Niko sangat menyegani ayahnya. Mereka memang tidak sering menghabiskan waktu bersama. Namun, pembawaan sang ayah yang penuh wibawa dan karisma membuat Niko mengaguminya sejak kecil.
Ayahnya, Deni Hendratta, tidak sekaku dan sekeras ayah teman-temannya.
Ia selalu membiarkan Niko untuk menggeluti berbagai macam hobi yang ia inginkan dan selalu mendukung hobi tersebut. Entah itu panahan, piano, klub sastra, teater, apapun itu, sang ayah tidak pernah melarang.
Ia juga selalu bangga tiap kali Niko menunjukkan hasil ulangan. Tidak peduli jika Niko berada di peringkat atas atau tidak, selama nilainya tidak merah, ayah akan tersenyum dan memujinya.
Ia juga sangat memercayai Niko untuk bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan perbuatannya.
Dibandingkan dengan sang ayah, Niko tidak begitu dekat dengan ibunya. Sang ibu, Wulan Anggraeni, memiliki watak tegas dan tidak banyak bicara. Membuat Niko kadang-kadang merasa takut karena ia tidak bisa memba
Niko mengelus topibaseballputih di pangkuannya. Hadiah ulang tahun yang kedelapan dari sang ayah. Dulu, menurutnya topi itu keren sekali sewaktu ia pakai untuk latihanbaseball. Niko tersenyum kecil mengingat ia pernah dengan bangga memamerkan topi itu pada teman-temannya. Seketika ia ingat kejadian hari ini. Niko melempar topi itu ke sudut paling bawah lemari yang sengaja ia buka. Remaja itu lanjut mengepaki barang-barangnya. Hanya butuh beberapa menit sampai ia selesai. Niko memutuskan untuk tidak membawa terlalu banyak barang. Ia berpikir hal itu hanya akan membuatnya lebih banyak teringat akan kejadian hari ini daripada kenangan indah. Niko mengedarkan pandangan sekali lagi ke seisi ruangan. Kamar ini ia pakai lebih dari sepuluh tahun. Tempat ini adalah saksi bisu tentang bagaimana Niko tumbuh dan berubah seiring pertambahan umurnya. Ia mungkin tidak akan melihat kamar ini lagi dalam waktu yang lama. Mungkin sela
Alyasha menatap nanar surat yang disodorkan sang suami di atas meja. Arion dan Annanda sudah kembali ke kamar masing-masing. Hanya ia dan Mas Arya yang masih duduk berdua di ruang tengah. Mereka tidak mengucapkan apa-apa. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alyasha mengangkat wajah untuk menatap Mas Arya. "Mas...." Mas Arya menoleh padanya. Ada gurat lelah dan luka di dalam matanya dan Alyasha tidak tahu kenapa. Ia tidak mengerti kenapa Mas Arya masih bisa menunjukkan wajah bersedih di saat ia yang mengajukan gugatan perceraian. "Kita hentikan saja semua ini, Alya," ujarnya pelan. Nadanya terkesan berat dan penuh beban. Seolah-olah ia sudah tidak sanggup untuk melanjutkan permainan rumah tangga yang sedang mereka lakoni. Atau mungkin memang sebenarnya seperti itu. Alyasha sendiri juga merasa lelah. Ia masih mencintai Mas Arya. Perasaannya masih tidak berubah bahkan setelah semua yang Mas Arya lakukan. Alyasha masih tetap mencintainy
Annanda menatap kosong langit-langit kamarnya. Beberapa hari terakhir ia dan ibu diantar dan dijemput oleh Arion. Suasana di dalam mobil terasa sangat canggung dan menyesakkan sampai-sampai Annanda berpikir akan lebih mendingan jika ia pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Kalau bisa memilih, Annanda lebih suka diantar oleh Mang Tito. Setidaknya supir mereka yang setia tidak akan menyindir dan mencemooh Annanda di setiap kesempatan. Mang Tito selalu tersenyum ketika menyapa Annanda dan selalu mengajak berbincang di sepanjang perjalanan. Gadis yang beranjak remaja itu menutup mata dengan sebelah tangan. Sialnya, ingatan tentang seorang kakak yang dulu sangat menyayanginya malah kembali terputar dalam benaknya. Dulu, Arion sering sekali mengajaknya untuk membeli buku, kemudian, mereka akan mampir ke kedai es boba. Kini, koleksi buku Annanda sudah lama sekali tidak bertambah. Koleksi buku-bukunya yang lama berada di dalam lemari di sudut kamar, terkunci
Arion mengisap rokokcannabis-nya dalam-dalam dan menahan asap itu selama mungkin di paru-paru sampai dadanya terasa sakit. Ia mendongak, mengembuskan napas pelan-pelan dan memerhatikan gulungan asap yang keluar dari bibirnya. Sebentar lagi ia harus menjemput ibu dan adiknya. Arion butuh menenangkan diri sebelum bertemu dengan dua orang yang paling ia benci. Hanya dengan merokok ia bisa mendapat ketenangan ituuc. Ia tahucannabisakan membuatnya ketergantungan. Merusak tubuh dan pikirannya. Tapi, memangnya apa yang masih belum rusak dari dirinya? Tidak ada bedanya jika ia memakai narkoba atau tidak. Ia memang sudah rusak. Apa boleh buat. Arion beranjak, dan merasa dunia ikut berputar. Ia berpegangan pada punggung sofa, menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikiran. Ketika sudah bisa mengendalikan diri, Arion mengendarai mobilnya keluar dari rumah. *** Annanda menunggu lama sekali di depan sekolah hing
Kota Berlin hari itu membeku. Suhu dingin bulan Nopember membuat Aryadi harus mengenakan berlapis-lapis pakaian ketika keluar dari hotel tempatnya menginap untuk menuju ke tempat meeting. Hanya tinggal selangkah lagi dengan sejumlah penandatanganan berkas-berkas, maka ia bisa mulai pembangunan cabang perusahaannya di sini. Ini salah satu langkah besar untuk perkembangan bisnisnya. Aryadi baru melepaskan mantel dan hendak menaruhnya di ruang yang disediakan ketika ia ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari salah satu anak buah kepercayaannya. Aryadi memutuskan untuk mengangkat telepon itu karena ia tahu bawahannya tidak akan menghubungi jika tidak ada masalah mendesak. "Ya, Arman?" tanya Aryadi tanpa basa-basi. "Pak Arya." Suara gugup Arman terdengar tidak seperti biasa. Pria itu selalu berbicara dengan tegas dan to the point, yang merupakan salah satu hal yang disukai Aryadi dari cara kerjanya. Aryadi mengerutkan kening mendengarkan kata
Aryadi merasa mati rasa. Rasanya, jika ada yang menikamnya dengan pisau saat ini, ia tidak akan bisa merasakan apa-apa. Sejujurnya, ia akan lebih memilih seseorang untuk menikamnya, daripada merasa hampa seperti ini. Aryadi tidak tahu bagaimana ia bisa melalui hari itu dengan tenang dan menyelesaikan prosesi pemakaman Alyasha tanpa banyak masalah. Ia seolah-olah bukan dirinya ketika berinteraksi dengan orang-orang yang melayat. Aryadi tidak banyak menunjukkan ekspresi di depan mereka. Ia merasa hari itu berlalu dengan agak kabur. Ia tidak ingat sebagian besar jalannya prosesi pemakaman itu. Namun, ia jelas ingat wajah Alyasha. Wajah sang istri terlihat damai seolah-olah ia tengah tertidur. Hanya saja, Alyasha tidak pernah terlihat sepucat itu. Luka lecet dan lebam mewarnai wajahnya. Luka-luka yang tidak akan bisa sembuh lagi. Aryadi mendudukkan diri di tepi ranjang di kamar utama. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan seper
Annanda duduk bersandar di atas kasur pasien yang tidak terasa nyaman. Sekarang, setelah ia bisa berpikir dengan sedikit lebih jernih, ia berusaha mengumpulkan dan merunut kepingan-kepingan ingatannya tentang kecelakaan yang telah ia alami. Rasanya ajaib sekali ia bisa selamat padahal ia sempat terpental ke luar mobil. Sepertinya Arion juga tidak mengalami luka yang serius, mengingat kemarin ia sempat keluyuran ke kamar Annanda. Bicara soal Arion, bukankah kemarin ia menjanjikan sesuatu? Baru saja dipikirkan, pintu ruang rawat Annanda mengayun terbuka dan sosok Arion muncul dari baliknya. Ada perban yang melingkar di kepalanya. Pipi kirinya lecet. Selain itu, Annanda tidak bisa melihat luka lainnya. Arion mengenakan kemeja putih yang disetrika sampai licin dan celana terusan abu-abu. Ia mengerutkan kening. Bukankah pakaiannya sedikit terlalu formal untuk seorang pasien? Annanda saja masih mengenakan baju hijau tua khas pasien rumah sakit. "Bag
"Jadi ini yang kalian maksud untuk 'tutup mulut'?" Annanda menatap ayah dan kakaknya yang duduk di sofa dengan pandangan tak percaya. "Aku yang membunuh ibu?" "Kamu yang membunuh ibumu," sahut Aryadi. "Ayah!" "Dengar, Annanda!" Ayahnya menggebrak meja hingga suara debuman menggaung di dinding-dinding ruang tengah. "Kamu yang mengemudi. Kamu yang menabrakkan mobil itu. Kamu yang menyebabkan ini. Saat ini, ingatanmu sedang kacau sehingga kamu tidak merasa pernah melakukan itu. Tetapi kamu lah yang melakukannya. Paham?" "Tetapi..." Kinanda merasa suaranya bergetar. "Bukan aku yang melakukan itu. Kakak yang mengemudi! Aku duduk di kursi penumpang bersama ibu! Aku..." "Ingatanmu rusak karena kecelakaan itu, mengerti?" tekan ayahnya. "Ayah menjebakku." Gadis itu menatap nanar kedua orang di depannya. "Kalian berdua menjebakku." "Tidak ada yang menjebak siapa-siapa disini," ucap ayahnya datar. "Siapkan barang-barangmu. Akan ad