkan sarapan untuk pagi ini."Selamat pagi bu, mau Rava bantuin?" tanya Rava hendak membantu Melinda yang sedang menumis kangkung dan tempe goreng. Menu sederhana Rava pagi ini sangat menggiurkan. Setelah matang ia dan Melinda makan dengan khidmat hanya berdua, Jiyo Ayahnya sedang bekerja di pabrik. Satu minggu sekali akan pulang.Rava cukup kangen dengan Ayahnya yang lama tidak pulang. Biasanya mereka akan makan bersama kadang juga berkebun ketika sore hari. Ia sangat merindukan sosok pahlawan itu."Nanti kalau kamu dapet nilai 100 ibu kasih uang lebih buat jajan hari
Malam ini Regina siap akan pergi kerumah Rava. Setelah makan malam dengan keluarganya selesai gadis itu bergegas mengganti pakaian di kamar. Memasukan buku-buku penting dan keperluan lainnya. Gina bangkit berjalan menuruni tangga, berpamitan kepada kedua orang tuanya."Ance pergi dulu yah Ma, nanti pulang jam 10," ujar Gina dengan menyebutkan Ance. Karena kedua orang tuanya memanggil Gina dengan sebutan Ance. Mau tak mau Gina menurut, ia juga tidak terlalu memperdulikan."Mau kemana lagi Ance? Kenapa tidak belajar dirumah saja?"Gina menatap Mamanya dengan malas, sekali bilang ia akan pergi Gina tidak mendengarkan larangan kedua orang tuanya. Gadis tetap berjalan tanpa berbalik untuk masuk kamar.Setelah masuk kedalam mobil. Regina duduk, ia mengambil ponselnya untuk mengabari Rava bahwa dirinya sebentar lagi akan sampai.Dirumah Rava terdiam sembari memegang buku paket fisika di tanganya. Besok ia ulangan fisika, jika pak Harjo tidak memperbolehkan
Siang ini Gina duduk di kantin sendirian. Matanya terus menatap pintu kantin, menunggu kedatangan sosok Ravangga yang tak kunjung datang. Ia melirik arlojinya yang menujukan pukul 10:5 menit artinya lima menit lagi bel istirahat berakhir dan sosok laki-laki itu belum datang menemuinya.Gina bangkit saat beberapa siswa berlarian menuju lapangan untuk melihat sesuatu yang terjadi. Pikirannya tidak enak, ia berjalan tergesa-gesa keluar kantin, langkahnya mematung saat di lapangan. Sosok yang sedaritadi ia tunggu sudah terkapar tak berdaya di lantai lapangan."RAVA!" Gina berlari membela kerumunan, ia berjongkok mengusap darah yang keluar dari hidung cowok itu. Mata Rava terpejam erat, Gina mengepalkan tanganya kuat, memandang seluruh murid yang hanya menyaksikan Rava yang pingsan."PAK ADRIAN! ADA SISWA YANG PINGSAN PAK, TOLONGIN SAYA!" teriak Gina menatap salah satu guru yang lewat, ia sangat berharap guru baik itu mau menolongnya. Dan benar, langkah Pak Adrian be
Guru Biologi itu menatap Rava dari atas sampai bawah. Rambut acak-acakan pakaian penuh dengan noda, bau busuk tercium dari seluruh tubuh cowok itu. Rava hendak berjalan duduk di bangku suara Pak Edy memperhentikan langkahnya."Jangan ikut pelajaran saya, keluar kamu Rava. Nanti yang ada semua teman-teman kamu tidak ada yang betah. Karena satu ruangan dengan kamu. Sebagai gantinya kamu berjemur sampai jam pelajaran saya habis.""Tapi kan pak--?" ujarnya dengan nada tak rela. Rava berbalik melangkah keluar kelas. Saat memasuki lapangan indor. Semua siswi maupun siswa menyorakinya karena bauh dari tubuh Rava yang menyengat.Rava tidak memperdulikan, ia melanjutkan langkahnya hingga sampai di tiang bendera. Melepaskan kaca mata lalu membersihkan dengan seragam putihnya. Rava memakai kembali kaca mata itu, pandangannya sudah jelas.Ia mengangkat tangan untuk hormat ke bendera merah-putih yang berkibar di atas sana. Segerombol cowok yang sedang bermain basket t
Pagi ini Regina di panggil oleh Bu Karen untuk ke UKS karena salah satu adik kelasnya bertengkar. Ia menyimpan buku diary nya di tas, setelah itu bangkit dan berjalan keluar kelas. Di koridor Regina menjadi pusat perhatian, selalu saat ia keluar dari kelas menjadi atensi mereka.Rambut pendek sebahu, kulit putih dan mulus, cantik dan pintar, berhati bak malaikat yang selalu menolong. Tapi sayang Regina terlalu cuek di lingkungan sekitar, ia tidak memiliki teman karena terlalu memilih. Hingga satu cewek di kelasnya pun menjauh tidak ada yang mau berteman dengan Regina.Langkah perempuan itu masuk dalam UKS. Selalu dia melihat korbannya adalah laki-laki berkacamata ini. Gina duduk di kursi ia menarik paksa tangan laki-laki itu untuk mengobatinya. Terdengar ringisan keluar dari bibir cowok itu."Mau sampe kapan hidup lo kaya gitu? jadi orang jangan pengecut, bangun jangan jadi pecundang, hadapi semua orang yang udah pernah buly lo! Buat mereka bertekuk lutut di had