Sepulang sekolah, Arion mendapati dirinya berada di dalam mobil mewah milik Brandon bersama beberapa orang pelajar yang tidak dikenalnya. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan tampak lebih tua dari Arion maupun Brandon. Mungkin kakak kelas mereka dari kelas dua belas. Beberapa berasal dari sekolah lain.
"Nanti akan ada lebih banyak yang datang. Tenang saja, Bro. Pokoknya nggak bakal bosenin."
Arion mengangkat sebelah alis. Ia ingin bertanya apa sebenarnya hal asyik yang akan mereka lakukan, tapi memutuskan untuk menahan diri.
Tujuan mereka ternyata adalah rumah besar bergaya modern milik keluarga Brandon.
"Orang tuaku sedang di luar kota." Brandon memberitahunya dengan cengiran lebar. "Jadi aman."
Mereka tiba di bagian belakang rumah. Sebuah paviliun didirikan terpisah di sebelah rumah utama. Suara musik yang berdentam-dentam keras memenuhi area langsung menyambutnya. Setengah bagian paviliun itu merupakan ruang terbuka yang menghadap ke
Ada satu suara kecil di benak Arion yang memberitahunya bahwa ia tidak seharusnya minum minuman beralkohol. Ia memperkirakan itu mungkin suara nuraninya yang selama ini selalu dididik dan digembleng orang tuanya untuk selalu mengikuti nilai moral. Ia mencemooh dalam hati. Memangnya orang tuanya mengikuti nilai moral yang selalu mereka ajarkan padanya? Dengan senyum pahit Arion mengulurkan tangan untuk mengisi gelas slokinya kembali. Namun, sebelah tangan halus memegang tangannya, menghentikan gerakan Arion. Ia mendongak, pandangannya berbenturan dengan wajah feminim yang tidak dikenalnya. "Jangan minum terlalu banyak," ujar gadis itu dengan suara halus. "Nanti mabuk." Arion tertawa rendah. "Aku kira kalian semua ingin aku mabuk?" "Tidak juga. Tidak semuanya." Sang gadis merapatkan tubuh pada Arion. "Contohnya aku. Daripada mabuk, aku lebih suka kalau kita memilih untuk melakukan sesuatu yang lebih menyenangkan." Suarany
"Kamu menangis lagi," ucap Juan ketika mereka akhirnya memiliki waktu untuk breakmakan siang. Lelaki dengan mata sebiru laut dalam itu memerhatikan wanita yang duduk di depannya dengan seksama. Alyasha hanya melambaikan tangan, menyuruhnya untuk tidak usah khawatir. "Bukankah sudah biasa?" Alyasha tertawa pahit. "Kapan aku tidak menangis kalau aku menyempatkan diri pulang ke rumah?" "Kalau begitu jangan pulang," kata Juan tanpa bisa menahan diri. Alyasha tertawa lagi. Kali ini lebih tulus. Seakan Juan benar-benar mengatakan sesuatu yang lucu. "Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu? Juan, aku masih istri sah Mas Arya." "Queenie," Juan meraih tangan Alyasha di atas meja, meremasnya lembut. "Aku tidak tahu apa yang masih membuatmu bisa bertahan. Tapi, aku sungguh tidak ingin melihatmu seperti ini." "Apa pilihan yang kupunyai, Juan? Apa aku harus meninggalkan Mas Arya? Meninggalkan kedua anakku?" Alyasha
"Gue peringatkan ke lo, ya. Jangan dekati Eri lagi!" geram si kakak kelas bertubuh besar. Dua orang temannya menyeringai di belakang. Arion ingat nama Eri. Si kakak kelas perempuan cantik yang ia temui di rumah Brandon. Mereka tidak pernah berhubungan setelah itu. Ia tidak suka seragamnya dikotori orang-orang yang tidak dikenal. Namun, ia juga tidak ingin menarik perhatian. Arion menahan diri untuk tidak menghantamkan tinjunya pada wajah orang itu. "Lepaskan," ujar Arion datar. Bukannya dilepas, kerahnya malah ditarik semakin kencang. Anak itu terkekeh. "Kalau gue nggak mau, terus lo mau apa? Nangis ke mak lo?" Arion mencengkeram pergelangan tangan yang tengah memegang kerah kemejanya. Ekspresi wajahnya tidak berubah, tapi, cengkeraman tangannya sangat kuat. Anak itu langsung mengernyit kesakitan. "Lepaskan," kata Arion lagi. Nada suara yang ia gunakan sangat dingin, membuat siapapun yang mendengar tanpa sadar merinding. Seolah
Arion menggeritkan gigi dan menggeram seperti binatang buas yang terperangkap. Ia mengerahkan seluruh kekuatan untuk menggulingkan orang yang berada di atasnya hingga posisi mereka tertukar. Kini, Arion berada di atas tubuh orang itu. Ia menggunakan seluruh bobot tubuh untuk menahan lawannya di tempat. Lalu, ia memukul keras-keras wajah pemuda itu. Ia memukul dua kali lagi agar mereka setimpal, dan sekali lagi karena ia dendam. Arion mungkin melihat satu gigi terlempar dari mulut pemuda di bawahnya, namun ia tidak peduli. Mereka berani mengganggunya berarti mereka siap dengan konsekuensinya. Dua orang yang saling menimpa sebelumnya telah pulih dan memegang masing-masing satu lengan Arion. Mereka menyeret Arion untuk menjauhi orang yang tengah ia hajar. Pemuda bertubuh besar mengerang kesakitan sambil menutupi wajahnya yang berdarah. Adrenalin masih menggelegak di pembuluh darah Arion. Ia menarik tangan kanannya hingga terlepas, lalu me
Orang-orang yang mengatas-namakan cinta untuk menikahi satu sama lain hanyalah mereka yang terikat dengan customdan norma dalam masyarakat. Atau, mereka adalah orang yang delusional. Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir cinta adalah perasaan yang bisa mempersatukan mereka selamanya, sementara mereka tahu bahwa perasaan manusia senantiasa berubah setiap saat? Arion telah mempelajari itu dari pengalaman pahit bernama kehidupan. Ia telah menyaksikan sendiri bagaimana pernikahan atas dasar cinta tidak lantas membuat kebahagiaan kekal selamanya. Arion telah belajar untuk tidak lagi memercayai hal-hal yang tidak pasti seperti itu. Perempuan yang sedang berbaring di atas ranjang menggeliat. Arion mengenakan kaus dan sedang dalam misi untuk mencari sebelah sepatunya. "Sudah mau pergi?" tanya perempuan itu sambil mendorong tubuhnya untuk bersandar ke kepala ranjang. Ia mengernyit ketika bagian bawahnya terasa sedikit ny
Arion bertemu dengan Aria enam bulan yang lalu. Ketika ia dan teman-temannya mengadakan kencan buta dengan sekelompok remaja putri yang tidak ia kenal di suatu bar. Dalam beberapa tahun terakhir, ini adalah hal yang biasa dilakukan Arion untuk menghabiskan waktu. Arion menyadari bahwa membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan sesaat tubuh lawan jenis adalah salah satu cara yang ampuh untuk melupakan sejenak segala beban pikiran yang menyesakkan hatinya. Minum minuman beralkohol hingga ia mabuk juga ampuh. Namun, Arion tidak suka rasahangoverdi pagi hari setelah efek mabuknya mereda. Belakangan, Arion menemukan bahwa mengisap rokok ganja jauh lebih efektif. Ketika ia bertemu dengan Aria, Arion berpikir gadis kecil itu masih sangat muda. Ia tidak seharusnya bergaul dengan teman-temannya yang jelas sekali terlihapt jauh lebih tua darinya. Ia juga menyadari kalau saat itu mungkin adalah pertama kalinya Aria menghadiri acar
Setelah Aria berhasil menenangkan diri, ia duduk sambil tertunduk di depan Arion. Ia terlihat seperti ingin kabur, atau ingin mengerut hingga menghilang ditelan bumi. Mereka masih berada di kamar hotel yang sama dan sudah mengenakan pakaian masing-masing. Arion duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Ia menatap Aria dengan pandangan menuduh. "Apa yang sudah kamu masukkan ke dalam minumanku?" tanya Arion dingin. Hilang sudah sosok pemuda ramah yang ditemui Aria semalam. "A-aku tidak memasukkan apa-apa, Kak," jawab Aria dengan suara bergetar takut. "Jangan berbohong padaku!" hardik Arion. Gadis itu terlonjak kaget. Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. "A-aku sungguh...sungguh tidak memasukkan apa-apa, Kak. Aku tidak bohong. Sungguh...." Sebulir air mata jatuh di pipi Aria. Ia tidak mengerti apa yang sudah terjadi. Ia hanya ingat ketika ia kembali dari toilet, Arion sudah duduk kembali di sofa dan memberitahu bahwa ia sudah
"Kak Arion?" Suara halus itu membuyarkan lamunan Arion. Ia menoleh dan mendapati Aria berdiri beberapa langkah di depannya. Gadis kecil itu masih sama seperti yang Arion ingat. Hanya, tubuhnya tampak sedikit lebih tinggi dan berisi. Rambutnya juga sedikit lebih panjang. "Aria," sapa Arion. "Duduklah." "Kak Arion, sebenarnya...." Aria menunduk dan menggigit bibir. Ia tampak ragu, namun setelah beberapa kali menghela napas, ia akhirnya memberanikan diri menatap Arion dan berkata, "A-aku hamil, Kak." Selama beberapa saat, Arion tidak menjawab. Ia menatap Aria dengan mata yang menyipit tajam. Menambah rasa gugup gadis itu karena ia tidak bisa membaca ekspresi Arion. Arion tengah berpikir, apa mungkin gadis ingusan ini juga menjebaknya? Mungkin saja ia sudah tahu minumannya diberi obat, namun ia tetap meminumnya karena ia ingin memeras Arion. Siapa tahu ia memang ingin kehamilan ini terjadi dan berharap bisa membuat Arion bertanggun