Sore semua. Hai jumpa lagi. Terima kasih sudah membaca cerita Kenzio & Viola. Kita masuk season 2 ya, yang menceritakan tentang anaknya Kenzio & Viola, yaitu Romeo. Cerita ini nggak kalah seru dari season 1. Terima kasih dan selamat membaca ^^
REMBULANTiga tahun kemudian.Aku mengayunkan kaki memasuki Your Comfort Zone. Langkahku begitu tergesa. Bukan apa-apa, tapi aku sudah dinantikan sejak tadi. Bukan oleh atasan ataupun nasabah potensial yang sedang kuprospek, karena ini bukan kantor, melainkan kelab malam favoritku.Musik menghentak-hentak menyapa telinga. Cahaya berwarna-warni menyapu wajah, seakan sedang mengucapkan selamat datang.Saat ini memang bukan malam Minggu, tapi paksaan Windy membuatku membelokkan mobil ke tempat ini.Mataku mencari-cari. Lalu menemukan Windy melambaikan tangan ke arahku. Dia nggak sendiri. Ada Mecca dan Tiara juga.Aku melempar senyum lalu berjalan ke arah mereka."Udah telat, tau ..." Windy memberengut saat aku menghenyakkan tubuh di dekatnya. Namun sama sekali nggak membuatnya terlihat jelek. Dress warna magenta berbelahan dada rendah yang membungkus tubuhnya menegaskan kerupawanannya."Tadi nyelesaiin sesuatu dulu." Aku beralasan lalu mengeluarkan kotak rokok dari dalam tas, menyelipkan
REMBULAN"Apa? Bos lo?" "Yang mana?""Yang cakep itu?"Windy dan Tiara mendadak heboh mendengar celetukan Mecca."Biasa aja kenapa sih? Kayak nggak pernah ngeliat orang cakep lo pada. Lo lagi, Win. Lupa kalo udah dilamar Irfan?" tawa Mecca melihat reaksi berlebihan yang ditunjukkan Windy dan Tiara."Yeee ... cuci mata apa salahnya?" protes Windy.Para teman-temanku memang nggak bisa melihat yang bening dikit. Dan aku sudah hafal pada tingkah mereka."Lo kok diam aja, Lan?" Windy menatapku penuh tanda tanya."Lo sebenarnya suka cowok nggak sih?" Tiara ikut memandangku dengan aneh."Jadi gue harus gimana? Jingkrak-jingkrak gitu? Atau salto gegulingan?""Ih!" Windy merotasi bola matanya, sebal padaku.Bukan sekali dua kali Windy, Tiara atau Mecca menyodorkan laki-laki padaku. Mereka menyuruhku untuk kencan buta dan selalu mengatakan, "Dicoba aja dulu, Lan. Siapa tahu cocok. Cocok jalan, nggak cocok lo tinggal berhenti."Aku selalu menolak. Pernah Windy marah besar padaku. Kala itu dia s
Aku membuka mata dengan kepala berat seakan ada beban ribuan ton menindihku. Kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Tapi saat lensa mataku menangkap corak plafon yang sudah familier, aku merasa nggak perlu khawatir. Aku berada di apartemenku sendiri.Masalahnya, siapa lelaki yang tidur di sebelahku ini?Berusaha mengumpulkan ingatan, aku hanya bisa mengingat sepotong-sepotong. Kemarin ada pria tampan mengembalikan ponselku lalu mengantarku pulang ke apartemen. Sisanya aku nggak ingat apa-apa lagi.Apa mungkin lelaki yang tidur di sebelahku ini adalah orang yang sama?"Astagaaa!" Aku menjerit saat sadar tidak lagi mengenakan pakaian kerja yang kemarin. Aku sudah mengenakan baju harian.Kududukkan diri dengan cepat. Lalu kuguncang tubuh pria itu.“Bangun, hei, bangun!!!"Merasa terusik oleh suara keras dan guncangan kuat, pria itu membuka mata."Kamu apain aku semalam?" bentakku marah.Pria itu kebingungan sejenak lalu mulai menyadari situasi. Dia ikut duduk lalu menjelaskan, “Kamu mabuk b
REMBULANAku menyesap cappuccino yang masih hangat. Setiap tegukan demi tegukan yang melewati kerongkongan kurasai dengan nikmat. Tadi di apartemen aku nggak sempat sarapan karena buru-buru ke kantor."Santai banget lo ya?" Riri melihatku dari tempat duduknya. Dia adalah rekan kerjaku."Tadi gue belum sempet sarapan," jawabku lalu kugigit sepotong burger yang kubeli di drive thru."Gue juga belum sarapan. Perut gue udah auto menolak duluan.""Kenapa?""Gimana mau sarapan coba? Dari kemarin tuh gue kepikiran mulu sama atasan kita yang baru. Gimana kalo ntar dia aneh-aneh.""Ya nikmati aja keanehannya.""Ihhh!!!" Riri mendelik mendengar jawabanku lalu pergi meninggalkan ruangan.Gosip yang kami dengar tentang calon bos baru kami impact-nya benar-benar luar biasa.Suasana kantor hari ini cukup ramai. Semua pegawai disibukkan dengan kedatangan branch manager yang baru. Hampir semua karyawan inti hadir. Termasuk karyawan yang memegang posisi kunci di bagian lapangan."Lan, buruan dong, sem
Ini adalah hari pertama aku resmi menjadi pengangguran. Dan perasaanku ... hampa.Aku memang sempat kecewa pada Pak Rizal dan kebijakannya yang sewenang-wenang. Tapi itu nggak seberapa lama. Obat-obatan yang kukonsumsi menyebabkanku blunted afect. Blunted afect adalah penurunan intensitas emosional seseorang. Datar. Aku nggak bisa merasa gembira atau sedih. Efek samping dari obat psikiatri yang kuminum adalah aku menjadi mudah lupa. Makanya aku selalu menuliskan hal apa saja secara detail, terlebih mengenai pekerjaan. Aku menyimpannya di notes ponsel atau di buku catatan yang kubawa ke mana-mana.Teman-temanku--Mecca, Windy, serta Tiara nggak tahu kalau aku mengidap penyakit mental. Ketiganya hanya tahu kalau aku adalah Rembulan yang pendiam dan hidupnya aman, damai dan tenteram walau hanya tinggal sendiri.Ya, mereka nggak perlu tahu karena nggak semua orang open minded. Banyak orang yang beranggapan bahwa gangguan mental sama dengan gila. Bahkan di saat aku antri di ruang tunggu po
REMBULANAku buru-buru duduk setelah menyadari keberadaan lelaki itu di kamarku. Lelaki yang katanya tidak berminat pada perempuan dan saat ini sedang duduk di kursi yang terdapat di kamarku sambil memainkan ponsel."Kemarin gue telfon tapi nggak lo jawab-jawab. Tadi pagi gue ke sini dan ngeliat lo masih tidur. Gue nggak tega bangunin lo. Gue pikir lo pasti capek banget. Apalagi akhir bulan biasanya lo overtime sampai larut kan? Terus setengah jam yang lalu gue ke sini dan ngeliat lo masih tidur. Gue bangunin tapi lo nggak bangun-bangun," kicau Mecca menjelaskan kronologinya. Mecca memang kuberi akses keluar masuk apartemenku. Diantara tiga sahabatku Meccalah yang paling dekat denganku.Berdetik-detik aku terdiam. Nggak tahu bagaimana cara menjawab dan menerangkan pada Mecca bahwa aku sudah kehilangan pekerjaan yang selama ini menghidupiku."Lan, kok Lo diam aja sih?" protes Mecca sambil menepuk pelan lenganku.Aku terkesiap dan sontak membalas tatapan Mecca."Gue memang sengaja tidur
REMBULAN "Lan, lo mau nggak kerja di kantor gue?"Aku mendapat pesan dari Mecca pukul delapan malam.Sudah dua orang yang menawariku pekerjaan. Pertama Riri, lalu Mecca. Tawaran dari Riri hanya sampai di sana. Menguap tanpa bekas seperti dedaunan kering yang diterbangkan angin.Lalu kubalas pesan dari Mecca."Basic gue memang hukum, Ca, tapi gue nggak punya pengalaman."Aku memang lulusan hukum tapi entah bagaimana caranya dulu aku bisa diterima bekerja di bank dan berakhir di sebuah perusahaan keuangan.Saat ini Mecca bekerja di sebuah firma hukum besar. Sedangkan aku sama sekali nggak punya pengalaman walaupun aku lulusan hukum.Mecca menjawab balasan pesan dariku nggak lama setelah kukirim."Nggak apa-apa kali, Lan. Lo kan sarjana hukum. Lo ikut pelatihan keparalegalan aja dulu. Nggak lama kok, cuma tiga bulan.""Gue udah pernah, Ca."Aku memang sudah pernah mengikuti pelatihan untuk menjadi paralegal sebelumnya. Jauh sebelum Mecca memberiku tawaran ini."Yes! Jadi lo tinggal kerj
ROMEOAku tahu begitu banyak kebetulan yang bisa saja terjadi di dunia ini. tapi kebetulan yang satu ini sama sekali nggak pernah ada di dalam prediksiku.Aku dan Bulan bertemu di pesawat dalam penerbangan ke Bali.Ingatanku terseret mundur pada waktu beberapa hari yang lalu. Saat itu aku sedang berbincang dengan Mecca."Gimana, Ca, teman kamu mau kerja di sini?" tanyaku pada Mecca.Mecca menyingkirkan kertas-kertas yang tadi menyita perhatiannya lalu memberikan atensi padaku."Saya udah kasih tahu sih, Pak, tapi katanya dia butuh waktu untuk berpikir."Baru kali ini aku tahu ada orang yang baru saja kehilangan pekerjaan dan ketika ditawari pekerjaan baru dia bukannya menerima dengan cepat tapi malah mengulur waktu. Atau mungkin itu hanya bahasa halusnya saja bahwa dia sebenarnya menolak penawaran kerja dariku?Aku tersentak saat mendengar suara anak kecil yang menangis, berasal dari penumpang yang duduk di belakangku. Ternyata aku nggak lagi sedang berbicara dengan Mecca, tapi dengan