Apakah benar Rafka telah mengkhianati Rania???? đ¤§
"Kamu bicara apa, Sayang? Kamu tidak percaya kepadaku?" tanya Rafka lembut. Di dalam hatinya merasa risau. Apakah mungkin ia bisa mengutarakan kejadian itu kepada Rania? Lelaki tampan tersebut takut kehilangan istrinya. Ia sangat mencintai Rania. Rania terdiam mendengar sang suami yang justru bertanya balik kepadanya. Mungkinkah hatinya meragukan cinta Rafka? "Aku percaya kepadamu, Mas. Maaf, ya?" balasnya tak ingin mengecewakan Rafka. "Setelah ini mau ke mana?" Rafka mencoba mencari topik baru. Ia masih ingin jalan-jalan berdua dengan sang istri. Rania tampak berpikir sejenak. Kemudian ia mendekatkan bibirnya pada telinga Rafka seraya membisikkan sesuatu. "Kamu yakin?" tanya Rafka memastikan. Rania mengangguk cepat. Ia terlihat bersemangat. "Baiklah kalau kamu mau. Dengan senang hati aku akan mengajarinya." Mereka berdua pun melanjutkan makan pagi dan setelah itu mandi bersama lalu bersiap-siap pergi sesuai rencana. Di sebuah kantin, Aluna tampak mengerucutkan bibirnya. Ia se
Rania segera menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia tidak ingin merusak suasana kebahagiaan di antara mereka berdua. âTidak, Mas. Aku bahagia kok. Siapa yang bersedih?â ujar Rania sambil memamerkan senyuman terbaiknya. Ia kemudian mengajak Rafka untuk segera memasukkan semua barang-barang yang masih tertinggal âKamu serius 'kan? Tidak sedang memikirkan sesuatu?â tanya Rafka lagi. âIya. Aku tidak apa-apa kok. Beneran, Mas.â Tangan Rafka mengusap kepala Rania dengan sambil tersenyum. Lalu ia segera menjalankan mobil kembali menuju rumah sang mama. Beberapa waktu berlalu, mereka telah tiba di depan rumah Rosita. Wanita paruh baya itu langsung menghampiri dan tersenyum kala menyadari siapa yang datang berkunjung. âRafka, Rania ....,â sapanya antusias. âMa ... sehat?â balas Rafka kembali bertanya. Ia dan Rania bergantian bersalaman dengan Rosita. âAlhamdulillah, sehat.â âIni kami bawakan oleh-oleh buat Mama dan Julio,â ungkap Rania. âWah banyak sekali ini. Ayo silahkan duduk kal
âApaan sih, Mbak. Memangnya Aluna tahu kalau Mbak Rania mau pulang? Sudah pergi nggak pamit dulu. Pulang pun tiba-tiba. Nggak bawa oleh-oleh sama sekali. Mbak Rania nggak peduli âkan kalau Aluna nggak punya uang dan kelaparan sendirian di rumah.â Ucapan Aluna membuat Rania terdiam seketika. Ia pikir uang Aluna masih ada karena ia sudah memberikan sejumlah uang kepada adiknya tersebut. Rania segera meraih tangan Aluna kembali. âLun, maafkan Mbak ya? Mbak pikir uang kamu masih banyak. Kenapa kamu nggak minta transfer sih?â âHandphone Mbak saja nggak bisa dihubungi kok.â Rania kembali terdiam. Ia memang belum mengecek ponselnya lagi. âKalau begitu Mbak masakin ya, sekarang. Kebetulan mbak juga belum makan.â âNggak perlu. Tadi udah dibeliin sama Bayu. Sekarang mau ke kamar. Banyak tugas kampus.â Aluna langsung melenggang pergi begitu saja. Rasanya ia ingin cepat-cepat mengaku bahwa dirinya sedang hamil. Dan meminta sang kakak ipar untuk bertanggung jawab. Rania bisa mendengar saat
Satu bulan kemudian. Pagi-pagi sekali Rania sudah menyiapkan sarapan. Ia juga sudah membersihkan seluruh area rumah bahkan sudah wangi dan rapi. Entah mengapa ia merasa sangat bersemangat pagi itu. Rafka tersenyum manis menghampiri sang istri yang tengah menyiapkan menu makan pagi. Tak lupa ia membantu Rania agar tidak kerepotan. Lelaki itu pun juga terlihat rapi dengan pakaian formalnya. Rencananya ia akan bertemu klien penting yang datang dari luar negeri. Kini perusahaannya semakin berkembang. Rafka duduk di kursi dan menarik satu piring untuknya. Namun tiba-tiba ia merasakan sebuah kecupan di pipinya. Lalu ia tersenyum dan seraya berkata, âWangi banget kamu, Sayang.â :Lelaki tampan itu mengusap pelan kepala sang istri saat Rania duduk di sebelahnya kemudian menyandarkan kepala pada lengannya. âKenapa ya, rasanya pengen dekat-dekat terus sama Mas Rafka. Nggak mau ditinggalin. Aroma parfum Mas selalu bikin kangen.â Rania berucap dengan manja. âAda apa, sih? Kalau saja Mas ngga
âTidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak akan pernah menikahi Aluna. Dan aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Rania. Camkan hal itu baik-baik.â Rafka berbicara dengan sangat yakin. Kilatan amarah jelas terpancar dari raut wajahnya. Bukan karena permintaan sang istri yang sungguh keterlaluan baginya. Tetapi karena sikap Aluna yang sangat tidak waras itu. âKamu jangan egois, Mas. Berani berbuat juga harus berani bertanggung jawab.â âTapi aku tidak melakukannya, Rania. Berapa kali harus aku katakan. Kamu lebih mempercayai adikmu daripada suami kamu sendiri.â Rania melangkah maju. Lalu mendorong dada Rafka dengan sangat kuat. âAku benci kamu!â Wanita itu segera beranjak dari kamar Aluna. Ia sudah merasa sakit hati terhadap adik dan suaminya. Rania tidak peduli lagi apa yang hendak dilakukan mereka berdua. âRania tunggu!â teriak Rafka. Rania berjalan cepat hendak masuk ke kamar dan berniat mengemasi barang-barangnya. Namun tiba-tiba kakinya terpeleset hingga ia terjatuh da
âMama?â Rafka segera menghampiri sang mama. âTolong Rafka, Ma. Rania terus mengusirku. Dia tidak mau aku tetap berada di sisinya,â keluh Rafka kepada sang mama. Rosita tersenyum tipis. âKamu keluar dulu ya, Raf. Kasihan Rania. Biarkan mama yang mencoba menasehatinya.â Rafka mengangguk pelan. Sebelum benar-benar pergi, ia melihat ke arah Rania yang masih betah membuang muka. Lelaki itu terpaksa keluar dari ruangan Rania dan menunggu di luar. Aluna dan Bayu telah selesai makan. Gadis itu segera mengajak sahabatnya tersebut untuk kembali ke ruangan kakaknya. Tak lupa Aluna membeli satu botol air mineral. Ia tanpa malu meminta kepada Bayu meski telah menyakiti perasaanya berulang kali. âMakasih ya, Bay. Kamu memang sangat baik.â âItu untuk siapa?â tanya Bayu penasaran. âYa jelas untuk Kak Rafka lah. Siapa lagi. Pasti dia stres berat memikirkan Mbak Rania yang meminta cerai kepadanya. Em, seru banget. Kayak sinetron jadinya.â Aluna berucap tanpa rasa bersalah sedikitpun. Padahal se
Tanpa berpikir panjang Rafka menyetujui ajakan dari Bayu. Ia meminta lelaki itu untuk ikut ke dalam mobilnya. Sementara motor Bayu ditinggal di sana. Sahabat Aluna tersebut membawa Rafka ke rumah temannya yang biasanya pintar memperbaiki segala tentang produk elektronik. Tak terkecuali dengan CCTV. âKenapa kita ke tempat ini?â âItu teman aku, Kak Rafka. Pasti dia bisa mencari video yang hilang itu. Kakak tinggal kasih tahu tanggal dan waktu detailnya.â âTerima kasih, Bayu.â âSama-sama, Kak.â Bayu dan Rafka duduk di sebuah kursi.Setelah menunggu beberapa menit, teman Bayu bersedia membantu. Tetapi butuh waktu yang cukup lama. âTidak bisa langsung jadi ya, Bay. Nanti kalau sudah berhasil, aku langsung hubungi kamu deh. Gimana?â tanya teman Bayu memastikan. Bayu terlihat ragu-ragu untuk menjawab. Ia bertanya dahulu kepada Rafka. Apakah mau menunggu atau mencari tempat lain untuk memperbaiki data pada rekamannya. âAku percayakan saja kepadanya. Aku yakin dia akan melakukan yang te
âMama? Kenapa Mama memanggilku?â Rania segera menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Ia turun dari ranjang dan bercermin sejenak untuk memeriksa wajahnya yang terlihat sangat kusut. Dengan langkah berat Rania berjalan menuju pintu kamarnya. Ia membukanya dengan perlahan. âMama? Ada apa?â tanyanya pelan. âKamu masih menangis lagi. Maaf mama mengganggu. Mama hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Setelah ini tidur, ya? Jangan lupa vitaminnya diminum.â Rosita mengingatkan. Rania mengangguk pelan. âApalah Mas Rafka yang meminta Mama menengokku ke kamar?â Rosita menarik nafas dalam. âKamu benar, Sayang. Rafka sangat mengkhawatirkan kamu. Ia merasa bersalah karena tidak berada di sisimu. Rafka sampai tidak bisa tidur karena terus-terusan memikirkan kamu.â Lagi, Rosita membelai rambut panjang Rania. Hal yang akhir-akhir ini ia lakukan untuk menenangkan menantunya tersebut. Wanita paruh baya itu merasa sedih mengingat semua permasalaha yang selalu datang silih berganti un
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu merekaâRafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. âRania, aku sudah pulang,â ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. âSelamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?â tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. âHari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. âKamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,â bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. âSedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,â ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. âMungkinkah?â pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. âKamu baik-baik saja, Alma?â tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. âAku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,â jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. âKe mana Alsha?â tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. âTadi katanya ke toilet sebentar,â jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. âAku akan mencarinya,â ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. âHei!â Alma menyapa sambil mendekati Alsha. âKenapa kamu di sini sendirian?â âAlsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,â jawab Alsha dengan senyum tipis. âIya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?â tanya Alma dengan lembut. âSejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,â jawab Alsha kemudian. âSemua akan baik-baik saja, Alsha!â Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
âNgapain di sini sendirian, Alsha?â Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. âKok kamu tahu aku di sini, Marco?â tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. âAku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.â Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. âAku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.â âApakah kamu yakin?â Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. âKamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.â Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. âTerima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.â Marco mengangguk mengerti. â
âTidak. Aku tidak peduli.â Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. âAlsha?â Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinyaâRafael sudah duduk di meja. âSelamat pagi Sayang,â sapa Rania sambil tersenyum hangat. âSarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.â Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. âSelamat pagi, Kak Alsha,â sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. âAkhirnya kita bisa sarapan bareng.â Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. âSelamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?â âBaik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,â balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. âRafa i