Bagaimana menurut kalian????
Rafka menggeleng lemah. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menangkap penjahat itu. "Maaf, aku tidak berhasil membawanya ke sini." "Tidak apa-apa, Mas. Jangan sedih." Rania berusaha menghibur suaminya. "Apakah Aluna mengenalnya? Atau jangan-jangan lelaki itu adalah Riko?" Rafka berjalan mendekati Aluna. Ia melihat gadis hanya tertunduk dan tidak berani menatapnya. "Tolong katakan sesuatu, Aluna. Apakah benar orang yang menembak Mas Amar adalah Riko? Apa benar ia telah mengancam kamu? Kamu mengetahui semuanya, bukan?" tanya Rafka menyelidik. Aluna tidak menjawab pertanyaan dari Rafka. Ia malah menangis kencang. "Sudahlah, Mas. Cukup! Aluna hampir saja diperkosa. Lelaki tadi memakai penutup wajah. Jadi Aluna tidak mengenalinya." Rania mulai terbawa emosi. Ia merasa kasihan dengan adiknya. "Aku minta maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaan Aluna." Semua orang terdiam. Rumah itu mendadak hening. Sedangkan Rania berusaha menenangkan Aluna dengan memeluk dan menge
Kedua mata Rafka menatap tajam ke arah tangan Aluna. Ia tidak suka jika gadis itu bertindak melampaui batas. Aluna segera melepaskan genggamannya. Sebenarnya ia sedikit merasa takut jika Rafka akan memarahinya. "Bantuin Aluna bawa semua barang ini ke kamar ya, Kak? Barang-barangnya cukup banyak. Please." Aluna menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan Rafka. Memohon agar lelaki itu mau membantunya lagi. "Astaga!" Sebenarnya Rafka merasa kesal. Tetapi ia tahu jika Aluna baru saja mendapatkan kemalangan. Sungguh ia merasa sangat jahat jika membiarkan adik dari wanita yang sangat dicintainya kesulitan. Apalagi sekarang Aluna ada di rumahnya. Rafka menghembuskan nafas kasar. Tidak ada pilihan lain. Terpaksa ia harus menolong Aluna terlebih dahulu daripada mengejar istrinya ke kamar. "Baiklah. Maaf jika Kakak bersikap keterlaluan kepadamu." Rafka pun segera membawa barang-barang Aluna ke dalam kamar gadis itu. Ia bisa melihat seulas senyuman terbit di bibir adik iparnya tersebut.
"Iya?" Rania menekankan ucapannya. "Maaf ya, Mbak. Jadi Aluna pengen banget makan pizza. Jadi aku memesan tiga kotak sekalian untuk Mbak Rania dan Kak Rafka," ungkap Aluna kemudian. Rania sedikit terkejut. Ia tidak menyangka jika Aluna ternyata memesan makanan. Wanita itu jadi merasa bersalah karena belum menyiapkan makanan untuk adiknya. "Oh, jadi begitu." Rania segera menghampiri Aluna dan merangkulnya. "Maafkan Mbak ya, Lun. Tidak masakin yang enak-enak buat kamu. Mbak jadi merasa bersalah." "Tidak apa-apa, Mbak. Santai saja. Kalau begitu kita bikin minuman aja yuk, Mbak?" ajak Aluna kemudian. Ia merasa lega karena Rania percaya dengan ucapannya. Gadis itu mengelus dadanya beberapa kali. Sementara Rafka mencuri pandang ke arah gadis itu. Ia masih belum sepenuhnya percaya dengan Aluna. Tetapi lelaki itu berusaha untuk tidak memfitnah adik Rania. Sementara Rania dan Aluna ke dapur, Rafka memilih duduk di kursi ruang makan. Batinnya sedikit kecewa karena gagal bermesraan dengan
"Lebih baik kamu segera mandi, Lun. Mbak sudah siap, kok masaknya." "Sekali lagi maaf ya, Mbak. Nggak bantuin Mbak masak pagi ini." "Tidak apa-apa, Lun. Cepat gih sana! Nanti telat loh ke kampusnya," perintah Rania. Gadis itu mendekat ke tubuh Rania. Kemudian mengecup singkat pipi kirinya. "Makasih banyak Mbak Rania. Aluna akan segera mandi." Tanpa menunggu jawaban dari Rania, Aluna segera masuk ke dalam kamarnya. Ia bersiap untuk mandi dan mengenakan pakaian terbaiknya. Beberapa menit berlalu, semua sudah siap menikmati makan pagi buatan Rania. Tentu saja Rafka yang paling bersemangat di antara mereka. "Pelan-pelan, Mas. Nggak terburu-buru, 'kan?" Rania mengelap sudut bibir suaminya dengan sebuah tisu ketika melihat Rafka belepotan karena terlalu antusias untuk sarapan. "Terima kasih, Sayang. Maaf, aku terlalu berlebihan. Masakan buatan kamu sangat nikmat dan bikin ketagihan. Sejak dulu." Rafka tersenyum manis sehingga terlihat lesung pipinya. Hal itu membuat Aluna kesulitan
Rafka tidak terlalu percaya dengan ucapan Fariz. Ia melangkah santai menuju ruangan sang CEO. Sementara Fariz mengikutinya di belakang. Dengan perlahan Rafka membuka pintu ruangan itu. Seketika ia kaget saat di atas mejanya ada banyak sekali kotak hadiah untuknya. Dan tidak hanya itu saja. Di depan tumpukan itu ada seorang perempuan yang tersenyum senang kepadanya. "Selamat atas pernikahannya," ucap wanita itu ceria. "Nina? Kamu ada di sini?" tanya Rafka hampir tidak percaya. "Ya, maaf ya. Beberapa hari ini aku membantu Fariz menyelesaikan pekerjaannya. Dia kerepotan bekerja seorang diri." "Hm, aku dengar kamu ada di luar negeri saat acara pernikahanku." Rafka mempersilahkan Nina untuk duduk. Dan ia pun menyadari jika Fariz ada di belakangnya. "Itu benar, Raf. Dan aku menyesal tidak hadir di acara pernikahan kamu dengan wanita yang sangat kamu cintai." Nina berjalan menghampiri Fariz. Ia memeluk tubuh lelaki itu dari samping. "Dan sekarang aku sudah menerima Fariz sebagai keka
Keesokan harinya Rania mondar-mandir seorang diri. Pikirannya kacau tidak karuan. Sejak semalam ponsel sang suami dan Aluna tidak dapat dihubungi. Serta keduanya sama-sama tidak pulang ke rumah. "Sebenarnya ke mana mereka?" Rania terlihat tidak tenang. "Mas Rafka, kenapa kamu jadi hilang begini?" Wanita itu mencoba menelepon kembali suaminya. Tetapi tetap saja tidak bisa. Beberapa kali Rania melihat dari balik gorden rumahnya untuk memastikan apakah Rafka sudah pulang atau belum. Hingga ia merasakan perutnya sakit karena malas makan. Setelah selesai dari toilet, terdengar bel pintu rumah berbunyi. Rania segera memeriksanya. Ia yakin jika yang datang adalah suaminya. Rania membuka pintu sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Tetapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan baginya. Rafka dan Aluna datang secara bersamaan. Terlihat rambut Aluna masih sedikit berantakan. Gadis itu memegangi lehernya yang terasa kaku. Tanpa sengaja pandangan Rania berhenti pada leher adiknya. Terdapat ta
Aluna kaget bukan main. Ia segera menjauhkan diri dari tubuh Rafka. "M–Mbak Rania?" Dengan terbata Aluna bertanya kepada kakaknya. "Kamu mau ngapain Aluna? Jangan bilang mau merebut Mas Rafka dariku?!" Rania terlihat kesal. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Aluna segera menggelengkan kepalanya. "Ti–tidak, Mbak. Tadi aku mau mencari Mbak Rania. Aku pikir Mbak di dalam kamar. Kebetulan pintunya tidak dikunci." "Bukankah kamu sudah tahu kalau aku tidak ada. Kenapa kamu tetap masuk? Aku lihat kamu mendekatkan wajahmu kepada Mas Rafka." Aluna terdiam. Mencoba mencari alasan yang tepat. Ia takut jika Rania akan mengusirnya dari rumah itu. Maka rencananya akan gagal. "Sumpah, Mbak. Tadi ada nyamuk di dekat bibir Kak Rafka." "Nyamuk?" Rania tampak tidak percaya. Mana mungkin ada nyamuk di kamarnya. Sungguh tidak masuk akal. Wanita itu hendak menyanggah Aluna kembali. Tetapi tiba-tiba Rafka terbangun dari tidurnya. Mungkin karena mendengar perdebatan istri dan adiknya. "Ada apa ini? Men
Setelah keduanya merasa puas dan lelah melanjutkan ikhtiar untuk mendapatkan momongan di kamar hotel itu, Rafka tertidur di samping Rania dengan sangat lelapnya. Sementara wanita itu masih terjaga. Kesulitan memejamkan kedua matanya. Ia jadi kepikiran dengan Aluna. Akhirnya Rania memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada adiknya. "Lun, kamu di mana? Ada di rumah? Malam ini aku dan Mas Rafka tidak pulang. Kita sedang berbulan madu di suatu tempat. Kamu hati-hati ya di rumah?" Di tempat lain Aluna merasa sangat kesal setelah membaca pesan dari kakaknya. Ia memang sengaja tidak pulang ke rumah agar Rafka dan Rania khawatir. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. "Ih, nyebelin. Pasti Mbak Rania sengaja banget mau manas-manasin aku. Lihat saja Mbak. Akan aku bongkar kebusukan suamimu itu. Akan aku buat Kak Rafka menikahiku dan bertanggung jawab atas anak yang aku kandung ini." Aluna tersenyum jahat. Ia tidak memperdulikan lagi perasaan kakaknya. Gadis itu sudah terlanjur sakit hati deng
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i