Bagaimana perasaan kalian gaes??? Zuzur nih, author sedih sampai nangis pas ngetik scene Rania dan Rafka. Adakah kalian merasakan hal yang sama? 😔
"Tolonglah, Paman. Aku mohon." Rania tetap membujuk pamannya. "Baiklah, jika kamu memaksa. Paman tidak bisa mengelak lagi." Delvin menurut saja. Di sisa umurnya kini, ia ingin membuat Rania bahagia. Lelaki paruh baya itu jadi teringat akan Andra—putranya yang sudah lama tinggal di luar negeri, tetapi belum mau menikah juga hingga sekarang. Rania pun tersenyum lega. Ia tidak peduli jika Rafka tidak menemaninya. Yang terpenting ada sang paman yang menjaganya. Mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke pengadilan agama. Sementara Resti sedang ada urusan dengan saudaranya yang ada berada di luar kota. *** Karena sibuk kuliah, Aluna tidak sempat datang menjenguk kakaknya. Namun ia sudah meminta maaf dan mengabarkan berita keguguran Rania kepada Romi. Romi yang masih tinggal di kampung hanya bisa mendo'akan kebaikan putrinya. Ia juga sadar diri karena Rania masih kecewa berat kepadanya. "Sebaiknya sekarang aku menjenguk Mbak Rania. Mumpung materi kuliahnya siang hari." Aluna berseman
Amar segera menghampiri wanita itu. Ia yakin jika perempuan yang berteriak meminta tolong adalah Keisya. Seorang karyawan di tempatnya bekerja. "Keisya, kamu kenapa?" tanya Amar penasaran. Ia melihat raut penuh ketakutan pada wajah Keisya. Tebakannya tidak meleset. Memang wanita yang berteriak meminta tolong. Melihat Amar yang selama ini ia kenal sebagai lelaki yang baik di kantor, Keisya langsung mendekap tubuhnya. "Pak Amar, tolong aku." Wajah wanita itu menunduk seolah mencari perlindungan. "Ayo, masuk ke dalam mobil saja." Dengan perlahan Amar melepaskan pelukan Keisya. Ia tidak mau jika ada yang melihat dan salah paham kepada mereka berdua. Setelah masuk ke dalam mobil, Keisya masih merasa ketakutan. "Minum dulu," ucap Amar seraya mengulurkan sebuah minuman botol yang masih utuh. "Terima kasih, Pak Amar." Keisya berujar pelan. Setelah menunggu Keisya minum dan sedikit merasa tenang, akhirnya Amar angkat bicara. "Apa yang terjadi Keisya? Kenapa kamu berkeringat seperti ini
Malam itu Amar pulang dengan penuh rasa bersalah. Ia tidak ingat apa-apa tentang kejadian yang terjadi tadi sore. Lelaki itu tiba-tiba terbangun di atas ranjang tempat kos-kosan Kesya. Bajunya terbuka dan ia hanya mengenakan celana dalam saja. Di saat Amar mencari keberadaan Keisya, rupanya wanita itu sudah tidak ada di mana-mana. Entah ia sedang pergi entah ke mana Amar tidak tahu. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak ingat apa-apa?" Amar mulai mengingat kembali saat ia mulai mengantuk setelah minum minuman yang ia terima dari Kesya. "Apa jangan-jangan?" Amar hanya bisa menerka-nerka. Tetapi selama ini ia mengenal Keisya sebagai karyawan yang sangat pemalu. Wanita itu sering menundukkan kepalanya saat tanpa sengaja bertatap mata dengan Amar. Tak ingin ambil pusing, Amar segera pergi dari tempat itu dan masuk ke dalam mobil. Ia memeriksa ponselnya yang mendapatkan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Tisa. "Gawat kalau begini. Pasti Tisa akan sangat marah."
Meski Julio baru memasuki masa pubertas dan baru kelas satu SMP, tetapi ia sudah memiliki sikap yang dewasa. Remaja satu itu merasa rindu dengan Rania. Entah mengapa ia merasa peduli terhadap perasaan wanita itu. Apalagi Rafka akan menikah dengan wanita pilihan sang mama. "Katakan saja, Ma. Julio tidak akan marah, kok. Terus apa benar Kak Rania keguguran? Julio pengen jengukin Kak Rania. Julio kangen," ungkap remaja itu polos. "Sudahlah, Julio. Kenapa sih kamu itu selalu mikirin Rania. Apa karena dia kakak tiri kamu?" Rosita keceplosan. "Maksud Mama apa?" Julio semakin penasaran. "Sudah, Ma. Ceritakan saja semuanya," celetuk Amar sudah tidak sabar. Rosita pun mengangguk saja. Ia menghembuskan nafas beratnya. Mencari alasan yang tepat tanpa menyakiti perasaan Julio. "Sebenarnya Pak Romi itu bapak kandung kamu Julio." Rosita berbicara pelan dan ragu-ragu. Ia takut jika Julio marah besar kepadanya. "Apa? Pak Romi, bapak Julio?" tanya Julio kaget. Pantas saja ia merasa punya ikata
Julio merasa malu. Rupanya pemilik rumah belum tidur. Remaja SMP itu pun hanya bisa tersenyum lalu menunduk. "Tidak apa-apa, Jio. Paman Delvin tidak akan marah kok." Rania mengedipkan matanya. Memberikan isyarat kepada Julio agar ikut masuk ke dalam rumah bersamanya. Tidak ada pilihan lain, Julio pun mengikuti ke mana langkah kaki Rania akan membawanya pergi. Mereka bertiga duduk di kursi ruang tamu. Julio tampak terdiam di dekat Delvin. Sementara Rania membuatkan minuman untuk Julio dan pamannya. "Tumben kamu ke sini Julio. Apalagi sekarang sudah malam. Bagaimana kalau mama kamu mencarimu nanti? Apakah kamu sudah minta izin?" tanya Delvin membuka percakapan. "Julio kabur dari rumah Paman. Julio kecewa sama Mama." "Apa yang terjadi, Julio? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan dari Tante Rosita?" Rania seolah paham akan perasaan Julio. Membuatnya mengingat kembali akan peristiwa yang menyebabkan ibunya meninggal dunia. Kalau Rosita bercerita tentang dirinya yang berpelukan deng
Lelaki paruh baya itu mendekap erat Julio hingga baru sadar jika di hadapannya juga ada Rania. Seketika ia merenggangkan pelukannya. "Rania, kamu datang ke sini? Bagaimana kabarmu, Ran?" tanya Romi antusias sambil berjalan mendekati putrinya. Kedua mata Rania sudah berkaca-kaca. Ia segera memeluk bapaknya. "Maafkan, Rania Pak. Maaf jika Rania selama ini bersikap egois." Wanita itu terisak. Walau bagaimanapun juga Romi adalah bapak terbaik untuknya. "Seharusnya bapak yang meminta maaf. Terima kasih telah membawa Julio ke sini. Tapi bagaimana bisa?" tanya Romi penasaran. "Sebaiknya kita duduk dulu, Pak. Julio akan menjelaskan semuanya." Romi mengangguk pasti. Ia mengajak Rania untuk duduk di kursi. Sementara Rania pergi ke luar sebentar, Julio mulai bercerita kepada Romi. Kini ia sangat bahagia karena bertemu dengan ayah kandungnya. "Maafkan bapakmu ini Julio. Bapak salah. Bapak tidak bisa membahagiakan kamu." "Sudahlah, Pak. Bapak tidak perlu meminta maaf. Julio senang melihat
Kehadiran Rafka mengejutkan Romi dan Julio. Mereka sedang beristirahat di sebuah gubuk dan mungkin sebentar lagi akan pulang. Rafka tersenyum lebar, tetapi seketika redup saat menyadari tidak ada Rania di sana. Lelaki itu mendekat dan menyalami Romi. "Nak Rafka kamu apa kabar? Pasti disuruh jemput Julio ya?" terka Romi yang bisa menebak maksud kedatangan dari lelaki tampan itu. "Saya baik, Pak Romi. Tebakan Bapak benar. Mama menyuruh saya untuk menjemput Julio. Dia harus lanjut sekolah, Pak." "Duduklah, Rafka. Kita makan sama-sama." Romi menyuruh Rafka untuk duduk. Lelaki tampan itu terlihat ragu-ragu. Namun melihat makanan yang tampak lezat, ia jadi tergoda. "Kalau nanti saya makan, jadinya Bapak dan Julio nggak kenyang dong." Rafka menahan diri agar tidak ikut makan. "Kak Rafka tenang saja. Julio makannya dikit kok. Ini cobain deh, Kak." Rafka tidak bisa berbohong. Akhirnya ia mengganggu makan sang adik. Lelaki itu mencoba satu sendok dan rasanya begitu familiar di lidah. 'A
Romi dan Julio saling berpandangan. Hening untuk beberapa saat. Kemudian mereka tertawa bersamaan. Membuat Rafka dan Rania merasa heran. "Kalian seperti anak kecil saja." Rafka dan Rania terlihat salah tingkah. Tapi tak dapat dipungkiri jika mereka sangat bahagia. Menjadi anak kecil adalah hal yang Rania inginkan saat ini. Ia tidak perlu pusing memikirkan semua masalah yang ada. "Sebaiknya Kak Rania segera mandi dan ganti baju. Nanti sakit," celetuk Julio berkata serius. "Em, mana mungkin Kakak kamu sakit. 'Kan ada Kak Rafka di sini," sahut Rafka cepat. Lelaki tampan itu menaik-turunkan kedua alisnya. Sambil memandangi sang kekasih hati. "Raf ....!!!!" Kedua mata Rania melotot tajam. "Awas ya, kamu!" Akhirnya Rania masuk ke dalam kamarnya untuk mencari handuk dan pakaian ganti. Sementara Rafka pun mengganti pakaiannya tanpa mandi terlebih dahulu. Karena memang di rumah itu hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet. "Pak, saya izin untuk mengajak Rania berbelanja. Katanya dia m