"Gue peringatkan ke lo, ya. Jangan dekati Eri lagi!" geram si kakak kelas bertubuh besar. Dua orang temannya menyeringai di belakang.
Arion ingat nama Eri. Si kakak kelas perempuan cantik yang ia temui di rumah Brandon. Mereka tidak pernah berhubungan setelah itu.
Ia tidak suka seragamnya dikotori orang-orang yang tidak dikenal. Namun, ia juga tidak ingin menarik perhatian. Arion menahan diri untuk tidak menghantamkan tinjunya pada wajah orang itu.
"Lepaskan," ujar Arion datar.
Bukannya dilepas, kerahnya malah ditarik semakin kencang.
Anak itu terkekeh. "Kalau gue nggak mau, terus lo mau apa? Nangis ke mak lo?"
Arion mencengkeram pergelangan tangan yang tengah memegang kerah kemejanya. Ekspresi wajahnya tidak berubah, tapi, cengkeraman tangannya sangat kuat. Anak itu langsung mengernyit kesakitan.
"Lepaskan," kata Arion lagi. Nada suara yang ia gunakan sangat dingin, membuat siapapun yang mendengar tanpa sadar merinding. Seolah
Arion menggeritkan gigi dan menggeram seperti binatang buas yang terperangkap. Ia mengerahkan seluruh kekuatan untuk menggulingkan orang yang berada di atasnya hingga posisi mereka tertukar. Kini, Arion berada di atas tubuh orang itu. Ia menggunakan seluruh bobot tubuh untuk menahan lawannya di tempat. Lalu, ia memukul keras-keras wajah pemuda itu. Ia memukul dua kali lagi agar mereka setimpal, dan sekali lagi karena ia dendam. Arion mungkin melihat satu gigi terlempar dari mulut pemuda di bawahnya, namun ia tidak peduli. Mereka berani mengganggunya berarti mereka siap dengan konsekuensinya. Dua orang yang saling menimpa sebelumnya telah pulih dan memegang masing-masing satu lengan Arion. Mereka menyeret Arion untuk menjauhi orang yang tengah ia hajar. Pemuda bertubuh besar mengerang kesakitan sambil menutupi wajahnya yang berdarah. Adrenalin masih menggelegak di pembuluh darah Arion. Ia menarik tangan kanannya hingga terlepas, lalu me
Orang-orang yang mengatas-namakan cinta untuk menikahi satu sama lain hanyalah mereka yang terikat dengan customdan norma dalam masyarakat. Atau, mereka adalah orang yang delusional. Bagaimana mungkin mereka bisa berpikir cinta adalah perasaan yang bisa mempersatukan mereka selamanya, sementara mereka tahu bahwa perasaan manusia senantiasa berubah setiap saat? Arion telah mempelajari itu dari pengalaman pahit bernama kehidupan. Ia telah menyaksikan sendiri bagaimana pernikahan atas dasar cinta tidak lantas membuat kebahagiaan kekal selamanya. Arion telah belajar untuk tidak lagi memercayai hal-hal yang tidak pasti seperti itu. Perempuan yang sedang berbaring di atas ranjang menggeliat. Arion mengenakan kaus dan sedang dalam misi untuk mencari sebelah sepatunya. "Sudah mau pergi?" tanya perempuan itu sambil mendorong tubuhnya untuk bersandar ke kepala ranjang. Ia mengernyit ketika bagian bawahnya terasa sedikit ny
Arion bertemu dengan Aria enam bulan yang lalu. Ketika ia dan teman-temannya mengadakan kencan buta dengan sekelompok remaja putri yang tidak ia kenal di suatu bar. Dalam beberapa tahun terakhir, ini adalah hal yang biasa dilakukan Arion untuk menghabiskan waktu. Arion menyadari bahwa membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan sesaat tubuh lawan jenis adalah salah satu cara yang ampuh untuk melupakan sejenak segala beban pikiran yang menyesakkan hatinya. Minum minuman beralkohol hingga ia mabuk juga ampuh. Namun, Arion tidak suka rasahangoverdi pagi hari setelah efek mabuknya mereda. Belakangan, Arion menemukan bahwa mengisap rokok ganja jauh lebih efektif. Ketika ia bertemu dengan Aria, Arion berpikir gadis kecil itu masih sangat muda. Ia tidak seharusnya bergaul dengan teman-temannya yang jelas sekali terlihapt jauh lebih tua darinya. Ia juga menyadari kalau saat itu mungkin adalah pertama kalinya Aria menghadiri acar
Setelah Aria berhasil menenangkan diri, ia duduk sambil tertunduk di depan Arion. Ia terlihat seperti ingin kabur, atau ingin mengerut hingga menghilang ditelan bumi. Mereka masih berada di kamar hotel yang sama dan sudah mengenakan pakaian masing-masing. Arion duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Ia menatap Aria dengan pandangan menuduh. "Apa yang sudah kamu masukkan ke dalam minumanku?" tanya Arion dingin. Hilang sudah sosok pemuda ramah yang ditemui Aria semalam. "A-aku tidak memasukkan apa-apa, Kak," jawab Aria dengan suara bergetar takut. "Jangan berbohong padaku!" hardik Arion. Gadis itu terlonjak kaget. Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan. "A-aku sungguh...sungguh tidak memasukkan apa-apa, Kak. Aku tidak bohong. Sungguh...." Sebulir air mata jatuh di pipi Aria. Ia tidak mengerti apa yang sudah terjadi. Ia hanya ingat ketika ia kembali dari toilet, Arion sudah duduk kembali di sofa dan memberitahu bahwa ia sudah
"Kak Arion?" Suara halus itu membuyarkan lamunan Arion. Ia menoleh dan mendapati Aria berdiri beberapa langkah di depannya. Gadis kecil itu masih sama seperti yang Arion ingat. Hanya, tubuhnya tampak sedikit lebih tinggi dan berisi. Rambutnya juga sedikit lebih panjang. "Aria," sapa Arion. "Duduklah." "Kak Arion, sebenarnya...." Aria menunduk dan menggigit bibir. Ia tampak ragu, namun setelah beberapa kali menghela napas, ia akhirnya memberanikan diri menatap Arion dan berkata, "A-aku hamil, Kak." Selama beberapa saat, Arion tidak menjawab. Ia menatap Aria dengan mata yang menyipit tajam. Menambah rasa gugup gadis itu karena ia tidak bisa membaca ekspresi Arion. Arion tengah berpikir, apa mungkin gadis ingusan ini juga menjebaknya? Mungkin saja ia sudah tahu minumannya diberi obat, namun ia tetap meminumnya karena ia ingin memeras Arion. Siapa tahu ia memang ingin kehamilan ini terjadi dan berharap bisa membuat Arion bertanggun
Annanda berpikir mungkin yang mereka katakan itu benar. Mungkin ia memang anak sial dan ibunya menyesal karena telah melahirkannya. Salah seorang anak tiba-tiba melemparkan sesuatu padanya. Benda itu pecah ketika membentur kening Annanda dan mengeluarkan cairan lengket serta bau amis. Seseorang baru saja melemparinya dengan telur. Ini hal baru. Lukas buru-buru melepaskan cengkeramannya pada rambut Annanda karena tidak mau kecipratan telur. "Sial," umpatnya, namun bibir Lukas menyeringai kejam. "Darimana kamu mendapat itu?" Si pelempar telur, Rina, tersenyum lebar dan menunjukkan isi tas jinjing yang ia bawa. Penuh dengan telur. Semua orang langsung mengerumuni Rina dan mengambil bagian telur mereka. Hari itu, jam pelajaran sedang kosong karena guru-guru sedang rapat. Tidak akan ada yang melihat apa yang akan mereka lakukan. Annanda membiarkan mereka melemparinya dengan telur sampai mereka bosan. Ketika telur mer
"Arion nggak asyik!" Brandon mengusap bagian belakang kepalanya yang terbentur dinding ketika Arion menarik kerah belakang bajunya agar menjauh dari gadis kecil yang hampir berhasil ia lecehkan. Arion hanya melirik padanya dengan tatapan dingin. "Kalian serius mau melakukan itu? Di siang bolong begini? Di tempat umum? Akal sehat kalian di mana?" tanya Arion acuh. "Aku nggak peduli entah kalian mau sama gadis ingusan begitu atau tante-tante girang. Tapi, lakukan dengan benar. Kalau nama baikku sampai ikut tercoreng karena kalian, aku hajar kalian sampai mampus," lanjut Arion. Brandon hanya mencibir namun tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu apa yang dikatakan Arion benar. Beberapa tahun terakhir, nama baik Brandon memang jauh lebih bersih setelah ia mengikuti Arion. Arion selalu bermain bersih. Teman-temannya yang lain juga tidak mengatakan apa-apa. Arion jauh lebih kuat dari mereka. Kalau mereka memprotes lebih jauh, mereka akan babak bel
Aria termenung menatap buku pelajaran di depannya. Perhatiannya sama sekali tidak berada pada rumus-rumus yang terbuka di halaman buku itu. "Kak Aria," panggil Niko yang tengah duduk di depannya. Remaja itu lebih muda dua tahun dari Aria, namun ia jauh lebih pintar dalam pelajaran matematika. Niko tengah berusaha mengajari Aria tentang rumus-rumus yang tidak sedikitpun dimengerti olehnya. "Ayo, konsentrasi. Kak Aria nggak mau gagal lagi dalam try out, 'kan?" "Jelas nggaklah. Memangnya siapa yang mau gagal terus?" "Kalau begitu, belajar yang serius. Jangan bengong." Orang tua Aria adalah orang yang sangat konservatif dan kaku. Sebagai anak gadis satu-satunya, Aria selalu merasa terlalu dikekang dan tidak diberi kebebasan sedikitpun. Tidak boleh keluar malam-malam. Tidak boleh bergaul dengan lawan jenis. Tidak boleh berpakaian minim. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Kalau Niko bukan temannya sejak kecil, orang tuanya ti
Apa yang kau inginkan, Annanda.Jika pertanyaan itu diucapkan padanya ketika ia masih kecil, Annanda akan memiliki banyak sekali jawaban. Banyak sekali hal di yang ia inginkan di dunia ini.Namun Annada yang sekarang bukan lagi anak kecil naif yang masih menatap dunia di sekitarnya dengan mata berbinar-binar penuh harap dan kebahagiaan. Banyak sekali hal yang telah disaksikan oleh kedua pasang mata itu, dan hal-hal tersebut telah membuat Annada berubah jauh dari ia yang dulu.Annanda menatap anak lelaki yang berdiri demikian dekat darinya. Wajah mereka demikian dekat hingga ia bisa mencium aroma mint napas Arga. Sepasang mata kelam yang tajam itu tampak seperti danau gelap tanpa dasar. Annanda ingin tenggelam di dalamnya, namun juga takut.Apa yang ia inginkan?Tidak ada banyak hal di dunia ini yang masih bisa ia sebut sebagai miliknya. Annanda yang sekarang tidak memiliki keberanian untuk untuk mengakui apakah ia diijinkan untuk meng-klaim sesuatu yang berharga seperti Arga sebagai m
Annanda menciumnya.Ulangi.Annanda menciumnya.Roger that!Arga sampai sama sekali tidak bergerak saking kagetnya ia. Ia hanya berdiri mematung di sana seperti orang bodoh, dengan bibir sedikit membuka karena syok. Jangan salah paham. Ini tentu saja bukan kali pertama ia ciuman, oke?! Walaupun bersetubuh lebih sering ia lakukan daripada berciuman, tetap saja ia bukannya orang yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini!Reaksinya yang hanya terpaku diam semata-mata dikarenakan syok! Sama sekali bukan karena ia tidak tahu harus melakukan apa dengan tangan, bibir, dan anggota tubuhnya yang lain. Otaknya benar-benar blank. Seperti kartu memori yang tidak sengaja ter-format dan kini kosong melompong. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain tubuh Annanda yang lebih pendek darinya berjinjit untuk meraih Arga yang tidak kepikiran untuk menunduk. Harumnya yang manis dan terkecap sampai ke belakang tenggorokan Arga. Hangat bibirnya...Annanda mengeluarkan suara pelan yang teredam
Hari sudah sore. Matahari sudah sangat condong di ufuk barat, hampir sepenuhnya tenggelam. Waktu berlalu dengan cepat ketika kau mendongkol sepanjang hari.Arga bermaksud untuk pulang. Sungguh. Ia bahkan telah mengambil jalan memutar untuk keluar lewat gerbang belakang karena Mahesa memberitahu bahwa Anna menunggunya di gerbang depan. Ia tidak ingin melihat wajah anak itu untuk sementara ini.Ia tidak ingin...."...."Anna mendongak ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Mata cokelat hangat itu bertemu dengan obsidian gelap milik Arga. Anak lelaki itu menahan keinginannya untuk segera berpaling dan lari. Atau berjalan mendekat untuk menghampiri gadis itu. Tidak, tidak. Coret kalimat yang terakhir. Arga tidak ingin menghampiri Annanda. Sama sekali tidak.Sepertinya ada sesuatu yang tercermin dalam ekspresi Arga, karena setelah beberapa saat berdiri diam dan memandangnya tanpa ekspresi, Annanda akhirnya memalingkan pandangan sedikit, sebelum membuka mulut untuk bicara.
Ren sesungguhnya tidak benar-benar serius ketika ia menawarkan diri untuk berbicara pada Annanda.Annanda, meski ia adalah seorang gadis dan tubuhnya jauh lebih kerempeng daripada Ren, tetap saja menakutkan bagi anak laki-laki tersebut mengingat Ren pernah melihat sendiri bagaimana ia menyeret seorang kakak kelas dengan begitu brutalnya hingga hair extention kakak kelas tersebut lepas semua.Annanda sangat ganas. Muka juteknya sama sekali tidak menolong kesan pertama yang Ren miliki tentangnya.Namun Ren sudah terlanjur berkata pada Mahesa bahwa ia akan menemui Annanda. Ia tidak suka berbohong pada orang lain, terlebih pada sahabatnya sendiri.Maka, ketika Bastian dan Mahesa membereskan bola-bola basket yang mereka gunakan untuk latihan sebelumnya, Ren menyandang tas punggung di sebelah bahunya dan melangkah menuju gerbang depan sekolah.Ren melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang, memunggunginya. Namun orang tersebut jelas bukan Annanda.Dilihat sekilas pun, walau Ren hany
Saran Niko untuk meminta maaf berputar-putar di benak Annanda seperti lebah yang mendengung mengganggu.Haruskah ia melakukannya? Namun, Annanda tidak pernah memilikiskillyang baik dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Arga yang terlihat sekali sedang menghindarinya dan masih kesal padanya.Lama-lama, Annanda jadi pusing sendiri. Hatinya terus menerus mendesaknya untuk mendekat dan menyapa, namun, kata-kata tidak mau keluar dari bibirnya.Alhasil, beberapa kali berpapasan dengan Arga, ia selalu terdiam dan membeku di tempat sembari memaku pandangan pada sang pemuda namun ia tidak mengatakan apapun.Arga hanya menatapnya sekilas sembari mengangkat sebelah alis. Meliha
"Jadi?"Niko mengangkat kepalanya sedikit. Ia baru sadar Annanda menuntunnya ke sebuah ruangan yang jauh dari keramaian. Tidak ada siapapun di sini. Hanya meja dan kursi yang ditumpuk-tumpuk dan kardus-kardus yang entah berisi apa. Sepertinya ini ruang kelas lama yang dialihfungsikan sebagai gudang.Annanda menunggu jawaban dengan tangan disilangkan di depan dada. Ekspresinya sedatar permukaan meja, namun, Niko hampir bisa melihat api tak kasat mata berkobar di belakang tubuhnya.Niko menelan ludah sembari berpikir alangkah beruntungnya ia karena belum juga dihajar hingga detik itu."Anna," ucap Niko. "Mau jadi pacarku, nggak?"Ia mungkin akan dihajar di detik selanjutnya.
"Jadi, Anna." Mahesa bertanya padanya ketika pesanan mereka telah terhidang di meja. "Menurutmu, Arga bagaimana?""Keras kepala dan agak gila," sahut Annanda cepat. "Juga sangat menyebalkan. Bukan kombinasi sifat yang bagus."Sebastian terkekeh senang. "Ini pertama kali aku mendengar pendapat semacam itu tentang Arga. Biasanya, orang akan berkata ia ramah, baik hati, tidak sombong, blablabla.""Ini juga pertama kali Arga mengejar-ngejar seseorang sampaiseperti itu," timpal Ren.Sebastian mengangguk setuju. "Biasanya dia yang dikejar-kejar.""Arga masih dikejar-kejar, kok." Ren mengunyah roti melon miliknya. "Kemarin sekitar empat atau lima kali ke belakang gedung. Pas
Orang yang terakhir muncul adalah Mahesa Saputra. Ia membawa duacup cappuchinodi masing-masing tangan. Ia tinggi, tenang dan kalem. Pembawaannya dewasa dan tampak seperti tidak banyak bicara. Ia mengulurkan salah satucuppada Annanda dengan senyum kecil yang teduh. Annanda otomatis menerimanya karena entah kenapa orang ini seperti memiliki aura lembut seperti ia tidak akan mencelakai bahkan seekor nyamuk pun. "Thanks," ucap Annanda pelan. "Sama-sama, Annanda." "Panggil saja Anna," ralat gadis itu. Mahesa mengangkat sebelah alis, namun memutuskan untuk tidak berkomentar. "Anna,
"Arga," panggil Ren. "Orang yang kamu kejar-kejar setiap hari itu benar-benar parah." Ren melihat bagaimana Annanda menyeret seorang siswi lain tanpa ampun sepanjang koridor sekolah. Di siang bolong. Gadis liar macam apa yang bisa berlaku seperti itu? "Hm?" Arga menggumam tidak peduli. "Oh, dia pasti punya alasan sendiri, kok." "Meski begitu, tetap saja dia itu barbar sekali," bantah Ren. Arga mengangkat sebelah alisnya. "Ren, apa kamu pernah di-bully?" "Tentu saja enggak! Kalau ada yang berani berpikir begitu, ia bakal menyesal seumur hidup dan-" Kesadaran nampak di wajah remaja berwajah imut itu. "Dia di-bully