Aryadi merasa mati rasa.
Rasanya, jika ada yang menikamnya dengan pisau saat ini, ia tidak akan bisa merasakan apa-apa.
Sejujurnya, ia akan lebih memilih seseorang untuk menikamnya, daripada merasa hampa seperti ini.
Aryadi tidak tahu bagaimana ia bisa melalui hari itu dengan tenang dan menyelesaikan prosesi pemakaman Alyasha tanpa banyak masalah. Ia seolah-olah bukan dirinya ketika berinteraksi dengan orang-orang yang melayat. Aryadi tidak banyak menunjukkan ekspresi di depan mereka.
Ia merasa hari itu berlalu dengan agak kabur. Ia tidak ingat sebagian besar jalannya prosesi pemakaman itu.
Namun, ia jelas ingat wajah Alyasha. Wajah sang istri terlihat damai seolah-olah ia tengah tertidur. Hanya saja, Alyasha tidak pernah terlihat sepucat itu. Luka lecet dan lebam mewarnai wajahnya. Luka-luka yang tidak akan bisa sembuh lagi.
Aryadi mendudukkan diri di tepi ranjang di kamar utama. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan seper
Annanda duduk bersandar di atas kasur pasien yang tidak terasa nyaman. Sekarang, setelah ia bisa berpikir dengan sedikit lebih jernih, ia berusaha mengumpulkan dan merunut kepingan-kepingan ingatannya tentang kecelakaan yang telah ia alami. Rasanya ajaib sekali ia bisa selamat padahal ia sempat terpental ke luar mobil. Sepertinya Arion juga tidak mengalami luka yang serius, mengingat kemarin ia sempat keluyuran ke kamar Annanda. Bicara soal Arion, bukankah kemarin ia menjanjikan sesuatu? Baru saja dipikirkan, pintu ruang rawat Annanda mengayun terbuka dan sosok Arion muncul dari baliknya. Ada perban yang melingkar di kepalanya. Pipi kirinya lecet. Selain itu, Annanda tidak bisa melihat luka lainnya. Arion mengenakan kemeja putih yang disetrika sampai licin dan celana terusan abu-abu. Ia mengerutkan kening. Bukankah pakaiannya sedikit terlalu formal untuk seorang pasien? Annanda saja masih mengenakan baju hijau tua khas pasien rumah sakit. "Bag
"Jadi ini yang kalian maksud untuk 'tutup mulut'?" Annanda menatap ayah dan kakaknya yang duduk di sofa dengan pandangan tak percaya. "Aku yang membunuh ibu?" "Kamu yang membunuh ibumu," sahut Aryadi. "Ayah!" "Dengar, Annanda!" Ayahnya menggebrak meja hingga suara debuman menggaung di dinding-dinding ruang tengah. "Kamu yang mengemudi. Kamu yang menabrakkan mobil itu. Kamu yang menyebabkan ini. Saat ini, ingatanmu sedang kacau sehingga kamu tidak merasa pernah melakukan itu. Tetapi kamu lah yang melakukannya. Paham?" "Tetapi..." Kinanda merasa suaranya bergetar. "Bukan aku yang melakukan itu. Kakak yang mengemudi! Aku duduk di kursi penumpang bersama ibu! Aku..." "Ingatanmu rusak karena kecelakaan itu, mengerti?" tekan ayahnya. "Ayah menjebakku." Gadis itu menatap nanar kedua orang di depannya. "Kalian berdua menjebakku." "Tidak ada yang menjebak siapa-siapa disini," ucap ayahnya datar. "Siapkan barang-barangmu. Akan ad
Arion mengetuk pintu kamar Annanda, berniat memanggilnya untuk makan malam. Ia memang membenci gadis kecil itu. Namun, bahkan untuk ukuran Arion pun, situasi ini membuat ia merasa telah tidak adil padanya. Membenci Annanda adalah satu hal, melimpahkan semua kesalahannya pada Annanda adalah hal layang sama sekali berbeda. Meski begitu, Arion tidak punya pilihan lain selain melakukan sesuai dengan apa yang ayahnya inginkan. Setidaknya, ia berniat untuk bersikap sedikit baik pada Annanda untuk mengurangi rasa bersalahnya. Namun, anak itu tidak juga menyahut ataupun membukakan pintu tidak peduli seberapa lama Arion. Ia mengerutkan kening. Apa Annanda sudah tidur? Bagaimana kalau di kabur? Arion memutar pintu kamar pelan. Ia ingin memastikan agar sang adik tidak kabur atau semua akan berantakan. Yang menyambutnya adalah gelap. Kamar itu hanya diterangi oleh cahaya bulan purnama yang jatuh lewat jendela yang tirainya diikat. Kamar Annanda ti
Suara percakapan memenuhi ruang tunggu bandara internasional tempat Arion menanti penerbangan yang akan membawanya ke Dublin. Sebuah kota yang berada di belahan bumi bagian lain. "Terima kasih, Mang," ujar Arion sembari tersenyum pada pria yang rambutnya telah memutih. Mang Tito membalas senyumannya. Wajah keriput supir pribadi keluarganya itu bertambah kerut, namun, matanya memancarkan keramahan dan kearifan yang tidak berubah. "Sama-sama, Den," ucap Mang Tito pelan. Ada setitik kesedihan mewarnai ekspresinya. "Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk Den Arion." "Mang Tito ini bicara apa," Arion tertawa kecil. "Mang Tito sudah sangat berjasa pada keluarga saya meskipun keluarga saya seperti itu." Senyum Arion berubah mengejek. "Rasanya, malah lebih setia Mang Tito di rumah itu ketimbang orang-orang lainnya." "Den Arion jangan bicara begitu," tegur Mang Tito lembut. "Nyonya udah nggak ada. Sekarang Bapak cuma punya Mas Arion sama Non An
Kesadarannya pulih dengan amat lambat. Annanda merasa seperti sedang berenang dalam sekolam sirup kental. Ia mendengar suara-suara seperti bunyi mesin yang mendengung rendah dan ber-tiit-tiit pelan. Ia berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Hal pertama yang Annanda lihat adalah langit-langit putih benderang yang tidak familiar. Langit-langit kamarnya tidak seperti itu. Kamarnya bernuansa biru. Warna yang menenangkan. Warna kesukaan Arion. Annanda memejamkan matanya kembali. Pikirannya terasa kosong namun penuh di saat bersamaan. Otaknya seperti disesaki kapas. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Tubuhnya juga terasa berat dan tidak bisa digerakkan. Apa yang sudah terjadi? Suara pintu dibuka membuat Annanda kembali membuka mata. Sosok berpakaian serba putih menghampirinya. 'Malaikat?' pikir Annanda yang otaknya sedang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika ia memfokuskan pandangan kembali, ada dua sosok putih di dek
Dua minggu kemudian, Annanda duduk di dalam mobil sembari melihat keluar jendela, ke arah pepohonan yang tampak berlarian sepanjang jalan. Ia tengah dalam perjalanan menuju tempat pengasingan yang sudah ditentukan oleh ayahnya. Setelah tubuhnya pulih dan ia diijinkan keluar dari rumah sakit, Annanda hanya menghabiskan tiga hari di fasilitas rehabilitasi untuk para pecandu narkoba di mana ia di tes selama tiga kali dan darahnya tentu saja bersih dari barang haram itu. Dan, seperti yang sudah ia duga, penahanannya di Lembaga Pembinaan juga diturunkan menjadi kurungan rumah yang berarti Annanda diijinkan untuk pulang namun, tidak diijinkan keluar dari rumah selama tiga bulan alih-alih menghabiskan masa hukuman di Lembaga Pembinaan. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan ia yang sakit dan masih dalam masa pemulihan, serta korban dalam kecelakaan itu adalah ibunya sendiri di mana jelas tidak ada tuntutan dari pihak korban. Selain itu, hasil tes yang keluar
"Bi," sapanya. Wanita yang seluruh rambutnya sudah beruban itu menoleh. Pada mata yang penuh kerutan pertanda usia di wajahnya, kehangatan yang Annanda terima dari tatapan itu sama sekali tidak berubah. "Non Annanda," ucap Bi Titin pelan. Lalu air mulai berjatuhan dari matanya. "Non Annanda...." ulangnya dengan suara bergetar, Annanda melemparkan diri pada pelukan wanita tua itu. Matanya sendiri berkaca-kaca, namun ia tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari bibirnya. "Iya, Bi, ini saya, Annanda." "Non, Astagfirullah. Ya Allah. Ya Allah, Non," ujar Bi Titin sembari mengusap-usap punggungnya. "Non baik-baik saja? Non sehat, 'kan, Non? Enggak luka?" Bi Titin segera mendorongnya demi memeriksa sekujur tubuhnya. "Mana yang luka, Non? Ya Allah, Non, masih sakit?" Air mata Bi Titin turun semakin deras ketika melihat lengan kiri Annanda masih dibebat perban. Ketika Annanda ditemukan berlumuran darah di kamarnya, Bi Titin melihat
"Hei, hei. Jangan marah begitu. Kamu yang merusak kesenanganku di sini. Harusnya aku yang kesal," ucapnya. "Kamu dari kelas mana? Aku belum pernah melihatmu. Kenapa enggak pakai seragam?" Annanda tidak menjawab. Ia hanya semakin mempercepat langkahnya. Sayangnya, kaki remaja itu lebih panjang darinya. Dengan mudah ia menyejajari langkah Annanda. "Hei, aku ini sedang bicara padamu. Jangan jutek begitu-" Pemuda itu mengulurkan tangan dan Annanda refleks mundur menjauh hingga punggungnya merapat di dinding. Ia menatap pemuda itu dengan mata melebar marah dan gelisah. "Jangan pegang-pegang," ucap Annanda dingin. Pemuda itu terdiam dengan tangan masih mengambang canggung di udara. Kemudian ia mengangkat tangan menyerah dan menghela napas. "Oke, oke. Aku nggak pegang. Aku nggak punya maksud buruk sama sekali, kok. Maaf sudah menakutimu." Semenjak peristiwa ia yang hampir dilecehkan oleh teman-teman Arion, Annanda tidak merasa nyaman
Apa yang kau inginkan, Annanda.Jika pertanyaan itu diucapkan padanya ketika ia masih kecil, Annanda akan memiliki banyak sekali jawaban. Banyak sekali hal di yang ia inginkan di dunia ini.Namun Annada yang sekarang bukan lagi anak kecil naif yang masih menatap dunia di sekitarnya dengan mata berbinar-binar penuh harap dan kebahagiaan. Banyak sekali hal yang telah disaksikan oleh kedua pasang mata itu, dan hal-hal tersebut telah membuat Annada berubah jauh dari ia yang dulu.Annanda menatap anak lelaki yang berdiri demikian dekat darinya. Wajah mereka demikian dekat hingga ia bisa mencium aroma mint napas Arga. Sepasang mata kelam yang tajam itu tampak seperti danau gelap tanpa dasar. Annanda ingin tenggelam di dalamnya, namun juga takut.Apa yang ia inginkan?Tidak ada banyak hal di dunia ini yang masih bisa ia sebut sebagai miliknya. Annanda yang sekarang tidak memiliki keberanian untuk untuk mengakui apakah ia diijinkan untuk meng-klaim sesuatu yang berharga seperti Arga sebagai m
Annanda menciumnya.Ulangi.Annanda menciumnya.Roger that!Arga sampai sama sekali tidak bergerak saking kagetnya ia. Ia hanya berdiri mematung di sana seperti orang bodoh, dengan bibir sedikit membuka karena syok. Jangan salah paham. Ini tentu saja bukan kali pertama ia ciuman, oke?! Walaupun bersetubuh lebih sering ia lakukan daripada berciuman, tetap saja ia bukannya orang yang sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam hal ini!Reaksinya yang hanya terpaku diam semata-mata dikarenakan syok! Sama sekali bukan karena ia tidak tahu harus melakukan apa dengan tangan, bibir, dan anggota tubuhnya yang lain. Otaknya benar-benar blank. Seperti kartu memori yang tidak sengaja ter-format dan kini kosong melompong. Ia tidak bisa memikirkan apapun selain tubuh Annanda yang lebih pendek darinya berjinjit untuk meraih Arga yang tidak kepikiran untuk menunduk. Harumnya yang manis dan terkecap sampai ke belakang tenggorokan Arga. Hangat bibirnya...Annanda mengeluarkan suara pelan yang teredam
Hari sudah sore. Matahari sudah sangat condong di ufuk barat, hampir sepenuhnya tenggelam. Waktu berlalu dengan cepat ketika kau mendongkol sepanjang hari.Arga bermaksud untuk pulang. Sungguh. Ia bahkan telah mengambil jalan memutar untuk keluar lewat gerbang belakang karena Mahesa memberitahu bahwa Anna menunggunya di gerbang depan. Ia tidak ingin melihat wajah anak itu untuk sementara ini.Ia tidak ingin...."...."Anna mendongak ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Mata cokelat hangat itu bertemu dengan obsidian gelap milik Arga. Anak lelaki itu menahan keinginannya untuk segera berpaling dan lari. Atau berjalan mendekat untuk menghampiri gadis itu. Tidak, tidak. Coret kalimat yang terakhir. Arga tidak ingin menghampiri Annanda. Sama sekali tidak.Sepertinya ada sesuatu yang tercermin dalam ekspresi Arga, karena setelah beberapa saat berdiri diam dan memandangnya tanpa ekspresi, Annanda akhirnya memalingkan pandangan sedikit, sebelum membuka mulut untuk bicara.
Ren sesungguhnya tidak benar-benar serius ketika ia menawarkan diri untuk berbicara pada Annanda.Annanda, meski ia adalah seorang gadis dan tubuhnya jauh lebih kerempeng daripada Ren, tetap saja menakutkan bagi anak laki-laki tersebut mengingat Ren pernah melihat sendiri bagaimana ia menyeret seorang kakak kelas dengan begitu brutalnya hingga hair extention kakak kelas tersebut lepas semua.Annanda sangat ganas. Muka juteknya sama sekali tidak menolong kesan pertama yang Ren miliki tentangnya.Namun Ren sudah terlanjur berkata pada Mahesa bahwa ia akan menemui Annanda. Ia tidak suka berbohong pada orang lain, terlebih pada sahabatnya sendiri.Maka, ketika Bastian dan Mahesa membereskan bola-bola basket yang mereka gunakan untuk latihan sebelumnya, Ren menyandang tas punggung di sebelah bahunya dan melangkah menuju gerbang depan sekolah.Ren melihat seseorang sedang berdiri di depan gerbang, memunggunginya. Namun orang tersebut jelas bukan Annanda.Dilihat sekilas pun, walau Ren hany
Saran Niko untuk meminta maaf berputar-putar di benak Annanda seperti lebah yang mendengung mengganggu.Haruskah ia melakukannya? Namun, Annanda tidak pernah memilikiskillyang baik dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Ia tidak tahu bagaimana harus mendekati Arga yang terlihat sekali sedang menghindarinya dan masih kesal padanya.Lama-lama, Annanda jadi pusing sendiri. Hatinya terus menerus mendesaknya untuk mendekat dan menyapa, namun, kata-kata tidak mau keluar dari bibirnya.Alhasil, beberapa kali berpapasan dengan Arga, ia selalu terdiam dan membeku di tempat sembari memaku pandangan pada sang pemuda namun ia tidak mengatakan apapun.Arga hanya menatapnya sekilas sembari mengangkat sebelah alis. Meliha
"Jadi?"Niko mengangkat kepalanya sedikit. Ia baru sadar Annanda menuntunnya ke sebuah ruangan yang jauh dari keramaian. Tidak ada siapapun di sini. Hanya meja dan kursi yang ditumpuk-tumpuk dan kardus-kardus yang entah berisi apa. Sepertinya ini ruang kelas lama yang dialihfungsikan sebagai gudang.Annanda menunggu jawaban dengan tangan disilangkan di depan dada. Ekspresinya sedatar permukaan meja, namun, Niko hampir bisa melihat api tak kasat mata berkobar di belakang tubuhnya.Niko menelan ludah sembari berpikir alangkah beruntungnya ia karena belum juga dihajar hingga detik itu."Anna," ucap Niko. "Mau jadi pacarku, nggak?"Ia mungkin akan dihajar di detik selanjutnya.
"Jadi, Anna." Mahesa bertanya padanya ketika pesanan mereka telah terhidang di meja. "Menurutmu, Arga bagaimana?""Keras kepala dan agak gila," sahut Annanda cepat. "Juga sangat menyebalkan. Bukan kombinasi sifat yang bagus."Sebastian terkekeh senang. "Ini pertama kali aku mendengar pendapat semacam itu tentang Arga. Biasanya, orang akan berkata ia ramah, baik hati, tidak sombong, blablabla.""Ini juga pertama kali Arga mengejar-ngejar seseorang sampaiseperti itu," timpal Ren.Sebastian mengangguk setuju. "Biasanya dia yang dikejar-kejar.""Arga masih dikejar-kejar, kok." Ren mengunyah roti melon miliknya. "Kemarin sekitar empat atau lima kali ke belakang gedung. Pas
Orang yang terakhir muncul adalah Mahesa Saputra. Ia membawa duacup cappuchinodi masing-masing tangan. Ia tinggi, tenang dan kalem. Pembawaannya dewasa dan tampak seperti tidak banyak bicara. Ia mengulurkan salah satucuppada Annanda dengan senyum kecil yang teduh. Annanda otomatis menerimanya karena entah kenapa orang ini seperti memiliki aura lembut seperti ia tidak akan mencelakai bahkan seekor nyamuk pun. "Thanks," ucap Annanda pelan. "Sama-sama, Annanda." "Panggil saja Anna," ralat gadis itu. Mahesa mengangkat sebelah alis, namun memutuskan untuk tidak berkomentar. "Anna,
"Arga," panggil Ren. "Orang yang kamu kejar-kejar setiap hari itu benar-benar parah." Ren melihat bagaimana Annanda menyeret seorang siswi lain tanpa ampun sepanjang koridor sekolah. Di siang bolong. Gadis liar macam apa yang bisa berlaku seperti itu? "Hm?" Arga menggumam tidak peduli. "Oh, dia pasti punya alasan sendiri, kok." "Meski begitu, tetap saja dia itu barbar sekali," bantah Ren. Arga mengangkat sebelah alisnya. "Ren, apa kamu pernah di-bully?" "Tentu saja enggak! Kalau ada yang berani berpikir begitu, ia bakal menyesal seumur hidup dan-" Kesadaran nampak di wajah remaja berwajah imut itu. "Dia di-bully