Lanjut nggak nih???? Hallo, kakak.....
Lelaki paruh baya itu mendekap erat Julio hingga baru sadar jika di hadapannya juga ada Rania. Seketika ia merenggangkan pelukannya. "Rania, kamu datang ke sini? Bagaimana kabarmu, Ran?" tanya Romi antusias sambil berjalan mendekati putrinya. Kedua mata Rania sudah berkaca-kaca. Ia segera memeluk bapaknya. "Maafkan, Rania Pak. Maaf jika Rania selama ini bersikap egois." Wanita itu terisak. Walau bagaimanapun juga Romi adalah bapak terbaik untuknya. "Seharusnya bapak yang meminta maaf. Terima kasih telah membawa Julio ke sini. Tapi bagaimana bisa?" tanya Romi penasaran. "Sebaiknya kita duduk dulu, Pak. Julio akan menjelaskan semuanya." Romi mengangguk pasti. Ia mengajak Rania untuk duduk di kursi. Sementara Rania pergi ke luar sebentar, Julio mulai bercerita kepada Romi. Kini ia sangat bahagia karena bertemu dengan ayah kandungnya. "Maafkan bapakmu ini Julio. Bapak salah. Bapak tidak bisa membahagiakan kamu." "Sudahlah, Pak. Bapak tidak perlu meminta maaf. Julio senang melihat
Kehadiran Rafka mengejutkan Romi dan Julio. Mereka sedang beristirahat di sebuah gubuk dan mungkin sebentar lagi akan pulang. Rafka tersenyum lebar, tetapi seketika redup saat menyadari tidak ada Rania di sana. Lelaki itu mendekat dan menyalami Romi. "Nak Rafka kamu apa kabar? Pasti disuruh jemput Julio ya?" terka Romi yang bisa menebak maksud kedatangan dari lelaki tampan itu. "Saya baik, Pak Romi. Tebakan Bapak benar. Mama menyuruh saya untuk menjemput Julio. Dia harus lanjut sekolah, Pak." "Duduklah, Rafka. Kita makan sama-sama." Romi menyuruh Rafka untuk duduk. Lelaki tampan itu terlihat ragu-ragu. Namun melihat makanan yang tampak lezat, ia jadi tergoda. "Kalau nanti saya makan, jadinya Bapak dan Julio nggak kenyang dong." Rafka menahan diri agar tidak ikut makan. "Kak Rafka tenang saja. Julio makannya dikit kok. Ini cobain deh, Kak." Rafka tidak bisa berbohong. Akhirnya ia mengganggu makan sang adik. Lelaki itu mencoba satu sendok dan rasanya begitu familiar di lidah. 'A
Romi dan Julio saling berpandangan. Hening untuk beberapa saat. Kemudian mereka tertawa bersamaan. Membuat Rafka dan Rania merasa heran. "Kalian seperti anak kecil saja." Rafka dan Rania terlihat salah tingkah. Tapi tak dapat dipungkiri jika mereka sangat bahagia. Menjadi anak kecil adalah hal yang Rania inginkan saat ini. Ia tidak perlu pusing memikirkan semua masalah yang ada. "Sebaiknya Kak Rania segera mandi dan ganti baju. Nanti sakit," celetuk Julio berkata serius. "Em, mana mungkin Kakak kamu sakit. 'Kan ada Kak Rafka di sini," sahut Rafka cepat. Lelaki tampan itu menaik-turunkan kedua alisnya. Sambil memandangi sang kekasih hati. "Raf ....!!!!" Kedua mata Rania melotot tajam. "Awas ya, kamu!" Akhirnya Rania masuk ke dalam kamarnya untuk mencari handuk dan pakaian ganti. Sementara Rafka pun mengganti pakaiannya tanpa mandi terlebih dahulu. Karena memang di rumah itu hanya ada satu kamar mandi dan satu toilet. "Pak, saya izin untuk mengajak Rania berbelanja. Katanya dia m
Tiada jawaban. Hanya sebuah tindakan tanda keduanya masih saling mencintai. Seperti itu untuk beberapa menit lamanya. "Ran, kenapa menangis?" Rafka menghentikan aksinya. "Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku tanpa kamu, Raf? Apakah kita memang tidak berjodoh? Kenapa kita harus dipertemukan jika akhirnya tidak saling memiliki?" Rania menundukkan kepalanya. Seketika membuat Rafka ikut menangis dan merengkuh tubuh Rania agar kembali didekapnya. "Jika kita memang berjodoh, pasti akan ada jalannya, Sayang. Aku percaya itu." Rafka mencoba meyakinkan Rania. Meski kenyataannya ia tidak tahu dengan cara apalagi untuk menggagalkan pernikahannya dengan Cindy. "Kalau begitu sebaliknya kita segera pulang. Nanti keburu malam. Kasihan Bapak dan Julio di rumah. Pasti mereka sudah lapar." "Memangnya hanya mereka saja yang lapar? Aku juga lapar, Satang," goda Rafka kemudian. "Hmmm ...." Rania sengaja tak menanggapi godaan dari Rafka. "Iya, iya, kita pulang." Rafka segera melajukan mobilnya. Wa
Di rumah Rosita, Amar tampak gelisah. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak. Terlalu lama ia meninggalkan Tisa. Dan istrinya tersebut sama sekali tidak khawatir atau mencoba menghubunginya. Lelaki itu duduk di kursi seorang diri. Pikirannya bercabang kemana-mana. Antara ingin pulang dan tetap di sana untuk menemani sang mama. "Amar, kamu kenapa? Kok belum tidur? Kepikiran Tisa, ya?" tanya Rosita yang juga kesulitan untuk tidur malam itu. Tentu ia paham akan perasaan anaknya. Amar menoleh ke arah mamanya. Ia pikir Rosita sudah tidur di kamarnya. "Perasaan Amar tidak enak, Ma. Amar takut terjadi apa-apa dengan Tisa. Apalagi ia di rumah juga sendirian. ART di rumah kami tiba-tiba kabur. Tidak tahu apa sebabnya." Amar memegangi kepalanya. "Coba kamu telepon dulu. Siapa tahu dia juga belum tidur." Rosita mencoba mencari solusi yang tepat. Amar mengangguk setuju. Ia tidak kepikiran untuk menelepon istrinya. Lelaki itu segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel untuk menc
Sebuah mobil berhenti di dekat jembatan itu setelah pengemudinya mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh Amar. Ia berlari menghampiri lelaki itu. "Hentikan, Amar! Apa yang kamu lakukan?!" teriak Delvin seraya menarik tangan Amar. Lelaki paruh baya itu baru pulang dari lembur di perusahaannya. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk. Bahkan orang lain tidak bisa menggantikan tugasnya. Amar terduduk lemas di tanah. Kali ini ia meneteskan air mata. Sekuat tenaga lelaki itu berusaha setia kepada Tisa. Tetapi apa yang ia dapatkan? Hanya sebuah pengkhianatan. Rasanya hatinya begitu sakit. Mungkin itulah yang dirasakan Rania di saat masih menjadi istrinya. "Aku terlalu banyak dosa, Paman. Harusnya Paman biarkan aku mati saja. Pasti semua ini karena aku terlalu jahat kepada Rania. Sekarang aku mendapatkan karmanya." Delvin menggelengkan kepalanya berkali-kali. Sangat menyayangkan tindakan Amar yang begitu ceroboh. Beruntung ia segera datang. Kalau tidak, bagaimana nasib Amar selanjutnya?
"Aluna? Kenapa kamu terlihat tegang seperti itu? Oh, maaf. Aku ke sini tidak mengabari kamu terlebih dahulu." Bayu menghampiri Aluna yang masih diam tak bergerak di tempatnya. Bahkan untuk menyembunyikan testpack yang berjatuhan pun terasa berat baginya. "Itu apa Lun?" Tiba-tiba Bayu telah melihat benda-benda itu. Lelaki itu segera mengambilnya satu persatu. "Lun ... jangan bilang kamu hamil?" tanya Bayu penuh selidik. Entah mengapa dada Bayu menjadi sesak. Ia tak mengharapkan ini semua terjadi kepada Aluna. Sedangkan dirinya masih sangat mencintai gadis itu. "Bay ... Aku—" Aluna jatuh terduduk. Air mata pun seketika keluar dari sudut matanya. "Aku memang hamil, Bayu. Dan aku tidak tahu siapa ayah dari calon bayi yang aku kandung ini. Aku sudah sangat kotor Bay. Aku ingin mati saja!" Aluna berteriak histeris. Membuat Bayu kebingungan dan segera memeluk tubuh Aluna. "Tolong kamu tenang dulu, Lun. Kita cari jalan keluar. Kamu tidak boleh mati, Lun." "Bagaimana aku bisa tenang, Bay?
Keesokan harinya Rania mempersiapkan diri untuk keberangkatannya ke luar negeri. Ia meyakinkan diri bahwa pilihannya adalah hal yang sangat tepat. "Kamu yakin, Rania? Kamu tidak akan menyesal dengan pilihan kamu? Seharusnya hari ini kamu menghadiri undangan pernikahan Rafka," ucap Romi yang sebenarnya merasa sedih karena ditinggalkan oleh putrinya. "Rania yakin, Pak. Rania tidak kuat jika harus menyaksikan Rafka menikah dengan perempuan lain. Rania masih sangat mencintai Rafka, Pak. Lebih baik Rania pergi sejauh-jauhnya dan tidak menampakkan diri lagi di hadapan Rafka." Air mata Rania jatuh berlinang. Walau bagaimanapun juga ia tidak bisa menutupi kesedihannya. "Bapak hargai keputusan kamu. Semoga kamu menjadi anak yang sukses dan semua cita-cita kamu segera terwujud." "Terima kasih, Pak." Rania menunggu kedatangan pamannya. Delvin telah berjanji untuk menjemput dan mengantarkan keponakannya tersebut sampai ke bandara. Sementara di tempat lain, Cindy sudah siap dengan pakaian te