Suara percakapan memenuhi ruang tunggu bandara internasional tempat Arion menanti penerbangan yang akan membawanya ke Dublin. Sebuah kota yang berada di belahan bumi bagian lain.
"Terima kasih, Mang," ujar Arion sembari tersenyum pada pria yang rambutnya telah memutih.
Mang Tito membalas senyumannya. Wajah keriput supir pribadi keluarganya itu bertambah kerut, namun, matanya memancarkan keramahan dan kearifan yang tidak berubah.
"Sama-sama, Den," ucap Mang Tito pelan. Ada setitik kesedihan mewarnai ekspresinya. "Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk Den Arion."
"Mang Tito ini bicara apa," Arion tertawa kecil. "Mang Tito sudah sangat berjasa pada keluarga saya meskipun keluarga saya seperti itu."
Senyum Arion berubah mengejek. "Rasanya, malah lebih setia Mang Tito di rumah itu ketimbang orang-orang lainnya."
"Den Arion jangan bicara begitu," tegur Mang Tito lembut. "Nyonya udah nggak ada. Sekarang Bapak cuma punya Mas Arion sama Non An
Kesadarannya pulih dengan amat lambat. Annanda merasa seperti sedang berenang dalam sekolam sirup kental. Ia mendengar suara-suara seperti bunyi mesin yang mendengung rendah dan ber-tiit-tiit pelan. Ia berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Hal pertama yang Annanda lihat adalah langit-langit putih benderang yang tidak familiar. Langit-langit kamarnya tidak seperti itu. Kamarnya bernuansa biru. Warna yang menenangkan. Warna kesukaan Arion. Annanda memejamkan matanya kembali. Pikirannya terasa kosong namun penuh di saat bersamaan. Otaknya seperti disesaki kapas. Ia tidak bisa berpikir dengan jernih. Tubuhnya juga terasa berat dan tidak bisa digerakkan. Apa yang sudah terjadi? Suara pintu dibuka membuat Annanda kembali membuka mata. Sosok berpakaian serba putih menghampirinya. 'Malaikat?' pikir Annanda yang otaknya sedang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika ia memfokuskan pandangan kembali, ada dua sosok putih di dek
Dua minggu kemudian, Annanda duduk di dalam mobil sembari melihat keluar jendela, ke arah pepohonan yang tampak berlarian sepanjang jalan. Ia tengah dalam perjalanan menuju tempat pengasingan yang sudah ditentukan oleh ayahnya. Setelah tubuhnya pulih dan ia diijinkan keluar dari rumah sakit, Annanda hanya menghabiskan tiga hari di fasilitas rehabilitasi untuk para pecandu narkoba di mana ia di tes selama tiga kali dan darahnya tentu saja bersih dari barang haram itu. Dan, seperti yang sudah ia duga, penahanannya di Lembaga Pembinaan juga diturunkan menjadi kurungan rumah yang berarti Annanda diijinkan untuk pulang namun, tidak diijinkan keluar dari rumah selama tiga bulan alih-alih menghabiskan masa hukuman di Lembaga Pembinaan. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan ia yang sakit dan masih dalam masa pemulihan, serta korban dalam kecelakaan itu adalah ibunya sendiri di mana jelas tidak ada tuntutan dari pihak korban. Selain itu, hasil tes yang keluar
"Bi," sapanya. Wanita yang seluruh rambutnya sudah beruban itu menoleh. Pada mata yang penuh kerutan pertanda usia di wajahnya, kehangatan yang Annanda terima dari tatapan itu sama sekali tidak berubah. "Non Annanda," ucap Bi Titin pelan. Lalu air mulai berjatuhan dari matanya. "Non Annanda...." ulangnya dengan suara bergetar, Annanda melemparkan diri pada pelukan wanita tua itu. Matanya sendiri berkaca-kaca, namun ia tidak bisa menahan tawa kecil yang keluar dari bibirnya. "Iya, Bi, ini saya, Annanda." "Non, Astagfirullah. Ya Allah. Ya Allah, Non," ujar Bi Titin sembari mengusap-usap punggungnya. "Non baik-baik saja? Non sehat, 'kan, Non? Enggak luka?" Bi Titin segera mendorongnya demi memeriksa sekujur tubuhnya. "Mana yang luka, Non? Ya Allah, Non, masih sakit?" Air mata Bi Titin turun semakin deras ketika melihat lengan kiri Annanda masih dibebat perban. Ketika Annanda ditemukan berlumuran darah di kamarnya, Bi Titin melihat
"Hei, hei. Jangan marah begitu. Kamu yang merusak kesenanganku di sini. Harusnya aku yang kesal," ucapnya. "Kamu dari kelas mana? Aku belum pernah melihatmu. Kenapa enggak pakai seragam?" Annanda tidak menjawab. Ia hanya semakin mempercepat langkahnya. Sayangnya, kaki remaja itu lebih panjang darinya. Dengan mudah ia menyejajari langkah Annanda. "Hei, aku ini sedang bicara padamu. Jangan jutek begitu-" Pemuda itu mengulurkan tangan dan Annanda refleks mundur menjauh hingga punggungnya merapat di dinding. Ia menatap pemuda itu dengan mata melebar marah dan gelisah. "Jangan pegang-pegang," ucap Annanda dingin. Pemuda itu terdiam dengan tangan masih mengambang canggung di udara. Kemudian ia mengangkat tangan menyerah dan menghela napas. "Oke, oke. Aku nggak pegang. Aku nggak punya maksud buruk sama sekali, kok. Maaf sudah menakutimu." Semenjak peristiwa ia yang hampir dilecehkan oleh teman-teman Arion, Annanda tidak merasa nyaman
Beberapa saat kemudian, ia kembali sambil membawa beberapa bungkus roti dan minuman dalam kantong plastik. "Nih." Niko menaruh makanan itu di atas meja Annanda. "Aku tidak minta," ujar Annanda datar. "Ck, makan saja," balas Niko tidak sabar. Ia berkacak pinggang, mirip sekali seperti ibu-ibu yang siap mengomel. "Kamu enggak sadar, ya, badanmu kurus begitu? Makan yang benar. Rasanya ditiup angin kencang sedikit saja kamu pasti langsung terbang." Annanda merengut tersinggung. Pertama, ia tidak seringan itu sampai bisa terbang hanya karena ditiup angin. Kedua, meski lebih kurus dan sedikit lebih pendek dari Niko, Annanda cukup yakin ia bisa melumpuhkan Niko dengan satu gerakan saja. Niko terkekeh dan menyentil kening Annanda yang berkerut-kerut kesal. "Sudah jangan berpikir berat begitu. Cepat makan. Jam istirahat akan segera berakhir." Annanda malas membuang-buang waktu untuk berdebat dengan anak ini. Ia mengambil satu roti rasa
Niko mendorong pintu yang menuju atap gedung itu dengan sedikit paksaan. Pintu yang berkarat dan jarang digunakan berkeriut dengan suara memekakan telinga. Angin langsung berembus menampar wajah dan mengacak-acak rambutnya. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling atap. Tempat itu sunyi. Kemudian, matanya jatuh pada sosok yang tengah duduk menyandar ke agar pembatas atap. "Aku mencarimu kemana-mana," ujar Niko sambil mendekat. "Ternyata kamu sembunyi di sini." Annanda tidak menghiraukannya. Gadis itu tetap menunduk sembari mengelus punggung seekor kucing yang tengah terlelap dengan damai di pangkuannya. Niko mengundang dirinya sendiri untuk duduk di samping Annanda. "Kenapa sembunyi di sini?" tanya Niko. "Apa maumu?" Niko memutar bola matanya. "Kenapa kamu selalu sinis begitu? Aku tidak pernah berbuat salah padamu." Annanda mendengkus. "Aku hanya tidak menyukaimu." "Kenapa begitu?!" seru Niko tersinggung.
Annanda menghela napas dan menghentikan kegiatan menggambar di buku sketsa. Ia melirik Niko yang tengah memerhatikannya dengan senyum lebar. Kesal, Annanda membalik buku sketsanya dengan sedikit kasar hingga halaman itu robek di bagian bawah. "Tidak baik menggambar saat sedang tidakmood, tahu," komentar Niko sembari menumpukan sebelah pipinya di telapak tangan. Ia menatap gadis itu penasaran. "Kamu pikir aku tidakmoodkarena siapa?" "Karena siapa?" tanya Niko inosen. Annanda mengernyit, siap melontarkan balasan pedas. Namun, belum sempat ia mengatakan apa-apa, Niko seenaknya mengambil buku sketsa dan membuka-buka isinya. "Gambarmu jelek." Annanda ingin meninjunya. Ia merebut kembali buku itu sambil merengut, "Jangan dilihat kalau jelek." "Anyway, mau main ke rumahku, nggak? Aku punya dua kolam renag. Kamu bisa pilih mau yang mana. Ada yangoutdoordan
Niko membuka matanya yang terasa berat. Rasa sakit yang tumpul menggedor-gedor dari balik tengkoraknya. Ia kembali memejamkan mata dan mengerang. Apa yang terjadi? "Apa kamu sudah gila?!" Niko menggeram ketika suara setengah berteriak itu membuat sakit kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia menoleh dan ingin memaki siapapun yang telah berani meneriakinya seperti itu. Namun, makiannya tertelan kembali ketika melihat orang yang tengah duduk di tepi ranjangnya. Annanda. Gadis itu tengah menatap Niko dengan alis bertaut kesal. Sudut matanya memerah dan bibirnya digigit kuat. Ia tengah mencengkeram selimut biru yang digunakan Niko erat. Niko mengerjapkan mata pelan dan menyadari bahwa tempatnya berbaring bukanlah ranjang yang biasa ia gunakan di rumah. Bau desinfektan yang menyengat dan lampu neon putih yang terlalu terang di atas kepala membuat Niko bisa menyimpulkan tempat itu. "Rumah sakit?" gumamnya. Bahkan Niko terkejut dengan betapa lemah