REMBULANAku menyesap cappuccino yang masih hangat. Setiap tegukan demi tegukan yang melewati kerongkongan kurasai dengan nikmat. Tadi di apartemen aku nggak sempat sarapan karena buru-buru ke kantor."Santai banget lo ya?" Riri melihatku dari tempat duduknya. Dia adalah rekan kerjaku."Tadi gue belum sempet sarapan," jawabku lalu kugigit sepotong burger yang kubeli di drive thru."Gue juga belum sarapan. Perut gue udah auto menolak duluan.""Kenapa?""Gimana mau sarapan coba? Dari kemarin tuh gue kepikiran mulu sama atasan kita yang baru. Gimana kalo ntar dia aneh-aneh.""Ya nikmati aja keanehannya.""Ihhh!!!" Riri mendelik mendengar jawabanku lalu pergi meninggalkan ruangan.Gosip yang kami dengar tentang calon bos baru kami impact-nya benar-benar luar biasa.Suasana kantor hari ini cukup ramai. Semua pegawai disibukkan dengan kedatangan branch manager yang baru. Hampir semua karyawan inti hadir. Termasuk karyawan yang memegang posisi kunci di bagian lapangan."Lan, buruan dong, sem
Ini adalah hari pertama aku resmi menjadi pengangguran. Dan perasaanku ... hampa.Aku memang sempat kecewa pada Pak Rizal dan kebijakannya yang sewenang-wenang. Tapi itu nggak seberapa lama. Obat-obatan yang kukonsumsi menyebabkanku blunted afect. Blunted afect adalah penurunan intensitas emosional seseorang. Datar. Aku nggak bisa merasa gembira atau sedih. Efek samping dari obat psikiatri yang kuminum adalah aku menjadi mudah lupa. Makanya aku selalu menuliskan hal apa saja secara detail, terlebih mengenai pekerjaan. Aku menyimpannya di notes ponsel atau di buku catatan yang kubawa ke mana-mana.Teman-temanku--Mecca, Windy, serta Tiara nggak tahu kalau aku mengidap penyakit mental. Ketiganya hanya tahu kalau aku adalah Rembulan yang pendiam dan hidupnya aman, damai dan tenteram walau hanya tinggal sendiri.Ya, mereka nggak perlu tahu karena nggak semua orang open minded. Banyak orang yang beranggapan bahwa gangguan mental sama dengan gila. Bahkan di saat aku antri di ruang tunggu po
REMBULANAku buru-buru duduk setelah menyadari keberadaan lelaki itu di kamarku. Lelaki yang katanya tidak berminat pada perempuan dan saat ini sedang duduk di kursi yang terdapat di kamarku sambil memainkan ponsel."Kemarin gue telfon tapi nggak lo jawab-jawab. Tadi pagi gue ke sini dan ngeliat lo masih tidur. Gue nggak tega bangunin lo. Gue pikir lo pasti capek banget. Apalagi akhir bulan biasanya lo overtime sampai larut kan? Terus setengah jam yang lalu gue ke sini dan ngeliat lo masih tidur. Gue bangunin tapi lo nggak bangun-bangun," kicau Mecca menjelaskan kronologinya. Mecca memang kuberi akses keluar masuk apartemenku. Diantara tiga sahabatku Meccalah yang paling dekat denganku.Berdetik-detik aku terdiam. Nggak tahu bagaimana cara menjawab dan menerangkan pada Mecca bahwa aku sudah kehilangan pekerjaan yang selama ini menghidupiku."Lan, kok Lo diam aja sih?" protes Mecca sambil menepuk pelan lenganku.Aku terkesiap dan sontak membalas tatapan Mecca."Gue memang sengaja tidur
REMBULAN "Lan, lo mau nggak kerja di kantor gue?"Aku mendapat pesan dari Mecca pukul delapan malam.Sudah dua orang yang menawariku pekerjaan. Pertama Riri, lalu Mecca. Tawaran dari Riri hanya sampai di sana. Menguap tanpa bekas seperti dedaunan kering yang diterbangkan angin.Lalu kubalas pesan dari Mecca."Basic gue memang hukum, Ca, tapi gue nggak punya pengalaman."Aku memang lulusan hukum tapi entah bagaimana caranya dulu aku bisa diterima bekerja di bank dan berakhir di sebuah perusahaan keuangan.Saat ini Mecca bekerja di sebuah firma hukum besar. Sedangkan aku sama sekali nggak punya pengalaman walaupun aku lulusan hukum.Mecca menjawab balasan pesan dariku nggak lama setelah kukirim."Nggak apa-apa kali, Lan. Lo kan sarjana hukum. Lo ikut pelatihan keparalegalan aja dulu. Nggak lama kok, cuma tiga bulan.""Gue udah pernah, Ca."Aku memang sudah pernah mengikuti pelatihan untuk menjadi paralegal sebelumnya. Jauh sebelum Mecca memberiku tawaran ini."Yes! Jadi lo tinggal kerj
ROMEOAku tahu begitu banyak kebetulan yang bisa saja terjadi di dunia ini. tapi kebetulan yang satu ini sama sekali nggak pernah ada di dalam prediksiku.Aku dan Bulan bertemu di pesawat dalam penerbangan ke Bali.Ingatanku terseret mundur pada waktu beberapa hari yang lalu. Saat itu aku sedang berbincang dengan Mecca."Gimana, Ca, teman kamu mau kerja di sini?" tanyaku pada Mecca.Mecca menyingkirkan kertas-kertas yang tadi menyita perhatiannya lalu memberikan atensi padaku."Saya udah kasih tahu sih, Pak, tapi katanya dia butuh waktu untuk berpikir."Baru kali ini aku tahu ada orang yang baru saja kehilangan pekerjaan dan ketika ditawari pekerjaan baru dia bukannya menerima dengan cepat tapi malah mengulur waktu. Atau mungkin itu hanya bahasa halusnya saja bahwa dia sebenarnya menolak penawaran kerja dariku?Aku tersentak saat mendengar suara anak kecil yang menangis, berasal dari penumpang yang duduk di belakangku. Ternyata aku nggak lagi sedang berbicara dengan Mecca, tapi dengan
ROMEOBeberapa detik setelah pesanku terkirim barulah aku menyesalinya. Untuk apa aku menanyakannya? Terlebih pada anak buahku pula. Memangnya apa yang akan aku lakukan setelah tahu di mana Bulan menginap?Ingin menarik pesan itu kembali tapi Mecca sudah membacanya. Lalu kulihat tulisan dia sedang mengetik.Selang beberapa detik setelahnya balasan pesan dari Mecca masuk ke handphoneku."Bulan ya maksud Bapak? Maaf, Pak, saya nggak tahu dia stay di mana. Tapi nanti coba saya tanya sama teman saya yang lain. Dia yang ngurus penginapan Bulan selama di Bali.""Oh nggak usah repot-repot. Tadi saya nanya hanya karena satu flight dengan dia.""Baik, Pak."Nggak ada lagi pesan masuk dari Mecca setelahnya.Kusimpan ponselku ke dalam saku. Bersamaan dengan itu taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah.Rumah terlihat sepi tapi aku sudah hafal di mana letak kunci berada. Di bawah pot bunga yang terletak di tengah-tengah di antara pot-pot lainnya.Betul dugaanku. Kunci rumah ada di sana. Mung
REMBULAN "Yang di depan sana rumah Tante." Tante Viola memberitahuku beberapa meter sebelumnya. Aku mengurangi tekanan pada pedal gas kemudian menepi dan memasuki halaman sebuah rumah berwarna broken white dengan gradasi coklat tanah. Rumah Tante Viola. Aku membantunya keluar dari mobil lalu membimbingnya berjalan. Tante Viola terpincang-pincang. Tadi menurut ceritanya dia jadi begini karena tempo hari jatuh di kamar mandi. "Bulan, tolong ambilin kunci di bawah pot bunga yang itu." Tante Viola menunjuk pot yang berada di tengah-tengah. Aku melakukannya. Ketika tanganku menelusup ke bawah pot bunga tersebut aku nggak menemukan apa-apa. "Tante, kuncinya nggak ada." "Nggak ada?" ulang Tante Viola heran. Kuanggukkan kepala sambil mengangkat pot dari lantai hingga Tante Viola bisa melihat sendiri kenyataannya. "Berarti ada orang di dalam. Tapi kenapa nggak ada mobil?" Tante Viola bergumam sendiri. "Seharusnya kalau suami atau anak Tante pulang pasti ada mobil parkir di d
ROMEO "Bulan, kalau ada waktu main ke rumah ya," kata Bunda setelah Bulan duduk di sebelahku di dalam mobil.Bulan mengangguk canggung.Hufft ... dasar Bunda. Saking ramahnya ia memperlakukan semua orang dengan baik. Padahal baru juga kenal dengan Bulan beberapa jam yang lalu."Sorry, kalau tadi Bunda ngerepotin kamu." Aku yakin kalau tadi Bulan punya acara sendiri tapi tertunda gara-gara membantu Bunda."Ah enggak kok. Nggak ada yang ngerepotin," sangkalnya membantah. "Beneran?" tanyaku kurang yakin. Apalagi seingatku tadi dia mengatakan pada Bunda ada janji bertemu dengan seseorang. Siapa tahu orang itu seseorang yang sangat berarti baginya. Mungkin saja kedatangan Bulan ke Bali adalah untuk kencan dengan seseorang. "Beneran.""Jadi sekarang aku harus antar kamu ke mana?""Ke hotel.""Ketemuannya di hotel?""Dengan siapa?"Aku terdiam sesaat. Kenapa dia malah balik nanya? Bukankah tadi Bulan mengatakan harus bertemu orang? Apa dia lupa?"Tadi kamu bilang ke Bunda akan bertemu ses