Setelah Aria berhasil menenangkan diri, ia duduk sambil tertunduk di depan Arion. Ia terlihat seperti ingin kabur, atau ingin mengerut hingga menghilang ditelan bumi.
Mereka masih berada di kamar hotel yang sama dan sudah mengenakan pakaian masing-masing. Arion duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Ia menatap Aria dengan pandangan menuduh.
"Apa yang sudah kamu masukkan ke dalam minumanku?" tanya Arion dingin. Hilang sudah sosok pemuda ramah yang ditemui Aria semalam.
"A-aku tidak memasukkan apa-apa, Kak," jawab Aria dengan suara bergetar takut.
"Jangan berbohong padaku!" hardik Arion.
Gadis itu terlonjak kaget. Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan.
"A-aku sungguh...sungguh tidak memasukkan apa-apa, Kak. Aku tidak bohong. Sungguh...."
Sebulir air mata jatuh di pipi Aria. Ia tidak mengerti apa yang sudah terjadi. Ia hanya ingat ketika ia kembali dari toilet, Arion sudah duduk kembali di sofa dan memberitahu bahwa ia sudah
"Kak Arion?" Suara halus itu membuyarkan lamunan Arion. Ia menoleh dan mendapati Aria berdiri beberapa langkah di depannya. Gadis kecil itu masih sama seperti yang Arion ingat. Hanya, tubuhnya tampak sedikit lebih tinggi dan berisi. Rambutnya juga sedikit lebih panjang. "Aria," sapa Arion. "Duduklah." "Kak Arion, sebenarnya...." Aria menunduk dan menggigit bibir. Ia tampak ragu, namun setelah beberapa kali menghela napas, ia akhirnya memberanikan diri menatap Arion dan berkata, "A-aku hamil, Kak." Selama beberapa saat, Arion tidak menjawab. Ia menatap Aria dengan mata yang menyipit tajam. Menambah rasa gugup gadis itu karena ia tidak bisa membaca ekspresi Arion. Arion tengah berpikir, apa mungkin gadis ingusan ini juga menjebaknya? Mungkin saja ia sudah tahu minumannya diberi obat, namun ia tetap meminumnya karena ia ingin memeras Arion. Siapa tahu ia memang ingin kehamilan ini terjadi dan berharap bisa membuat Arion bertanggun
Annanda berpikir mungkin yang mereka katakan itu benar. Mungkin ia memang anak sial dan ibunya menyesal karena telah melahirkannya. Salah seorang anak tiba-tiba melemparkan sesuatu padanya. Benda itu pecah ketika membentur kening Annanda dan mengeluarkan cairan lengket serta bau amis. Seseorang baru saja melemparinya dengan telur. Ini hal baru. Lukas buru-buru melepaskan cengkeramannya pada rambut Annanda karena tidak mau kecipratan telur. "Sial," umpatnya, namun bibir Lukas menyeringai kejam. "Darimana kamu mendapat itu?" Si pelempar telur, Rina, tersenyum lebar dan menunjukkan isi tas jinjing yang ia bawa. Penuh dengan telur. Semua orang langsung mengerumuni Rina dan mengambil bagian telur mereka. Hari itu, jam pelajaran sedang kosong karena guru-guru sedang rapat. Tidak akan ada yang melihat apa yang akan mereka lakukan. Annanda membiarkan mereka melemparinya dengan telur sampai mereka bosan. Ketika telur mer
"Arion nggak asyik!" Brandon mengusap bagian belakang kepalanya yang terbentur dinding ketika Arion menarik kerah belakang bajunya agar menjauh dari gadis kecil yang hampir berhasil ia lecehkan. Arion hanya melirik padanya dengan tatapan dingin. "Kalian serius mau melakukan itu? Di siang bolong begini? Di tempat umum? Akal sehat kalian di mana?" tanya Arion acuh. "Aku nggak peduli entah kalian mau sama gadis ingusan begitu atau tante-tante girang. Tapi, lakukan dengan benar. Kalau nama baikku sampai ikut tercoreng karena kalian, aku hajar kalian sampai mampus," lanjut Arion. Brandon hanya mencibir namun tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu apa yang dikatakan Arion benar. Beberapa tahun terakhir, nama baik Brandon memang jauh lebih bersih setelah ia mengikuti Arion. Arion selalu bermain bersih. Teman-temannya yang lain juga tidak mengatakan apa-apa. Arion jauh lebih kuat dari mereka. Kalau mereka memprotes lebih jauh, mereka akan babak bel
Aria termenung menatap buku pelajaran di depannya. Perhatiannya sama sekali tidak berada pada rumus-rumus yang terbuka di halaman buku itu. "Kak Aria," panggil Niko yang tengah duduk di depannya. Remaja itu lebih muda dua tahun dari Aria, namun ia jauh lebih pintar dalam pelajaran matematika. Niko tengah berusaha mengajari Aria tentang rumus-rumus yang tidak sedikitpun dimengerti olehnya. "Ayo, konsentrasi. Kak Aria nggak mau gagal lagi dalam try out, 'kan?" "Jelas nggaklah. Memangnya siapa yang mau gagal terus?" "Kalau begitu, belajar yang serius. Jangan bengong." Orang tua Aria adalah orang yang sangat konservatif dan kaku. Sebagai anak gadis satu-satunya, Aria selalu merasa terlalu dikekang dan tidak diberi kebebasan sedikitpun. Tidak boleh keluar malam-malam. Tidak boleh bergaul dengan lawan jenis. Tidak boleh berpakaian minim. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Kalau Niko bukan temannya sejak kecil, orang tuanya ti
Pikiran Aria kusut. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi. Pesan dari Arion muncul di ponselnya siang tadi. Memberitahu Aria bahwa ia sudah menemukan tempat dan orang yang cocok untuk menggugurkan kandungan. Tinggal menunggu kapan Aria siap. Lebih cepat, lebih baik. Kalau saja pesan dari Arion tiba dua atau tiga hari lebih awal, ini semua tidak akan terjadi. Kandungan Aria pasti sudah digugurkan sebelum ia ketahuan. Aria ingin tertawa, lalu menangis. Betapa kejamnya takdir yang mempermainkannya ini! Aria tidak pernah keluar rumah untuk pergi ke bar seumur hidup. Ia hanya pergi sekali dan ia berakhir tidur dengan seorang yang tidak diinginkan. Ia hanya pernah berhubungan intim sekali, dan ia berakhir hamil. Sekarang, ketika ia sudah memutuskan untuk menggugurkan kandungannya, ia hanya terlambat satu langkah! Permainan apa yang sedang Tuhan berikan untuknya ini? Wajah marah dan kecewa sang ayah membayang di matanya. Wajah sedih da
Andra menarik kerah kemejanya hingga ia kembali bangkit. "Brengsek lo!" teriak Andra sambil mengguncang Niko. Niko bisa mengecap rasa darah di lidahnya akibat pukulan Andra. Rasa marah mulai menguasainya. Ia tidak punya waktu untuk ini. Ia harus segera pergi ke tempat Aria. "Lepaskan! Kak Andra apa-apaan?!" Bukannya dilepas, cengkeraman Andra malah semakin erat. "Lo yang apa-apaan! Kenapa lo tega lakuin itu?!" Lakuin apa? Niko tidak merasa punya masalah dengan orang ini. Ia merenggut tangan Andra dari pakaiannya hingga terlepas. Niko merasa kesabarannya mulai terkikis. "Lakuin apa? Apa maksud Kak Andra? Aku enggak ngelakuin apa-apa!" "Lo masih bisa berpura-pura seperti ini?!" Andra melayangkan pukulan kembali, namun kali ini Niko menangkap tangannya. Ia tidak bersedia dipukuli tanpa alasan yang jelas. "Aku enggak punya waktu meladeni kegilaan Kak Andra!" Andra tertawa marah, "Oh gitu? Terus lo punya wakt
"Saya tidak mengerti-" "Kita akan melewatkan sesi elak mengelak, Niko," potong wanita paruh baya itu sembari menautkan kesepuluh jemainya di atas meja. Seperti sedang berdoa. "Terlepas dari apakah kamu sungguh melakukannya atau tidak, hal ini sudah terjadi." Kata-kata yang blak-blakan seperti itu terasa seperti bogem mentah yang dilayangkan ke tulang rusuk Niko. Kepanikan mulai merambati pikirannya. Ia dituduh menghamili Aria hingga sang kakak kelas bunuh diri. Tuduhan itu dipajang di media massa. Diperlihatkan kepada semua orang bahwa Niko adalah seorang pemerkosa dan pembunuh. Niko bahkan belum sempat membiarkan dirinya berduka atas kematian Aria. Pikirannya semata-mata menolak untuk memikirkan hal itu. "Kenyataan bahwa ini adalah inisial namamu," lanjut Bu Elina. Kukunya yang dimanikur dan dicat merah darah mengetuk-ngetuk surat kabar. "adalah apa yang sebenarnya kita hadapi." Niko bungkam. Ia ingin membela diri. Ia ingin berteriak dan meng
Niko sangat menyegani ayahnya. Mereka memang tidak sering menghabiskan waktu bersama. Namun, pembawaan sang ayah yang penuh wibawa dan karisma membuat Niko mengaguminya sejak kecil. Ayahnya, Deni Hendratta, tidak sekaku dan sekeras ayah teman-temannya. Ia selalu membiarkan Niko untuk menggeluti berbagai macam hobi yang ia inginkan dan selalu mendukung hobi tersebut. Entah itu panahan, piano, klub sastra, teater, apapun itu, sang ayah tidak pernah melarang. Ia juga selalu bangga tiap kali Niko menunjukkan hasil ulangan. Tidak peduli jika Niko berada di peringkat atas atau tidak, selama nilainya tidak merah, ayah akan tersenyum dan memujinya. Ia juga sangat memercayai Niko untuk bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan perbuatannya. Dibandingkan dengan sang ayah, Niko tidak begitu dekat dengan ibunya. Sang ibu, Wulan Anggraeni, memiliki watak tegas dan tidak banyak bicara. Membuat Niko kadang-kadang merasa takut karena ia tidak bisa memba